Asoka sebenarnya orang yang memiliki belas kasih lebih dari pada manusia pada umumnya. Kehilangan orang-orang terdekat karena pembantaian membuatnya tersentuh ketika ada orang yang meminta tolong padanya.
Oleh sebab itulah, Asoka iba kepada Rara. Dia mengambil mustika merah dan berbincang dengan Gatra perihal lubang gelap di sana. Kali ini obrolan mereka serius.
“Kalau kau memaksakan diri, aku tidak akan mengekang. Yang pasti, di dalam sana ada energi besar yang tidak pernah kau rasakan sebelumnya.”
“Bagaimana kau bisa merasakannya, Guru?” Tanya Asoka dalam hati agar Rara tidak mendengar percakapan mereka.
“Kau masih pendekar langit tingkat akhir. Kepekaanmu terhadap energi belum kuat.”
“Tapi kalau aku berniat menolong Rara bagaimana?”
“Ya semua kembali padamu. Aku hanya membantu saja kalau ada masalah.”
Asoka memasukkan mustika merah ke sakunya dan mengambil Pedang Segoro Ge
“Cekungan ini dilindungi oleh seorang iblis yang pernah berseteru dengan Bhagawad Gita. Pertarungannya berlangsung lama, hampir tujuh hari tujuh malam.”Raden Kusuma menceritakan tentang asal usul kenapa cekungan gaib ini bisa terbentuk mulai dari awal. Sang ketua mendapatkan sumber itu dari kakaknya, Ki Seno Aji.Konon, cekungan ini merupakan hasil kesepakatan antara Bhagawad Gita dengan sang iblis. Setelah tujuh hari tidak membuahkan hasil selain luka-luka parah di sekujur tubuh, mereka akhirnya bernegosiasi.Iblis ini berjanji tidak akan pernah mengganggu manusia yang ada di hutan Babel dengan syarat selendang bidadari Rara harus diserahkan padanya.Bagi iblis tersebut, tubuh Rara seperti mahkota berlian yang tidak pernah bisa ditemui dalam perempuan manapun di dunia. Oleh sebab itulah, dia menginginkan selendang agar Rara datang menemuinya.Sebagai pendekar legenda, Bhagawad Gita tidak bodoh. Dia membuat cekungan di sebelahnya, tapi
Sudah hampir seharian Asoka menyusuri hutan. Perutnya kembali lapar. Ia raih buah Keres yang berwarna merah dan memakannya lahap.Hari sudah mulai gelap dan Asoka masih belum tahu ke arah mana dia harus pergi. Jalan setapak yang menunjukkan arah puncak sudah hilang.Kini dia berada di tengah hutan Babel tanpa penerangan sedikitpun.“Guru, apa yang harus aku lakukan?”“Jentikkan jarimu, Soka,” pinta Gatra singkat.“Kasih solusi yang bener, dong! Masa di tengah hutan suruh jentikkan jari!”Gatra tidak bergeming. Dia tetap diam dan menatap Asoka dengan pandangan sayup.Menyadari hal tersebut, Asoka langsung melakukan apa yang diperintah Gatra. Setelah menjentik, keluarlah api kecil yang menerangi sisi sekitarnya.“Apa aku bilang, jadi murid ngeyel mulu!”Asoka menggaruk kepalanya. Ia lupa kalau ada api di jari. Remaja itu berteriak kepanasan karena rambutnya terbakar. Gatra se
Saat malam tiba, Asoka sangat lapar. Dia tidak memiliki apapun untuk dimakan. Kakinya yang masih belum pulih setelah terjatuh juga mustahil digunakan untuk mendaki jurang.Terpaksa, dia hanya minum air sungai yang lumayan jernih karena langsung bersumber dari pegunungan. Beberapa waktu berselang, mustika merah Pedang Naga Api Sulong menyala.Setelah hampir satu menit terus bergetar, terdengar sebuah suara tanpa rupa. Suaranya mirip seperti Gatra, tapi sedikit lebih besar dan agak menyeramkan.“Tubuhku dikunci oleh pertapa tua tadi, Soka. Sebelum aku kembali ke tubuhmu, ada satu pesan yang ingin kukatakan.”Asoka masih menunggu pesan yang disampaikan Gatra.“Dalam tas kain yang kau bawa, ada kitab Sabdo Urip yang aku keluarkan dari dalam mustika. Baca kitab itu dan sembuhkan lukamu!”Tidak lama setelah itu, suara Gatra menghilang dan udara di sekitar Asoka kembali dingin.Sebelum matahari terbenam sempurna, Asok
Perjalanan yang dibutuhkan Asoka kurang lebih tujuh hari, itupun kalau dia tidak berhenti di titik-titik tertentu. Sayangnya, Asoka tidak tahu ke mana arah yang harus dia tempuh.Saat menyusuri kaki gunung, Asoka tidak melihat keberadaan padepokan Ajisaka, bahkan sampai dia keluar dari hutan Babel. Padahal, ingin sekali dia menyambangi Raden Kusuma dan melaporkan kalau tujuan akhir latihannya berada di puncak Arjuna.“Eh ada desa,” lirih Asoka saat berdiri di sebuah pohon yang agak tinggi. “Mungkin aku bisa makan enak di sana tanpa harus mencari buah-buahan di hutan.”Asoka sempat mampir di kedai makanan, tapi dia tidak memiliki uang sepeserpun. Terpaksa, dia bekerja sebagai pencuci piring hanya demi sesuap nasi dan sayuran.Setelah makan, Asoka menyusuri seisi desa. Tidak ada yang aneh. Namun, ada seorang lelaki memandangnya tajam. Lelaki itu berdiri di depan rumah kecil seperti ruang ritual.“Kemarilah, Kisanak,&rdqu
Dukun itu bercerita kalau di sekitar tubuh Asoka ada aura merah tapi tertutup cahaya agak putih. Keduanya menyatu dan hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki kelebihan indera keenam.“Kisanak dari gunung Welirang kemarin?” Tanya Udin langsung ke inti.“Eh, itu benar. Paman tahu dari mana kalau aku baru saja dari gunung Welirang?”“Aura tersebut adalah ciri khas yang dimiliki padepokan kecil di sana. Ketua padepokannya adalah temanku dulu waktu aku masih ada di kerajaan Segoro Kidul.”“Yang Paman barusan maksud itu Raden Kusuma?”“Benar, namanya Kusuma, tapi biasa dipanggil Aji saat dia menjadi mahapatih.”Udin membuka semuanya. Dia bercerita kalau perampok yang akan menyerang desa adalah suruhan ketua laskar Tengkorak Merah.Mereka sepertinya dendam terhadap Raden Kusuma yang telah menghabisi empat kader terbaik yang mereka miliki, namun tidak bisa melampiaskannya begitu
Cerita masa lalu, cukup menggugah hati pendengar dan penceritanya.Udin mulai menegarkan diri, coba menguatkan mulutnya agar tidak terus-menerus bergetar. Cerita itu sangat menyentuh. Dia ingat betul, kejadian masa lalu, tanpa lupa detil-detilnya sekalipun.Asoka tetap menyimak, sambil menengadahkan kepala.Raden Kusuma waktu itu langsung bersimpuh di hadapan kakaknya yang sudah mencapai tingkat pendekar naga menengah, satu tingkat sebelum tingkatan pendekar terkuat.Matanya berlinang air mata. Ia tidak kuasa menahan kekhilafannya selama ini. Saat itulah dia sadar atas semua kesalahan yang diperbuat.“Habiskan kenakalanmu sekarang, Aji!” Bentak Ki Seno Aji pada adiknya. “Tapi ingat, kehidupan tidak selamanya. Ada kehidupan lain yang kekal, yaitu kehidupan setelah dunia!”“Perbuatanmu akan dihitung. Buruk dan baiknya dirimu baru diketahui nanti setelah kau mati. Ingat, karma itu ada dan pasti terjadi!”
Sebelum hari beranjak sore, Asoka berpamitan pada Udin. Dia harus menyelesaikan perjalanan menuju puncak Arjuno. Masalah perampokan yang akan terjadi di desa Pulungan, Asoka tidak bisa berbuat apapun.Dia tidak mungkin menunda pengembaraannya untuk kesekian kali.“Tenang, Paman, aku akan mencari markas perampok tersebut,” lirihnya meyakinkan.Wajah Udin yang sebelumnya masam kini berubah agak cerah. Ada secercah harapan yang diberikan Asoka. Pemuda itu sudah seperti pahlawan bertopeng yang identitasnya tidak diketahui.“Hati-hati, Soka. Mereka memiliki jurus racun ular yang mematikan.”“Baik, Paman. Aku akan mengingatnya.”Asoka berpamitan kepada Udin. Niat awalnya mampir di sini hanya sekedar makan dan mengisi perut. Tapi keberuntungan berpihak padanya. Dia bertemu Udin dan malah mendapat bekal untuk melanjutkan perjalanan.Setelah keluar dari desa, Asoka menyusuri jalanan dan terhenti di perempata
Lima perampok itu berjalan menuju arah Asoka. Satu di antaranya berhenti dan seperti curiga ada yang aneh. Asoka menahan nafasnya berharap keberadaannya tidak diketahui.“Paling hanya perasaanmu saja,” ujar perampok dengan tombak.Kelimanya berjalan lagi menuju setapak hutan. Mereka berbelok ke kanan, kemudian menghilang dari pandangan. Asoka penasaran. Dia mengikuti langkah mereka, tapi tetap menjaga jarak.Asoka masih sangat awam dengan hujan gerimis ini. Setelah mencari dari pohon ke pohon, dia tidak mendapati lima perampok tadi. Akhirnya, pemuda itu berinisiatif menunggu hingga lima orang perampok tersebut kembali.Eughh!Perut Asoka berbunyi. Ini sudah hampir tengah malam dan lima perampok belum kunjung kembali. Hampir-hampir Asoka menuruti nafsunya untuk mencari makanan. Untung saja, dia tidak jadi turun dari pohon.Lima perampok hutan tersebut mendadak muncul dari setapak yang sama. Mereka membawa buah-buahan dan tiga ekor ayam hutan.Asoka sudah berencana mengikuti lima peramp
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As