"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak mengenal putaran waktu itu, darahmu mengandung satu kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari karena aku menginginkan cairan darahmu itu. Ha ha ha.... Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wajahku akan berubah cantik jelita! Ha ha ha...!"
"Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau katakan itu, Putri Budukan!"
"Siapa bilang? Hmmm.... Aku tak tahu siapa yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat mempercayainya! Maka, sekaranglah aku membuktikan...."
Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit nyaring. Dari segenap penjuru, tib
"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sahut seorang pemuda bertampang polos."Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku disekap Mahisa Birawa di tempat ini?" tanya si gadis yang tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning"Ceritanya juga panjang, Kemuning...,"Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang menukik, bola mata si pemuda memperlihatkan sorot tajam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian, wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan. Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya panjang tergerai itu, siapa lagi dia kalau bukan Baraka atau Pendekar Kera Sakti!"Sebetulnya, Mahisa Birawa hendak menukar dirimu dengan Katak Wasiat Dewa yang telah berhasil kudapatkan...," lanjut Baraka. "Karena durjana itu amat licik dan culas, dia tak mau member
Sinar mata Pendekar Kera Sakti semakin menyiratkan rasa bingung dan khawatir. Walau dia telah mengerahkan sebagian besar kekuatan tenaga dalamnya, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' tetap tak mau keluar dari perutnya. Tentu saja Baraka tak mau menambah kekuatan tenaga dalamnya sampai ke puncak karena kalau hal itu dilakukan, justru perutnya lah yang akan jebol! Dan, hanya kematianlah akibatnya!"Ratu Perut Bumi! Ratu Perut Bumi!" seru Baraka, menyebut nama orang yang telah memberi petunjuk bagaimana cara mengeluarkan batu mustika yang berada di dalam perutnya.Seruan pemuda dari lembah kera itu tak ada yang menyahuti. Ratu Perut Bumi memang tak berada di Lembah Rongga Laut. Maka, semakin pucatlah wajah Baraka.Apakah petunjuk Ratu Perut Bumi salah?Sebenarnya, tanpa diketahui oleh Baraka, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah menyatu dengan Katak Wasiat Dewa yang lebih dulu ditelan oleh murid Eyang Jaya Dwipa itu. Penyatuan du
Dan tiga tarikan napas kemudian, apa yang dikhawatirkan Baraka benar-benar menjadi kenyataan. Makhluk-makhluk gundul bertangan dan berkaki pendek menerjang dari segala jurusan!Suara hiruk-pikuk terdengar memekakkan gendang telinga. Sambil menyerang, makhluk-makhluk berbentuk bulat seperti bola itu mengeluarkan suara geram aneh yang mirip lolongan serigala.Mereka berusaha membenturkan tubuh mereka yang nyaris hanya berupa kepala ke dada Baraka ataupun Kemuning. Jangan dikira benturan tubuh makhluk-makhluk itu tidak berbahaya. Sebongkah batu sebesar kerbau pun akan meledak hancur bila terkena benturan tubuh mereka!Namun tampaknya, maksud mereka untuk membinasakan Baraka dan Kemuning menemui kesulitan. Kibasan Suling Krishna dan pedang kuning di tangan Kemuning benar-benar mampu membuat mereka mesti berpikir dua kali untuk terus bergerak mendekat.Crash...!"Akkhhh...!"Terdengar pekik kesakitan menyayat hati. Tubuh salah satu makhluk gundul
"Aneh sekali.... Aneh sekali...," desis Pendekar Kera Sakti seraya berjalan mendekati. Baraka meraup air berwarna merah. Mendadak, dia berjingkat. Kedua telapak tangannya terasa amat dingin seperti beku. Hingga, tanpa sadar Baraka menjerit kaget dan membuang air merah yang menggenang di telapak tangannya."Ada apa, Baraka?" tanya Kemuning penuh rasa ingin tahu."Air ini.... Air ini...," ujar Baraka, tak jelas apa maksudnya."Kenapa dengan air itu?" kejar Kemuning, semakin penasaran."Air ini dingin sekali...."Dewi Pedang Kuning mengerutkan kening. Hendak dicelupkannya jari-jari tangan kanannya ke sumber air merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba Baraka mencekal bahunya kuat-kuat, hingga dia memekik kaget."Ada apa, Baraka?" tanya Kemuning lagi, kali ini terdengar ketus dan penuh rasa kesal."Kita harus pergi!" seru Baraka."Sebentar..., aku mau melihat dulu, kenapa air ini bisa berwarna merah....""Hus!" tola
Kemuning tersenyum kecut melihat kekonyolan Baraka. Anehnya dia malah melangkah mendekati rumah batu."Hei! Kau hendak ke mana!" tanya Baraka."Menyelidiki rumah itu!" jelas Kemuning"Menyelidiki?""Ya! Kalau Tuhan memberikan nasib baik, siapa tahu kita bisa mendapatkan sesuatu di rumah itu""Sesuatu apa? Bukankah kita tidak boleh ceroboh?""Uh! Tolol benar kau, Baraka! Siapa yang ceroboh? Apa kau tidak dengar? Aku hendak menyelidiki, Tolol!""Ya! Ya, aku memang tolol..." sambut Baraka kebodoh-bodohan. Pertanda ia tak marah walau berkali-kali kena damprat.Akhirnya, Baraka dan Kemuning melangkah berdampingan. Setindak-dua tindak, mereka berjalan mendekati rumah batu yang baru mereka temukan. Rumah yang terbuat dari susunan bongkah-bongkah batu besar itu bagian atasnya ditumbuhi sulur-sulu bunga beraneka warna. Sementara, di bagian depannya terdapat kolam kecil namun sudah tak berair lagi.Ketika langkah Baraka dan Kemuni
Tak mau melihat Puncak Kupu-kupu yang menjadi tempat tinggalnya meledak hancur karena pukulan dahsyat tiga puluh manusia raksasa, Putri Budukan meloncat cepat. Dia turut maju menyerang Dewa Geli. Di tangannya telah tercekal sebuah bola bergerigi.Sambil mengirim tendangan ke kepala, Putri Budukan menghantamkan bola bergerigi yang dibawanya ke dada Dewa Geli. Namun, serangan wanita buruk rupa itu hanya mengenai angin kosong. Tubuh Dewa Geli dapat berkelebat amat cepat. Gerakan si bocah licin bagai belut, dapat berpindah tempat dengan cepat bagai siluman."Hi hi hi.... Keluarkan semua kepandaianmu, Putri Budukan...," ejek Dewa Geli. "Setelah lelaki-lelaki piaraan mu itu kubuat lebam-lebam wajahnya, ganti tubuhmu yang akan kubuat lebam-lebam! Hi hi hi...!"Cepat sekali tubuh Dewa Geli bergerak. Terdengar suara tamparan mengenai sasaran lima kali. Disusul suara pekik parau kesakitan. Tubuh lima manusia raksasa terasa pusing karena kena tempeleng. Tubuh mereka lalu j
Dewa Geli terus berjalan menuruni Puncak Kupu-kupu. Sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang seperti ada sesuatu yang dikhawatirkannya. Saat mencapai pertengahan bukit, Dewa Geli menghentikan langkah. Sekujur tubuhnya amat lemah dan tak bertenaga. Wajahnya pun terlihat memucat karena dia merasa seluruh tenaganya telah hilang entah ke mana.Perlahan-lahan sepasang kaki Dewa Geli menekuk. Lalu, dia jatuh terduduk. Kain baju yang dikenakannya basah kuyup oleh cairan keringat yang terus keluar, padahal hawa udara cukup dingin menusuk.Bocah yang pernah tinggal di kerajaan siluman itu masih mencoba untuk tertawa. Tapi, tawanya kali ini terdengar sengau dan sama sekali tak menyiratkan kegembiraan. Apa yang terjadi?"Apa yang ku khawatirkan telah terjadi kini. Pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' telah membuatku lumpuh...," gumam Dewa Geli dengan tatapan kosong."Untung saja aku dapat mengelabuhi perempuan jahat itu. Dia tidak tahu kalau ilmu pukulannya mampu menembu
DI BAWAH siraman cahaya rembulan, tubuh Dewa Geli terbaring telentang di atas bongkah batu persegi. Tubuh bocah berpakaian kedodoran itu lemah lunglai tiada daya. Seluruh kekuatannya telah lenyap tersedot oleh pengaruh pukulan 'Sihir Penjerat Arwah' Putri Budukan. Sementara, batu persegi tempat terbaringnya tubuh si bocah tampak rata dan licin. Karena tiupan angin malam yang membawa lapisan kabut, hawa dingin batu itu terasa menusuk tulang dan amat menyiksa. Namun, Dewa Geli tak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali pasrah pada keadaan.Tiga puluh lelaki kerdil menari berputar-putar mengelilingi tubuh Dewa Geli. Sambil menari, mereka menyanyi pula dengan diiringi tabuhan tambur dan genderang. Lelaki-lelaki kerdil yang cuma mengenakan cawat itu tampak begitu larut dalam kegembiraan. Sepertinya, mereka tengah mengadakan pesta yang amat meriah.Sekitar dua tombak dari batu persegi tempat terbaringnya Dewa Geli, Putri Budukan berdiri tegak mengenakan jubah hitam. Tatapan mat