"Tapi, Ratu..,."
Baraka hendak menyahuti ucapan Ratu Perut Bumi, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Telinga murid Eyang Jaya Dwipa itu menangkap suara berkelebatnya orang yang sedang menuju ke tempatnya berada.
"Kau dengar suara itu, Ratu?" ujar Baraka.
"Ya. Dia pasti orang yang menyuruhku datang ke tempat ini," sahut Ratu Perut Bumi.
Pendekar Kera Sakti dan Ratu Perut Bumi sama-sama mengarahkan pandangan ke utara. Dua tarikan napas kemudian, tampak sosok bayangan putih yang berkelebat meloncati bongkah-bongkah batu besar dan pepohonan. Ringan sekali bayangan itu melesat, bagai seekor burung walet yang sedang terbang melayang.
"Ksatria Topeng Putih...," desis Baraka setelah sosok bayangan putih berada di hadapannya. Sementara Baraka bangkit berdiri, sosok orang yang baru muncul yang memang Ksatria Topeng Putih mengeluarkan sebuah kantong putih dari balik bajunya. Dari dalam kantong itu, dia mengambil sebuah gumpalan sinar putih yang di dalamny
SEPENINGGAL Ksatria Topeng Putih, Pendekar Kera Sakti berdiri termangu. Melihat kebaikan Ksatria Topeng Putih. Namun sebelum pemuda dari lembah kera itu semakin hanyut terbawa arus rasa sedih, dia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan-bayangan yang tak mengenakkan hatinya. Dia pun ingat akan satu pengertian bahwa rasa sedih tak pernah bisa mendatangkan manfaat apa-apa. Rasa sedih justru akan menjauhkan manusia dari kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan adalah tujuan manusia hidup di dunia. Begitulah pengertian yang selalu melekat di benak Baraka. Pengertian itu didapat Baraka semasa masih tinggal bersama ibunya. Tapi, tanpa disadari oleh Baraka, dengan mengingat pengertian itu, sosok ibunya yang telah meninggal berkelebatan di benaknya."Ibu...," desis Baraka sambil mendongakkan kepala, seakan dapat melihat bayangan ibunya di langit biru. "Semoga kau berbahagia menjalani tahap kehidupanmu yang ketiga...""Hei! Hei!" tegur Ratu Perut Bumi yang melihat Pend
"Kau tak perlu bertanya-tanya lagi. Kau akan tahu sendiri. Batu mustika di tanganmu itu akan membawamu ke Lembah Rongga Laut. Setelah berhasil menyelamatkan Kemuning, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' keluarkan dari dalam perutmu dengan menempelkan telapak tangan di pusar. Kerahkan tenaga dalam yang bersifat menghisap.... Untuk pergi dari Lembah Rongga Laut, batu mustika itu cukup kau cium. Tapi sebelumnya, suruh Kemuning memegang salah satu bagian tubuhmu. Misalnya, lengan atau apa....""Sebentar, Ratu...," sela Baraka. "Kau katakan tadi, batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' harus ku keluarkan dari dalam perut, apakah batu mustika ini bisa masuk sendiri ke perutku?""Begitulah," jawab Ratu Perut Bumi, singkat.Baraka nyengir kuda. Rasa heran menggeluti benaknya. “Bagaimana mungkin sekepal batu yang tak bernyawa bisa masuk ke perut? Apakah harus ku telan dulu?”"Aku tahu pertanyaan yang ada di benakmu, Baraka," tebak R
Baraka menggerakkan tangan dan kakinya untuk berenang. Tubuhnya melesat cukup cepat, meninggalkan suara berdebur di belakang. Diedarkannya pandangan ke berbagai penjuru. Saat melihat sebuah lubang besar di antara gundukan batu karang, matanya sedikit berbinar."Mungkin Kemuning disekap Iblis Seribu Wajah di gua itu...," pikir Baraka. "Aku harus segera ke sana."Tak sabaran Baraka menggerakkan tangan dan kakinya agar segera sampai di gua yang dituju. Tapi setelah berada di depan mulut gua itu, dia malah menghentikan gerak tubuhnya. Keraguan menyeruak masuk di benaknya. ‘Bagaimana mungkin Kemuning disekap di sebuah gua dalam laut? Apakah dia juga bisa bernapas dalam air? Tak mungkin Kemuning berada di dalam gua itu...,; pikir Baraka lagi. "Lewat cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang dibawa Iblis Seribu Wajah, aku melihat Kemuning berada di sebuah rawa-rawa. Gadis itu tidak berada di dalam air...."Menuruti pikirannya di benaknya, Baraka mengedarkan panda
Pada saat delapan tangan si makhluk mengerikan mengepung Baraka dari berbagai penjuru, tanpa pikir panjang lagi murid Eyang Jaya Dwipa itu segera berkonsentrasi, seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. Hawa sakti dari Ilmu Angin es dan api warisan Eyang Jaya Dwipa ini akan dipusatkan pada kedua tangannya.“Balasasra, heaaaa!”Baraka memukulkan kedua gelang dikedua tangannya hingga menimbulkan suara yang cukup kuat.“Bang...!”.Gelombang tenaga dalam yang dahsyat memancar keluar dari kedua gelang tangan yang diadu oleh Baraka.Wusss! Blarrr!Kedahsyatan ilmu pukulan yang berasal dari kekuatan Gelang Brahmananda itu tak dapat diukur lagi. Apalagi, Baraka telah mendapat tambahan tenaga dalam dari Katak Wasiat Dewa yang baru saja ditelannya. Maka, di lain kejap terdengar suara ledakan amat keras.Gelombang besar menyerbu. Bongkah-bongkah batu karang berpentalan. Lukisan-
MANAKALA guliran mentari hampir mencapai bentangan kaki langit barat, senja hari mempersiapkan diri untuk segera rebah memeluk bumi. Kelopak bunga mekar tersenyum dalam kesunyian. Kupu-kupu tak lagi bercanda menggoda. Hanya desau sang bayu yang masih setia menemani."Puncak Kupu-kupu kan kudatangi. Menuruti hasrat hati, ku langkahkan kaki ini. Namun..., bukan dewi pujaan hati yang kan kutemui. Hi hi hi... Hanya untuk seorang Putri Budukan aku berjalan mengusik sepi. Putri Budukan, di manakah kau sembunyikan diri. Dewa Geli telah datang di hari janji. Hihihi..."Lamat-lamat terdengar senandung sebuah lagu yang diiringi suara tawa mengikik. Senandung lagu yang tak karuan iramanya itu amat pelan. Namun anehnya, bisa menebar rata di seantero bukit. Bahkan, sampai terdengar di Puncak Kupu-kupu yang tinggi menjulang."Puncak Kupu-kupu kan kudatangi. Menuruti hasrat hati. Tuk menemui Putri Budukan pengundang janji. Tapi..., kenapa tatapan Dewa Geli hanya temui sepi. Hi
Dewa Geli tampak tertegun. Bola matanya semakin melotot besar. Tanpa sadar, mulutnya pun ikut terbuka lebar."Walau wujud lahir mu hanya seorang bocah sepuluh tahunan, aku tahu jiwamu seorang lelaki dewasa...," lanjut suara wanita sambil menggerak-gerakkan sepasang kakinya dengan lemah gemulai. "Oleh karena itu, segeralah kau mendekat kemari, Dewa Geli yang manis....""Ya! Ya...," sambut bocah yang memakai baju kedodoran. Sambil menelan ludah, bocah berambut tipis itu berjalan mendekat. Dengan tatapan matanya, dia menelusuri lekuk liku tubuh si wanita. Karena si wanita hanya mengenakan pakaian yang terbuat dari kain tipis, Dewa Geli jadi bebas mengarahkan pandangan. Hingga, tak bosan Dewa Geli berdiri berjongkok dengan kepala terjulur lurus ke depan mirip seekor bangau menunggu mangsa untuk segera dipatuk.Tapi... ketika tatapan Dewa Geli menerpa wajah si wanita, maka memekik kagetlah bocah lelaki itu. Bola matanya semakin melotot besar, namun raut wajahnya beru
"Aku tahu, selama sembilan puluh tahun, kau tinggal di Istana Abadi di negeri para siluman. Karena puluhan tahun tinggal di suatu tempat yang tak mengenal putaran waktu itu, darahmu mengandung satu kekuatan gaib yang luar biasa ampuh...," ujar Putri Budukan kemudian. "Siapa pun yang meminum cairan darahmu juga mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Ketahuilah kau, Bocah Gemblung, aku sengaja mengundangmu kemari karena aku menginginkan cairan darahmu itu. Ha ha ha.... Aku akan segera mendapat kekuatan maha hebat! Wajahku akan berubah cantik jelita! Ha ha ha...!""Ngaco belo!" dengus Dewa Geli. "Siapa bilang cairan darahku mempunyai khasiat seperti yang kau katakan itu, Putri Budukan!""Siapa bilang? Hmmm.... Aku tak tahu siapa yang menyiarkan kabar itu pertama kali. Tapi, aku percaya akan kebenarannya. Bahkan sangat mempercayainya! Maka, sekaranglah aku membuktikan...."Di ujung kalimatnya, Putri Budukan bersuit nyaring. Dari segenap penjuru, tib
"Ya. Ya, aku tahu kelicikan durjana itu...,," sahut seorang pemuda bertampang polos."Lalu, bagaimana kau bisa tahu kalau aku disekap Mahisa Birawa di tempat ini?" tanya si gadis yang tak lain dari Kemuning atau Dewi Pedang Kuning"Ceritanya juga panjang, Kemuning...,"Pemuda yang duduk di hadapan Kemuning itu berparas tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya pun tampak tegap berisi. Dengan sepasang alis yang salah satu ujungnya melintang ke atas bak sayap elang menukik, bola mata si pemuda memperlihatkan sorot tajam menusuk, menandakan ketinggian ilmunya yang sudah cukup sulit untuk diukur. Namun demikian, wajah tampan si pemuda menyiratkan sinar keluguan. Menilik ciri-ciri pemuda yang rambutnya panjang tergerai itu, siapa lagi dia kalau bukan Baraka atau Pendekar Kera Sakti!"Sebetulnya, Mahisa Birawa hendak menukar dirimu dengan Katak Wasiat Dewa yang telah berhasil kudapatkan...," lanjut Baraka. "Karena durjana itu amat licik dan culas, dia tak mau member
Rupanya Ki Randu Papak berlari menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi gerakannya mampu dipatahkan oleh Baraka yang tahu-tahu menghadang langkahnya.Jleeg...!"Mau lari ke mana kau, Raja Hantu Malam!" tegur Baraka tak ramah lagi."Baraka, minggirlah dulu. Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!""Tak kubiarkan kau lari tinggalkan tanggung jawabmu. Raja Hantu Malam!""Jangan paksa aku melukaimu, Baraka!""Tidak. Aku hanya ingin paksa dirimu mengobati Ratu Asmaradani yang terkena 'Racun Siluman' itu!""Itu bukan tanggung jawabku, Baraka! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!""Sekarang juga kau harus lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!""Tidak bisa! Aku sudah punya janji unt
Perubahan wajah yang ada pada Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak percaya. Baraka sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek itu."Apa maksudmu dengan mengatakan aku menipumu, Pendekar Kera Sakti? Kata-katamu menyimpang dari watak kependekaranmu yang harus bicara jujur.""Aku bicara yang sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang diutus ke pesisir selatan.""Sepertinya kau bicara mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"Baraka menggeleng berkesan dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai sekarang belum mengetahuinya.""Kalau begitu aku harus ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung Gading!" tegas Ki Randu Papak.Tiba-tib
Blaaar...!Sinar hijau itu pecah menjadi lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Selaksa Nyawa terpelanting dalam keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah. Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju."Keparat!" gumamnya lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Baraka pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat mengejar Siluman Selaksa Nyawa. Sedangkan Baraka segera berpaling ke belakang untuk melihat siapa orang yang telah selamatkan jiwanya dari serangan lima larik sinar hijau tadi."Oh, kau...!" Baraka terkejut bukan kepalang.Ternyata orang yang melepaskan sinar merah berbentuk lingkaran tadi adalah Raja Hantu Malam, alias Ki Randu Papak."Kau terlambat sedikit, Baraka! Sinar hijau itu harus dib
Bukit itu tidak terlalu tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh secara berkelompokkelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar itulah Baraka bersembunyi mengintai sebuah pertarungan. Ternyata pertarungan itu adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Baraka. Bukan pertarungan Raja Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak El Maut yang ujungnya mirip sabit.Orang itu adalah tokoh sesat yang diburu-buru oleh Pendekar Kera Sakti selama ini. Dia tak lain adalah Siluman Selaksa Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin.Tentu saja Pendekar Kera Sakti terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Baraka tidak tahu secara pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah bebe
"Jadi... selama ini kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang akan diculiknya?""Ya. Karena itu syarat untuk menjadi muridnya.""Kau salah, Sundari. Kau tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu.""Tapi aku ingin memiliki ilmu seperti yang dimilikinya!""Ada jalan lain, tanpa harus membantunya melakukan kejahatan."Sundari kian menangis di sela malam bercahaya rembulan. Baraka mencoba memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya, "Lalu mengapa kau tadi mau dibunuhnya?""Sejak kemarin ia mencarimu, tapi aku tak mau kasih tahu di mana dirimu! Aku takut kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu-ilmu sakti seperti yang dimilikinya sekarang ini. Tapi menuru
"Dia ke puncak! Carilah di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Baraka bersembunyi di atas pohon."Tidak mungkin, Sundari! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak sana, bukan!""Ttt... tidak!""Kau bohong! Aku jadi muak padamu!"Sreeet...!Orang berkerudung hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Baraka segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan.Taaas...!Tenaga dalam yang dilepaskan lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam.Dees...!Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap berdiri lagi.Wuuut...! Jleeg...!Baraka turun dari atas pohon langsung berhadapan d
Dengan gemuruh kemarahan mulai membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Kera Sakti segera jejakkan kaki ke tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa mencapai pondok Raja Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun tiba."Tapi tunggu dulu," katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya, apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"Sampai puncak gunung suasana telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Baraka berusaha tetap di balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Raja Hantu Malam. Berulang kali ia garuk-garuk kepala untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih.Untung saja Baraka memiliki Ilmu Angin Es Dan Api ditubuhnya. Seandainya tidak, maka tubuhnya akan berubah menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat tinggi itu. Ilmu Angin Es Dan Api yan
Sukat menimpali kata, "Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang telah datang dan mengamuk ganas di sini.""Mana temanmu yang terluka parah itu? Aku ingin menanyainya.""Tidak bisa," jawab Sukat dengan sedih."Hanya menanyakan sesuatu saja.""Tetap tidak bisa.""Kenapa?""Karena dia sudah pergi, nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya."Apakah dia tahu siapa orang yang membantai teman-temanmu ini?"Dul yang menjawab, "Menurut keterangannya, orang itu berjuluk Raja Hantu Malam. Datangnya pada malam hari."Seketika itu alis mata Baraka beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan segera napas pun ditarik dan dih
"Siapa namamu, Sobat?" tanya Baraka mengakrabkan diri."Dul," jawabnya singkat tanpa berani memandang."Dul siapa?""Dul ya Dul," jawabnya makin merasa terpojok, ia berhenti menebangi anak bambu dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Baraka, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas.Dalam hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak sebanding dengan ilmunya sendiri. Mulanya Dul melangkah pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Baraka masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat sesantai mungkin.Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan ingin memberitahukan kehadiran Baraka kepada seorang teman.Zlaaap...!Baraka pun cepat tinggalkan tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam wa