Bawera memandangi Ayumanis dari ujung rambut sampai telapak kaki. Pandangan matanya penuh selidik. ‘O..., ini yang namanya Ayumanis,’ Bawera membatin. ‘Benar-benar manis dia. Menurutku, bukan hanya manis wajahnya, tapi malah cantik. Bahkan sangat cantik. Andaikan tidak urusan tentang kematian Temon, aku sebenarnya berminat menjadikan Ayumanis sebagai istri mudaku.’
”Ayumanis...,” kata Bawera, “langsung saja, aku ingin tahu, siapa yang telah membunuh anakku?”
Nada suara Bawera meninggi, menandakan kemarahan yang memuncak. Sedangkan empat anak buahnya telah mencabut pedang yang berkilat-kilat tajam. Pedang-pedang di tangan mereka seolah-olah sedang haus darah dan minta dicarikan tumbal!
Kehadiran anak buah Bawera membuat suasana menjadi tidak tenang. Tidak nyaman. Siapa pun yang berhadapan dengan Bawera seolah-olah merasa ditekan, diancam keselamatan jiwanya.
Bawera memang
“Kira-kira Gabrul dan Kepyur apa bisa berhasil membujuk Ayumanis?” tanya Sumbung. “Aku harap mereka berhasil membujuk Ayumanis agar mau menyerahkan Penginapan Melati Jingga kepada kita.”Gubegan memandang ke kejauhan sambil berkata, “Jangan terlalu berharap, Kang, nanti malah kecewa.”“Kecewa bagaimana?”“Kecewa ya kecewa. Kecewa kok bagaimana?”“Maksudku, aku kecewa tentang apa?”“Kang Sumbung jangan terlalu berharap pada mereka berdua. Kalau mereka ternyata gagal meminta Ayumanis untuk menyerahkan Penginapan Melati Jingga pada kita, maka Kakang Sumbung bisa kecewa. Bahkan mungkin malah sangat kecewa. Pada akhirnya Kang Sumbung bisa marah-marah tidak karuan.”Sumbung tidak langsung menanggapi perkataan Gubegan yang kalau dicermati, ada benarnya juga. Dia menyadari bahwa kalau sampai terjadi pertarungan, Gabrul dan Kepyur tentu tidak akan bisa m
Sumbung memerintahkan anak buahnya dengan tujuan untuk mempermalukan pendekar wanita itu. Dia anggap pendekar wanitu bersikap sombong dan sok jagoan. Dalam perhitungan pendekar yang wajahnya disembunyikan itu hanya pendekar biasa yang bisa ditangani dengan mudah. ‘Pukulannya lambat, sehingga bisa kuhindari,’ Sumbung berkata dalam hatinya. ‘Dari situ bisa ditebak, dia pendekar biasa, sehingga pasti bisa ditundukkan dalam beberapa kejapan mata. Dia pendekar yang sombong, sehingga perlu diberi pelajaran. Kalau tidak diberi pelajaran, nanti malah semakin tidak tahu sopan santun.’ Mendengar ‘sayembara’ dari Sumbung, semua anak buah gerombolan perampok itu segera menyerbu si pendekar wanita. Mereka beramai-ramai ingin menangkap pendekar wanita itu. Mereka secara bersamaan ingin membuka kain yang menutup wajahnya. “Hayo, Nona Manis, bukalah kainmu supaya bisa terlihat wajah cantikmu!” kata seorang perampok berbadan tinggi besar sambil berusaha mendekat dan mengambil kain penutup wajah pend
Blendok dan Tribaga saling pandang.“Kenapa kalian kok kelihatan ragu-ragu? Ayo katakan saja keperluan kalian datang kemari!”Tribaga menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Kami sudah mendapatkan kabar tentang kematian Raden Tumon.”Bawera memperhatikan pendekar muda di depannya. Pendekar usia muda itu berwajah keras, bertubuh tinggi kurus, dan mempunyai senjata andalan tiga jenis. Dia dapat memainkan pedang, senjata rahasia, dan pisau sama baiknya. Selama ini Bawera mengandalkan Tribaga untuk menangani berbagai masalah yang dia hadapi.”Ternyata dugaan Tuan Bawera dulu itu benar adanya,” Blendok menambahkan. Pendekar berbadan besar, berwajah agak lucu saking gemuknya ini mempunyai senjata andalan berupa gada besi yang bergerigi tajam. Gada besi di tangan Blendok sangat berbahaya bagi musuh-musuhnya. Apalagi gada besi itu bergerigi, maka sekali kena sabet, lawan bisa mati seketika.Bawera mengan
Suro Joyo mundur beberapa langkah sambil menyorongkan telapak tangan kanannya ke arah lawannya.“Tunggu, Kisanak!” kata Suro Joyo dengan nada tenang. “Sebelum kamu membunuhku, aku punya hak untuk tahu alasannya. Setidaknya, kalau aku mati, matiku tidak penasaran.”Pendekar wanita yang bersenjata pedang menghentikan serangan. Pandangannya memusat pada sosok Suro Joyo. Dirinya tidak ingin teperdaya oleh pendekar yang punya julukan Pendekar Rajah Cakra Geni. Pendekar yang menyembunyikan wajahnya tersebut sesekali melirik ke arah orang-orang yang berkerumun.“Jangan sok aksi, Suro Joyo!” kata si pendekar wanita dengan suara lirih. “Kamu pasti tahu bahwa aku tidak mungkin bisa membunuhmu. Jadi jangan mengolok-olokku!”“Siapa yang mengolok-olokmu, Kisanak? Aku berkata jujur. Aku berkata apa adanya. Kamu tahu kan bahwa sehebat apa pun seseorang, dia suatu saat bisa apes juga. Aku tidak pernah me
Suro Joyo tidak langsung menjawab pertanyaan Ayumanis. Dia diam beberapa saat. Dia ingin mencari kata-kata yang tepat dan singkat untuk menjelaskan maksud ucapannya tadi.Ayumanis juga diam. Dia menunggu jawaban dari Suro Joyo. Gadis itu dalam hati mengagumi Suro Joyo. ‘Andai saja aku bukan adik seperguruannya, aku bisa jatuh cinta pada Suro Joyo,’ batin Ayumanis. ‘Aku anggap Suro Joyo seperti kakak kandung. Dengan memposisikan diri sebagai adik kandung, aku bebas bermanja-manja pada Suro Joyo.’”Kesenangan yang diperoleh Janur, merupakan kesenangan yang bersifat fana,” Suro Joyo menjelaskan. “Itu hanya kesenangan semu. Bukan kesenangan yang sebenarnya. Sifatnya tidak abadi. Juga tidak bermutu. Andaikata ada mutunya, maka mutunya termasuk rendah. Rendahan. Dia merasa senang, tapi hanya sekejap, setelah itu hilang.”Ayumanis mengangguk-angguk ketika mendengarkan penjelasan Suro Joyo.
Ayumanis teringat kematian Raden Tumon beberapa waktu lalu. Dia menduga, Bawera mendatangi Penginapan Melati Jingga dengan membawa anak buahnya untuk menuntut balas atas kematian Raden Tumon. ‘Tidak ada kapok-kapoknya Bawera mau mencari masalah denganku,’ batin Ayumanis. ‘Kalau itu yang diinginkan Bawera, aku tidak akan berkelit lagi. Aku tidak akan menghindar lagi dari masalah ini. Sebaiknya hari ini juga masalahku dengan Bawera dituntaskan.’ Beberapa saat Ayumanis mengamati wajah Wandagni yang pucat pasi. Mungkin dia takut Penginapan Melati Jingga akan diratakan oleh Bawera. Ayumanis merasa kasihan pada anak buahnya yang sangat setia itu. pagi-pagi begini sudah mencarinya ke sini. ”Bawera mengepung Penginapan Melati Jingga?” tanya Ayumanis disertai gemertakan gigi. ”Kalau begitu, biar aku yang menghadapinya.” Ayumanis segera melesat menuju penginapan. Disusul Wandagni dan Suro Joyo. Dalam beberapa saat mereka
“Aku tidak mengatakan begitu,” sahut Bawera. “Tapi siapa tahu sebenarnya Wandagni yang memancing-mancing Tumon supaya masuk kamarnya.”“Hehehe..., kamu menduga seperti itu?” Suro Joyo bertanya sambil tersenyum sinis. “Aku bisa maklum. Kenapa? Karena kamu termasuk orang yang suka berpikir mesum ketika melihat perempuan. Pikiran seperti itu diwarisi Raden Tumon. Maka Raden Tumon berpikir mesum ketika melihat Wandagni. Dalam bayangannya, bayangan yang semu, bayangan yang bukan sebenarnya, Wandagni suka padanya. Padahal dalam kenyataan, Wandagni tidak suka pada Raden Tumon.”Ketika terjadi perdebatan seru antara Suro lawan Bawera, diam-diam Ayumanis berbisik pada Wandagni, “Wandagni, kamu beri isyarat kepada seluruh anak buah kita! Sekarang kita berada dalam keadaan darurat. Kita dikepung musuh. Mau tidak mau, kita lawan mereka. Suka atau tidak suka, kita berperang
Bawera merasa girang di hati karena berhasil memukul punggung Suro Joyo dengan kedua tangannya secara bersamaan. Dia berharap semoga Suro Joyo mengalami luka dalam yang bisa berakibat fatal. Bawera berharap pukulannya bisa membunuh Suro Joyo. Atau..., kalau tidak bisa membunuh, setidaknya bisa membuat Suro Joyo luka dalam yang parah.“Ternyata kemampuan silat Suro hanya segitu,” gumam Bawera. “Hanya dengan satu gebrakan, bisa kena pukulan. Mestinya kalau dia pendekar hebat, tentu ceroboh seperti itu.”Akibat pukulan dari Bawera, Suro Joyo terdorong ke depan beberapa langkah. Namun, dengan satu gerakan tubuh memutar, Suro Joyo telah menghadap ke arah lawan. Dia berdiri kokoh dalam keadaan telah pasang kuda-kuda untuk bertarung melawan Bawera.Suro Joyo tidak meremehkan Bawera. Dia juga tidak meremehkan siapa saja yang menjadi lawannya. Semua lawan, siapa pun itu, terkenal atau tidak dikenal, tetap diwaspadai. Namun ketika bertarung melawan
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik