Kuntasena sebenarnya orang baik dan hal itu pernah diungkapkan oleh Prabu Wusanggeni waktu ada rapat besar pendekar di Kastil Menara Cakra.
Namun hampir semua petinggi Ikatan Pendekar Nusantara mencela Kuntasena karena dianggap telah berhianat dan bersekutu dengan Perguruan Elang Hitam.
Pembelaan yang dilakukan Prabu Wusanggeni dan Lenong Panama waktu itu seolah bagai angin lalu, lebih-lebih Pangeran Kamandanu dan Yung Chen yang terlalu fanatik dengan aliran putih.
Kuntasena terpaksa melarikan diri karena dia diburu oleh pendekar Jawa.
Dibantu Lenong Panama dan Kusuma Aji, pria itu pergi menyusuri lautan dan memilih tinggal di pesisir tanah Dwipa karena hanya di sanalah dia bisa mendapat jaminan perlindungan langsung dari Datuk Lembu Sora dan Ki Seno Aji.
Awalnya, orang-orang Dwipa menolak kehadiran Kuntasena, namun atas bantuan Datuk Lembu Sora, pemuda itu bisa diterima di tengah masyarakat.
“Dia boleh tinggal di sini,
Airmendidihdalam gelas kecil itu disiramkan ke muka Asoka, seketika pemuda ituberteriak karena mukanya seperti dibakar oleh api membara.Panasnya seperti bara api mendidih yang dioleskan ke muka, bahkan saking panasnya, Asoka langsung terkapar sampai hilang kesadaran.Lenong Panama mengeluarkan sabit pusakanya, tapi Kuntasena segera menjelaskan alasan kenapa dia menyiram Asoka dengan air mendidih.“Panas adalah salah satu kelemahan aliran hitam. Alasan kemenangan Guru Seno waktu bertarung melawan Weng Luofi dulu, adalah karena Guru Seno memaksakan tubuhnya untuk mengeluarkan elemen api amplifi tujuh.”“Apa hubungannya api dan aliran hitam?” Lenong Panama mengernyitkan dahi.“Mereka, termasuk aku, percaya jika iblis Yasa diciptakan dari api, dan kita tidak boleh menggunakan api untuk bertarung satu sama lain. Alasan itulah yang menyebabkan semua pendekar atau siluman penganut aliran hitam lemah terhada
Lenong Panama mengajak Asokake dalam kapal, hal itu dilakukan agar Asokatidak mengganggu konsentrasi Kuntasena dalam membaca mantra, menyuwuk, hingga selesai melakukan ritualpembersihan aliran hitam dalam tubuh Ranu.Sembari mengelilingi kapal dan melihat ukiran arsitektur yang indah, Asoka jugaditunjukkan beberapa koleksi pusaka milik Lenong Panama.“Pedang ini mirip seperti pedangmu, kemari dan lihatlah, bilahnya putih dengan garis lecet di tengah. Putihnya juga sama, akan mengkilap kalau kena terpaan cahaya matahari.”Lenong Panama mengangkat pedang itu dan memberikannya pada Asoka.“Lama sekali sejak aku memutuskan hengkang dari dunia pendekar, pedang ini yang terus menemani perjalananku sampai aku diresmikan jadi pendekar tingkat kahyangan. Namun Ki Seno tidak mengizinkanku menggunakan pedang ini. Aku pun menggantungnya di dek bawah kapal sebagai pengingat jika aku dulu pernah mengabdikan diri pada Nusantara.&r
Asokamembantu Lenong Panama untuk melaut dan mencari ikan. Tiga ekor cakalang berhasil ditangkap. Saat kembali, beberapa warga sudah mengerubungi gubuk milik Kuntasena.“Keluar kau dukun!”Teriak seorang warga berambut panjang membawa tombak tiga mata di tangan kanan. “Jangan mendatangkan kesialan baru dengan membawa manusia yang berlayar melewati selat Jawa!”“Cepat keluarkan pemuda itu dari dalam gubuk!”Seorang perempuan yang nampaknya memiliki indera keenam, mengetuk pintu gubuk Kuntasena sangat keras.Kuntasena keluar dan menenangkan warga di sekitar pelabuhan. Dia coba tenang menyikapi semua ini. Jika terpancing emosi, para warga tidak segan menerobos masuk dan membunuh Ranu.Protes yang mereka layangkan sangat masuk akal.Kemarin adalah malam dengan rasi bintang berbentuk serupa sabit dengan gagang panjang, yang berarti,Selat Jawa sedang mengalami fase pasang di mana para siluman akan
Di tengah keributan yang terjadi, datanglah seorang kakek tua dengan jenggot kecokelatan. Tangannya memegang sebuah tongkat.Di ujung tongkat, terdapat sebuah lubang yang tertutup. Lubang itu memancarkan energi kuat, namun tertekan oleh energi dari tongkat. Asoka bisa merasakannya, namun dia memilih diam.“Mmm, sepertinya aku harus menyambung telepati Prabu Wusanggeni, turnamen harus diundur lagi sampai Asoka selesai mengurus urusannya di Dwipa.” Si kakek hanya mengamati dari sisi lain penginapan, hanya duduk, diam, dan mendengarkan keluhan warga.Amarah Asokadisambutnya dengan senyuman.“Sama seperti Seno, energi Bunar Kumbara terlalu meluap dalam tubuhnya, dan itu yang membuatnya mudah terpancing emosi.”Beberapa detik sebelum keributan selesai dan warga bubar, kakek itu tiba-tiba menghilang dan entah pergi ke mana. Semua orang tidak ada yang menyadari keberadaan si kakek, kecuali Kuntasena.Sang dukun tahu jika
“Di mana letak kerajaan itu?” tanya Asokaantusias, dia tidak bisa menunggu lagi, pikiran tentang Ranu selalu menghantui pikirannya. Tidak sedikitpun Asoka ingat tujuan awalnya kemari adalah belajar ilmu baru dari Datuk Lembu Sora.Dia lebih takut kehilangan seorang sahabat baru dari pada melepas gelar juara di Turnamen Neraka Bumi yang diadakan oleh perguruan tempatnya belajar kanuragan, apalagi Ranu juga bersahabat akrab dengan Bayu.Asoka mendekati Lenong Panama, namun lelaki itu tidak memberi jawaban. Menanyakan pertanyaan yang sama pada Kuntasena, akhirnya pemuda itu mendapat jawaban memuaskan.“Dua hari perjalanan kalau kau berangkat dari pelabuhan.”Kuntasena berujar lirih, tapi pandangan matanya tetap melirik hamparan selat seraya memikirkan strategi agar Asoka bisa sampai Ringin Anom tanpa hambatan apapun.Hening berlangsung singkat sebelum Lenong Panama buka suara. “Kita berangkat sore hari nanti!”
“Masuklah, aku sudah menyiapkan makan dan ramuan khusus untuk menambah energi.” Kuntasena mengajak Asoka masuk lebih dulu seraya memilah bekal mana yang harus dibawa dan mana yang tidak perlu.Ramuan yang disediakan tentu satu gelas kopi hitam dengan campuran daun mint beserta empat rempah khusus yang hanya diketahui Kuntasena.Usai makan, mereka bersiap seadanya.Barang-barang bawaan diletakkan di atas kain berbentuk persegi empat yang ukurannya lumayan lebar. Hal itu lumrah terjadi untuk mereka yang tidak mampu membeli tas anyaman dan menggunakan tas kain sebagai alternatif.Di luar gubuk sudah ada dua pemuda menunggu. Mereka mantan awak kapal, murid Lenong Panama beberapa tahun lalu, dan sekarang, keduanyatinggal di sisi lain Dwipa. Mereka datang atas perintah Kuntasena.Berjalan menyusuri malam yang pekat di tengah hutan bakau, lima orang itu sampai di pintu masuk hutan. Lenong Panama dan Kuntasena berjalan di barisan depan, d
Asoka langsung memasang kuda-kudabegitu mendengar teriakan dari balik pohon.Hutan sangat gelap. Tidak ada penerangan kecuali dua lampu oblek bersumbukan kain minyak yang dibawa Karim, itupun hanya bisa menjangkau dua meter di bagian depan dan satu meter di bagian samping. Sisanya gelap total, tidak ada penerangan.“Keluar kalian! Kami tidak takut jika harus berhadapan satu lawan satu!” Kirom turun dari kuda dengan pedang terhunus.“Tuan Asoka, kami akan melindungimu sampai titik darah penghabisan. Kami sudah bersumpah pada Guru Kuntasena, dan seorang pendekar harus memegang teguh sumpahnya!” Karim ikut mengawasi sisi kiri Asoka.“Tidak perlu!” Asoka mencabut Pedang Kalacakra dari sarungnya. “Lindungi diri kalian sendiri, itu jauh lebih baik. Aku tahu kalian tidak tahu di mana keberadaan musuh, dan karena itu, gunakan kuda-kuda bertahan sampai kalian yakin, kalian keluar dengan selamat dari hutan bakau ini.&
Karim dan Kirom berjalan menyusuri gelapnya hutan, mereka tetap waspada, berjaga apabila pendekar misterius menyerang mereka dari segala sisi.“Kirom, kau bisa mendengarnya? Ada suara nafas memburu dari arah sana, kita harus cepat!”Keduanya sampai di dekat petilasan kedua hutan bakau, mereka tertegun karena Asokaberhasilmengalahkan pendekar itu. Mereka berdua mendekat dan bersyukur, Asoka tidak terluka sama sekali.Pedang Kalacakraditodongkan ke leher pendeakr misterius bersyal hitam hingga membuat goresan kecil di bagian kiri.Karimberjalan menuju Asokadan meminta agar pedang itu diangkat sedikit.Berjarak dua meter dari pendekar misterius, Kirommengamati tubuh pendekar tersebut dengan seksama. Sepertinya tubuh itu familiar;dari gagang pedangnya juga sering dia lihat, tapi entah kapandan di mana.“Buka topengnya!” perintah Asokapada Karim.“Jangan terl
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As