Dengan tangan keropos karena efek kekuatan Pedang Naga Sulong, pemuda berkuncir terus melesat tidak peduli dengan rasa sakit yang terasa semakin dahsyat.
Mendesis di sebuah cekungan kecil dekat sungai Hutan Larangan, seekor ular hitam menghampiri Asoka, namun langsung disambar oleh Gatra.
“Ini ular jadi-jadian,” kata Gatra. “Aku curiga Wusasena sudah mengetahui keberadaanmu.”
Asoka memandang gurunya heran, bagaimana Gatra bisa tahu kalau itu ular siluman, bukan ular hutan asli. Tanpa menanyakannya pada Gatra, gagak itu lebih dulu mengaliri paruhnya dengan kanuragan mustika merah.
Mata ular itu berubah merah, memancarkan sorot sinar yang sifatnya penghancur. Dedaunan kering tiba-tiba lenyap terkena sorot sinar ular siluman, lebih-lebih balokan kayu di samping Asoka ikut membara.
Jika saja Gatra tidak menggunakan api biru untuk memadamkan kebakaran, niscaya seperempat Hutan Larangan ini gundul akibat ulah siluman ular.
Prabu Wusanggeni memaksa Asoka meminum ramuan itu sampai-sampai Asoka khawatir dan meminta keringanan pada sang prabu.“Aku menghormatimu sebagai roh mustika merah sekaligus roh terkuat sepanjang masa, tapi demi kebaikan Asoka, dia harus menghabiskan ramuan ini sebelum matahari terbenam.” Prabu Wusanggeni menepuk pundak Gatra, dia bisa melihat gagak itu karena memiliki indera keenam khas pendekar naga.Gatra membalas tepukan Prabu Wusanggeni, lantas berujar pelan sebelum masuk ke tubuh Asoka. “Kau tetap peduli seperti sedia kala, Prabu, mempedulikan orang lain dari pada dirimu sendiri.”“Guru, aku tidak paham dengan apa yang kau katakan.” Asoka ikut bereaksi, tapi Prabu Wusanggeni terus memaksa Asoka agar pemuda itu segera menghabiskan ramuan khusus yang baru saja dia buat.Alasan kenapa Prabu Wusanggeni bisa melihat sosok Gatra, adalah karena sang prabu memiliki kekuatan mata khusus.Setiap pendekar kahyangan ya
Damar Saksana dan Yudhistira mengayunkan pedang kembarnya yang sudah dilapisi garam energi. Banitura meneriaki rekan sesama pendekar giok, tapi serangan mereka terlanjur mengenai perut siluman ular kepala dua.“Jangan macam-macam denganku, Manusia!” Kara menjulurkan lidahnya, dia tidak takut karena ukuran tubuhnya tiga kali lipat lebih besar dari ukuran pendekar yang ingin melawannya.Tanpa diduga, Banitura maju dua langkah lalu berlutut di hadapan Kara. “Maafkan kelancangan dua rekanku, Nona Siluman.”“Jangan panggil aku nona … namaku Kara, siluman ular yang ditugaskan khusus menjaga gubuk ini!”Damar dan Yudhistira masih ketakutan. Meskipun sudah menjadi pendekar lencana giok, mereka tetap saja memiliki rasa takut, terlebih melihat siluman ular seperti Kara.Itu terjadi karena mayoritas pendekar jebolan Perguruan Api Abadi lebih terlatih menghadapi pertarungan melawan sesama pendekar dari pada pertarunga
“Ilmu Api Abadi - Tameng Pancasona!”Sayap elang raksasa muncur, warnanya perak keemasan, menyelimuti lingkup tujuh hasta di sekitarnya. Ledakan kunang-kunang cokelat Kara membumihanguskan seperlima Hutan Larangan hingga membunuh beberapa siluman yang ingin memakan jasad Damar Saksana.Empu Nara dan Ki Mangun Tapari merentangkan dua lengannya lebar-lebar untuk menahan serangan seruling Kara sekaligus meminimalisir dampak kehancurannya.Batara Wasji sepertinya bisa bernafas lega karena tidak ada korban jiwa dalam pertempuran ini, tapi dia juga kesal begitu tahu ada dua manusia tidak tahu adab, merusak ketenangan rumah orang lain padahal mereka adalah tamu tak diundang.“Kara, maafkan kelancangan dua muridku, mereka tidak bermaksud mengganggu ketenanganmu.” Empu Nara berlutut di hadapan Kara.Siluman ular kepala dua itu bertingkah seolah tidak peduli. “Lain kali ajarkan ilmu kebatinan pada mereka. Harusnya Suradira tidak
Empu Nara dan Ki Mangun Tapari tidak puas dengan jawaban Kara yang mengatakan kalau Asoka dibawa kabur oleh Prabu Wusanggeni.“Tidak mungkin! Itu hanya akal-akalanmu. Prabu Wusanggeni tidak mengenal Asoka, begitu pula sebaliknya.” Empu Nara menentang ucapan Kara.“Nara! Tutup mulutmu! Kau tidak tahu apa-apa mengenai Prabu Wusanggeni.”“Tapi kenapa orang sehebat Prabu Wusanggeni menyelamatkan Asoka? Dia kabur dari perguruan. Harusnya pendekar naga sepertinya membantu pekerjaan kami dengan membawa Asoka kembali ke perguruan.”Kara meniup serulingnya hingga semua makhluk di sana menutup telinga karena kebisingan yang tiba-tiba datang. “Asoka memiliki tanggung jawab sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari tanggung jawab kalian yang hanya menjabat sebagai tetua Perguruan Api Abadi.”…Prabu Wusanggeni dan Asoka terkejut karena seperempat Hutan Raksasa Putih hilang entah ke mana, auranya ju
Lingkaran merah bertabur cahaya bintang terpancar dari paruh Gatra, bergerak turun menyerang semua siluman raksasa yang sedang bertarung.“Hentikan pertarungan ini!” Gatra sangat murka karena Hutan Raksasa Putih dirusak oleh penghuninya sendiri.Wedara Toya tidak kuat melanjutkan pertarungan. Serangan Gatra berdampak banyak pada tubuhnya, bahkan sayap kebiruannya hampir patah. Beruntung Prabu Wusanggeni bergerak lebih cepat memindah tubuh naga air itu ke dimensi lain.Namun kerusakannya terlalu berbahaya mengingat Ilusi Mayapada membutuhkan energi sangat besar sesuai tubuh dan kekuatan makhluk yang dipindahkan.“Asoka, aku sudah memindahkan Wedara Toya ke tempat aman, tapi untuk sementara, tolong jaga jasadku karena aku harus istirahat untuk memulihkan energi.” Prabu Wusanggeni langsung ambruk di hadapan Asoka.Memindahkan tubuh gurunya ke tempat aman, ternyata Empu Nara dan Ki Mangun Tapari sudah siap membantu Asoka di bela
Bunar Kumbara yang merasakan energi hitam yang mulai muncul dalam diri Asoka, segera meminta Gatra pergi menuju gubuk Ki Damardjati lantas mengambil pusaka Sabuk Zamrud Hijau yang tergantung di dalamnya.“Maaf karena membuat kalian bertiga khawatir. Untuk sementara waktu, tetaplah tinggal di sini dan lindungi Prabu Wusanggeni,” pesan gagak itu pada Empu Nara dan Ki Mangun Tapari.Abah Suradira bersama Ki Damawangsa ternyata berangkat menuju Hutan Raksasa Putih setelah merasakan energi api yang sangat besar seolah tingkatannya sudah berada di angka amplifi tujuh, tingkatan paling tinggi dari semua tingkatan elemen.“Kakak, ini terlalu berbahaya jika kekuatan ini tidak kita segel. Efek kehancurannya bisa merusak satu hutan dengan dua jurus saja.” Ki Damawangsa sebenarnya bukan khawatir dengan pendekar yang memiliki elemen api amplifi tujuh, tapi khawatir dengan keselamatan dua rekannya.Abah Suradira mengetahu hal tersebut, sebagai s
Beberapa hari sebelumnya, pasukan Wusasena menyadari ada keanehan di Hutan Raksasa Putih.Mbah Mijan selaku penasehat tertinggi Perguruan Elang Hitam memperingatkan Wusasena bahwa pendekar Nusantara sudah bergerak melindungi anak dalam ramalan.“Yang bisa kita lakukan hanya mencari energi hitam sebanyak mungkin. Pasukan telik sandi kita mendapat informasi mengenai titik-titik yang mengandung energi hitam besar, lebih-lebih ada dua titik yang juga mengandung aura iblis merah.”Fusena Rama menyela ucapan Mbah Mijan, dia berhak bicara selaku wakil ketua perguruan. “Bagaimana pendapat Anda mengenai terbunuhnya dua telik sandi kita yang diutus untuk mencuri informasi dari Perguruan Api Abadi?”“Tidak masalah.” Ucapan Mbah Mijan menimbulkan kontroversi. “Mereka terbunuh karena mereka lemah, tidak bisa menandingi kekuatan Asoka Basundara.”Wusasena ikut menambahi. “Informasi mereka sudah sampai ke perg
Pasukan Elang Hitam melihat tsunami api merah diiringi petir merah di tengah-tengah hutan, mereka tidak lebih dulu berangkat dan menunggu sampai tsunami itu reda.Ekadanu tidak mau ambil resiko, akan ada banyak pasukan yang terbunuh apabila memaksakan diri berangkat ke sana. “Kemukakan pendapat kalian, apa kita harus pergi sekarang, atau menunggu sampai Asoka dan rekan-rekannya lemah?”Dari tujuh pasukan telik sandi, tiga di antaranya setuju berangkat sekarang dengan alasan, mereka harus bergegas sebelum Asoka dibawa kabur oleh petinggi perguruan.Namun empat lainnya tidak setuju, salah satu mengacungkan tangan dan segera mengemukakan pendapatnya. “Ini pendapatku pribadi … aku tidak ingin salah satu dari kita terbunuh. Apa kalian lupa, Ye Qiu yang dulu terkenal sebagai murid cerdik saja kalah di tangan Asoka, lalu bagaimana dengan kita-kita ini?”“Benar kata Naruma, kita tidak boleh gegabah dalam membuat keputusan. Ter
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As