"Tapi waktu kami pukul dengan tenaga dalam kami, batu itu tidak mempan dan pukulan membalik ke arah kami!"
"Karena indera keenammu sudah yakin betul bahwa di depan ada batu besar yang sulit digeser dan dipecahkan!" jawab Ki Bwana sambil membelok ke kanan. "Kalau indera keenammu mengatakan tak ada batu tak ada apa pun, ya tetap tak ada! Kalian hantamkan pukulan tenaga dalam juga tak akan membalik arah karena tidak ada penghalang apa-apa."
Dewa Racun pandangi Baraka, sementara Hantu Laut berbisik, "Menarik sekali kekuatan kendali indera itu!"
Dewa Racun cepat ajukan tanya dari belakang, "Tapi kami tadi jug... jug... juga melihat gambar-gambar aneh mengenai diri kami. Siapa pelukisnya, Ki?"
"Ya kalian sendiri! Indera keenam kalian yang melukis peristiwa yang pernah kalian alami dan masih hangat di otak kalian!"
"Mengenai cahaya terang yang tiba-tiba gelap dan terang lagi di arena itu, bagaimana?" tanya Hantu Laut yang sangat penasaran sekaligus kagum
"Baik kalau memang itu perintah darimu," jawab Ki Bwana Sekarat."Banyak yang ingin kubicarakan berkenaan dengan negeri Puri Gerbang Kayangan itu! Aku juga ingin bicarakan tentang Siluman Selaksa Nyawa itu! Tapi seperti apa kata Ki Bwana tadi, memang sebaiknya kami selesaikan dulu urusan kami di Pulau Serindu. Nanti kami baru mampir kemari lagi!""Saya setuju dengan rencanamu itu, Baraka; Pendekar Kera Sakti!" kata Ki Bwana Sekarat masih agak kaku karena hormat.Dewa Racun ucapkan kata, "Jaga diri baik-baik, supaya kita bisa satukan kekkk... kekkk... kekkk....""Wah, macet lagi dia!" pikir Hantu Laut."Kkek... kekkkuatan... kekuatan kita untuk menyerang Kapal Siluman!""Baik. Aku sangat setuju dan tunggu perintah."Jawaban itu cukup mantap dan tegas. Tapi kelebatan tangan Baraka yang ingin melambai sebagai tanda pamitan membuat Ki Bwana Sekarat sangat terkejut lagi.Lalu, dia buru-buru bersujud dan mencium tanah sambil berteria
Hati kecil Baraka mengatakan, bahwa itu tak mungkin. Hyun Jelita selalu menjaga kesucian mahkotanya, sehingga ia mendapat julukan sebagai Gusti Ratu Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat. Dia masih gadis, dan kegadisannya itu akan dipersembahkan kepada orang yang paling dicintainya, yaitu Pendekar Kera Sakti.Dewa Racun berseru kegirangan ketika bertemu dengan kapal terdepan yang dipimpin oleh seorang perempuan cantik berpakaian biru sisik emas. Perempuan itu adalah si Cakar Jatayu. Jika Dewa Racun adalah orang ketujuh kepercayaan Hyun Jelita, maka si cantik bermata sayu Cakar Jatayu itu adalah orang kedua kepercayaan Hyun Jelita. Ada pun orang kepercayaan Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat yang pertama adalah Cendana Wilis, yang memegang pusaka Pedang Kayu Cendana sebagai pengawal pribadi Ratu Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat.Kapal-kapal itu kini merapat, tapi tak bisa sampai di tepian pantai. Beberapa orangnya turun, mengawal sebuah peti dari lapisan logam emas berukir
Ki Bwana Sekarat muncul dari salah satu lorong, segera menemui Baraka dan Cakar Jatayu. Dengan sangat sopan dan hormat, Ki Bwana Sekarat menyela percakapan tersebut."Ratu ingin bertemu denganmu, Baraka. Beliau ingin bicara di sini saja! Apakah kau keberatan?""Tidak! Tapi tolong tutup atap ruangan ini supaya tidak ada sinar alam yang masuk!""Baik. Akan kulakukan untuk merapatkan semua lubang cahaya!" kata Ki Bwana Sekarat, tapi sebelum ia melangkah, kepalanya terkulai, bibirnya sedikit memble, suara dengkurnya yang kecil samar-samar terdengar."Hmmm... tidur lagi dia," gerutu Baraka dalam gumam.Cakar Jatayu sunggingkan senyum geli melihat Ki Bwana Sekarat berjalan sambil tertidur. Buat Cakar Jatayu, pemandangan seperti itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Semua orangnya ratu tahu bahwa Ki Bwana Sekarat adalah tokoh berilmu tinggi yang tak pernah bisa menahan kantuk yang menyerangnya secara tiba-tiba.Cakar Jatayu memeriksa ruangan itu. Dua
Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi tak ingin kedudukan Baraka lebih rendah dari istrinya. Tak baik untuk hubungan suami-istri jika sang istri mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suami, sehingga sang istri akan kurang hormat kepada sang suami. Sebab itu, Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi tingkatkan kedudukan derajat Pendekar Kera Sakti dengan mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kayangan, panglima pilihan sang ibu yang menguasai negeri gaib, yang kedudukannya lebih tinggi dari seorang ratu di alam nyata.Dengan begitu, kelak Hyun Jelita punya rasa hormat kepada suaminya dan tidak meremehkan sang suami karena merasa sebagai ratu. Pendekar Kera Sakti baru tahu, apa alasan utama Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kayangan.Hyun Jelita sendiri yang membeberkan alasan sang ibu tersebut pada waktu Baraka selesai menghilangkan pengaruh kekuatan pukulan 'Candra Badar'. Pukulan penjerat hidup Hyun Jelita. Baraka menoreh kedua jempol tangannya hingga mengeluark
Jangkar Langit menghancurkan dua mayat setelah ia merubuhkan Hantu Laut yang dibela oleh Cakar Jatayu. Perempuan bermata sayu indah itu pun akhirnya terkena pukulan berat dari Ki Jangkar Langit. Lehernya membiru legam dan susah dipakai untuk bicara atau bernapas. Sedangkan Hantu Laut sendiri dibuat lumpuh tak berdaya dengan menderita kebutaan di matanya.Amukan Jangkar Langit itu segera diredakan oleh Ki Bwana Sekarat sebelum kedatangan Pendekar Kera Sakti di tempat pertarungan mereka, pinggiran pantai. Ki Bwana Sekarat mencoba menenangkan hati teman lamanya itu, "Jangkar Langit, tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekerasan! Ada baiknya jika kau redakan kemarahanmu dan kita bicarakan secara baik-baik!""Aku tak punya kesempatan untuk bicara!" kata Ki Jangkar Langit yang masih ingin menggempur Hantu Laut untuk mendapatkan tombak pusakanya itu. Sebab setahu dia, Hantu Laut-lah yang membawa pusaka itu. Ia belum tahu bahwa pusaka itu sudah dilenyapkan oleh Pend
"Setan alas! Kau benar-benar mau halangi aku, hah! Hihh...!" Ki Jangkar Langit menebaskan tongkatnya ke kepala Ki Bwana Sekarat yang terkulai tidur. Tapi dengan cepat tongkat itu bisa ditangkis dan ditangkap oleh tangan Ki Bwana Sekarat.Tapp....! Lalu, dengan satu sentakan bertenaga dalam cukup tinggi, tongkat itu didorongkan ke depan.Wuttt...! Tubuh Jangkar Langit ikut terdorong mundur bagaikan terbang, karena telapak kakinya tidak dipijakkan ke tanah.Beggh...!Punggung Jangkar Langit menghantam salah satu batang pohon berdaun rindang. Pohon itu langsung daunnya menjadi layu karena benturan dengan punggung Jangkar Langit itu dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi. Sambil masih tertidur, Ki Bwana Sekarat melangkahkan kakinya maju beberapa tindak untuk mendekati Ki Jangkar Langit. Sementara itu, mereka yang menyaksikan pertarungan itu semakin dibuat terpukau, karena para prajurit bawahan itu baru sekarang melihat orang bertarung dalam keadaan tetap tidu
Ki Jangkar Langit segera tinggalkan tempat dengan mulai berlayar menggunakan perahu layar biru, milik anak buah Siluman Selaksa Nyawa. Cendana Wilis memperhatikan kepergian orang tua itu yang menurutnya memang tak seimbang ilmunya jika bertarung melawan Cakar Jatayu.Cendana Wilis tiba-tiba terperanjat kaget ketika melihat seseorang yang berseragam prajurit sang ratu itu muncul dari samping perahu Ki Jangkar Langit. Orang yang muncul itu dikenal oleh Cendana Wilis dengan nama Ludiro.Kemunculannya dari kedalaman air di samping perahu membuat Cendana Wilis curiga, hingga ia cepat menghubungi Baraka dan memberitahukan hal itu sambil menunjuk ke arah perahu yang siap berlayar itu."Saya rasa ada pihak lain yang menginginkan Tombak Kematian itu, Gusti Manggala!" kata Cendana Wilis."Hmmm... ya! Kelihatannya begitu!"Ki Bwana Sekarat yang waktu itu ada di samping Baraka juga mendengar ucapan Cendana Wilis dan segera memandangi kepergian Jangkar Langit.
Baraka berpikir sejenak, kemudian segera berkata lagi, "O, tidak! Dia tidak akan lenyap, hanya akan terpenggal kepalanya dan kubawa menghadap ke ratu kalian!""Sudah pastikah ketentuan ini, Gusti Manggala?" tanya Cakar Jatayu, dan Baraka menjawab dengan tegas,"Ya! Pasti!""Jika begitu, saya akan bebaskan Ludiro biar temui Siluman Selaksa Nyawa, bila mana perlu suruh dia sampaikan surat tantangan dari Gusti Manggala!""Gagasan yang bagus itu!" kata Pendekar Kera Sakti sambil garuk-garuk kepala. Kebiasaan yang sangat sulit dihilang oleh Pendekar Kera Sakti..Ludiro dilepaskan oleh Cendana Wilis dengan dibekali surat tantangan dari Baraka. Tetapi seperti yang sudah-sudah, tawanan itu dilepas oleh Cendana Wilis setelah satu telinganya dipotong putus menggunakan pisau milik orang lain. Ludiro menjerit tak terbayangkan lagi kerasnya, ia dibekali sebuah perahu, kemudian dilepaskan di lautan.Pada sisi lain, Ki Bwana Sekarat minta supaya Baraka mas
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern