Hujan mengguyur sangat deras. Petir beberapa kali menggeleger, disusul oleh angin yang berembus kencang. Para pendekar muda tengah beristirahat di gubuk masing-masing.“Latihan hari ini sangat melelahkan.” Malawati mengembus napas panjang, melabuhkan wajah ke meja. Ia melihat api di obor bergerak-gerak karena angin.“Tubuhku sakit sekali.” Gendis duduk di samping Malawati, memberikan sebuah air hangat. “Tapi, entah mengapa aku menyukai latihan ini.”“Kau benar, Gendis.” Malawati menengus minuman, menoleh pada dua temannya yang sudah tertidur di ranjang. Ia beranjak dari kursi, menutup tirai.“Apa menurutmu kita bisa menguasai jurus membelah jiwa, Malawati?”“Jurus membelah jiwa adalah jurus yang sangat hebat. Tentu tidak akan mudah mempelajarinya. Jika kita berlatih sangat keras, kita mungkin bisa menguasai beberapa bulan atau mungkin tahunan.”“Aku sejujurnya tidak terlalu yakin aku bisa menguasai jurus membelah jiwa. Rasa-rasanya aku seperti harus mendaki gunung yang sangat tinggi.”
Limbur Kancana dan Ganawirya mempelajari gulungan selama beberapa waktu. Di saat yang sama, hujan terus mengguyur dengan deras, disusul oleh angin yang berembus kencang. Pepohonan bergoyang ke kanan dan kiri, memadamkan beberapa lampu obor di teras gubuk.Di saat yang sama, Jatnika dan Puspa Sari tiba-tiba terbangun. Mata mereka diselimuti cahaya kemerahan. Keduanya berdiri, berjalan keluar gubuk, menoleh ke arah Limbur Kancana dan Ganawirya berada.Angin seketika menerobos masuk ketika pintu terbuka, membawa hawa dingin dan tetes hujan ke dalam gubuk. Jatnika dan Puspa Sari tiba-tiba mengentak tubuh dan seketika melesat cepat menuju gubuk, menerobos hutan dan petir.Jatnika dan Puspa Sari tiba-tiba berubah menjadi kunang-kunang yang mengelilingi gubuk. Akan tetapi, mereka mendadak terdorong mundur karena penghalang siluman.Jatnika dan Puspa Sari kembali ke gubuk dan tiba-tiba tidak sadarkan diri di teras.“Puspa Sari, apa yang terjadi?” tanya seorang murid tabib wanita seraya turun
Tarusbawa mengamati seorang pemuda dan seorang gadis yang menunggangi kuda. “Siapa mereka dan apa yang mereka lakukan di tempat ini? Jarang sekali manusia memasuki pulai ini. Untuk sampai ke pulai ini, mereka harus melalui perjalanan yang sangat panjang dan berbahaya.”Tarusbawa mengikuti pemuda dan gadis itu hingga mereka kembali ke daratan pulau utama. “Mereka tampaknya bukan pendekar biasa.”Sebuah ledakan tiba-tiba saja terdengar cukup keras.“Lingga tampaknya kembali menghancurkan hutan.” Tarusbawa berbisik dan seketika saja seorang tiruan Limbur Kancana mendekat. “Ikuti pemuda dan gadis itu sekarang juga.”Tiruan itu seketika berlari menuju arah pantai.Tarusbawa kembali ke hutan, melewati dahan pohon, melompat ke atas puncak pohon. Ia tersenyum saat melihat Lingga terbaring di sisi sungai.“Aku kembali gagal.” Lingga duduk seraya memijat kepalanya. Pusaka kujang emas mendadak menghilang dari tangannya. Ia mengamati keadaan sekeliling, berdiri. “Aku kembali menghancurkan pepohon
“Apa yang terjadi?” tanya Malawati seraya mengawasi keadaan sekeliling. “Tiruan Guru Limbur Kancan tiba-tiba saja menghilang.”“Jangan lengah! Guru Limbur Kancana bisa saja sengaja melakukannya. Tetaplah bersiaga dengan penuh kewaspadaan. Dia bisa muncul di mana dan kapan saja,” ujar Galih Jaya.Para pendekar muda bersiaga, bersiap untuk segala kemungkinan.Limbur Kancana tiba-tiba muncul bersama tiruan-tiruannya di atas puncak pohon. Mereka menyerang secara bersamaan, mengeluarkan serangan harimau putih.Galih Jaya pertama kali menyadari serangan itu. Ia segera melompat, melesatkan tendangan kuat. “Aku tidak akan lagi tertipu olehmu, Guru.”“Benarkah?” Limbur Kancana tiba-tiba muncul menggantikan harimau putih, tersenyum. Ia menepis tendangan Galih Jaya, melesatkan dorongan kuat pada pendekar muda itu.Galih Jaya terdorong ke belakang dengan sangat kuat. Dharma, Amarsa, dan Ajisoka berusaha menolongnya, tetapi mereka justru terkena serangan dari harimau putih.Galih Jaya mendarat di
“Terkutuk!” Wira segera menangkis serangan, berputar di udara seraya melesatkan serangan kuku beracun. Di saat pendekar itu menepis serangan, ia bergegas memasuki gua lebih dalam untuk menyelematkan diri.“Aku tidak boleh sampai tertangkap oleh pendekar itu, apalagi sampai bertemu dengan petinggi golongan putih dan Limbur Kancana.”Wira melompat turun, melesatkan serangan ke atas. Pasukan kelelawarnya membentuk penghalang. “Aku akan kesulitan menghadapi pendekar itu.”Wira melompat dari satu batu ke batu lain, berlari ke jalan sebelah kiri. Ia terus mengerahkan pasukan kelelawarnya untuk menyibukkan musuh.Gua tiba-tiba bergetar hebat hingga batu berjatuhan dari atap dan samping. Angin menerobos kencang hingga ke arah Wira. “Mungkinkah ini kekuatan dari petinggi golongan putih? Dia berhasil menghancurkan penghalangku dengan mudah”Wira berlari secepat mungkin, menggertakkan gigi. “Semau ini salahmu, Danuseka. Kau sudah meninggalkanku dan lalai dari tugasmu.”Wira menepis bebatuan yan
“Kau harus menerima balasan atas tindakanmu, Danuseka! Kau harus mati di tanganku!” Wira melompat mundur, melesatkan serangan bertubi-tubi pada Danuseka. Amarahnya membuat kekuatannya meningkat.Danuseka menepis serangan seraya melompat mundur, membalas menyerang dengan kekuatan penuh. Serangannya mampu mendorong Wira hingga pemuda itu membentur dinding batu dengan sangat kuat.“Terkutuk!” Wira ambruk di tanah, memegang perutnya yang kesakitan. Ia bergegas berdiri, bersiap untuk melesatkan serangan susulan.Darmasena bergerak sangat cepat, dan dalam waktu singkat ia sudah berada di belakang Wira. Tangan kanannya diselimuti sisik dan kekuatan hitam kemerahan. Dengan satu kali pukulan, Wira kembali ambruk di tanah“Ah!” Wira meringis kesakitan, menatap Darmasena dengan penuh amarah. “Terkutuk! Kau bekerja sama dengan Darmasena, Danuseka. Kau akan pasti akan mendapatkan ganjaran dari pengkhianatanmu! Aku akan memastikan kau—”“Diam!” bentak Nyi Genit yang mendadak muncul di tengah ruanga
Wira berdiri susah payah. “Terkutuklah kau, Danuseka! Berani sekali kau menghinaku! Kau harus sadar jika kau hanyalah kacungku!”Danuseka menampar Wira dengan keras. “Jaga bicaramu, Wira. Aku bukanlah kacungmu. Aku adalah orang kepercayaan Kartasura. Dia lebih mempercayaiku dibandingkan mempercayaimu sebagai adiknya sendiri! Kaulah yang seorang kacung di sini!”Danuseka mencengkeram wajah Wira dengan kuat. “Aku bersabar selama ini karena aku menghormati Kartasura, tetapi itu tidak berlaku lagi sekarang. Jika suatu saat Kartasura berhasil lolos dari penjara di Jaya Tonggoh dan kau mengadu soal perlakuanku padanya, aku akan meminta Nyi Genit bersaksi untukku.”Danuseka mencengkeram lebih erat. “Sekarang, beri tahu aku jalan menuju tempat tinggal dua siluman bernama Jatna dan Ratih Ningsih itu. Setelah kau memberitahuku, kau bisa beristirahat di tempat ini.”Wira menepis tangan Danuseka, tersenyum bengis. “Aku tidak akan tinggal di tempat ini. Aku akan menunjukkan padamu di mana tempat t
Lingga tengah terbaring di sisi sungai. Pohon-pohon di sekelilingnya bertumbangan setelah ia menggunakan jurus merak putih dan jurus harimau putih. Asap membumbung tinggi ke sekeliling. Beberapa hewan menjauh dari tempat pelatihan.Tarusbawa berada di puncak pohon, menyeka darah di pipi dan dahinya. Ia mengembus napas panjang, mengawasi keadaan sekeliling. “Lingga sudah bisa mengendalikan pusaka kujang emas sedikit demi sedikit. Akan tetapi, dia kewalahan ketika menggabungkan kekuatan pusaka kujang emas dengan jurus-jurus yang dikuasainya. Tubuhnya belum sanggup menahan kekuatan yang sangat besar.”Tarusbawa melompat turun, mendekati Lingga yang masih tidak sadarkan diri. “Aku harus meminta bantuan Ganawirya atau Sekar Sari untuk mengurus pohon-pohon di tempat ini. Untuk sekarang, aku harus membawa Lingga ke gubuknya dan membiarkannya beristirahat.”Tarusbawa memangku Lingga dengan rantai putihnya, melesat cepat melewati reruntuhan pohon sampai akhirnya tiba di depan gubuk. “Aku sehar
Panji Laksana dan Saraswati seketika berdiri dan membungkuk hormat ketika melihat kemunculan Tarusbawa. Lingga berdiri di belakang Tarusbawa, mengamati Ganawirya, Limbur Kancana, Sekar Sari, dan dua sosok asing yang membungkuk hormat pada Tarusbawa. “Siapa mereka? Aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Mereka terlihat kuat.” Panji Laksana dan Saraswati kembali berdiri tegak, menoleh pada Lingga. Keduanya saling melirik sesaat, memberi salam penghormatan untuk Lingga. “Aku Panji Laksana. Aku merasa bangga bisa bertemu dengan pemuda pewaris kujang emas,” ujar Panji Laksana. Saraswati menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah. “Pemuda itu memang sangat tampan sesuai dengan perkataan orang-orang,” gumamnya. Saraswati berdeham saat Panji Laksana menyikutnya. “Aku Saraswati. Aku juga merasa bangga bisa bertemu denganmu.” Lingga membalas salam dua saudara kembar itu. “Namaku Lingga. Senang bertemu dengan kalian. Aku harap kita bisa berteman dengan baik.” Sekar
Lingga segera mendekati Tarusbawa. “Guru, apa kau baik-baik saja?” Tarusbawa seketika berjongkok, menahan rasa panas dan sesak yang semakin menjalar di dadanya. Ia sontak terdiam saat mendengarkan ucapan seseorang. Sebuah cahaya merah seketika terlihat di dada Tarusbawa, bergerak beberapa kali. “Guru.” Lingga mengamati cahaya itu saksama, melompat mundur saat cahaya itu keluar dari dada Tarusbawa. “Cahaya merah apa itu?” Cahaya itu mengelilingi Lingga selama beberapa kali, terbang ke langit, kemudian perlahan turun hingga berhadapan dengan Lingga. Tak lama setelahnya, cahaya itu berubah menjadi sosok Prabu Nilakendra. “Prabu.” Lingga segera memberikan salam penghormatan. “Kau sudah menunjukkan perjuangan hingga sampai di titik ini. Dengan munculnya mustika merah ini dari Tarusbawa, maka waktu ujianmu akan segera dimulai,” ujar Prabu Nilakendra sembari menunjukkan sebuah benda bulat bercahaya merah di tangannya. “Waktu ujianku sudah dimulai?” “Aku ingin mengingatkanm
“Baik, Guru.” Sekar Sari mengangguk.“Indra, antarkan Panji Laksana ke ruangan kalian. Dia juga akan tinggal bersamamu dan yang lain mulai sekarang,” ujar Ganawirya.Panji Laksana mengikuti Indra. Kedua pemuda itu menghilang saat melewati beberapa gubuk. Suasana masih terasa canggung, apalagi bagi Sekar Sari dan Saraswati yang saling mengamati satu sama lain.Sekar Sari dan Saraswati berjalan menuju gubuk para wanita, sedangkan Meswara, Jaka, dan Arya masih berada di depan gubuk saat Ganawirya memberi perintah pada mereka.Sekar Sari melirik Saraswati berkali-kali. Kepalanya penuh dengan pertanyaan saat ini. “Hanya dengan melihat matanya saja, dia pastilah gadis yang sangat cantik. Aku melihat Kakang Indra dan yang lain juga terpana saat melihatnya.”Saraswati mengamati keadaan sekeliling. “Padepokan ini sangat tenang dan menyenangkan. Aku menyukai tempat ini.”Sekar Sari berhenti di depan sebuah gubuk, menaiki undakan tangga kecil, membuka pintu. “Ini adalah gubuk tempat tinggalku. A
Panji Laksana mengangguk. “Aki kami, Sanjaya, memerintahkan kami berdua untuk menemui kalian bertiga atau salah satu dari kalian bertiga. Aki ingin memberi tahukan soal keberadaannya pada kalian. Beberapa bulan lalu setelah kami melihat dan merasakan kekuatan pusaka kujang emas, Aki mengingat semua kembali ingatannya yang telah hilang.”“Bangkitnya pusaka kujang emas terjadi untuk ketiga kalinya. Terakhir kali saat kami, pasukan pendekar golongan putih, melawan dua siluman kembar dan para pendekar golongan hitam. Lingga mengurung mereka di Jaya Tonggoh,” ujar Tarusbawa. Panji Laksana memberikan sebuah pisau pada Tarusbawa. “Aki memerintahkan kami untuk memberikan pisau ini pada pemuda pewaris kujang emas. Pisau itu adalah kunci untuk memasuki Nusa Larang, tempat di mana Aki dan kami berada selama ini. Saat pisau itu bersinar, maka saat itulah waktu yang tepat bagi si pewaris kujang emas untuk menemui Aki.”Tarusbawa mengambil pisau itu, mengamati saksama. “Lingga sedang berlatih saat
Atap-atap gubuk mulai terlihat saat Panji Laksana dan Saraswati keluar dari kungkungan pohon. Mereka melihat sebuah ari terjun dan sungai yang mengalir jernih. Begitu memasuki padepokan, mereka mendapati beberapa murid dan tabib yang tampak hilir mudik.Panji Laksana dan Saraswati mengamati keadaan sekeliling. Beberapa murid melihat kedatangan mereka dengan tatapan bertanya-tanya, saling berbisik-bisik.“Aku sudah lama tidak melihat sebuah padepokan, Kakang.” Saraswati tersenyum saat melihat beberapa gadis tampak berbondong-bondong menuju sebuah tepat.“Kau tampaknya menyukai tempat ini, Saraswati.” Panji Laksana mengamati beberapa pemuda seusianya yang beriringan menuju arah utara.“Tentu saja aku menyuai tempat ini, kakang. Sejak kecil, kita hidup bersama Aki di tempat rahasia yang tidak dimasuki oleh orang-orang. Kita hanya bisa melihat mereka dari jarak jauh. Aku sejujurnya ingin seperti gadis lainnya.”“Semua yang Aki perintahkan semata-mata untuk melindungi kita, Saraswati.”“Ak
Ganawirya menoleh pada Jaka sesaat. “Jaka, kau dan yang lain harus ikut bersama kami ke sisi Lebak Angin. Aku dan Raka Limbur Kancana akan menunggu kalian di sana.”Jaka mengangguk meski masih bingung dengan keadaan yang terjadi. “Aku mengerti, Guru. Aku dan yang lain akan segera pergi secepatnya.”Ganawirya dan Limbur Kancana segera menghilang dari gubuk.Jaka bergegas keluar dari gubuk, mengamati keadaan sekeliling. Ia melompat ke atap gubuk, bersiul beberapa kali.Sekar Sari berhenti meramu obat sesaat, menoleh saat melihat beberapa bayangan berkelebat sangat cepat di langit. “Aku melihat Kakang Indra dan Kakang Meswara berlari menuju gubuk Guru. Apa sudah terjadi sesuatu?”Sekar Sari berlari menuju luar gubuk setelah menyimpan ramuan ke lemari. Gadis itu terdiam saat melihat Indra dan yang lain bergerak sangat cepat. “Sepertinya memang sudah terjadi sesuatu. Tapi, kenapa mereka tidak memberi tahuku?”Sekar Sari bergegas menuju gubuk Ganawirya, mengintip keadaan di dalam ruangan me
“Kalian bukankah anggota rombongan pengantar bahan baku dan makanan ke Lebak Angin. Kalian adalah pendekar,” ujar si pemimpin pendekar. Panji Laksana dan Saraswati turun dari kuda, mengamati para pendekar yang masih mengelilingi mereka. “Katakan siapa kalian dan tujuan kalian. Jika kalian tetap tutup mulut, kami akan bertindak kasar pada kalian!”“Tunggu, Kisanak. Kami memang bukanlah anggota rombongan, tetapi kami bukanlah orang jahat. Kami ingin pergi ke Lebak Angin untuk bertemu dengan pendekar bernama Ganawirya. Kami memiliki pesan penting,” kata Panji Laksana. “Kalian masih belum menjawab pertanyaan kami. Siapa kalian?”“Aku Panji Laksana dan gadis ini adalah adik kembarku, Saraswati. Kami berasal dari wilayah yang bernama Nusa Larang.” “Nusa Larang?” Para pendekar saling bertatapan sesaat, berbisik-bisik. “Periksa mereka sekarang juga!”Satu pendekar pria segera memeriksa Panji Laksana, dan seorang pendekar wanita bergegas mendekati Sarawati. Keduanya melakukan pemeriksaan
Langit tampak sangat cerah. Kawanan burung bergerak ke arah timur. Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan. Beberapa tupai terlihat berada di sebuah dahan pohon, mengamati seorang pemuda yang tengah duduk di atas sebuah batu.Pemuda itu tidak lain adalah Lingga. Tak lama setelah tiba di tempat ini, ia segera berlatih. Tarusbawa memperhatikannya dari puncak pohon, tidak berkata apa pun.Lingga tiba-tiba melompat ke langit, melakukan gerakan pemanggil kujang emas. Begitu pusaka itu muncul dan berada di tangannya, beberapa hewan dengan segera menjauh.Lingga mendarat di sungai, mengambang di atas aliran air yang tenang. Begitu matanya terbuka, kakinya mengentak air dan melesat ke arah depan. Air seketika memercik ke sekeliling. Pemuda itu menggerakkan kujang ke kiri dan kanan.Tarusbawa duduk bersila, memejamkan mata, berusaha menghubungi sosok pendekar Sayap Putih bernama Sanjaya. Akan tetapi, ia masih belum bisa terhubung dengan temannya.Matahari terus b
“Sanjaya,” ujar Tarusbawa yang kemudian termenung agak lama.Tarusbawa berdiri dari semedinya, mengamati keadaan ruangan yang temaram. Langit tampak gelap di mana cahaya bulan terhalang oleh awan hitam.Api obor bergerak-gerak saat Tarusbawa meninggalkan ruangan. Pendekar itu menuruni tangga kayu, berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Saat mendongak ke langit, awan-awan hitam bergerak menjauh hingga bulan nyaris sempurna terlihat.Angin berembus ke sekeliling, menggoyangkan dedaunan ke kiri dan kanan.“Aku merasakan kekuatan Sanjaya. Dia kemungkinan sudah terlepas dari jurus Aji Panday sehingga bisa mengingat jelas semua kejadian yang lalu. Aku harus segera bertemu dengannya.”“Tidak. Ini bukan waktu yang tepat.” Tarusbawa mengepal tangan erat-erat, menyentuh dadanya. “Lingga harus lulus dari ujian lebih dahulu sebelum aku dan dia bertemu dengan Sanjaya. Dengan merasakan kekuatannya, aku bisa tahu jika Sanjaya masih hidup di suatu tempat.”Tarusbawa mengentak kedua kaki kuat-kuat, me