Behgg...! Woosss...!
Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya.
Blarrr...!
Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun. Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi hitam bagai habis disambar petir. Matanya merah, mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah kehitaman. Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak bernyawa lagi.
"Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.
Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam melepaskan pukulan kepada Pendekar Kera Sakti.
-o0o-
KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Kera Sakti akan memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia
"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau Beliung!""Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk menambal perahu ini!"Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf U itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang, sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan air laut. Mau tak mau Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak diketahui namanya oleh mereka itu.Tetapi Baraka menjadi sangsi setelah menyadari pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau burung, tapi tak ada suara kehidupan manusia di dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan pun tak ada."Pulau ini kosong,"
"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang... jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!""Dari mana kau tahu?""Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak tanganku baru mau menyentuh sudah terasa gatal!""Hmmm...," Baraka menggumam sambil manggut-manggut. "Jelas sudah!""Ap... apanya yang jelas...!"Baraka belum menjawab. Matanya tertarik pada batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara, "lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann... ban... banyak sekali!" Dewa Racun mendului mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali seperti tadi.Wuuut...!"Bat... bat... bat....""Batuk?""Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan menyentuhnya!""Semakin jelas," gumam Pendekar Kera Sakti."Apanya yaaang... yaaang.. jelas!" tanya Dewa Racun makin penasaran dengan
Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya. Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal yang membuat mereka heran, tak ada bekas telapak kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam, seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat sinar dari arah depan."Pendekar Kera Sakti, ken... ken... kenapa bayangan kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"Setelah diam berpikir beberapa kejap, Baraka pun menjawab dengan suaranya yang tenang."Bayangan hitam... Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari keje
"Musuh...? Siapa maksudmu?""Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan senyum bijak yang menawan hati."Kalian berdua yang telah memenangkan pertarungan dendam di dalam batin dan jiwa kalian masing-masing.""Pertarungan dendam!" Baraka menggumam sambil tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti maksudmu. Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil menahan diri agar tidak melampiaskan dendam kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia telah mati di tanganku.""Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus begitu.""Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati hangus?""Kami melihat semua kehidupan yang kami perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah ceria.Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang ya
Pendekar Kera Sakti menggumam dalam hati, "Oooo... jadi Gusti Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Hyun Jelita dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua Puri Gerbang Kayangan, yang nyata dan yang tidak nyata!"Tiba-tiba Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi berkata kepada Baraka, "Benar apa kata batinmu, Baraka! Ada Puri Gerbang Kayangan yang nyata dan yang tidak nyata!"Terkejut sekali Pendekar Kera Sakti mendengar ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Kera Sakti membatin hal yang bukan-bukan.Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu mertuamu, Baraka. Karenanya aku ingin bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu, kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Hyun Jelita. Tapi ketahuilah, Baraka... karena ke mana-mana kau selal
SEPERTI kata Ratu Hyun Ayu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi dengan tangan kanan. Maka Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka mengusap dahi memakai telapak tangan kanan, kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas, dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman hijau menyala. Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka. Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin mendekati tempat terang, semakin jelas suara gemericik air.Langkah Baraka dan Dewa Racun bertambah cepat. Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa Racun terhenti. Pendekar Kera Sakti ikut-ikut berhenti. Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar Pendekar Kera Sakti merundukkan kepala. Pendekar Kera Sakti mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong.Pendekar Ke
“Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu. "Aku hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak setuju jika kau membalas kematian Guru. Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!""Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh, Badai Kelabu!""Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau menyerang Pendekar Kera Sakti, tapi seranglah aku! Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut kematian Guru!""Jangan membuat permusuhan denganku, Badai Kelabu!""Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Baraka!""Dan tak perlu menentang kodrat dengan menghidupkan Guru kalian!" sambung Baraka menyahut kata."Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh, Barakaaa...!" sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, melompat dengan pedang mengarah ke dada Pendekar Kera Sakti. Tetapi mendadak gerakannya berubah arah.Heeegh...!Badai Kelabu mel
TIUPAN angin pantai menimbulkan suara berdenging karena adanya karang berongga tak jauh dari pantai tersebut. Suara berdenging itu mirip sebuah nyanyian kematian yang siap menjemput nyawa setiap orang di sana.Baraka, si Pendekar Kera Sakti, menghentikan langkahnya beberapa saat sebelum mencapai perahu yang ditunggangi Badai Kelabu dan Melati Sewu dalam perjalanan membawa jenazah guru mereka. Dewa Racun pun setuju untuk pindah ke perahu milik Badai Kelabu karena jika mengandalkan perahu yang ditungganginya dikhawatirkan akan mengalami kebocoran lagi di tengah perjalanan.Ketika Pendekar Kera Sakti menghentikan langkahnya, Dewa Racun dan Badai Kelabu pun ikut berhenti melangkah. Keduanya saling pandang dengan nada heran. Padahal mereka sudah mencapai pantai, dan jarak dengan perahu tidak berapa jauh lagi. Mengapa Pendekar Kera Sakti harus menghentikan langkah? Pikir mereka."Suara berdenging itu adalah suara rongga karang tertiup angin, Baraka," kata Badai Kelabu
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern