“Dengan dibekali pusaka saja, sudah menandakan ciri yang amat penting dari tugas yang diembannya, apalagi sekarang yang turun tangan adalah Doma Damu sendiri, itu berarti ada tugas yang maha penting dari seluruh tugas lainnya!"
Percakapan mereka terhenti karena melihat Doma semburkan api panas membara kepada salah seorang anak buah Tua Rakus. Orang tersebut menjadi terbakar sekujur tubuhnya dan berteriak-teriak kelimpungan.
Walau sudah merendam dalam air laut, tapi nyala api masih berkobar, ia akhirnya mati hangus seperti empat orang lainnya.
"Bah... bah... bahhh... bahaya sekali! Bahaya sekali mulut kedua anak kembar itu!" kata Dewa Racun entah kepada siapa.
Kini tinggal empat orang berdiri menghadapi Doma dan Damu. Mereka adalah Raja Tebas, Wisoguno, Dampu Samak, dan Tua Rakus sendiri. Mereka menghentikan pertarungan sejenak, karena Tua Rakus serukan kata kepada ketiga orangnya yang tersisa,
"Mundur kalian! Munduuur...!"
Tua Rakus be
"Heaaat...!" Wisoguno bersalto di udara sambil kibaskan senjata goloknya yang lebar itu. Tapi Damu yang diserangnya bersalto mundur dua kali, kemudian dengan lutut merendah satu ke tanah Damu sentakkan cerminnya dan dari cermin itu keluar sinar hijau bertubi-tubi. Hantaman terlihat jelas ke tubuh Wisoguno. Sinar hijau itu membungkus Wisoguno yang telah mendaratkan kakinya di atas sebuah batu. Sinar hijau itu membuat si Wisoguno tidak bisa bergerak maupun berteriak.Kejap berikut, sinar hijau itu lenyap. Tapi Wisoguno telah menjadi putih bagai diliputi salju. Salju itu makin lama makin mencair bersama hilangnya bentuk wujud Wisoguno. Di sisi lain, Tua Rakus berhasil menghantamkan pukulannya ke arah dada Doma. Dada itu menjadi berasap dan Doma jatuh dengan tubuh kejang-kejang.Sebelum menghembuskan napas terakhir, saudara kembarnya segera melompati tubuh Doma. Kejap lainnya, Doma kembali bangkit berdiri dalam keadaan segar seperti semula, ia berdiri berdampingan dengan D
"O, benar! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak perlu jauh-jauh memburunya, ternyata dia ada di sini!""Mungkin sedang mencari tempat untuk perlindungan diri sewaktu-waktu ia terdesak oleh kita!""Cepat, kejar dia sebelum mencapai perahunya!"Hantu Laut semakin ketakutan melihat Doma Damu mengejarnya. Dewa Racun menggeram gemas sambil pukulkan tangannya ke paha."Bod...! Boood...! Bodoh! Bodoh amat anak itu!""Cepat kita bertindak, dia dalam bahaya!" kata Pendekar Kera Sakti sambil lebih dulu melesat, lalu Dewa Racun menyusulnya.Gerakan lari Doma Damu pun cukup cepat. Dalam waktu singkat keduanya sudah sampai di belakang Hantu Laut. Damu berseru, "Berhenti! Atau kusembur kau dengan 'Bromo Seribu Api'!"Mendengar jurus 'Bromo Seribu Api' yang amat ganas itu disebutkan, Hantu Laut pun cepat hentikan langkahnya, ia merasa tak akan mungkin bisa berlari jauh jika 'Bromo Seribu Api' itu telah disemburkan. Karena sifat jurus 'Bromo Seribu Api'
"Tahan semua serangan!" seru Baraka, baik ditujukan kepada kedua temannya maupun kepada kedua lawannya. Ia bermaksud membicarakan masalah itu secara baik-baik, tanpa melalui pertarungan.Buat kedua teman Pendekar Kera Sakti hal itu bisa diterima, tapi bagi kedua musuh kembarnya, hal itu tak bisa diterima. Damu segera sentakkan cermin ke atas dan keluarkan sinar hijau ke arah Baraka, sedangkan Doma juga sentakkan cerminnya ke atas dan memantulkan sinar merah menyerang Pendekar Kera Sakti. Pendekar Kera Sakti agak kebingungan menghindarinya. Tubuhnya limbung ke kanan dan ke kiri seperti kera yang sedang menari. Tapi dalam kejap berikutnya ia sudah terpental terbang ke atas dan bersalto dua kali ke arah depan hingga melintasi kepala Hantu Laut. Dua sinar itu menghantam batu, dan batu setinggi dua tombak itu hancur menjadi kepingan-kepingan salju."Cepat sembunyi!" sentak Baraka kepada Hantu Laut. Maka dengan lompatan kuatnya, Hantu Laut mencapai celah dua batu besar. Pend
"Kita mendarat!" seru Pendekar Kera Sakti kepada Hantu Laut yang pegang kemudi di haluan. Tapi karena Hantu Laut yang berkepala gundul dan bertubuh besar tanpa mau memakai baju itu telinganya rada tuli, maka ia pun segera menyahut, "Siapa yang mau kirim surat!""Kita mendaraaat....!" teriak Pendekar Kera Sakti dari bawah tiang layar."O, mendarat! Baik!"Baraka segera turunkan layar perahu, ia berseru lagi kepada Hantu Laut, "Hati-hati, ada karang di depan!""Apa? Ada kerang delapan!""Ada karang di depaaaan...!""O, ada karang. Iya! Aku belum buta! Menurutmu di mana letak karang itu? Di depan atau di belakang kita?" seru Hantu Laut.Pendekar Kera Sakti kesal hati dan tidak menyahut lagi. Langit gelap karena mendung. Kilat menembus gumpalan hitam itu lalu menggelegar di langit bagai ingin turunkan hujan badai. Melihat cuaca murka begitu, Dewa Racun cepat berseru kepada Pendekar Kera Sakti dan Hantu Laut yang habis menambatkan perahuny
"Tinggi juga ilmu orang ini?" pikir Dewa Racun, ia masih siap menghadapi serangan lawannya dengan tetap berdiri pasang kuda-kuda. Namun Baraka berseru, "Cepat mundur, tinggalkan dia!"Tapi Dewa Racun menjawab, "Bbbi... biar kuhadapi dulu dia! Aku ingin tahu seberapa kekuatannya, sehingga ia tidak memuntahkan darah walau telah terkena ssse... see... seee....""Sesuap nasi?""Seranganku!" sentak Dewa Racun.Pendekar Kera Sakti tak mau kecewakan Dewa Racun penjemputnya itu. Ia pun segera mengundurkan diri, dan memberi kesempatan kepada si kerdil yang kepalanya botak bagian tengah, hanya bagian tepian kepala saja yang ditumbuhi rambut itu.Orang bermata putih itu mengerang dengan suara serak, mulutnya menyeringai. Menyeramkan dilihat mata orang sehat. Dan tiba-tiba tangannya berkelebat mencakar-cakar di udara.Wukkk... wukkk!Dewa Racun merasakan ada angin hendak menampar wajahnya. Karena itu, cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melompat mu
GUA yang ada di belakang mereka antara jarak tiga puluh langkah itu dipandangi oleh mereka. Pendekar Kera Sakti ucapkan kata seperti bicara pada dirinya sendiri. "Berapa banyak mayat hidup yang bersembunyi di gua itu!""Ap... apakah kau yakin di dalam gua itu ada banyak mayat berilmu tinggi seperti orang tadi?""Aku hanya khawatirkan hal itu. Aku sendiri tidak tahu-menahu tentang pulau ini. Kau lebih tahu tentunya, karena kau bilang tadi di perahu, jika sudah mencium bau busuk, itu pertanda sudah dekat dengan pulau tempat tinggalmu?""Memang. Aaak... aku tahu tentang pulau ini, tapi tak banyak! Yang kutahu, dulu pulau ini punya banyak penghuni. Namun kurang lebih empat tahun yang lalu, penduduk pulau ini habis bagai disapu badai.""Kenapa?""Kaar... kaaar... karena penduduk pulau ini dibantai oleh Siluman Selaksa Nyawa. Habis semua orang-orangnya, dan mayatnya dibiarkan membusuk, tak ada yang menguburkan mayat sebegitu banyak!""Mengapa Silu
Hantu Laut cepat ucapkan kata tegang, "Siapa yang menutup pintu gua ini! Siapa...!""Ak... aku... aku tidak tahu!"Lalu, terdengar suara Pendekar Kera Sakti berseru tegang pula. "Hei...? Di mana Suling Naga Krishna-ku?""Hahh...!" Dewa Racun kaget. Dalam bias cahaya kecil itu mereka mencoba mencari Suling Naga Krishna Pendekar Kera Sakti, tapi tidak ada yang berhasil menemukannya."Suling Naga Krishna-ku hilang!" geram Pendekar Kera Sakti."Celaka...! Pasti ada orang yang mencurinya dan orang itulah yang menutup pintu gua dengan batu besar itu!" kata Hantu Laut."Berarti kita tidur pun karena dorongan suatu tenaga batin yang membuat kita jadi sama-sama tertidur dengan nyenyaknya!" ucap Baraka bagaikan bicara pada dirinya sendiri."Baag... bag... bagaimana kita keluar dari sini? Tak ada jalan lain untuk bisa keluar selain melalui pintu itu!"Hantu Laut segera mencoba kerahkan tenaganya untuk mendorong batu besar tersebut. Tapi s
Semua diam tertegun memikirkan nasib mereka. Semua diam berkerut dahi saling bertanya dalam hati tentang batu itu. Lalu kejap berikutnya Pendekar Kera Sakti bangkit, seperti mendapat satu gagasan. Gerakannya itu diikuti oleh mata Dewa Racun dan Hantu Laut. Mereka menaruh harapan besar pada usaha Pendekar Kera Sakti kali ini.“Aku akan gunakan ‘Tenaga Matahari Merah’!” kata Pendekar Kera Sakti. “Jika jurus ini gagal, aku tak tahu harus bagaimana lagi.”“Cob... cob... cobalah!” kata Dewa Racun.Tanpa menunggu waktu lagi. Baraka segera mengerahkan ‘Tenaga Matahari Merah’-nya, dan meluruskan sepuluh jari tangannya. Dan... seketika itu juga, melesatlah sepuluh larik sinar merah berkilauan wujud dari ‘Tenaga Matahari Merah’!“Hiaahh...!”Srat...!Batu besar yang menjadi sasaran tampak bergetar kencang ketika terbelit sepuluh larik sinar y
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian