LIMA Orang berambut kepang satu panjang itu mengenakan topi persegi khas topi perwira pasukan Cina. Orang itu berkumis hitam, melengkung ke bawah bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya pendek dan tipis. Usianya sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari bahan sejenis satin berkilap warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya itu berlengan panjang dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan jubah tanpa lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga bersayap. Siapa lagi orang berwajah keji dan berkesan galak itu jika bukan Laksamana Cho Yung, raja di atas kapal bertiang layar tiga itu.
Matanya yang sipit itu memandang tajam kepada dua orang di hadapannya yang tundukan kepala dengan rasa takut dan hormat. Kedua orang itu adalah Perwira Loyang dan Jowala, si baju kuning yang saat bertemu dengan Baraka tak mau turun dari punggung kuda.
"Memalukan sekali! Seorang perwira kapal semegah ini tak becus mengalahkan bocah ingusan seperti
"Bukan takut, tapi jijik! Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang hidupnya bergaul akrab dengan mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!""Sudah jangan banyak dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!" bentak Perwira Loyang dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika di belakang Laksamana Cho Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho Yung, kegalakannya itu bagai lenyap tanpa bekas.Sengaja Perwira Loyang mencari tempat teduh. Semilir angin dinikmatinya dengan santai sekali. Sementara matanya sesekali memandang ke arah kira-kira sepuluh tombak lebih, di mana terjadi pertarungan antara ketiga anak buahnya melawan lima orang anak buah Pawang Jenazah. Sesekali Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat lawannya dibuat berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.Pedang dan golok anak buah Perwira Loyang berkelebat cepat dan memenggal beberapa kepala lawan. Yang sudah terlihat jelas menggelinding adalah dua kepala lawan. Kepala itu terpental saat dipeng
Kemudian, Perwira Loyang serukan suaranya, "Gadra...! Ada apa di sana! Kau baik-baik saja, bukan!"Tak ada jawaban yang terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira Loyang menjadi makin jengkel karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan suara lepas."Dasar orang bisu!"Tanpa senjata apa pun, Perwira Loyang masih bersiap menunggu lawan di tempat. Badannya memutar ke sana-sini, takut ada serangan mendadak dari penyerang gelap, ia sempat melirik mayat Rompa, lalu timbul gagasan untuk mencabut pisau ukuran sejengkal dari dada mayat Rompa. Pisau itu akan digunakan untuk melempar atau menyerang siapa pun yang tahu-tahu menyerangnya dari belakang.Sunyinya hutan kembali dirobek oleh suara jeritan yang memanjang."Aaaa...!"Dalam hati Perwira Loyang berkata dalam keluh."Wah, itu suara Jowala! Apakah dia dalam bahaya" Oh, sebaiknya aku segera mencari Jowala ke arah kiri sana!"Baru saja Perwira Loyang mau bergerak pergi tinggalkan te
MAYANG Suri perempuan yang lugu, anak seorang kepala desa yang sudah almarhum. Dia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia perempuan yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi. Dia perempuan cantik berkulit hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat oleh kecantikannya, tapi hanya bertepuk sebelah tangan.Ketika desa itu diserang oleh perampok-perampok dari kulon, muncul seorang penolong yang sudah cukup banyak usianya tapi masih kelihatan awet muda. Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam pengelanaannya itulah, Dewa Maut terpikat oleh Mayang Suri, lalu mereka saling jatuh cinta dan menikah. Tapi hanya tiga bulan pernikahan itu berlangsung. Ketika benih dalam kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun mati dibunuh oleh seorang musuh lamanya. Pada saat benih itu berubah menjadi janin, saat itulah hilang semua ilmu yang dimiliki oleh Dewa Maut.Di sebuah rumah warisan orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama bayinya, juga tinggal bersama istri kakak
Dari arah luar halaman rumah itu terdengar seseorang berseru, "Mayang...! Ada apa ...!"Lelaki berpakaian biru tua itu bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih pun muncul dari dalam dengan perasaan heran melihat ketegangan tersebut. Lelaki yang menyandang golok di pinggang, berwajah kaku, keras, rambut ikal badan besar itu segera ajukan tanya kepada Pendekar Kera Sakti dengan sikap tidak bersahabat,"Siapa kau? Mau apa datang kemari?""Aku Baraka, dan itu temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!""Apa perlumu kemari? Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata adalah kakak Mayang Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih."Jangan kasar-kasar, Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga Pendekar Kera Sakti."Kamu tak perlu ikut bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya."Kulihat dia punya gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"Mayang Suri segera berkata, "Mereka ingin membawa bayiku, Kang!""Apa...! Ingin membawa bayi
Tiba-tiba Wicaksono menyentak pendek kedua tangannya itu."Hiaat...!"Wuttt...!Bunga Bernyawa nyaris terpelanting jika tak segera melepaskan pertahanannya dan ia melenting di udara sambil bersalto satu kali. Jika Bunga Bernyawa masih mempertahankan sikapnya maka ia akan terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya akan membentur tembok halaman yang berjarak lima langkah di belakangnya itu.Baraka sedikit terkejut melihat kekuatan Wicaksono. "Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir Pendekar Kera Sakti. "Dilihat dari sentakan tangannya yang pendek saja tapi bisa membuat Bunga Bernyawa hampir terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh dianggap ringan oleh Bunga Bernyawa. Kalau Bunga Bernyawa meremehkannya, Wicaksono bisa melukainya!"Rupanya Bunga Bernyawa pun membatin demikian. Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau menganggap remeh Wicaksono dan lebih berhati-hati lagi."Jangan paksakan diri melawanku jika ilmumu baru seujung ramb
"Mengungsilah demi keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan sudah aman kembali, kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga Bernyawa.Baraka pun kembali berkata, "Tapi jika kalian menolak uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk tinggalkan kalian sekarang juga!"Mayang Suri dan Wicaksono saling pandang dalam kebimbangan.-o0o-RUPANYA nama Laksamana Cho Yung sudah bukan nama asing lagi bagi telinga Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho Yung sedang berurusan dengan Pawang Jenazah karena telah membunuh anak dan istri Pawang Jenazah. Wicaksono juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu tinggi yang sudah cukup lama berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas. Tapi Wicaksono tidak tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa Maut, bekas iparnya itu.Mendengar penjelasan dari Bunga Bernyawa dan Pendekar Kera Sakti, Wicaksono pun akhirnya putuskan untuk menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri disarankan u
"Monyet Kudis!" geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan tanah yang melekat di pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit? Apakah di depan sana ada pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si Pawang Jenazah!"Perwira Loyang tak tahu, bahwa di balik semak belukar tak jauh dari depannya itu, Wicaksono bersembunyi rapat-rapat dan ingin mencelakakan lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang ilalang yang direntangkan, lalu ditiup bagian tepian ilalang itu.Tiupan tersebut menimbulkan suara yang tak bisa tertangkap oleh pendengaran manusia, namun cukup jelas diterima pendengaran hewan. Tiupan itu menghadirkan suara melengking tinggi bagi kuda dan menusuk-nusuk gendang telinga hingga kuda tersebut merasa kesakitan. Itulah sebabnya kuda tunggangan Perwira Loyang berjingkrak-jingkrak dengan liar, karena ia memberontak tak mau maju lebih ke depan lagi. Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan semak di depannya.Wicaksono tersenyu
"Hiaaah...!" Dalam kejap berikut, Perwira Loyang berhasil sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap di tempat kosong, bebas dari incaran Wicaksono."Wicaksono! Rupanya kau memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum kucuri keponakanmu itu!""Kau tak akan bisa temui keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang aman! Kau tak akan bisa mencari Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke sana pun tak akan bisa, sebab Bunga Bernyawa dan Baraka menjaga ketat bayi itu! Kau tak akan bisa kalahkan kedua penjaga tersebut, Perwira Loyang!""Bunga Bernyawa...!" gumam Perwira Loyang."Ternyata dia justru melindungi bayi itu! Keparat betul perempuan cantik itu!"Wusss...!Tiba-tiba Wicaksono melepaskan jurus mautnya dari telapak kaki yang ditendangkan ke depan. Jurus maut itu berupa cahaya merah membara sebesar tampah yang melesat menghantam Perwira Loyang. Tetapi, Perwira Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern