Tawa pun terdengar pelan. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Baraka?"
"Bukan."
"Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.
Baraka tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek."
"Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya.
Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Baraka pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya.
"Baraka...."
"Ada apa?"
"Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Baraka!” Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil meng
Pendekar Kera Sakti manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu.Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Kera Sakti."Ada maling!"Baraka berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?""Tidak.""Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "A
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada.Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu, "Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan!"Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan.Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
"Iblis Raja Naga!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu."Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?""Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu.""Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak."Apakah kau tak akan dicari oleh orangtuamu?""Orangtuaku yang suruh aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu."Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu.""Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan.Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golon
Bruuk!"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini!" gerutu Ki Bwana Sekarat sambil mencoba bangkit kembali. Tapi pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Bwana Sekarat segera lompat ke kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut. Ki Bwana Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali.Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Bwana Sekarat. Dengan cepat Ki Bwana Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera tertahan karena Ki Bwana Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Kera Sakti."Ki Bwana Sekarat...!""Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Bwana Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil menc
"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok Lodra!!""Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil bersungut-sungut."Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!""Memang menjengkelkan pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat." Nenggolo menimpali.Tapi beberapa saat kemudian terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan menjengkelkan!"Nenggolo palingkan wajah, buang m
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki Bwana Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi. Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.Bruus...!Serumpun pohon pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki Bwana Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.Beberapa saat kemudian, suara deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati
KALAU saja Pendekar Kera Sakti kala itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan Ki Bwana Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Baraka cukup awas, sebab siang itu Ki Bwana Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat lirih. Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan di bawah pohon tersebut.Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki Bwana Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu. Tiga orang tersebut adalah para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam
"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali bolak-balik!""Lakukanlah! Aku sudah siap menerima seranganmu. Citradani!""Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan kipasnya.Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.Duuuhg...!"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Baraka sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi meraka masing-masing.Rupanya Citradani masih kuat walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya.Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut
"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?""Benar. Sekarang kau tahu wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."Baraka semakin malu dan tersipu. Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya. "Apakah sekarang kau masih berani menggelitik perutku?"Baraka semakin salah tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli sendiri di dalam hatinya."Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Baraka nekat mendekati wajah itu."Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Baraka sambil melangkah ke batang pohon. Pundak dan lengannya disandarkan di b
SEKALIPUN Baraka mengetahui bahwa Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Bwana Sekarat, siapa tahu membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan."Biarkan dia berhadapan dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Baraka sempat terperanjat."Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?""Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau melarikan diri terbirit-birit.""Seberapa dekat kau mengenal Nyai Demang Ronggeng?""Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!""Pantas jika Iblis Raja Naga ingin membunuh Ki Bwana Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar Iblis Raja Naga itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng dan K
"Apa salahku pergi dengan gadis itu?""Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya. Tetapi Baraka justru tersenyum geli. Ia garuk-garuk kepalanya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata."Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba-tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu."Paman Gandra! Kenapa kau!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang."Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah! bentak Rangku kepada Baraka.