Logayo memandang Rangka Cula lagi. Oang berjubah abu-abu itu mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak terlihat. Kemudian Logayo menatap Embun Salju dan berkata, "Tidak. Kami tidak pernah berjumpa orang seaneh itu! Hmmm... di mana tempat tinggalnya orang itu!"
"Dia pengembara, aku tak tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau mau menemui kuburannya, aku bisa menunjukkan di mana tempat ia dikuburkan!"
Terperanjat Logayo seketika itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya dingin-dingin saja, tanpa rasa kaget dan heran.
"Jadi, orang yang bernama Jompo keeling itu sudah meninggal?"
"Sudah lima tahun yang lalu!" jawab Embun Salju dengan tegas.
"Lima tahun...! Sudah lima tahun dia dikubur! Aneh...!" ucap Logayo semakin dibuat bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju.
Kemudian sambungnya lagi, "Peristiwanya baru beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka Cula ini yang melihat sendiri orang serba hitam membawa lent
LEWAT tengah siang, penjaga pintu gerbang Kuil Elang Putih dikejutkan dengan munculnya Mahasi yang berwajah pucat pasi. Langkahnya gontai, namun berhasil mendekati pintu gerbang kuil dan segera ditolong oleh salah seorang penjaga pintu gerbang itu."Mahasi! Ada apa...!" seru orang yang menangkap tubuh Mahasi yang terkulai lemas itu. Ia segera berseru kepada rekannya yang ada di bagian dalam, di balik pintu gerbang itu, "Panggil Dewi Anjani! Mahasi terluka!"Orang yang menjaga bagian dalam itu terkejut melihat Mahasi mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya terkena bercak-bercak darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera berlari menemui Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju dengan para murid lainnya."Dewi Anjani....! Mahasi terluka!""Hah...! Di mana dia sekarang!""Ada di pintu gerbang!"Waktu itu, Dewi Anjani sedang bicara dengan Embun Salju mengenai Racun Getah Tengkorak dan musibah yang melanda Pergu
"Keji...!" geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan.Wukkk...!Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.Brukk...!Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pinggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat. Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu."Apakah kau orang andalan Elang Putih!" sindi
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!""Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!""Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel."Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat."Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada si apa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan."Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan!""Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau dengan cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!""Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!""Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri!""Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya d
Sebenarnya bisa saja mayat Nini Pasung Jagat dibuang ke laut. Atau bila perlu dibuang ke jurang curam. Tapi Embun Salju tidak sekejam itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat penghormatan sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh Embun SaljuHanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah.Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan yang memakamkan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang-orang Kui
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Baraka punya cara perkenalan sendiri.""Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana."Baraka menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu.Ia tak mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri."Baraka," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!""Aku tidak menotoknya!" kata Baraka sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang menotokku!""Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!""Tidak!" jawab Pendekar Kera Sakti agak ngotot.Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!"Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan
"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Baraka!" sahut Kirana dengan maksud supaya Baraka tidak ke taman bersama Embun Salju.Tapi Baraka kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata, "Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera berbisik kepada Kirana, "Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Baraka tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang ini!""Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang berwarna hijau sepert
"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!""Kunci apa maksudmu, Nyai?""Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!""Pembuka jalan!" gumam Baraka heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?""Tidak begitu maksudku, Baraka! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan.""Menurutmu di mana?""Di purnama...! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Baraka!""Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?""Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Baraka dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya."Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"Baraka mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan p
Zingng...!Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Kera Sakti. Andai Pendekar Kera Sakti tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata rahasia tersebut."Aaaa...!"Baraka terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu ke punggung Baraka. Jaraknya hanya tiga langkah dari tempat Baraka membungkuk tadi.Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Baraka. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh Baraka dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak menerima senjata rahasia itu.Brukk...!
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya
"Sangat kebetulan sekali kita bertemu di sini, Baraka," kata si Jantung Dewa. "Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Kera Sakti yang sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua belakangan ini.""Apakah Eyang berdua memang bermaksud menemui saya?""Tidak utama!" sahut Mata Lima. Kata-kata selanjutnya diteruskan oleh si Jantung Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda pusaka itu.""Benda pusaka apa maksudnya?"Pendeta Mata Lima yang sebenarnya hanya punya dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa, "Sebagai pendekar yang sedang kondang namanya, tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami maksudkan. Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan kami. Kau punya pikiran dan angan-angan yang dipenuhi oleh pusaka itu.""Pedang maha sakti itu, maksudnya?""Nah, kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Anak Muda!"Tak ada gentar bagi Pendekar Kera Sakti menatap
"Tidak ada, Kang Pendekar! Ibu saya juga bilang belum lihat dia pulang.""Wah, ke mana anak itu, ya?" gumam Baraka."Coba biar saya yang cari, Kang. Kang Pendekar diam di sini dulu."Sabani sangat menghormati kedatangan Baraka, sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah teman-teman adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan tangan hampa dan napas terengah-engah pertanda habis lari."Tidak ada, Kang! Semua rumah temannya sudah saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana. Malah beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis membunuh Saladin! Saya jadi takut, Kang!""Tidak. Angon Luwak tidak sejahat itu. Apakah kau tidak bertemu Saladin?""Bertemu! Lalu saya tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh sama Angon Luwak"', dan Saladin bliang; 'tidak'. Lalu saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh pasti dia tidak bisa menjawab 'tidak'."Baraka tersenyum tipis, tertawa pendek dalam gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari