Karena rohnya telah lepas dari badan kasarnya, dia tak dapat mengelak ketika Dewi Pedang Halilintar membuka topeng yang dikenakannya. Dan karena topeng itu sama persis dengan topeng yang dikenakan Hantu Pemetik Bunga, Dewi Pedang Halilintar menyangkanya benar-benar sebagai Hantu Pemetik Bunga.
"Jahanam kau!" geram Dewi Pedang Halilintar.
"Kau tak perlu mungkir, Darma Pasulangit! Dosa-dosa mu telah bertumpuk. Kini tiba saatnya kau mempertanggungjawabkan seluruh dosamu itu!"
"Nini Kembangsari!" bentak Ksatria Seribu Syair yang tentu saja tak mau dituduh sembarangan. "Aku bukan Hantu Pemetik Bunga! Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap orang itu. Tapi, aku benar-benar bukan Hantu Pemetik Bunga!"
"Jahanam! Rupanya, kau hendak mungkir lagi!"
Dewi Pedang Halilintar balas membentak. "Aku bisa membuktikan bila kau memang Hantu Pemetik Bunga! Keluarkan benda yang menonjol di balik pakaianmu itu!"
"Apa hubungannya Hantu Pemetik Bunga dengan b
"Hmmm...," Baraka tersenyum. "Kau tak perlu mengkhawatirkan aku. Kau tetaplah di sini. Jaga Kakek Setan Bodong. Aku akan segera kembali...."Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Baraka berkelebat meninggalkan halaman rumah batu. Dewi Pedang Kuning menatap kepergian si pemuda dengan hati berdebar. Haruskah dia menyusul."Tak perlu...," ujar Kemuning dalam hati, menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. "Aku percaya pada ilmu kesaktian Baraka. Sebaiknya, aku kembali...."Kemuning berusaha menghilangkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Baraka. Dengan langkah berat, dia lalu berjalan masuk kembali ke rumah batu. Ditemuinya Setan Bodong yang masih terbaring lemah di cekungan tanah.Sementara itu, Baraka berlari cepat dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama 'Kelana Indra'. Baraka tampak tergesa-gesa sekali. Dia memang tak mau kehilangan waktu. Pusar Setan Bodong harus segera didapatkannya. Agar dia bersama Kemuning dapat secepatnya
"Alirkan tenaga dalam dengan lembut, lalu tempelkan di tengah perutku. Hei! Hei! Jangan terbalik! Yang harus ditempelkan adalah bagian ujungnya yang besar itu!"Setengah berteriak Setan Bodong memberi petunjuk pada Pendekar Kera Sakti yang telah kembali ke rumah batu. Sementara, Kemuning tak berani menatap gumpalan daging di tangan Pendekar Kera Sakti karena merasa jijik dan ngeri."Nah! Nah! Begitu! Bergegaslah!" seru Setan Bodong, tak sabaran.Pendekar Kera Sakti yang sebenarnya juga menyimpan rasa jijik dan ngeri, tak mau membuang waktu. Tergesa-gesa sekali murid Eyang Jaya Dwipa itu mengikuti petunjuk yang diberikan Setan Bodong.Tatkala pusar Setan Bodong yang berupa gumpalan daging merah telah ditempelkan ke tempatnya, Baraka dan Kemuning tampak melonjak kaget. Kulit tubuh Setan Bodong yang semula kuning pucat berubah merah matang seperti warna buah tomat masak. Warna merah itu menjalar dari gumpalan daging yang telah melekat di tengah perut si kake
Tak setetes pun darah keluar dari dada Setan Bodong. Agaknya, si kakek punya ilmu kebal yang membuat tubuhnya tak mempan senjata tajam."Jangan turuti hawa marah mu! Lihat itu!" seru Setan Bodong kemudian.Lewat ekor matanya, Kemuning melihat tubuh Baraka yang masih tergeletak di atas tanah. Namun, kini tubuh pemuda itu tampak bergerak-gerak. Kedua pergelangan tangannya menekuk dengan jari-jari terkepal. Bunga-bunga es biru langsung rontok."Uh...!"Pendekar Kera Sakti mengeluh pendek. Perlahan dia bangkit. Dan..., melototlah bola mata Kemuning. Di atas tanah tempat terbaringnya tubuh Baraka tadi, telah tergeletak batu berbentuk limas segitiga berwarna biru."Itukah batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'...?" desis Kemuning.Setan Bodong tak menjawab."Ya, Tuhan...," sebut Baraka seraya memungut sekepal batu yang tergeletak di dekat tubuhnya. Bergegas pemuda itu meloncat ke arah Kemuning. Tanpa sadar dia memeluk dan mencium p
MATAHARI belum begitu tinggi di ufuk kaki langit sebelah timur. Namun sinarnya seolah ingin membakar semua yang ada di muka bumi. Tanah kering merekah. Tak urung, rumput-rumput yang tumbuh di sekitar hutan kecil tempat seorang pemuda tengah berlatih silat pun mengering karena terlalu sering tertimpa sinar matahari di musim kemarau yang berkepanjangan ini.Di tanah agak luas dalam hutan kecil itu Pendekar Kera Sakti memang tengah giat menempa diri mempelajari Pukulan 'Angin Es dan Api' yang diwarisi dari Eyang Jaya Dwipa. Tanpa mengenal putus asa sedikit pun, pemuda itu terus mencoba untuk menyempurnakan Pukulan 'Angin Es dan Api' seperti yang pernah dikatakan oleh Raja Kera Putih.“Ternyata Ilmu Angin Es dan Api yang kau miliki belum sempurna. Nanti kalau dua larik sinar putih dan merah dari kedua telapak tanganmu sudah dapat kau ubah menjadi dua gulungan asap putih dan merah, baru kau dapat menguasai Ilmu Angin Es dan Api dengan sempurna seperti yang Eyang Jaya
Namun..., rentetan kata kakek berambut riapriapan itu segera lenyap tertelan suara gemuruh angin yang terus bertiup di Padang Angin Neraka. Tak ada orang lain yang muncul. Justru dari belakang Setan Selaksa Wajah tampak putaran angin puling beliung!Wesss!"Akkhhh...!"Memekik parau Setan Selaksa Wajah. Kepalanya yang menyembul ke permukaan tanah terasa amat pening luar biasa, bagai terhantam palu godam. Putaran angin puting beliung yang menimpa, memelintir lehernya. Andai kakek itu tidak mempunyai kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi, dapat dipastikan bila lehernya akan putus, dan kepalanya akan terbawa putaran angin puting beliung!"Setan alas kau, Banyak Langkirrr...!" teriak Setan Selaksa Wajah, keras menggelegar. Kakek itu berusaha menahan rasa sakit yang mendera kepala dan sekujur tubuhnya. Dia melampiaskan kekesalan dan hawa amarahnya dengan berteriak mengumpat-umpat. Sumpah serapah dan katakata kotor segera tertumpah dari mulutnya.Namun, s
"Hmmm.... Berkali-kali kau mengumpat dan meneriaki ku dengan sumpah serapah mu. Mestinya sekarang ini juga aku harus memecahkan batok kepalamu, Mahisa Birawa...," ujar Raja Penyasar Sukma dengan suara berat menggeram, menyimpan kemarahan pula."Bedebah!" semprot Setan Selaksa Wajah. "Kalau berani kau melakukan itu, rohku yang penasaran akan membalas semua perbuatan kejimu ini!""Ha ha ha...!" Raja Penyasar Sukma tertawa bergelak-gelak. Lempengan batu yang didudukinya bergerak turun-naik. "Siapa takut pada ancamanmu itu, Mahisa Birawa. Kalau aku berniat membunuh orang, tak pernah aku berpikir apa pun akibatnya! Namun..., hmmm... aku masih mau mengampuni nyawamu....""Jahanam! Andai benar apa yang kau katakan, cepatlah kau keluarkan aku dari siksa ini!""Ha ha ha...!" Raja Penyasar Sukma tertawa lagi. "Sabar! Sabar dulu, Mahisa Birawa! Siksa yang tengah kau rasakan ini sebenarnya amat pantas kau terima! Karena, kau benar-benar telah mengecewakan aku! Katak
Saat berpikir-pikir, wajah tampan pemuda tinggi tegap itu jadi tampak polos. Sinar kejujuran dan keluguan semakin terpancar dari sorot matanya. Dia cengar-cengir lagi. Sambil terus mengedarkan pandangan, kakinya terayun.Dimasukinya Hutan Saradan yang sunyi lengang. Disibaknya semak belukar yang menghadang. Dia yakin bila orang yang tengah dicarinya berada di antara jajaran pohon jati di dalam hutan itu."He, Ksatria Seribu Syair...!" teriak si pemuda yang tak lain Baraka atau Pendekar Kera Sakti."Ksatria Seribu Syair...! Kenapa kau lari setelah melihat diriku! Aku jadi semakin yakin bila kau memang seorang pengecut! Keluarlah! Ada satu urusan yang harus segera kuselesaikan denganmu!" Teriakan pemuda dari lembah kera itu membahana panjang.Satwa-satwa hutan tersentak kaget. Mereka langsung lari berserabutan karena gendang telinga mereka terasa pekak. Agaknya, Pendekar Kera Sakti menyertai teriakannya dengan aliran tenaga dalam. Namun, teriakan pemuda lug
"Hmmm.... Kau tak menjawab pun, tak jadi apa. Kau tak perlu meminta maaf. Tapi ingat, seperti yang dulu pernah kukatakan padamu..., pandai-pandailah kau dalam menggunakan otak untuk menimbang dan berpikir. Jangan sampai kau menyesal di akhir perbuatanmu....""Ya! Ya, aku akan mengingat nasihat Paman," sambut Pendekar Kera Sakti. "Tapi, Paman..., apakah Paman tadi juga mendengar rentetan kata syair yang berasal dari dalam hutan ini?"Ksatria Topeng Putih mengangguk. Tak ingin dia berbohong. Yang mengucapkan kata-kata syair tadi memang dia sendiri. Tentu saja dia turut mendengarnya."Aku yakin, si pelantun syair itu adalah Ksatria Seribu Syair," ujar Pendekar Kera Sakti. "Tapi..., benarkah Paman tidak melihat orang lain di dalam hutan ini?""Sudah kukatakan tadi, aku tidak melihat siapa-siapa kecuali dirimu dan tentu saja diriku sendiri," jawab Ksatria Topeng Putih.Lelaki bertubuh tinggi tegap itu tetap tak berbohong. Namun, Pendekar Kera Sakti yang
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi. Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan terjadi ledakan sedahsyat itu."Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah di nirwana?""Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan suara berat dan napas sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang. Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk memandang alam sekitarnya.Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu meludahi wajah Rajang Lebong. Tet
Bersalto di udara dua kali masih merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia. Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk sampai akarnya."Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya, tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip hantu tersipu malu.Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata parang panjang di pinggang kirinya."Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!""Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa. Tegas dan jujur."Tentunya kalian