"Menyimpan segenggam cinta adalah lebih abadi daripada mencurahkannya, Cah Ayu. Barangkali kalian belum mengetahui, bahwa Pendekar Kera Sakti itu telah terikat hatinya oleh perempuan lain yang anggun dan bijaksana."
"Siapa perempuan itu, Ki Darma?" sergah Kembang Darah ingin tahu.
Tersenyum Ki Darma Paksi memandangi Kembang Darah, lalu ia menjawab, "Aku tak punya wewenang untuk menyebutkan nya, sekalipun aku tahu siapa orangnya! Jadi menurut naluri tuaku ini, sebaiknya simpan saja cinta kalian kepada Pendekar Kera Sakti itu, karena Baraka tak akan jatuh hati lagi kepada perempuan lain. Cintanya telah menjadi karang abadi dan hanya perempuan itulah yang merasuk dalam jiwa, darah, dan sukmanya. Tetapi sebagai seorang sahabat, Baraka bisa lebih hangat dari seorang kekasih dalam batas-batas tertentu. Tak ada ruginya kalian bersahabat dengan murid Setan Bodong yang sebenarnya adalah kakak dari eyang buyutmu itu!"
"Barangkali memang kita harus begitu, Delima," kata Ke
"Dewi Taring Ayu...!" terdengar suara berteriak kasar dan keras dari pekarangan."Aku tahu kau lari kemari, karena darahmu yang menetes di bumi menunjukkan kepadaku! Kau tak akan bisa lari dari kematianmu, Dewi Taring Ayu! Ha ha ha ha...!""Keparat si Tulang Neraka itu!" Delima Ungu menggeram, lalu segera bergegas keluar. Tapi tangan Ki Darma Paksi menghadang, menghalanginya dan berkata, "Bukan dia tandinganmu, dan bukan kamu tandingannya, Delima Manis! Biarkan Baraka yang menghadapi angkara murka, si setan sesat berjiwa laknat itu!"Baraka selesai mengobati Dewi Taring Ayu. Saat itu terdengar suara Ki Darma Paksi, "Saat inilah kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, yang hitam akan dihancurkan oleh yang putih, dan sudah saatnya kau turun tangan mengatasi kesesatan jiwa ini sebagai murid Setan Bodong!""Jangan, Baraka! Jangan menghadapi dia!" kata Dewi Taring Ayu."Dia benar-benar tak bisa dilawan!" tambah Dewi Taring Ayu setelah Baraka menyunggin
KEGELAPAN malam bagaikan selubung kematian warna hitam. Sekalipun langit cerah berbintang tanpa rembulan, tapi tak sedikit pun bias sinar cerah ada yang menerangi jalanan di ujung jembatan bambu. Jembatan itulah yang menghubungkan Tanah Merah dengan Lembah Kabut.Rindangnya dedaunan di sekitar Jembatan bambu itu yang membuat kadang sinar rembulan pun tak bisa menerobos masuk untuk menyinari jalanan penghubung itu. Sementara mereka yang akan melintas dari Tanah Merah ke Lembah Kabut tak punya pilihan lain kecuali melewati jalanan tersebut. Karena di bawah Jembatan bambu yang sering berderit reot jika terkena angin kencang itu adalah jurang yang amat dalam dan tak mungkin bisa dilalui orang. Tetapi sudah tiga malam ini di ujung jembatan nyala api lentera yang cukup menerangi keadaan sekitarnya. Memang tak bisa sampai ke seberang jembatan bias sinar lentera itu, tapi setidaknya bisa digunakan pemandu langkah sebelum memasuki jembatan bambu.Seorang berpakaian putih bersam
Esoknya, gemparlah seluruh Lembah Kabut membicarakan tentang kematian kelima orangnya. Peristiwa itu sungguh membuat dunia seakan menjadi heboh, karena kematian lima korban itu ternyata membawa korban lain.Setiap orang yang mengangkut korban tersebut beberapa saat kemudian mengalami nasib yang sama. Mengejang, kaku, mata melotot, dan keluarkan keringat amis, setelan itu mati.Dalam waktu singkat sembilan korban mati dengan keadaan sama seperti kelima korban malam hari itu. Kesembilan korban itu segera ditolong, dirawat mayatnya, tapi toh tetap saja membawa korban baru sehingga jumlah keseluruhan sampai siang hari ada dua puluh tiga korban yang mati aneh. Kedua puluh tiga korban itu sama-sama keluarkan keringat berbau amis.Perguruan Kobra Hitam ditimpa musibah misterius. Logayo, sebagai ketua perguruan tersebut segera keluarkan perintah, "Jangan sentuh lagi mayat-mayat korban!""Bagaimana kami mau memakamkan mereka Ketua!Mengapa Ketua melarang kami menye
Ekayana mengambil napas, menahan kesabaran. Ia mengangkat tangannya sambil berkata, "Baiklah, baiklah...! Kita cari dulu kemungkinan di tempat lain. Embun Salju adalah kemungkinan terakhir jika memang di tempat lain tak ada orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak itu!"Kemudian setelah terjadi hening sekejap, Logayo bertanya kepada Brajawisnu dengan sisa suara geramnya."Siapa lagi yang pantas kita curigai menurutmu?""Tabib Cawan Maut!" jawab Brajawisnu."Apa urusannya orang setua renta begitu masih mau mengganggu ketenangan kita!" Ekayana menyanggah, karena ia tahu, Tabib Cawan Maut sudah sangat tua, bahkan untuk berjalan pun sudah payah, pelan, terbungkuk-bungkuk, sempoyongan, dan tertatih-tatih. Tabib Cawan Maut tak pernah keluar dari pondoknya. Mereka yang butuh obat datang kepadanya dan ia tak pernah bersedia dibawa keluar dari rumah."Mengapa kau mencurigai orang setua Tabib Cawan Maut?" tanya Logayo kepada Brajawisnu."Dia pu
Sementara itu, si Jubah Putih juga duduk bersila dengan kedua tangan di depan dada, hanya dua telunjuk dan dua ibu jarinya yang saling bertemu, sisa jari lainnya menggenggam. Orang itu juga tampak sedang memusatkan segenap jiwa, batin dan pikirannya untuk mengeluarkan serangan tenaga dalam kepada lawannya. Mulut mereka sama-sama bungkam mencapai lima puluh helaan napas. Tetapi tiba-tiba dari ujung jari telunjuk si Jubah Putih melesat sinar biru memanjang bagaikan sebatang tongkat kecil. Sinar biru itu melesat menuju Nini Pasung Jagat.Tetapi dari tengah kening Nini Pasung Jagat mendadak keluar sinar merah berbentuk bola sebesar jeruk nipis. Cahaya merah berpendar-pendar itu berkelebat bagai di panahkan dari tengah dahi Nini Pasung Jagat, kemudian menghantam sinar biru bagaikan menyongsong serangan sang lawan.Blarrr...!Entah untuk yang keberapa kalinya bunyi ledekan menggelegar itu terjadi di atas perairan laut biru itu. Ledakan yang kali ini ternyata menimbulk
Pada waktu itu, seorang pemuda gagah dan tampan, berpakaian keemasan, tiba di pantai tersebut. Langkahnya terhenti ketika dilihat-nya sesosok tubuh menyerosot ke arah depan kaki nya. Dan pemuda itu segera terkesiap matanya, kaget melihat wajah orang yang menyerobot di depan kakinya itu."Ki Padmanaba...!" cetusnya kemudian.Pemuda yang memiliki rajah naga emas di punggung lengannya itu segera berjongkok untuk memeriksa keadaan orang sakti yang dikenalnya itu."Ki Padmanaba? Apa yang terjadi!"Mata tua yang sedang sekarat itu sempat memandang ke arah pemuda yang tak lain adalah si Pendekar Kera Sakti itu. Mulutnya yang sulit bernapas segera mengucapkan kata pelan, "Baraka....""Ya, saya Baraka, murid dari Setan Bodong, sahabat Ki Padmanaba itu! Kita pernah bertemu walau satu kali. Masih ingatkah Ki Padmanaba pada guru saya?”"Selamatkan... pusaka... Pucuk Cemara Tunggal dalam purnama..." Ki Padmanaba tidak menggubris pertanyaan Pendekar
"Hanya untuk sebuah pesan dari mulut orang yang sudah mati, kau tega membunuhku, Nini?""Bukan hanya karena itu!" gertak Nini Pasung Jagat dengan suara semakin keras dan wajah kian beringas."Jadi karena apa lagi jika bukan karena itu?""Kau murid Setan Bodong! Itulah sebabnya aku harus membunuhmu!"Berkerut tajam dahi Baraka mendengar jawaban tersebut, ia pun segera bertanya dengan nada heran, 'Mengapa sebab itu? Apa salahnya aku menjadi murid Setan Bodong di matamu? Aku tak pernah mengganggu ketenangan dan kedamaianmu, bahkan kau yang menggangguku dan menyerangku lebih dulu pada waktu kita Jumpa di Pulau Hitam itu!""Hm...!" Nini Pasung Jagat mencibir sinis, melangkah pelan mengelilingi Baraka dengan mata tertuju ke arah Baraka. Tajam. "Kau tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan gurumu!"Hati Pendekar Kera Sakti semakin tertarik dan menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Nini Pasung Jagat dengan Setan Bodong,
"Nini...! bentak Baraka dengan kemarahan meluap. Bentakan itu tiba-tiba mendatangkan angin kencang yang sempat membuat tubuh Nini Patung Jagat terpental mundur lebih dari lima tombak.Brukk...!Ia jatuh di tanah dengan wajah tegang dan cemas. "Edan! Membentak saja suaranya sampai bikin heboh bumi! Oh... batu itu menjadi pecah dan pohon itu pun kulitnya mengelupas! Benar-benar edan murid Setan Bodong itu! Aku harus segera pergi!"Tanpa banyak bicara lagi. Nini Pasung Jagat segera melarikan diri. Baraka bergegas mengejarnya, karena ia takut Nini Pasung Jagat membunuh Setan Bodong sebelum Pendekar Kera Sakti sempat membunuh perempuan tua itu.-o0o-Nenek tua yang ternyata usianya jauh lebih muda dari dugaan banyak orang itu, ternyata pula mempunyai kecepatan berlari seperti kilatan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.Baraka mempunyai Jurus ‘Gerak Kilat Dewa Kayangan’ dalam melarikan diri, yang mempunyai kecepatan melebihi bada
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian
RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal meniup Seruling itu!"Pendekar Kera Sakti punya kesimpulan, "Harus menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup serulingnya. Syukur bisa membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil pusaka itu!Itu berarti Baraka harus lakukan penyerangan mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka, hatinya pun membatin, "Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana perempuan itu sekarang?"Pendekar Kera Sakti dihadapkan pada beberapa persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal
Diamnya Baraka dimanfaatkan oleh Angin Betina untuk berkata lagi, "Aku suka padamu, dan berjanji akan melindungimu!""Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi hatimu di depanku?""Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka padaku lebih dulu!""Aneh!" Baraka tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih, "Jangan tertawa!""Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri!""Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk kehangatan. Baraka hanya tersenyum, matanya sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan itu pun berkata lirih lagi, "Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah! Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"Baraka kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak. Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat tinggal!"Zlaaap...! Weesss...!
"Apa bahaya itu?""Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."Baraka berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal, maksudmu?""Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai bersatu. Selama ini kedua biara itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling Malaikat.""Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal?"Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang."Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
Tak ada jawaban. Ilmu ‘Ilmu Menyadap Suara Angin’ digunakan. Ternyata memang tak ada suara siapa-siapa ditempat itu. Akhirnya Baraka duduk di salah satu tepi danau itu."Ke mana anak itu? Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di tempat lain. Tapi di mana kira-kira? Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani, kakaknya? Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."Sesaat kemudian di hati Pendekar Kera Sakti timbul kecemasan yang samar-samar. "Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi? Ah, mudah-mudahan tidak demikian. Biarlah kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah aku harus melumpuhkan mereka?"Pikiran Baraka sempat melayang-layang tak tentu arah. Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia masih merasa tak habis pikir, mengapa ked
Jaaab...!Tanah keras itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-rumputnya rontok dan mengering kecoklatan."Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari Baraka tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok ke belakang terpekik kaget."Hahhh...!"Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung Dewa tetap tenang memandangi Baraka yang tersenyum geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu."Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku," kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut."Tapi dapatkah kau tetap bertahan den
Baraka ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas dan lebih bersikap berani."Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa ada sikap memaksa!""Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar membutuhkannya!""Apa maksud kata-katanya?" pikir Baraka setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Baraka segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Baraka rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia jatuh terbanting."Uuhg...!"Bruuk...!"Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan kekuatan batinnya
"Sangat kebetulan sekali kita bertemu di sini, Baraka," kata si Jantung Dewa. "Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Kera Sakti yang sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua belakangan ini.""Apakah Eyang berdua memang bermaksud menemui saya?""Tidak utama!" sahut Mata Lima. Kata-kata selanjutnya diteruskan oleh si Jantung Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda pusaka itu.""Benda pusaka apa maksudnya?"Pendeta Mata Lima yang sebenarnya hanya punya dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa, "Sebagai pendekar yang sedang kondang namanya, tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami maksudkan. Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan kami. Kau punya pikiran dan angan-angan yang dipenuhi oleh pusaka itu.""Pedang maha sakti itu, maksudnya?""Nah, kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Anak Muda!"Tak ada gentar bagi Pendekar Kera Sakti menatap
"Tidak ada, Kang Pendekar! Ibu saya juga bilang belum lihat dia pulang.""Wah, ke mana anak itu, ya?" gumam Baraka."Coba biar saya yang cari, Kang. Kang Pendekar diam di sini dulu."Sabani sangat menghormati kedatangan Baraka, sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah teman-teman adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan tangan hampa dan napas terengah-engah pertanda habis lari."Tidak ada, Kang! Semua rumah temannya sudah saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana. Malah beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis membunuh Saladin! Saya jadi takut, Kang!""Tidak. Angon Luwak tidak sejahat itu. Apakah kau tidak bertemu Saladin?""Bertemu! Lalu saya tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh sama Angon Luwak"', dan Saladin bliang; 'tidak'. Lalu saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh pasti dia tidak bisa menjawab 'tidak'."Baraka tersenyum tipis, tertawa pendek dalam gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari