"Keji...!" geram Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan.
Wukkk...!
Tenaga yang terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.
Brukk...!
Nini Pasung Jagat jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam satu sentakan pinggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya dengan kuat. Matanya memandang seorang perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.
Di tempat yang agak jauh dari pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani, seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.
"Apakah kau orang andalan Elang Putih!" sindi
"Jika tidak, bicaralah seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!""Baiklah! Aku hanya ingin menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!""Aku tidak tahu-menahu tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel."Padmanaba bilang pusaka itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini Pasung Jagat."Padmanaba tidak pernah bilang begitu pada si apa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik memancarkan kemarahan."Tapi dia memang menitipkan pusakanya kepadamu, bukan!""Kau tak perlu memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau dengan cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!""Omong kosong! Sebagai kakaknya, pasti kau tahu!""Kenapa tidak kau tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri!""Dia sudah kubunuh!" sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya d
Sebenarnya bisa saja mayat Nini Pasung Jagat dibuang ke laut. Atau bila perlu dibuang ke jurang curam. Tapi Embun Salju tidak sekejam itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat penghormatan sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh Embun SaljuHanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah.Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan yang memakamkan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang-orang Kui
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Baraka punya cara perkenalan sendiri.""Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana."Baraka menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu.Ia tak mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri."Baraka," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!""Aku tidak menotoknya!" kata Baraka sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang menotokku!""Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!""Tidak!" jawab Pendekar Kera Sakti agak ngotot.Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!"Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan
"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Baraka!" sahut Kirana dengan maksud supaya Baraka tidak ke taman bersama Embun Salju.Tapi Baraka kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata, "Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera berbisik kepada Kirana, "Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Baraka tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang ini!""Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang berwarna hijau sepert
"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!""Kunci apa maksudmu, Nyai?""Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!""Pembuka jalan!" gumam Baraka heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?""Tidak begitu maksudku, Baraka! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan.""Menurutmu di mana?""Di purnama...! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Baraka!""Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?""Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Baraka dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya."Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"Baraka mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan p
Zingng...!Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Kera Sakti. Andai Pendekar Kera Sakti tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata rahasia tersebut."Aaaa...!"Baraka terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu ke punggung Baraka. Jaraknya hanya tiga langkah dari tempat Baraka membungkuk tadi.Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Baraka. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh Baraka dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak menerima senjata rahasia itu.Brukk...!
Kotak itu berwarna coklat muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran kotak besinya. Baraka segera mengambil kotak kayu cendana itu. Namun tiba-tiba kaki Kirana segera menendangnya kuat-kuat.Wuttt...!Behgg...! Pendekar Kera Sakti terpental jatuh ke samping. Tendangan itu cukup kuat dan membuat Baraka tak bisa bernapas sesaat. Setelah bisa bernapas, Pendekar Kera Sakti pun berdiri secepatnya dan memandang Kirana yang masih menggenggam pedang dengan kedua tangannya. Pedang itu menyilang di depan dada, sedikit miring ke kanan."Mengapa kau menyerangku, Kirana?""Karena kau ceroboh, Baraka!""Ceroboh bagaimana!""Kotak kayu itu jangan sekali-kali kau sentuh!""Apa sebabnya!"Dengan nada pelan, Kirana menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang amat berbahaya! Siapa menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun akan beracun. Siapa menyentuh mayatnya juga akan mati dan begitu seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak itu, bisa lim
KETIKA berusia delapan tahun, gadis kecil yang bernama Kirana hidup bersama kedua orangtuanya dan lima kakak perempuannya. Sebetulnya ia mempunyai enam saudara, satu kakaknya laki-laki berusia sepuluh tahun. Tapi kakak lelakinya itu sejak bayi sudah dipungut oleh bibinya, sehingga gadis kecil Kirana hanya mengenal kelima kakak perempuannya. Gadis ini tergolong gadis yang nakal dan bandel. Sering ia mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis, atau marah dan memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar oleh orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak di beri makan sehari penuh, tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan menghabiskan persediaan makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak mendapat bagian makanan. Hukuman yang paling sering ia lakukan adalah dikurung di atas loteng, pintu loteng ditutup dari luar dan setelah matahari mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.Sekalipun ia sering dihukum oleh orangtuanya dengan dimasukkan ke dalam loteng d
"Kuhitung sampai tiga kali kalau kau tak serahkan cambuk itu, kau akan kukirim ke neraka secepatnya!" gertak si baju hijau."Berhitunglah sampai seribu kali, aku tetap tak akan serahkan cambuk itu, karena aku memang tidak tahu menahu tentang cambuk tersebut!" kata Baraka."Bangsat! Heaah...!" si baju biru menyerang dengan jurus tangan kosong yang melepaskan selarik sinar merah lurus ke dada Baraka.Pendekar Kera Sakti tak menyangka orang itu yang akan menyerangnya, ia segera melompat ke atas, suutt...!Menghindari sinar merah itu. Tetapi ujung suling mustikanya terkena sinar merah yang segera membalik arah, membias ke samping dan sinar itu bergerak lebih cepat serta lebih besar, menghantam dada si baju hijau dengan telaknya.Blaarr...! Asap hitam mengepul tebal. Membungkus orang berkumis tebal yang tidak menduga akan terkena serangan balik dari sinar merah milik temannya. Di dalam asap tebal itu terdengar suara mirip pohon rubuh.Bruugk...!
Wuuuttt...! Seettt...! Tab!Sebuah pisau bergagang hias bulu merah ditangkap oleh gerakan cepat tangan Baraka. Pisau terbang itu terselip di sela jari Baraka dan dijepitnya kuat-kuat. Mata Pendekar Kera Sakti segera menatap semak-semak yang dicurigainya. Maka, dengan gerakan cepat Baraka melemparkan pisau itu ke arah semak-semak sambil merendahkan badan.Wuuuttt...! Zlaappp...!Gusrak...!"Aauh...!" suara orang terpekik terdengar jelas dari semak-semak itu. Kejap berikutnya muncullah seraut wajah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan seringai kesakitan, ia melangkah dengan sempoyongan. Rupanya betis orang itu terkena lemparan pisau dari Pendekar Kera Sakti tadi. Orang berpakaian biru tua itu memaki dalam gerutuan. Matanya memandang tajam penuh kemarahan, ia berusaha mencabut pisau terbang yang dikembalikan Baraka dengan seringai sakit yang membuat wajahnya bagaikan terkumpul di tengah hidung.Sleeb...! Pisau berhasil dicabut. Ketika ingin
Sedangkan lelaki yang jatuh dari atas pohon itu berkata dalam hati, "Berapa ketinggian tempatku jatuh ini? Mengapa tulang punggungku jadi seperti patah begini? Ternyata sangat tak enak jatuh dalam keadaan telentang. Lain kali aku harus punya cara jatuh yang nyaman!"Baraka menghampiri lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berpakaian serba hitam tapi mengenakan ikat kepala merah itu. Busur panahnya patah karena tertindih badannya. Sisa anak panah di punggung menjadi berantakan, dua batang anak panah ada yang patah juga. Pendekar Kera Sakti segera mencengkeram baju orang itu dan menariknya ke atas, sehingga orang itu menjadi berdiri dengan sangat terpaksa."Kembalikan pakaian gadis itu, atau kutenggelamkan kau ke dasar telaga!" ancam Baraka dengan tegas."Ak... aku... aku tidak mencuri pakaiannya!" kata orang tersebut. "Lalu mengapa kau mau membunuh gadis itu dengan panahmu?""Ak... aku... aku hanya disuruh!""Siapa yang menyuruhmu!"
"Kalau kau membentak-bentakku, sebaiknya aku pergi saja dan silakan cari pakaianmu sendiri!" Baraka berpura-pura ingin pergi."Tunggu!" teriak gadis itu. "Baiklah, aku tidak membentakmu lagi," suaranya mereda. "Tolonglah, carikan pakaianku, nanti kuberi upah.""Apa upahnya?""Akan kuajarkan padamu sebuah jurus yang jarang dimiliki orang."Senyum Pendekar Kera Sakti melebar. "Jurus apa itu?""Jurus pukulan 'Malaikat Rela'," jawab gadis itu dengan suaranya yang selalu keras dan bening.Baraka sempat tertawa dalam gumam. "Lucu sekali nama jurus itu.""Jangan menertawakan. Kalau kau tahu kehebatan jurus itu kau akan terbengong-bengong!""Apa kehebatannya?""Pukulan 'Malaikat Rela' dapat merobohkan delapan pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali. Percayalah, jurus itu tak ada yang memiliki kecuali diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan jurus te
"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. Kelana Cinta dan Raja Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Kera Sakti, pemberian dari Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Raja Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Baraka menggunakan hawa ‘Kristal Bening’-nya, dan Baraka meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh 'Racun Siluman' yang ju
Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Raja Hantu Malam.Zruub! Tepat mengenai iga kanan Raja Hantu Malam."Aaahhhg...!" Raja Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.Baraka terbelalak melihat keadaan Raja Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan. Baraka dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Baraka dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Baraka ce
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Baraka yang tahu-tahu menghadang langkahnya.Jleeg...!"Mau lari ke mana kau, Raja Hantu Malam!" tegur Baraka tak ramah lagi."Baraka, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!""Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Raja Hantu Malam!""Jangan paksa aku melukaimu, Baraka!""Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!""Itu bukan tanggung jawabku, Baraka! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!""Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!""Tidak bisa! Aku sudah punya janji unt
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Baraka sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu."Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Kera Sakti? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur.""Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan.""Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"Baraka menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya.""Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.Tiba-tib
Blaaar...!Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Selaksa Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju."Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Baraka pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Selaksa Nyawa. Sedangkan Baraka segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi."Oh, kau...!" Baraka terkejut bukan kepalang.Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Raja Hantu Malam, alias Ki Randu Papak."Kau terlambat sedikit, Baraka! Sinar hijau itu harus dib