Pada waktu itu Mahendra Soca sedang bangkit, dan tiba-tiba ia harus menerima serangan kaki Ragajampi yang melayang terbang itu.
Buhgg...! Gusrakkk..!
Mahendra Soca terpental lagi, jauh ke dalam semak-semak ilalang. Ia memekik tertahan dan segera dikejar oleh Ragajampi. Tetapi tiba-tiba tangan Yayi menyentak, kirimkan pukulan jarak jauhnya lewat telapak tangan, dan langsung mengenai punggung Ragajampi.
Beggh..!
Brusss..! Ragajampi jatuh. Temannya yang berpakaian hijau turun dari kuda mau mencabut goloknya, tapi sudah didului Yayi mencabut pedangnya yang langsung ditodongkan di depan leher orang itu.
"Jangan ikut campur, Sulaya..!" geram Yayi.
"Ehmmm... anu... saya cuma mau jaga-jaga saja," jawab Sulaya dengan perasaan takut dan bimbang.
"Tinggalkan dia, Ragajampi!" sentak Yayi mengancam. Ragajampi memandang ke arah Yayi dan menjadi sedikit cemas melihat pedang Yayi sudah berada di depan Sulaya.
"Siapa pemuda itu, Yayi?"
"
"Kejar dan hadapi dia. Nyai Gayung Demit lari ke timur!" kata Yayi."Bagaimana dengan dirimu sendiri?""Aku akan mencari Abiyasa dan menyeretnya pulang. Anak itu juga harus kuberi pelajaran sendiri atas kenakalannya yang pergi tanpa pamit kepadaku!" jawabi Yayi.Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Ragajampi terpaksa harus membiarkan kehendak putri adipati itu. Meski ia memendam cemburu terhadap Mahendra Soca, tapi ia tak bisa melampiaskan tanpa ada alasan kuat. Maka ia pun segera pergi ke timur bersama Sulaya, anak buahnya, untuk mengejar Nyai Gayung Demit.Setelah Ragajampi dan Sulaya menghilang dari pandangan mata, Mahendra Soca pun segera berkata! "Galak sekali orang itu!""Dia cemburu melihatku bersamamu, Mahendra!”"Apakah dia cinta padamu, Yayi?""Mungkin. Tapi aku muak padanya dan tak pernah tunjukkan sikap manis di depannya!"Mahendra Soca melangkah mengambil blandongnya, setelah itu baru berkata lagi
Daftar nama peserta yang akan menjadi penantang si Wajah Hitam sudah tertera di sebuah papan, di depan pintu masuk gedung itu. Mahendra Soca ada di sana, karena dia memang sering melihat pertarungan para peserta. Saat itu, Mahendra Soca sedang pandangi papan pengumuman nama-nama peserta, dan di dalam nama-nama itu terdapat nama Gumarang dan Abiyasa,"Kalau begitu apa yang dikatakan Yayi itu memang benar adanya," pikir Mahendra Soca dengan mulut terkatup. Kemudian ia segera bergegas menuju ke jalanan yang menanjak, tak seberapa jauh dari Rumah Busuk itu. Karena ia melihat kuda putih sedang dipacu menuju ke tempatnya berdiri. Dan kuda putih itu ditunggangi oleh seorang gadis cantik yang tak lain adalah Yayi.Mahendra Soca menyambut kedatangan gadis itu dan ingin memberitahukan bahwa nama Abiyasa memang ada di deretan nama-nama peserta."Hei, ternyata kau lebih dulu sampai di sini, Mahendra?""Ya. Karena aku tahu jalan pintas menuju tempat ini! O, ya... aku
Prok prok prok prok..!Penonton dan para tamu terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak. Pengawal itu berkata, "Kurasa kau percuma menghadap Brahmana Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona. Lihatlah!"Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak-nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa.Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian cindera mata dari seorang pendekar berasal dari Selat Gangga."Abi.. l Abiyasa..! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang seolah-olah menjagokan Abiyasa.Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat d
"Horeee..! Horeee..! Horeee..!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah Hitam yang kepalanya terselubung kain hitam, bertelanjang dada, mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang merah. Badannya besar dengan dada lebar dan kekar.Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri tegang memandangi pertarungan dengan pedang telah tergenggam di tangannya dalam keadaan belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana memperhatikan tiap pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Yayi. Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera melanjutkan ucapannya, "Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu... maaa... raaang...!""Huuu..!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cu
Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula.Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan menjadikan tubuh itu mengkilap. Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka.Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah Hitam diam mematung di tengah arena dengan pedang lurus ke atas di depan dada. Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat.Wuttt..!Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis pedang Abiyasa dengan kepala melengkung sedikit ke belakang.Trangng..!Pedang Abiyasa terta
Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura berkata, "Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam, dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan. Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"Wuttt.. !Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan, kaki kirinya maju menghentak.Jlegg..!"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang',
Setelah hening tercipta beberapa kejap, terdengarlah suara Yayi yang bernada penuh sesal dan duka mengenang kematian adiknya, "Maafkan aku ketika itu, Mahendra. Aku meninggalkan kamu sampai sekian lama, dan ketika aku kembali ke kudaku, kau sudah tiada!""Ya, aku memang sedikit jengkel waktu itu, Yayi. Tapi sekarang sudah kulupakan. Toh aku pun waktu itu telah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mau mengurus kudamu lagi! Kalau kuda itu hilang dicuri orang, itu karena kesalahanmu yang tak mau menghiraukan aku lagi dan menelantarkan aku di bawah pohon sana! Tapi, sudahlah.. kuanggap hal itu tak pernah terjadi, Yayi!""Aku panik pada saat itu! Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kematian Abiyasa di tengah arena!""Oh, jadi...?""Benar, Mahendra. Abiyasa mati dibabat pedang Wajah Hitam!"Mahendra Soca diam dengan wajah murung. Bahkan ia tampak gelisah dan tak berani menatap Yayi. Sikapnya yang menunduk membuat Yayi mengerti bahwa Mahendra Soca ikut
PERTEMUAN itu membuat Pendekar Kera Sakti dan Mahendra Soca menjadi akrab. Mahendra Soca menceritakan tentang pertemuannya dengan Yayi. Pada waktu itu, Baraka diajak ke gubuk persinggahan Mahendra Soca. Gubuk itu penuh dengan potongan-potongan kayu. Tak ada barang lain kecuali potongan kayu ukuran sehasta untuk digunakan sebagai kayu bakar pemasak nasi. Ada sebuah balai-balai juga terbuat dari potongan-potongan dahan. Di sana mereka duduk, di sana pula biasanya Mahendra Soca tidur atau beristirahat."Sudah lama kau tinggal di tempat terpencil ini, Mahendra?""Yah, cukup lama!" jawab Mahendra Soca. "Di sini tempatnya tenang.""Memang. Tapi apakah kau tak merasa sepi dan bosan hidup dengan tumpukan kayu ini?""Aku menyukai tempat sepi," jawab Mahendra Soca sambil membenahi kayu yang tadi tersenggol tubuhnya dan jadi berantakan dari tumpukannya.Baraka hanya pandangi keadaan sekeliling. Gubuk itu ada di tengah hutan, namun bukan hutan ganas dan buas.
"Kuhitung sampai tiga kali kalau kau tak serahkan cambuk itu, kau akan kukirim ke neraka secepatnya!" gertak si baju hijau."Berhitunglah sampai seribu kali, aku tetap tak akan serahkan cambuk itu, karena aku memang tidak tahu menahu tentang cambuk tersebut!" kata Baraka."Bangsat! Heaah...!" si baju biru menyerang dengan jurus tangan kosong yang melepaskan selarik sinar merah lurus ke dada Baraka.Pendekar Kera Sakti tak menyangka orang itu yang akan menyerangnya, ia segera melompat ke atas, suutt...!Menghindari sinar merah itu. Tetapi ujung suling mustikanya terkena sinar merah yang segera membalik arah, membias ke samping dan sinar itu bergerak lebih cepat serta lebih besar, menghantam dada si baju hijau dengan telaknya.Blaarr...! Asap hitam mengepul tebal. Membungkus orang berkumis tebal yang tidak menduga akan terkena serangan balik dari sinar merah milik temannya. Di dalam asap tebal itu terdengar suara mirip pohon rubuh.Bruugk...!
Wuuuttt...! Seettt...! Tab!Sebuah pisau bergagang hias bulu merah ditangkap oleh gerakan cepat tangan Baraka. Pisau terbang itu terselip di sela jari Baraka dan dijepitnya kuat-kuat. Mata Pendekar Kera Sakti segera menatap semak-semak yang dicurigainya. Maka, dengan gerakan cepat Baraka melemparkan pisau itu ke arah semak-semak sambil merendahkan badan.Wuuuttt...! Zlaappp...!Gusrak...!"Aauh...!" suara orang terpekik terdengar jelas dari semak-semak itu. Kejap berikutnya muncullah seraut wajah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan seringai kesakitan, ia melangkah dengan sempoyongan. Rupanya betis orang itu terkena lemparan pisau dari Pendekar Kera Sakti tadi. Orang berpakaian biru tua itu memaki dalam gerutuan. Matanya memandang tajam penuh kemarahan, ia berusaha mencabut pisau terbang yang dikembalikan Baraka dengan seringai sakit yang membuat wajahnya bagaikan terkumpul di tengah hidung.Sleeb...! Pisau berhasil dicabut. Ketika ingin
Sedangkan lelaki yang jatuh dari atas pohon itu berkata dalam hati, "Berapa ketinggian tempatku jatuh ini? Mengapa tulang punggungku jadi seperti patah begini? Ternyata sangat tak enak jatuh dalam keadaan telentang. Lain kali aku harus punya cara jatuh yang nyaman!"Baraka menghampiri lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berpakaian serba hitam tapi mengenakan ikat kepala merah itu. Busur panahnya patah karena tertindih badannya. Sisa anak panah di punggung menjadi berantakan, dua batang anak panah ada yang patah juga. Pendekar Kera Sakti segera mencengkeram baju orang itu dan menariknya ke atas, sehingga orang itu menjadi berdiri dengan sangat terpaksa."Kembalikan pakaian gadis itu, atau kutenggelamkan kau ke dasar telaga!" ancam Baraka dengan tegas."Ak... aku... aku tidak mencuri pakaiannya!" kata orang tersebut. "Lalu mengapa kau mau membunuh gadis itu dengan panahmu?""Ak... aku... aku hanya disuruh!""Siapa yang menyuruhmu!"
"Kalau kau membentak-bentakku, sebaiknya aku pergi saja dan silakan cari pakaianmu sendiri!" Baraka berpura-pura ingin pergi."Tunggu!" teriak gadis itu. "Baiklah, aku tidak membentakmu lagi," suaranya mereda. "Tolonglah, carikan pakaianku, nanti kuberi upah.""Apa upahnya?""Akan kuajarkan padamu sebuah jurus yang jarang dimiliki orang."Senyum Pendekar Kera Sakti melebar. "Jurus apa itu?""Jurus pukulan 'Malaikat Rela'," jawab gadis itu dengan suaranya yang selalu keras dan bening.Baraka sempat tertawa dalam gumam. "Lucu sekali nama jurus itu.""Jangan menertawakan. Kalau kau tahu kehebatan jurus itu kau akan terbengong-bengong!""Apa kehebatannya?""Pukulan 'Malaikat Rela' dapat merobohkan delapan pohon dalam satu kali hentakan. Jika dilepaskan kepada lawanmu, dia akan tumbang setelah bernapas tiga kali. Percayalah, jurus itu tak ada yang memiliki kecuali diriku. Maka carilah pakaianku dan kau akan kuajarkan jurus te
"Ahg...!" Dampu Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama sekali dia tak bergerak. Kelana Cinta dan Raja Hantu Malam sempat merasa heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi. Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala' milik Pendekar Kera Sakti, pemberian dari Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.Dengan terbunuhnya tubuh Dampu Sabang, maka persoalan Raja Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu Papak segera ditolong olah Baraka menggunakan hawa ‘Kristal Bening’-nya, dan Baraka meminta maaf kepada tokoh tua yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh 'Racun Siluman' yang ju
Praaak...! Terdengar seperti suara cermin pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Raja Hantu Malam.Zruub! Tepat mengenai iga kanan Raja Hantu Malam."Aaahhhg...!" Raja Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.Baraka terbelalak melihat keadaan Raja Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak kegirangan. Baraka dalam kebimbangan. Mau menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan begitu keji.Dalam keadaan bimbang itu, tiba-tiba Baraka dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah belakangnya. Baraka ce
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Baraka yang tahu-tahu menghadang langkahnya.Jleeg...!"Mau lari ke mana kau, Raja Hantu Malam!" tegur Baraka tak ramah lagi."Baraka, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!""Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Raja Hantu Malam!""Jangan paksa aku melukaimu, Baraka!""Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!""Itu bukan tanggung jawabku, Baraka! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!""Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!""Tidak bisa! Aku sudah punya janji unt
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Baraka sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu."Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Kera Sakti? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur.""Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan.""Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"Baraka menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya.""Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.Tiba-tib
Blaaar...!Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Selaksa Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju."Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Baraka pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Selaksa Nyawa. Sedangkan Baraka segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi."Oh, kau...!" Baraka terkejut bukan kepalang.Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Raja Hantu Malam, alias Ki Randu Papak."Kau terlambat sedikit, Baraka! Sinar hijau itu harus dib