Cerita masa lalu, cukup menggugah hati pendengar dan penceritanya.
Udin mulai menegarkan diri, coba menguatkan mulutnya agar tidak terus-menerus bergetar. Cerita itu sangat menyentuh. Dia ingat betul, kejadian masa lalu, tanpa lupa detil-detilnya sekalipun.
Asoka tetap menyimak, sambil menengadahkan kepala.
Raden Kusuma waktu itu langsung bersimpuh di hadapan kakaknya yang sudah mencapai tingkat pendekar naga menengah, satu tingkat sebelum tingkatan pendekar terkuat.
Matanya berlinang air mata. Ia tidak kuasa menahan kekhilafannya selama ini. Saat itulah dia sadar atas semua kesalahan yang diperbuat.
“Habiskan kenakalanmu sekarang, Aji!” Bentak Ki Seno Aji pada adiknya. “Tapi ingat, kehidupan tidak selamanya. Ada kehidupan lain yang kekal, yaitu kehidupan setelah dunia!”
“Perbuatanmu akan dihitung. Buruk dan baiknya dirimu baru diketahui nanti setelah kau mati. Ingat, karma itu ada dan pasti terjadi!”
Sebelum hari beranjak sore, Asoka berpamitan pada Udin. Dia harus menyelesaikan perjalanan menuju puncak Arjuno. Masalah perampokan yang akan terjadi di desa Pulungan, Asoka tidak bisa berbuat apapun.Dia tidak mungkin menunda pengembaraannya untuk kesekian kali.“Tenang, Paman, aku akan mencari markas perampok tersebut,” lirihnya meyakinkan.Wajah Udin yang sebelumnya masam kini berubah agak cerah. Ada secercah harapan yang diberikan Asoka. Pemuda itu sudah seperti pahlawan bertopeng yang identitasnya tidak diketahui.“Hati-hati, Soka. Mereka memiliki jurus racun ular yang mematikan.”“Baik, Paman. Aku akan mengingatnya.”Asoka berpamitan kepada Udin. Niat awalnya mampir di sini hanya sekedar makan dan mengisi perut. Tapi keberuntungan berpihak padanya. Dia bertemu Udin dan malah mendapat bekal untuk melanjutkan perjalanan.Setelah keluar dari desa, Asoka menyusuri jalanan dan terhenti di perempata
Lima perampok itu berjalan menuju arah Asoka. Satu di antaranya berhenti dan seperti curiga ada yang aneh. Asoka menahan nafasnya berharap keberadaannya tidak diketahui.“Paling hanya perasaanmu saja,” ujar perampok dengan tombak.Kelimanya berjalan lagi menuju setapak hutan. Mereka berbelok ke kanan, kemudian menghilang dari pandangan. Asoka penasaran. Dia mengikuti langkah mereka, tapi tetap menjaga jarak.Asoka masih sangat awam dengan hujan gerimis ini. Setelah mencari dari pohon ke pohon, dia tidak mendapati lima perampok tadi. Akhirnya, pemuda itu berinisiatif menunggu hingga lima orang perampok tersebut kembali.Eughh!Perut Asoka berbunyi. Ini sudah hampir tengah malam dan lima perampok belum kunjung kembali. Hampir-hampir Asoka menuruti nafsunya untuk mencari makanan. Untung saja, dia tidak jadi turun dari pohon.Lima perampok hutan tersebut mendadak muncul dari setapak yang sama. Mereka membawa buah-buahan dan tiga ekor ayam hutan.Asoka sudah berencana mengikuti lima peramp
Asoka memusatkan tenaganya di kaki. Ajian Angin Ribut membuatnya bisa melesat cepat sementara ilmu meringankan tubuh membuat suara tapak kakinya tidak terdengar.Namun, sial menimpa dirinya. Suara kentut di tengah-tengah pendakiannya ke atap bangunan paling mewah menimbulkan keributan di bagian bawah.“Aduh, goblok kali kau itu! Kenapa harus kentut saat menyusup!” Gatra mendengus kesal. Tidak sekali dua kali tuannya itu ceroboh. Ini sudah puluhan kalinya.Tidak lama, dua perampok keluar dari gubuk dan tiga lainnya keluar dari bangunan yang masih belum sepenuhnya direnovasi.“Woi bocah! Apa yang kau lakukan di sana!”Bagaimanapun juga, wajah tidak mencerminkan umur. Memang umur Asoka sudah melewati kepala dua, tapi wajahnya masih seperti anak umur 16 tahun.“A-anu, Paman, aku sedang latihan loncat.”“Latihan loncat?” Perampok itu keheranan oleh jawaban Asoka.“Iya, Paman. Aku diberi mandat guru agar meloncat dari satu pohon ke pohon lain.”“Itu yang kau pijak bangunan bukan pohon.”Aso
Belasan perampok yang mengerubungi Asoka seketika menjauh. Terlambat sudah, api terlanjur muncul dan mereka tertarik masuk ke dalamnya. Belasan jasad meninggal mengenaskan. Wajah mereka hitam kusam. Luka bakar di sekujur tubuh sudah pasti.Jalu dan anak buahnya tentu tidak berani mendekat. Mereka takut terbakar seperti belasan perampok yang tersambar api merah dari kekuatan mustika.Hal tersebut dimanfaatkan Asoka untuk mendaki gerbang yang tidak terlalu tinggi. Namun saat ingin menggunakan ajian Angin Ribut, kakinya sangat berat untuk digerakkan.“Sial! Kenapa harus sekarang!”Asoka mengulang kembali gerakannya. Kali ini, ia aliri kaki dan badannya dengan energi alam. Tapi hasilnya sama saja. Pemuda itu tidak dapat mengeluarkan ajian Angin Ribut dan ilmu meringankan tubuh.Gatra tidak berkata apapun. Dia tahu jika yang terjadi pada Asoka adalah efek samping dari kekuatan nafas api mustika merah. Selama api tersebut menyala, maka Asoka tidak bisa menggunakan jurus apapun.Tidak lama k
Ejekan Asoka sekali lagi membuat Setya semakin marah. Pria berkuncir itu meminta parang milik Jalu dan Jalu pun melemparnya dari jauh.Kini, Setya menggunakan dua parang besar, sementara Asoka hanya pedang kecil dengan gagang berpendar putih keabu-abuan.“Bagus. Dia semakin marah. Aku bisa memulihkan energi sembari menghindari serangan si bodoh itu,” batin Asoka dalam hati.“Dalam hitungan detik, aku akan memenggal kepalamu, Bocah!”Setya mengubah kuda-kudanya. Dia menekuk kaki kanannya dan mendorong kaki kirinya ke belakang. “Putaran Parang Gerimis!”Asoka terkejut. Kaki kiri Setya ternyata digunakan sebagai tolakan agar dia bisa melesat cepat ke arah Asoka. Dua parang tersebut diputar dengan cepat dan membentuk baling-baling yang siap memotong apapun.“Tabrak dia, Soka!” Gatra berteriak kencang dalam tubuh Asoka. “Lari ke depan dan jatuhkan tubuhmu ke arah kiri.”Asoka menuruti permintaan Gatra. Dia berlari cepat seakan ingin menandingi putaran golok dari Setya. Semua yang ada di sa
Asoka sengaja memanggilnya bocah karena ngompol di celana. Dia terus bergerak mendekat dengan tatapan yang sudah lama tidak diperlihatkannya pada orang lain.Tatapan dewa kematian!Pemimpin perampok hutan gerimis celingukan mencari anak buahnya yang mungkin masih ada di sekitar markas. Begitu dia melihat mata Asoka, badannya seketika membatu karena takut.“Percuma saja kau minta bantuan! Mulutmu sudah terkunci. Suara apapun mustahil keluar dari mulutmu. Jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!”Asoka tidak ingin berlama membiarkan sosok iblis berbentuk manusia ini hidup. Meskipun harus membunuh satu orang, itu lebih baik dari pada meninggalkan ratusan korban karena kebiadaban perampok hutan gerimis.Dengan kecepatannya, Asoka secara mengejutkan berada di belakang Jalu. Dia mengambil pedangnya dan memegangnya dengan posisi terbalik.Sring!Satu kali sayatan pedang raksasa putih langsung memutus urat nadi Jalu. Tidak ada suara yang ditimbulkan. Sunyi, senyap, dan hening. Asoka sudah
Asoka terbangun dan mendapati dirinya di atas sebuah gerobak milik seseorang. Gerobak itu terparkir di sebuah dusun yang letaknya tidak diketahui Asoka. Kemarin malam dia terlalu capek dan perutnya belum terisi semenjak meninggalkan desa Pulungan, tempat tinggal Udin. Asoka beranjak keluar dan menanyakan pada lelaki yang sedang makan di kedai. “A-aku di mana, Paman?” “Rupanya kau sudah sadar, Kisanak. Kenalkan, namaku Mulyojoyo. Aku menemukanmu tertidur di pinggiran hutan gerimis.” “Terima kasih, Paman. Namaku Asoka.” Mulyo menyuruh Asoka duduk dan memesan makanan. Usai makan, si pemilik kedai meminta bayaran lebih kepada Mulyo dan tidak sesuai harga. “Bukannya ini semua hanya 11 keping perunggu? Kenapa aku disuruh membayar 20 keping?” Mulyo keheranan dan mencoba berdebat. “Karena kedaiku sepi, jadi harganya bisa berubah sewaktu-waktu. Berhubung kau pelanggan pertamaku hari ini, mungkin saja bisa jadi penglaris.” “Penglaris itu harusnya gratisan, bukan malah disuruh bayar!” Mul
Di sisi lain, Asoka bisa bernafas lega. Dia tidak lagi bingung untuk membagi-bagikan keping emas itu. Asal sudah menemukan orang yang cocok, dia yakin orang tersebut akan memegang amanatnya.Setelah agak jauh melangkah, dia baru sadar jika tidak tahu ke mana arah menuju gunung Arjuno. Terpaksa, dia kembali ke dusun dan bertanya kepada Mulyo.“Aduh!” Mulyo menepok jidatnya saat menyadari kekonyolan Asoka. “Udah tampan, baik hati, dermawan, tapi agak bodoh,” ujarnya lalu tertawa keras.Mulyo menunjuk arah Tenggara ke sebuah gunung di balik kabut. Asoka mengangguk. Dia berpamitan kepada Mulyo dan tersenyum tipis.Di tengah jalan, dia bertemu dengan seorang kakek tua membawa kereta kencana.“Kakek ingin pergi ke arah Tenggara,” tanya Asoka polos.Kakek penunggang kereta kuda berwajah polos. Tatapan matanya kosong dan wajahnya sangat pucat. Terlebih, bibir kakek itu sudah mulai membiru seperti mayat hidup.Asoka tidak menaruh curiga apapun padanya. Dia terus bertanya sampai tiga kali. Kake
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As