Belasan perampok yang mengerubungi Asoka seketika menjauh. Terlambat sudah, api terlanjur muncul dan mereka tertarik masuk ke dalamnya. Belasan jasad meninggal mengenaskan. Wajah mereka hitam kusam. Luka bakar di sekujur tubuh sudah pasti.Jalu dan anak buahnya tentu tidak berani mendekat. Mereka takut terbakar seperti belasan perampok yang tersambar api merah dari kekuatan mustika.Hal tersebut dimanfaatkan Asoka untuk mendaki gerbang yang tidak terlalu tinggi. Namun saat ingin menggunakan ajian Angin Ribut, kakinya sangat berat untuk digerakkan.“Sial! Kenapa harus sekarang!”Asoka mengulang kembali gerakannya. Kali ini, ia aliri kaki dan badannya dengan energi alam. Tapi hasilnya sama saja. Pemuda itu tidak dapat mengeluarkan ajian Angin Ribut dan ilmu meringankan tubuh.Gatra tidak berkata apapun. Dia tahu jika yang terjadi pada Asoka adalah efek samping dari kekuatan nafas api mustika merah. Selama api tersebut menyala, maka Asoka tidak bisa menggunakan jurus apapun.Tidak lama k
Ejekan Asoka sekali lagi membuat Setya semakin marah. Pria berkuncir itu meminta parang milik Jalu dan Jalu pun melemparnya dari jauh.Kini, Setya menggunakan dua parang besar, sementara Asoka hanya pedang kecil dengan gagang berpendar putih keabu-abuan.“Bagus. Dia semakin marah. Aku bisa memulihkan energi sembari menghindari serangan si bodoh itu,” batin Asoka dalam hati.“Dalam hitungan detik, aku akan memenggal kepalamu, Bocah!”Setya mengubah kuda-kudanya. Dia menekuk kaki kanannya dan mendorong kaki kirinya ke belakang. “Putaran Parang Gerimis!”Asoka terkejut. Kaki kiri Setya ternyata digunakan sebagai tolakan agar dia bisa melesat cepat ke arah Asoka. Dua parang tersebut diputar dengan cepat dan membentuk baling-baling yang siap memotong apapun.“Tabrak dia, Soka!” Gatra berteriak kencang dalam tubuh Asoka. “Lari ke depan dan jatuhkan tubuhmu ke arah kiri.”Asoka menuruti permintaan Gatra. Dia berlari cepat seakan ingin menandingi putaran golok dari Setya. Semua yang ada di sa
Asoka sengaja memanggilnya bocah karena ngompol di celana. Dia terus bergerak mendekat dengan tatapan yang sudah lama tidak diperlihatkannya pada orang lain.Tatapan dewa kematian!Pemimpin perampok hutan gerimis celingukan mencari anak buahnya yang mungkin masih ada di sekitar markas. Begitu dia melihat mata Asoka, badannya seketika membatu karena takut.“Percuma saja kau minta bantuan! Mulutmu sudah terkunci. Suara apapun mustahil keluar dari mulutmu. Jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!”Asoka tidak ingin berlama membiarkan sosok iblis berbentuk manusia ini hidup. Meskipun harus membunuh satu orang, itu lebih baik dari pada meninggalkan ratusan korban karena kebiadaban perampok hutan gerimis.Dengan kecepatannya, Asoka secara mengejutkan berada di belakang Jalu. Dia mengambil pedangnya dan memegangnya dengan posisi terbalik.Sring!Satu kali sayatan pedang raksasa putih langsung memutus urat nadi Jalu. Tidak ada suara yang ditimbulkan. Sunyi, senyap, dan hening. Asoka sudah
Asoka terbangun dan mendapati dirinya di atas sebuah gerobak milik seseorang. Gerobak itu terparkir di sebuah dusun yang letaknya tidak diketahui Asoka. Kemarin malam dia terlalu capek dan perutnya belum terisi semenjak meninggalkan desa Pulungan, tempat tinggal Udin. Asoka beranjak keluar dan menanyakan pada lelaki yang sedang makan di kedai. “A-aku di mana, Paman?” “Rupanya kau sudah sadar, Kisanak. Kenalkan, namaku Mulyojoyo. Aku menemukanmu tertidur di pinggiran hutan gerimis.” “Terima kasih, Paman. Namaku Asoka.” Mulyo menyuruh Asoka duduk dan memesan makanan. Usai makan, si pemilik kedai meminta bayaran lebih kepada Mulyo dan tidak sesuai harga. “Bukannya ini semua hanya 11 keping perunggu? Kenapa aku disuruh membayar 20 keping?” Mulyo keheranan dan mencoba berdebat. “Karena kedaiku sepi, jadi harganya bisa berubah sewaktu-waktu. Berhubung kau pelanggan pertamaku hari ini, mungkin saja bisa jadi penglaris.” “Penglaris itu harusnya gratisan, bukan malah disuruh bayar!” Mul
Di sisi lain, Asoka bisa bernafas lega. Dia tidak lagi bingung untuk membagi-bagikan keping emas itu. Asal sudah menemukan orang yang cocok, dia yakin orang tersebut akan memegang amanatnya.Setelah agak jauh melangkah, dia baru sadar jika tidak tahu ke mana arah menuju gunung Arjuno. Terpaksa, dia kembali ke dusun dan bertanya kepada Mulyo.“Aduh!” Mulyo menepok jidatnya saat menyadari kekonyolan Asoka. “Udah tampan, baik hati, dermawan, tapi agak bodoh,” ujarnya lalu tertawa keras.Mulyo menunjuk arah Tenggara ke sebuah gunung di balik kabut. Asoka mengangguk. Dia berpamitan kepada Mulyo dan tersenyum tipis.Di tengah jalan, dia bertemu dengan seorang kakek tua membawa kereta kencana.“Kakek ingin pergi ke arah Tenggara,” tanya Asoka polos.Kakek penunggang kereta kuda berwajah polos. Tatapan matanya kosong dan wajahnya sangat pucat. Terlebih, bibir kakek itu sudah mulai membiru seperti mayat hidup.Asoka tidak menaruh curiga apapun padanya. Dia terus bertanya sampai tiga kali. Kake
Tidurnya terganggu akibat bau busuk itu.Kalau kata orang-orang yang memiliki mata batin kuat seperti Ki Langkir, bau busuk menandakan jika ada dedemit jahat ingin mengganggu kita. Dan yang paling penting, bau busuk adalah pertanda kalau dedemit atau setan belek itu sudah dekat.Sebaliknya, bau wangi seperti melati atau misk bisa jadi dua kemungkinan. Pertama, setan atau dedemit jahat yang posisinya masih jauh dengan manusia. Dan kedua, mereka berniat baik tapi tidak berani menampakkan diri.Sekuat mungkin Asoka mencoba untuk cuek, tapi bau itu terus membuatnya tidak nyaman. Terpaksa, dia buka tirai kehijauan di sampingnya tanpa permisi.“Huaaa,” teriaknya sangat keras saat mendapati ada sosok wanita yang tertidur.“Kenapa aku harus satu kereta dengan wanita secantik ini!”Keterkejutan Asoka membuat perempuan tersebut bangun. Dia tersenyum sinis, tapi tidak menunjukkan giginya. Asoka dibuat berdesir saat pandangan pertama, tapi tidak dengan Gatra.Gagak dalam tubuh Asoka tidak mimisan
“Kamu kenapa, Nak?” tanya lelaki setengah baya setelah Asoka membuka mata. Wajahnya was-was, dia prihatin terhadap kondisi Asoka yang sekarang, bagai orang linglung.Asoka hanya termenung. Pikirannya masih kacau balau. Kesadarannya juga belum sepenuhnya pulih. Sedari tadi, matanya tidak berhenti membelalak menatap ke depan.Pemuda berkuncir masih ingat betul bagaimana dia bisa duduk di kursi yang dikusiri oleh seorang siluman. Bau anyirnya masih terasa, tapi sebisa mungkin Asoka menghilangkan pikiran buruknya tentang itu.Bahkan, saat disapa lelaki paruh baya itu, Asoka seolah tidak sadar dia berhasil selamat dari kusir siluman dan pindah ke dunia nyata.Lelaki tersebut khawatir dan membopong Asoka ke pemukimannya.“Tolong... ada pemuda pingsan di tengah hutan!”Salah seorang warga melihat lurah mereka berlari membawa seorang lelaki dari atas gunung. Sontak, dia memukul kentongan dengan nada dua dua menandakan ada berita besar di desa.Di sana, para warga sudah berkumpul menunggu. Sep
“Aku juga merasa demikian, Mbok. Tapi aku belum bertanya ke mana tujuannya setelah ini.” Laki-laki paruh baya coba menjelaskan kepada Mbok Walijah yang dianggap sebagai sesepuh penghuni desa kecil sekitar Alas Lali Jiwo.Bisa dibilang, dia adalah juru kunci yang siap sedia membantu mereka yang diganggu oleh siluman penghuni alas.“Coba ajak dia bicara dan ceritakan sedikit tentang Alas Lali Jiwo. Kalaupun tujuannya memang ke puncak Arjuno, beritahu dia pantangan setiap pendaki yang ingin naik ke sana.”“Baik, Mbok.” Ando mengangguk dan pamit untuk menemui Asoka.“Tunggu, Ando,” lirih Mbok Walijan. Wajahnya seperti ragu dan khawatir.“Tiga hari lagi merupakan malam satu suro. Para dedemit dari seluruh penjuru akan berkumpul dan membuat perayaan besar. Yang pasti, akan ada seorang lelaki yang menjadi tumbal ‘ngunduh mantu’ mereka.”Ando mengangguk dan tidak berani bertanya lebih lanjut. Di pikirannya, dia masih bertanya-tanya tentang maksud dari kata mereka. Mereka siapa? Para penunggu
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As