Pada saat delapan tangan si makhluk mengerikan mengepung Baraka dari berbagai penjuru, tanpa pikir panjang lagi murid Eyang Jaya Dwipa itu segera berkonsentrasi, seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. Hawa sakti dari Ilmu Angin es dan api warisan Eyang Jaya Dwipa ini akan dipusatkan pada kedua tangannya.
“Balasasra, heaaaa!”
Baraka memukulkan kedua gelang dikedua tangannya hingga menimbulkan suara yang cukup kuat.
“Bang...!”.
Gelombang tenaga dalam yang dahsyat memancar keluar dari kedua gelang tangan yang diadu oleh Baraka.
Wusss! Blarrr!
Kedahsyatan ilmu pukulan yang berasal dari kekuatan Gelang Brahmananda itu tak dapat diukur lagi. Apalagi, Baraka telah mendapat tambahan tenaga dalam dari Katak Wasiat Dewa yang baru saja ditelannya. Maka, di lain kejap terdengar suara ledakan amat keras.
Gelombang besar menyerbu. Bongkah-bongkah batu karang berpentalan. Lukisan-
MANAKALA guliran mentari hampir mencapai bentangan kaki langit barat, senja hari mempersiapkan diri untuk segera rebah memeluk bumi. Kelopak bunga mekar tersenyum dalam kesunyian. Kupu-kupu tak lagi bercanda menggoda. Hanya desau sang bayu yang masih setia menemani."Puncak Kupu-kupu kan kudatangi. Menuruti hasrat hati, ku langkahkan kaki ini. Namun..., bukan dewi pujaan hati yang kan kutemui. Hi hi hi... Hanya untuk seorang Putri Budukan aku berjalan mengusik sepi. Putri Budukan, di manakah kau sembunyikan diri. Dewa Geli telah datang di hari janji. Hihihi..."Lamat-lamat terdengar senandung sebuah lagu yang diiringi suara tawa mengikik. Senandung lagu yang tak karuan iramanya itu amat pelan. Namun anehnya, bisa menebar rata di seantero bukit. Bahkan, sampai terdengar di Puncak Kupu-kupu yang tinggi menjulang."Puncak Kupu-kupu kan kudatangi. Menuruti hasrat hati. Tuk menemui Putri Budukan pengundang janji. Tapi..., kenapa tatapan Dewa Geli hanya temui sepi. Hi
Dewa Geli tampak tertegun. Bola matanya semakin melotot besar. Tanpa sadar, mulutnya pun ikut terbuka lebar."Walau wujud lahir mu hanya seorang bocah sepuluh tahunan, aku tahu jiwamu seorang lelaki dewasa...," lanjut suara wanita sambil menggerak-gerakkan sepasang kakinya dengan lemah gemulai. "Oleh karena itu, segeralah kau mendekat kemari, Dewa Geli yang manis....""Ya! Ya...," sambut bocah yang memakai baju kedodoran. Sambil menelan ludah, bocah berambut tipis itu berjalan mendekat. Dengan tatapan matanya, dia menelusuri lekuk liku tubuh si wanita. Karena si wanita hanya mengenakan pakaian yang terbuat dari kain tipis, Dewa Geli jadi bebas mengarahkan pandangan. Hingga, tak bosan Dewa Geli berdiri berjongkok dengan kepala terjulur lurus ke depan mirip seekor bangau menunggu mangsa untuk segera dipatuk.Tapi... ketika tatapan Dewa Geli menerpa wajah si wanita, maka memekik kagetlah bocah lelaki itu. Bola matanya semakin melotot besar, namun raut wajahnya beru
"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak mengenal putaran waktu itu, darahmu mengandung satu kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari karena aku menginginkan cairan darahmu itu. Ha ha ha.... Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wajahku akan berubah cantik jelita! Ha ha ha...!""Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau katakan itu, Putri Budukan!""Siapa bilang? Hmmm.... Aku tak tahu siapa yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat mempercayainya! Maka, sekaranglah aku membuktikan...."Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit nyaring. Dari segenap penjuru, tib
"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sahut seorang pemuda bertampang polos."Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku disekap Mahisa Birawa di tempat ini?" tanya si gadis yang tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning"Ceritanya juga panjang, Kemuning...,"Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang menukik, bola mata si pemuda memperlihatkan sorot tajam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian, wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan. Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya panjang tergerai itu, siapa lagi dia kalau bukan Baraka atau Pendekar Kera Sakti!"Sebetulnya, Mahisa Birawa hendak menukar dirimu dengan Katak Wasiat Dewa yang telah berhasil kudapatkan...," lanjut Baraka. "Karena durjana itu amat licik dan culas, dia tak mau member
Sinar mata Pendekar Kera Sakti semakin menyiratkan rasa bingung dan khawatir. Walau dia telah mengerahkan sebagian besar kekuatan tenaga dalamnya, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' tetap tak mau keluar dari perutnya. Tentu saja Baraka tak mau menambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke puncak karena kalau hal itu dilakukan, justru perutnya lah yang akan jebol! Dan, hanya kematianlah akibatnya!"Ratu Perut Bumi! Ratu Perut Bumi!" seru Baraka, menyebut nama orang yang telah memberi petunjuk bagaimana cara mengeluarkan batu mustika yang berada di dalam perutnya.Seruan pemuda dari lembah kera itu tak ada yang menyahuti. Ratu Perut Bumi memang tak berada di Lembah Rongga Laut. Maka, semakin pucatlah wajah Baraka.Apakah petunjuk Ratu Perut Bumi salah?Sebenarnya, tanpa diketahui oleh Baraka, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah menyatu dengan Katak Wasiat Dewa yang lebih dulu ditelan oleh murid Eyang Jaya Dwipa itu. Penyatuan du
Dan tiga tarikan napas kemudian, apa yang dikhawatirkan Baraka benar-benar menjadi kenyataan. Makhluk-makhluk gundul bertangan dan berkaki pendek menerjang dari segala jurusan!Suara hiruk-pikuk terdengar memekakkan gendang telinga. Sambil menyerang, makhluk-makhluk berbentuk bulat seperti bola itu mengeluarkan suara geram aneh yang mirip lolongan serigala.Mereka berusaha membenturkan tubuh mereka yang nyaris hanya berupa kepala ke dada Baraka ataupun Kemuning. Jangan dikira benturan tubuh makhluk-makhluk itu tidak berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau pun akan meledak hancur bila terkena benturan tubuh mereka!Namun tampaknya, maksud mereka untuk membinasakan Baraka dan Kemuning menemui kesulitan. Kibasan Suling Krishna dan pedang kuning di tangan Kemuning benar-benar mampu membuat mereka mesti berpikir dua kali untuk terus bergerak mendekat.Crash...!"Akkhhh...!"Terdengar pekik kesakitan menyayat hati. Tubuh salah satu makhluk gundul
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar Kera Sakti seraya berjalan mendekati. Baraka meraup air berwarna merah. Mendadak, dia berjingkat. Kedua telapak tangannya terasa amat dingin seperti beku. Hingga, tanpa sadar Baraka menjerit kaget dan membuang air merah yang menggenang di telapak tangannya."Ada apa, Baraka?" tanya Kemuning penuh rasa ingin tahu."Air ini.... Air ini...," ujar Baraka, tak jelas apa maksudnya."Kenapa dengan air itu?" kejar Kemuning, semakin penasaran."Air ini dingin sekali...."Dewi Pedang Kuning mengerutkan kening. Hendak dicelupkannya jari-jari tangan kanannya ke sumber air merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba Baraka mencekal bahunya kuat-kuat, hingga dia memekik kaget."Ada apa, Baraka?" tanya Kemuning lagi, kali ini terdengar ketus dan penuh rasa kesal."Kita harus pergi!" seru Baraka."Sebentar..., aku mau melihat dulu, kenapa air ini bisa berwarna merah....""Hus!" tola
Kemuning tersenyum kecut melihat kekonyolan Baraka. Anehnya dia malah melangkah mendekati rumah batu."Hei! Kau hendak ke mana!" tanya Baraka."Menyelidiki rumah itu!" jelas Kemuning"Menyelidiki?""Ya! Kalau Tuhan memberikan nasib baik, siapa tahu kita bisa mendapatkan sesuatu di rumah itu""Sesuatu apa? Bukankah kita tidak boleh ceroboh?""Uh! Tolol benar kau, Baraka! Siapa yang ceroboh? Apa kau tidak dengar? Aku hendak menyelidiki, Tolol!""Ya! Ya, aku memang tolol..." sambut Baraka kebodoh-bodohan. Pertanda ia tak marah walau berkali-kali kena damprat.Akhirnya, Baraka dan Kemuning melangkah berdampingan. Setindak-dua tindak, mereka berjalan mendekati rumah batu yang baru mereka temukan. Rumah yang terbuat dari susunan bongkah-bongkah batu besar itu bagian atasnya ditumbuhi sulur-sulu bunga beraneka warna. Sementara, di bagian depannya terdapat kolam kecil namun sudah tak berair lagi.Ketika langkah Baraka dan Kemuni
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu