“Kenapa kau menangis Rintih Manja? Apakah ada yang salah dengan ucapanku barusan”.
“Tidak! Tidak ada yang salah dengan ucapanmu Baraka, aku memang bukan siapa-siapamu” ucap Rintih Manja lagi diantara isak tangisnya, Baraka semakin terharu mendengarnya, maka direnggangkannya pelukannya dan diangkatnya dengan lembut wajah cantik Rintih Manja untuk menatap kearahnya.
Baraka kemudian teringat akan ucapan Nyai Lirih Dewi yang pernah mengatakan kalau Rintih Manja memiliki perasaan kepadanya. Hal inilah yang kemudian Baraka mengerti akan sikap Rintih Manja.
“Apa kau menyukaiku Rintih Manja?” tanya Baraka terang-terangan hingga membuat wajah Rintih Manja langsung memerah. Rintih Manja langsung menundukkan wajah, karena takut wajahnya yang memerah terlihat oleh Baraka. Pemuda yang diam-diam dicintainya.
Dengan lembut, kembali Baraka mengangat dagu halus Rintih Manja yang seakan tanpa tulang itu keatas, menatap kea
Hujan terdengar semakin lebat diluar gudang kelapa yang menjadi tempat terjadinya pergelutan birahi antara Baraka dan Rintih Manja. Di dalamnya terlihat kedua muda mudi itu sudah saling berpelukan satu sama lain, entah karena dingin atau hanya ingin saling menghangatkan tubuh saja.Baraka terlihat hanya mengenakan celananya saja, sedangkan tubuh bagian atasnya tampak masih telanjang. Terlihat jelas bagaimana bidangnya dada yang Baraka miliki. Sementara itu dipelukannya, terlihat sosok jelita Rintih Manja tengah bergelayut manja dengan berbaring memeluk dada Baraka. Hanya mengenakan pakaian seadanya, itupun sembrawutan sehingga beberapa bagian dikulit tubuhnya terbuka. Terlihat mulus tanpa noda.Saat ini Rintih Manja terlihat tengah menatap manja kearah Baraka yang saat itu juga tengah menatapnya. Di wajah Rintih Manja tak henti-hentinya seringai senyum kepuasan atas apa yang telah terjadi. Rintih Manja merasa bagaikan mimpi semua yang baru saja dialam
Hentakan kaki ke bumi membuat keempat orang itu mental ke atas, ada yang kepalanya membentur dahan pohon, ada yang nyangsang di atas pohon, ada yang jatuh kepala duluan, ada pula yang tertancap patahan dahan runcing. Jurus 'Sentak Bumi'-nya terpaksa digunakan lagi ketika empat orang muncul lagi dari dalam benteng membantu temannya yang sudah tak berdaya. Dengan sekali hentakkan kaki ke bumi, keempat orang itu terpental lagi ke atas dan jatuh dengan kehilangan keseimbangan badan. Kali ini ada yang meluncur kepala duluan dan masuk ke sebuah kubangan berlumpur.Jruub...!Kepala terbenam sampai dada, kakinya masih bergerak-gerak di atas. Baraka tidak pedulikan keadaan mereka yang menderita akibat jurus 'Sentak Bumi'-nya. Ia langsung masuk ke dalam benteng berbatu hitam. Di sana ia disambut dengan lemparan enam tombak dari arah depan dan samping kanan-kiri. Baraka tak perlu merasa kaget, karena hal-hal seperti itu sudah diduga sebelumnya.Zraaab...!E
"Tempat apa ini sebenarnya?" tanya Baraka sambil memandang sana-sini."Tempat rahasia," jawab Ratu Geledek Hitam. "Di sinilah segala rahasia dibicarakan atau dilakukan.""Pasti tempat ini kau gunakan untuk bersembunyi dari serangan lawan yang tak mampu kau hadapi."Ratu Geledek Hitam hanya tersenyum, ia tak memberikan komentar apa-apa. Langkah kakinya tetap tegap, agak cepat, wewangian yang disemprotkan ke pakaian dan tubuhnya tercium jelas oleh hidung Baraka. Tapi Baraka tetap tidak mau lontarkan pujian atas keharuman yang lembut dan enak dihirup itu.Matanya masih memandangi tiap dinding penuh waspada, karena ia tak ingin termakan jebakan yang mungkin dipasang pada dinding lorong yang kini telah membelok ke kiri itu."Kenapa tidak ke kanan?" tanyanya."Lorong yang ke kanan menuju ke sarang ular piton. Aku punya delapan ular piton di sana. Tapi mereka tak akan bisa menyeberang ke lorong kiri ini, karena s
"Jangan begitulah...," katanya dengan lemah, membuat sang Ratu kian menggoda."Seranglah kalau kau berani...," wajah itu makin didekatkan lagi. Matanya sedikit terpejam. Bibir merekah menantang gairah. Baraka memandanginya dengan jantung berdetak-detak. Ia ditantang, tapi ia bingung menyerang."Dadanila, kau musuhku. Kau tak boleh begitu.""Iya. Kau dan aku bermusuhan. Makanya kalau kau mau menyerang silakan! Nih, serang nih...!" bibir itu makin disodorkan. Dengus napasnya terasa menghangat di wajah Baraka yang salah tingkah."Aku... aku harus menyerangmu bagaimana?""Ya, bagaimana sajalah. Terserah! Mau pakai tangan boleh, mau pakai kaki boleh, mau pakai bibir juga boleh.""Pa... pakai... pakai bibir saja, ya?""He'eh...," jawab Ratu Geledek Hitam dalam desah. Baraka tak kuat ditantang begitu. Maka pelan-pelan ia menempelkan bibirnya ke bibir Dadanila. Hangat. Nikmat. Dan Baraka segera mengecup bibir itu pelan-pelan. Gerakannya sanga
TIGA ORANG utusan dari Pulau Dedemit nyaris menghancurkan benteng Geledek Hitam. Hebat juga? Hanya tiga orang saja bisa bikin Geledek Hitam morat-marit, apalagi kalau enam orang? Mungkin benteng Geledek Hitam bisa didongkel dan diusung ke lautan sana!"Satu orang Pulau Dedemit sama dengan delapan orang Geledek Hitam," kata Dadanila mengakui kehebatan lawannya.Baraka geleng-geleng kepala. "Padahal satu orang Geledek Hitam sama dengan dua orang Perguruan Mekar Bumi, ya? Berarti satu orang Pulau Dedemit sama dengan enam belas orang Perguruan Mekar Bumi? Wow... luar biasa kuatnya perbandingan itu.""Itulah sebabnya aku tak berani mengejar mereka ke Pulau Dedemit. Ilmuku sama dengan sesendok garam di lautan bagi Raja Kala Coro. Tiga orang seperti aku baru bisa menandingi anak buah Raja Kala Coro yang kelas rendah. Bisa kau bayangkan alangkah saktinya Raja Kala Coro itu.""Tunggu, tunggu... kubayangkan dulu!"Tiga hari lamanya Baraka tinggal di benteng
"Aku bersedia bikin perhitungan denganmu sekarang juga, daripada kau paksa aku menemui Raja Kala Coro! Sekarang apa maumu akan kulayani!""Sabar, sabar...!" seia Baraka. Dengan kalem ia berkata, "Soal bikin perhitungan itu soal gampang. Sekarang juga, di sini pun, bisa kalian lakukan dengan hasil yang jelas. Tapi soal merebut kitab itu dari tangan Raja Kala Coro itu yang perlu dipikirkan. Kalian mati di sini, salah satu atau dua-duanya, percuma saja jika kitab itu masih ada di Pulau Dedemit. Toh kematian kalian di sini tidak membuat kitab itu pulang sendiri?""Lalu apa maksudmu?" tanya Nyai Lirih Dewi kepada Baraka yang dicurigai memihak Ratu Geledek Hitam."Aku perlu tahu dulu, kira-kira apa yang membuat Raja Kala Coro menginginkan kitab itu? Coba katakan perkiraanmu, Nyai.""Kurasa... kurasa dia punya maksud yang sama dengan Dadanila."Baraka memandang Dadanila. Ratu cantik yang selera cintanya belum terpenuhi sejak kemarin-kemarin itu segera ber
"Tidak, Percayalah padaku, tidak akan terjadi hal yang kau bayangkan itu. Jangan menyerah dulu, Anak Manis," bujuk Baraka yang membuat Rintih Manja akhirnya luluh, tundukkan kepala setelah ditatap tajam oleh Baraka. Tatapan mata Baraka itu mengandung kekuatan mistlk yang mampu meredakan amarah seseorang dan kekerasan hati siapa pun. itulah jurus 'Mata Dewa Kayangan' yang selalu mengalir dalam diri Baraka."Ratu," katanya kepada Dadanila. "Kuambil alih tanggung jawabmu merebut kembali kitab itu, tapi kau harus berjanji untuk tidak mengganggu orang Perguruan Mekar Bumi lagi. Jika kau masih ingin mengganggu mereka, kau akan berurusan denganku lebih parah. Dalam sekejap tempat ini bisa kuratakan dengan tanah. Jika kau mau berdamai, itu lebih baik, dan aku akan membantu kalian untuk menggali tambang emas. Hasilnya bisa kalian manfaatkan bersama tanpa keserakahan."Sang Ratu diam tak berkata karena terpaku mendengar kata-kata itu dan terpukau menerima tatapan mata B
Kulit tubuhnya kuning langsat, tapi mulus tanpa cacat tanpa goresan apa pun. Jubahnya yang tanpa lengan menampakkan kulit tangannya yang lembut seperti kulit bayi, tanpa ada bekas suntikan cacar di ujung lengannya. Tinggi gadis itu lumayan, tidak terlalu jangkung, tidak terlalu pendek. Pokoknya serasi dengan bentuk tubuhnya yang sekal, padat, dan kencang. Sangat kontras dengan wujud sang ayah yang angker mirip kuburan para zombi."Kamu nggak perlu murung lagi, Sanjung Jelita. Sekarang kita sudah punya kunci menuju keinginanmu. Kitab Jayabadra sudah kita peroleh. Tinggal bagaimana ketekunanmu mempelajari Ilmu 'Pintu Tiga Alam' itu. Nanti Ayah akan membantumu dalam mempelajari ilmu tersebut."Sang putri berkata, "Terima kasih, Ayah. Ayah selalu menuruti keinginanku.""Karena sejak kematian Ibumu, kaulah satu-satunya buah hatiku, Sanjung Jelita. Anak semata sapi harus disayang setulus hati," kata Raja Kala Coro dengan suaranya yang besar.Mereka duduk di ban
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian