"Apa itu...!" gumamnya dengan mata terkesiap.
Semakin dikecilkan matanya semakin tajam ia memandang. Rombongan orang berpakaian compang-camping dengan rambut acak-acakan, bahkan ada yang bertubuh somplak sana-sini sedang bergegas bagai pasukan yang siap menyerbu. Ular Setan makin terkesiap setelah ia sadari bahwa puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu adalah mayat-mayat yang berlumur tanah kuburan.
"Celaka...!" gumamnya tegang. Lalu, dengan sedikit gugup Ular Setan berseru kepada awak kapal yang ada di geladak, "Celakaaa...! Eh, bahayaaa...! Bahaya...!"
Sejenak para awak kapal di sana saling bingung, saling tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh Ular Setan. Mereka segera pandangi sekeliling, lalu melihat rombongan mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka segera serukan tanda bahaya, sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya dan ikut memandang ke arah pantai.
Dengan cepat ia serukan perintah, "Serang mereka! Lenyapkan!" Maka saling bere
"Bodoh kau!" maki Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak terlampiaskan. "Sudah tahu ada sinar merah mengapa tidak segera menundukkan kepala, Tolol! Kalau ke sini cuma mau mati, kenapa harus repot-repot ikut lari! Diam saja di kapal sana, kau juga akan mati sendiri dihancurkan mayat-mayat itu! Oh, Ular Bodoh...! Kenapa kau mati dengan sia-sia, hah!"Terdengar suara Pawang Jenazah menyahut dalam tawanya, "Kau pun akan mati dengan sia-sia, Laksamana Cho!"Melihat lawannya berdiri dengan tegak dan tampak jumawa sekali, Laksamana Cho Yung segera bangkit dan menggeram sampai kepalanya gemetar."Kematian ini harus kau tebus dengan nyawamu. Pawang Jenazah!""Aku sudah siap. Tapi apakah kau sudah siap juga. Laksamana?""Babi buntung kau! Sudah sejak dari dulu aku siap melawanmu!""Bagus! Berarti kematian istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak kuizinkan siapa pun orangmu hidup menikmati udara segar di permukaan bumi ini! Gundikmu pun
"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?""Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku! Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Baraka, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum sewaktu-waktu.""Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!" kata Baraka."Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi."Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin urat-urat kita kaku membeku!"Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing. Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri.Deggg..
"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!""Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!""Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah! Bagus! Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!""Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho!" sindir Baraka sambil sunggingkan senyum mengejek. Laksamana Cho tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia sentakkan kedua tangan itu ke depan bagai mencakar udara secara bersamaan.Wrusss...!Percikan bintang-bintang hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Kera Sakti. Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Baraka hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke samping seperti seekor kera yang sedang melompat.Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Kera Sakti, lalu Sulingnya dihadangkan. Percikan bintang mengenai Suling Naga Krishna.Zrriipp...!Kali
Bunga Bernyawa memandang Baraka setelah sampai sekian lama Baraka tidak kasih jawaban apa-apa. Baraka bahkan menggaruk kepalanya. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini membuat Pawang Jenazah semakin garang."Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih tetap menangis memilukan hati."Untuk apa kau kehendaki perempuan ini!" tanya Baraka kalem."Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!""Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang kekejian Laksamana Cho Yung!""Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih menjadi istri gelapnya!""Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu!""Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan satu pun orangnya Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!""Kau tak
SEBUAH kedai di sudut jalan itu tak pernah sepi pengunjung. Bahkan sampai jauh malam kedai itu masih buka. Bukan hanya karena kedai itu menyediakan berbagai macam makanan dan minuman, tapi karena kedai itu mempunyai pemanis. Rusminah, anak gadis Ki Sumowito, pemilik kedai itu, adalah daya tarik utama bagi para pengunjung kedai.Rusminah perawan desa yang cantik dan menarik hati. Ia ramah dan murah senyum, sehingga pembeli di kedai itu merasa ketagihan. Sekali mereka datang, esoknya ingin kembali datang. Menurut kabarnya, Rusminah bukan hanya cantik tapi juga pandai memasak. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa lezat bagi para pembelinya. Entah karena memang Rusminah pandai memasak atau karena kecantikannya itu yang mempengaruhi setiap masakan menjadi lezat, yang jelas setiap pembeli betah nongkrong di kedai Ki Sumowito sampai berlama-lama.Salah satu pelanggan tetap kedai pojok itu adalah seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah tampan, ia selalu kenakan pakaian bi
"Suruh orang-orang ini tinggalkan kedaimu untuk sementara waktu.""Kenapa begitu?""Ketiga tamu yang baru datang itu akan bikin onar di sini dan sedang cari-cari perkara! Bisiki mereka satu persatu supaya cepat tinggalkan kedaimu ini!"Tiba-tiba si wajah codet berseru kepada Rusminah, "Hai, Perempuan cantik! Kerjamu melayani semua tamu di sini! Bukan hanya satu tamu saja! Coba kau kemari...!""Iyy... iya, sebentar! Sebentar, Kang!""Cepat kemari!"Brakkk...!Si wajah codet menggebrak meja lagi."Kalau dipanggil Garong Codet jangan menunda-nunda, tahu!"Rusminah segera datang dengan rasa takut yang disembunyikan. Tapi mereka menjadi tahu, bahwa orang berwajah codet yang angker itu berjuluk Garong Codet. Sesuai dengan namanya.Dengan suara lantang, Garong Codet ucapkan kata kepada Rusminah,"Siapa namamu, Cah Ayu...!""Rusminah, Kang!""Bagus! Begini, Rus..., kalau sekiranya di kedai ini ada ora
Kemudian semua orang satu persatu dipandangi oleh Garong Codet. Ia tahan napas diam-diam, dan gerakan telapak tangannya di bawah meja bagaikan menekan sesuatu. Terjadi suatu keanehan. Mereka yang ada di kedai menjadi bingung. Cangkir mereka tak bisa diangkat. Sepertinya terpatri dengan meja. Bahkan pisang goreng, ubi rebus, dan makanan lainnya tak bisa diangkat dari tempatnya. Seakan semua makanan punya daya rekat yang amat kuat. Bahkan sebuah kerupuk pun tak bisa diambil dari dalam kalengnya. Pisang, tak bisa dipulir dari tandannya.Mereka saling berkasak-kusuk gemuruh seperti lebah bergaung. Tikus Ningrat dan Setan Culik cekikikan. Hanya mereka berdua yang bisa mengangkat cangkir dan meneguk minumannya. Mereka tahu, ini ulah Garong Codet. Tetapi mereka terkejut melihat pemuda itu dengan entengnya melakukan apa saja yang ingin dilakukan, ia dapat dengan mudah mengangkat cangkirnya, mengambil ubi goreng, bahkan sempat berjalan memetik pisang di meja depan dan mengupasnya deng
SALAH SEORANG murid rendahan Eyang Danujaya melihat peristiwa pemenggalan kepala Soka Loka. Segera sang murid yang bernama Tuban itu menemui Eyang Danujaya di padepokan. Padepokan itu tak jauh letaknya dari desa tempat kedai Rusminah berada. Hanya menyeberangi persawahan beberapa bentangan sudah sampai ke padepokan Eyang Danujaya.Sejak Eyang Danujaya mendirikan padepokan di situ, keadaan desa tersebut menjadi aman. Baru sekarang terjadi kerusuhan yang begitu menggemparkan seluruh masyrakat desa.Tuban menghadap Eyang Danujaya pada saat di paseban terjadi perbincangan antara Eyang Danujaya dengan ketiga murid unggulan, yaitu Jayengrono, Randu Galak, dan Roro Manis.Sebenarnya, jika sedang terjadi satu pembicaraan di paseban, tak ada murid yang berani datang mengganggu atau menyela pembicaraan Eyang Danujaya. Tetapi agaknya kali ini Tuban sengaja memberanikan diri menghadap Eyang Danujaya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah tegang."Ampun, Guru! Sa
Trangg, Trangg..! Wuutt! Wuutt! Trangg...! Breett...!Selama perpaduan pedang di udara, percikan bunga api terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan pertarungan itu. Tapi kecepatan gerak pedang keduanya tak bisa dilihat jelas oleh setiap orang. Hanya mereka yang terbiasa melihat kecepatan gerak pedang seperti itu saja yang bisa menyaksikannya, seperti Kusuma Sumi dan Pita Biru.Dalam sekejap mereka sudah berpindah tempat saat kaki mendarat. Tapi keduanya masih tegak berdiri dengan kaki merenggang kokoh. Rlndu Malam menggenggam pedangnya dengan satu tangan, tubuhnya tetap tanpa luka dan cidera apapun. Tapi Dewa Rayu yang juga tanpa luka sedikit pun itu sempat merasa malu karena sabuk kain pengikat celana dan tali celananya putus oleh sabetan pedang Rindu Malam. Celana itu sempat melorot sedikit ketika ia menapakkan kaki ditanah, lalu buru-buru dicekal dengan tangan kirinya."Ih...!" Dewa Rayu celingukan, malu sekali. Suara yang mengikik datang dari arah Pita
“Siapa kau sebenarnya?" tanya Rindu Malam dengan menahan hati berdebar-debar."Aku yang berjuluk Dewa Rayu!""Dewa Rayu?!" gumam lirih Kusuma Sumi yang tak berbarengan dengan gumam Pita Biru. Akibatnya Rindu Malam melirik ke arah mereka. Keduanya sama-sama malu ditahan karena gumaman tadi bernada kagum.“Namaku sebenarnya adalah Aryawinuda, Putra Raja Pengging yang dibuang oleh Ibu tiriku sejak usia delapan tahun."“Kasihan!" desah Pita Biru. Karena jaraknya amat dekat dengan Kusuma Sumi, maka tulang kakinya terkena tendangan kecil Kusuma Sumi yang menyuruhnya diam dengan isyarat kaki. Pita Biru menggerutu sambil mendesis sakit.Dewa Rayu kembali berkata dengan Suaranya yang berkharisma, “Aku dirawat oleh Paman Patih Janursulung, dan kemudian minggat dari Istana bersamaku dan akhirnya menjadi seorang resi di Bukit Karangapus"Tiga wajah cantik bungkam, bagaikan terkesima oleh cerita si tampan bermata bening itu. Rindu
"Sayang sekali sewaktu Baraka ada di tempat kita, aku dan Pita Biru sedang menjalankan tugas ke Pulau Gayung, sehingga aku dan Pita Biru tidak melihat seperti apa ketampannya.” Desah resah Kesuma Sumi"Sudah, sudah..., jangan bicara soal ketampanannya. Nanti kalian terkulai lemas membayangkannya!" sergah Rindu Malam. "Sebaiknya kita pergi temui Sumbaruni di pantai semberani!""Apakah Sumbaruni alias Pelangi Sutera itu mengenal Pendekar Kera Sakti?!"Rindu Malam menjawab dengan mulut runcing, "Bukan hanya kenal, tapi juga jatuh cinta kepada Pendekar Kera Sakti!"Kesuma Sumi menyahut. "Kalau begitu, ku rasa Pendekar tampan itu sedang terlena dalam pelukan Sumbaruni!?"Rindu Malam tarik napas dalam-dalam, karena masih ada sisa kecemburuan yang bikin dia deg-deg-an. Betapa pun juga ia harus bisa sisa kecemburuan itu karena takut melanggar peringatan dari ratunya."Jangan bayangkan dia ada dalam pelukan Sumbaruni. Bayangkan saja dia ada dal
Dari semadi yang dilakukannya, Ratu Asmaradani mendapatkan petunjuk kalau kalau Baraka adalah sang pewaris para dewa. Maka, Ratu Asmaradani pun mengirim ilmu 'merambah bhatin' untuk hadir ke alam mimpi Baraka. Tetapi sudah beberapa kali hal itu dilakukan, ternyata Baraka belum datang juga. Terpaksa tiga utusan diperintahkan mencari Pendekar tampan yang namanya sering menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persilatan itu. Sebab Ratu Asmaradani curiga, pasti ada kesulitan yang di alami Baraka sehingga pemuda itu tidak bisa datang ke negeri Samudera Kencana. Karenanya, sang Ratu berpesan kepada Rindu Malam, jika ada sesuatu yang menyulitkan sang Pendekar Kera Sakti, Rindu Malam bergegas membantu melepaskan si Pendekar tampan itu dari kesulitan tersebut. Kesulitan apa yang dihadapi Baraka sebenarnya?Titik pangkal kesulitan itu terletak pada hilangnya Pedang Kayu Petir yang sebenarnya sudah ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu namun pedang tersebut jatuh k
Kapak bergagang panjang dicabut dari selipan sabuk, lalu tubuh Roh Gepuk berkelebat menerjang Pita Biru. Tapi mendadak tubuh itu terpental ke samping. Baru saja melompat belum jauh dari tempat, sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dilepaskan dari tangan Kusuma Sumi. Roh Gepuk terpekik pendek. Lalu jatuh tak tentu keseimbangan.Pita Biru memandang Kusuma Sumi dengan sikap masih berdiri tegak dan kedua kaki sedikit merenggang. Saat itu Kusuma Sumi segera melangkah maju dan berkata dengan tegas. “yang ini biar kutangani, mundurlah!”Pita Biru segera melompat ke samping. Kejap berikut sudah berdiri tak jauh dari Rindu Malam, yang bersidekap dengan tenang di bawah pohon. Dan ketika Roh Gepuk bangkit kembali, ia terkesiap melihat lawannya sudah berganti pakaian. Tapi segera sadar, bahwa lawannya bukan berganti pakaian, tetapi berganti orang.“Kau yang akan menggantikan nyawa temanmu itu untuk menebus nyawa temanku, ha?!”Kusuma Sumi dia
“Ya, kami tahu. Tapi Nila Cendani sudah mati, kabarnya dibunuh Pendekar Kera Sakti. Entah benar atau tidak, kami tidak ikut terbunuh waktu itu. Tapi kami tahu, Ratu Samudera Kencana pernah terlibat bentrokan dengan Nila Cendani dan mengejarnya sampai ke Teluk Sumbing. Tentunya ratumu tahu dimana Teluk itu berada. Tentu ratumu pun tahu bahwa disana terpendam harta karun rampasan Nila Cendani semasa menjadi ketua Rompak Samudera. Dan tentunya sebagai anak buah Ratu Asmaradani, kalian juga diberitahu letak Teluk itu, untuk sewaktu-waktu menggali harta karun disana”.“Ratu kami tidak pernah memikirkan harta yang bukan miliknya. Kami sudah cukup kaya tanpa merampas harta yang bukan milik kami!” Kata Rindu Malam.Roh Gepuk segera menyahut, “Begini saja nona-nona cantik. Aku akan membuka sayembara. Barang siapa di antara kalian ada yang bisa menyebutkan dimana letak Teluk Sumbing. Akan mendapat hadiah dikawinkan dengan temanku ini, si Cucur Sangi
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikannya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut poni, pakaian rompi kulit ular emas tanpa lengan, memiliki rajah naga emas melingkar di punggung lengannya”.Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan ciri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Kera Sakti, Baraka.Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis seusianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpali
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar."Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!""Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar."Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat. Untung Baraka selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar biru berkelok-kelok bagai lidah petirpun keluar dari sentakan kedua tangan Baraka.Claaap...!Jurus 'Cahaya Kilat Biru' warisan Ki Ageng Buana yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar mer
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p