“Cu-cukup... tidak perlu sampai seperti ini. Bangun, Paman. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Semua keributan sudah selesai. Bangunlah, tolong...”
Asoka meraih bahu Suryo dan mengangkatnya. Sekalipun Suryo berusaha untuk tetap bersimpuh, dia kalah tenaga dengan Asoka. Keduanya saling bersalaman dan membalas senyuman.
Ki Langkir Pamanang dan Raden Kusuma hanya bisa saling pandang. Kepercayaan mereka pada Asoka semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Meskipun kadang ceroboh, tapi Asoka memiliki hati yang suci.
Keesokan harinya, latihan kembali digelar. Asoka menyuruh seluruh murid padepokan untuk bersantai hingga matahari sudah berada di atas kepala.
Begitu terik, Asoka menyuruh mereka berbaris seperti kemarin tanpa memberitahu alasan dan manfaat dari latihan ini. Tapi sekarang, 30 menit lamanya berdiri, tidak satupun dari mereka ada yang pingsan.
Setelah beristirahat, latihan kembali dilanjutkan sore harinya. Asoka diberikan ma
Asoka berbalik arah. Dia melihat ada dua orang murid sedang bercanda satu sama lain. Eskpresinya berubah, dia agak jengkel melihat tingkah dua murid muda itu, padahal dia sendiri juga masih muda.“Apa yang kalian bicarakan? Jangan bilang, kalian membicarakan diriku yang suka buat onar, suka mencari gara-gara dengan para tetua lain? Jawab, apa yang kalian bicarakan!?” Asoka tiba-tiba berada di belakang mereka.“Ti-tidak, Gu-”Ctak!Ctak!Dua pukulan mendarat hingga memunculkan benjolan kecil di kepala belakang dua murid muda itu. Tidak ada yang bersuara atau protes, mereka menerimanya, terpaksa, dengan lapang dada.Asoka berjalan menuju gubuk. Sementara di belakang, kepala dua murid tadi mengikutinya.“Apa kubilang, dia pemuda semprul. Kalian kalau ikut semprul dan tidak serius, jadinya gitu!” Barok mengingatkan, usai Asoka masuk ke dalam gubuk.“Ma-maaf, Kakang Barok, kami tidak tahu se
Mereka terus berbincang, hingga akhirnya, Asoka memasang wajah cerah, pertanda dia paham penjelasan gurunya. Dia baru paham setelah Gatra empat kali mengulang penjelasan.“Membahas tiga sahabatku tadi, mungkin ada kaitannya dengan misi Ki Seno, mengutusmu ke gunung ini. Dua di antaranya merupakan siluman kelelawar, mirip seperti Batara Wasji, penjaga gubuk zamrud hijau Ki Damardjati Sunandar.”“Berarti, aku harus melawan mereka untuk membuktikan kekuatanku?”“Lebih tepatnya, agar Ikatan Pendekar Nusantara tahu, seberapa pantasnya kau menyandang gelar sebagai penerus mustika merah. Tapi, tenang saja, Soka, kemajuanmu cukup pesat, terutama dari sisi pemahaman. Biasanya aku harus mengulang sampai delapan kali. Ini baru mengulang penjelasan tiga kali saja, kau sudah paham.”“Hihihi...”Asoka memejamkan mata usai mengetahui ke mana tujuan akhir dari latihan awal yang diberikan Ki Seno Aji. Dia tidak mencer
“Selamat pagi, Tetua Muda,” ucap Barok yang sudah tersenyum tipis di depan pintu.“Oooo... bakul daun bawang, hanggu orang tidur saja!?” Asoka membuka pintu dengan mata masih banyak belek. Dia menyuruh Barok masuk, lalu pamit menuju kamar mandi lebih dulu untuk menyuci muka.Barok hanya bisa tertawa pelan.Kalau dihitung-hitung, ada belasan, bahkan puluhan julukan yang disematkan Asoka pada dirinya. Dicatat mungkin bisa jadi nama-nama unik yang menjengkelkan!Asoka keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih cerah. “Malam tadi aku sangat suntuk, Barok. Entah kenapa, aku mengalami mimpi buruk sampai tiga kali. Mimpi yang sama, dan berulang-ulang. Tapi, anehnya, mimpi itu terasa nyata, sampai aku juga merasakan rasa sakitnya.”“Wah itu pertanda...”“Ehh, pertanda apa? Maksudmu bagaimana?” Tanya Asoka sambil mengernyitkan dahinya.“Pertanda kalau jodohmu sudah dekat.”
Seluruh murid padepokan Ajisaka dikumpulkan di depan aula. Wajah mereka meringis, gemertak gigi mengiringi kumpul pagi kala itu. Beberapa, bahkan gemetar karena nada bicara Raden Kusuma makin meninggi dan meninggi.“Di mana kalian sembunyikan Asoka dan Barok?” tanya Raden Kusuma, urat lehernya mulai muncul.“Ti-tidak tahu, Raden, kami semalam tidur di asrama. Barok pun sama, dia tidur di sebelahku. Tapi, saat aku bangun, Barok tidak ada di baris tidurnya.” Suryo menunduk, mengaku pelan atas apa yang terjadi.“Bohong kamu, Suryo!? Tidak mungkin kepergian Barok tidak diketahui murid-murid lain padepokan. Pasti, ada satu, atau dua orang, yang sengaja menyembunyikan berita ini. Sekarang, aku beri kau peringatan yang kedua. Sekali lagi kau melanggar, aku tidak segan mendepakmu dari padepokan!?”“Ampun, Guru, aku memang tidak tahu ke mana Barok pergi. Aku berani bersumpah, bahkan jika diminta melakukan sumpah pocong, ak
Langit perlahan gelap, padahal ini masih pukul dua siang.Asoka dan Barok sudah berjalan, lama sekali, tanpa sekalipun beristirahat. Mereka terus menyusuri hutan, melewati lembah, sungai, dan tebing-tebing curam.Tidak ada bekal makanan yang tersisa, Asoka telah melahapnya semua. Barok, yang juga lapar dan dahaga, sampai harus mengalah dan hanya memakan satu biji jagung karena jagung-jagung yang lain disikat habis Asoka.“Perut karet. Sudah makan tujuh jagung, masih mengeluh lapar!” Barok mengumpat ketika Asoka mengutarakan keinginannya, ingin beristirahat.Ketika hari mulai senja, mereka berdua tiba di sebuah air terjun besar. Airnya sangat jernih. Asoka memutuskan untuk bermalam di dekat sana karena di sekitar air terjun pasti banyak hasil alam. Tak hanya itu, beberapa hewan hutan pasti datang ke sini untuk mencari minum.Asoka bisa menangkapnya dan memberi Barok makan dari daging hewan-hewan tadi.“Sepertinya kau belum p
Fajar kembali menyingsing, Asoka memutuskan untuk tidur sebentar sampai matahari terbit. Hingga saat dirinya bangun terkena sinar matahari, Barok masih tertidur pulas.Asoka mendekati danau dan mencari ikan yang bisa dimakan Barok. Ia nyalakan kayu bakar dan sesaat sebelum ikan matang, Barok terbangun dari tidurnya.“Masalah baru ikan bakar saja, kau cepat bangun! Giliran berjaga malam hari malah ngorok. Haduhh, kekuatan lambung sapi pekanya sama makanan saja! Dasar kau!” Asoka memaki tanpa menoleh, dia membolak-balik membolak-balik ikan.“Mana jatahku?”“Dih, baru bangun langsung minta jatah?! Pergi sana, cari ikan sendiri. Kau sudah tua, jangan bertingkah seperti anak kecil!” Asoka, seperti biasa, tidak bisa menjaga mulutnya. Tapi, di balik itu, dia bahagia karena Barok bisa tidur pulas malam tadi.Asoka memberikan ikan tadi kepada Barok dan menyuruhnya makan.“Bagaimana denganmu, Soka? Kau tidak t
Asoka berlari menyusuri tanah lapang. Sedangkan Barok mengambil arah berbeda. “Kalau satu dari kita bertemu seseorang, langsung teriak sekencang mungkin. Siapa tahu ada jalan rahasia di sini.”Mereka berdua menyusuri bagian tepi tanah lapang dan mencari di sekitar bibir jurang. Tebing-tebing tinggi mengapit keberadaan mereka. Dalam arti, ketika siluman kelelawar itu muncul, tidak ada jalan keluar lain selain bertarung.Di dekat bibir jurang bagian kanan, Asoka menyusurinya sesuai firasat. Dia berjalan pelan sambil mengamati sudut jurang yang entah dalamnya seberapa karena tertutup kabut.Sementara Barok, dia mengikuti arahan Asoka untuk menyusuri bagian tepi kiri. Susunan tanah di sana agak berbeda dan Barok harus hati-hati agar tidak terpeleset. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari semak belukar dan ilalang yang bisa melukai kaki.“Hmm, sepertinya tidak ada pintu rahasia,” gumam Barok pelan sekali.Setelah kembari menyus
Ternyata hanya barisan kelelawar yang tidur bertengger di tebing-tebing dalam. Bukan masalah besar. Tapi, Barok mulai menggigil. Dia takut jatuh ke dalam jurang itu, dan tidak bisa kembali.“Tenanglah, dengan ilmu meringankan tubuh kau bisa melayang dan melompat jauh.”“Tapi jurang itu sangat lebar, Soka.”“Yakin!” Asoka menepuk pundak Barok. “Karena setiap perkara yang tidak didasari keyakinan, maka kemungkinan besar gagal. Jangan lupa meminta pada Dewata.”Asoka melompat tanpa mengambil ancang-ancang lebih dulu. Dia mengkombinasikan ilmu meringankan tubuh yang sudah terasah dengan ajian Angin Ribut. Dalam sekejap mata, dia bisa menyeberangi jurang tanpa dasar ini.Barok terkesima melihat Asoka. Meskipun tidak bisa terbang, tapi sahabatnya itu seperti melayang jauh dan melompat sesuka hati.Sedangkan Barok, dia masih ragu-ragu. “Loncat saja, Barok, buang jauh-jauh keraguanmu! Jangan samp
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As