“Kira-kira Gabrul dan Kepyur apa bisa berhasil membujuk Ayumanis?” tanya Sumbung. “Aku harap mereka berhasil membujuk Ayumanis agar mau menyerahkan Penginapan Melati Jingga kepada kita.”
Gubegan memandang ke kejauhan sambil berkata, “Jangan terlalu berharap, Kang, nanti malah kecewa.”
“Kecewa bagaimana?”
“Kecewa ya kecewa. Kecewa kok bagaimana?”
“Maksudku, aku kecewa tentang apa?”
“Kang Sumbung jangan terlalu berharap pada mereka berdua. Kalau mereka ternyata gagal meminta Ayumanis untuk menyerahkan Penginapan Melati Jingga pada kita, maka Kakang Sumbung bisa kecewa. Bahkan mungkin malah sangat kecewa. Pada akhirnya Kang Sumbung bisa marah-marah tidak karuan.”
Sumbung tidak langsung menanggapi perkataan Gubegan yang kalau dicermati, ada benarnya juga. Dia menyadari bahwa kalau sampai terjadi pertarungan, Gabrul dan Kepyur tentu tidak akan bisa m
Sumbung memerintahkan anak buahnya dengan tujuan untuk mempermalukan pendekar wanita itu. Dia anggap pendekar wanitu bersikap sombong dan sok jagoan. Dalam perhitungan pendekar yang wajahnya disembunyikan itu hanya pendekar biasa yang bisa ditangani dengan mudah. ‘Pukulannya lambat, sehingga bisa kuhindari,’ Sumbung berkata dalam hatinya. ‘Dari situ bisa ditebak, dia pendekar biasa, sehingga pasti bisa ditundukkan dalam beberapa kejapan mata. Dia pendekar yang sombong, sehingga perlu diberi pelajaran. Kalau tidak diberi pelajaran, nanti malah semakin tidak tahu sopan santun.’ Mendengar ‘sayembara’ dari Sumbung, semua anak buah gerombolan perampok itu segera menyerbu si pendekar wanita. Mereka beramai-ramai ingin menangkap pendekar wanita itu. Mereka secara bersamaan ingin membuka kain yang menutup wajahnya. “Hayo, Nona Manis, bukalah kainmu supaya bisa terlihat wajah cantikmu!” kata seorang perampok berbadan tinggi besar sambil berusaha mendekat dan mengambil kain penutup wajah pend
Blendok dan Tribaga saling pandang.“Kenapa kalian kok kelihatan ragu-ragu? Ayo katakan saja keperluan kalian datang kemari!”Tribaga menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Kami sudah mendapatkan kabar tentang kematian Raden Tumon.”Bawera memperhatikan pendekar muda di depannya. Pendekar usia muda itu berwajah keras, bertubuh tinggi kurus, dan mempunyai senjata andalan tiga jenis. Dia dapat memainkan pedang, senjata rahasia, dan pisau sama baiknya. Selama ini Bawera mengandalkan Tribaga untuk menangani berbagai masalah yang dia hadapi.”Ternyata dugaan Tuan Bawera dulu itu benar adanya,” Blendok menambahkan. Pendekar berbadan besar, berwajah agak lucu saking gemuknya ini mempunyai senjata andalan berupa gada besi yang bergerigi tajam. Gada besi di tangan Blendok sangat berbahaya bagi musuh-musuhnya. Apalagi gada besi itu bergerigi, maka sekali kena sabet, lawan bisa mati seketika.Bawera mengan
Suro Joyo mundur beberapa langkah sambil menyorongkan telapak tangan kanannya ke arah lawannya.“Tunggu, Kisanak!” kata Suro Joyo dengan nada tenang. “Sebelum kamu membunuhku, aku punya hak untuk tahu alasannya. Setidaknya, kalau aku mati, matiku tidak penasaran.”Pendekar wanita yang bersenjata pedang menghentikan serangan. Pandangannya memusat pada sosok Suro Joyo. Dirinya tidak ingin teperdaya oleh pendekar yang punya julukan Pendekar Rajah Cakra Geni. Pendekar yang menyembunyikan wajahnya tersebut sesekali melirik ke arah orang-orang yang berkerumun.“Jangan sok aksi, Suro Joyo!” kata si pendekar wanita dengan suara lirih. “Kamu pasti tahu bahwa aku tidak mungkin bisa membunuhmu. Jadi jangan mengolok-olokku!”“Siapa yang mengolok-olokmu, Kisanak? Aku berkata jujur. Aku berkata apa adanya. Kamu tahu kan bahwa sehebat apa pun seseorang, dia suatu saat bisa apes juga. Aku tidak pernah me
Suro Joyo tidak langsung menjawab pertanyaan Ayumanis. Dia diam beberapa saat. Dia ingin mencari kata-kata yang tepat dan singkat untuk menjelaskan maksud ucapannya tadi.Ayumanis juga diam. Dia menunggu jawaban dari Suro Joyo. Gadis itu dalam hati mengagumi Suro Joyo. ‘Andai saja aku bukan adik seperguruannya, aku bisa jatuh cinta pada Suro Joyo,’ batin Ayumanis. ‘Aku anggap Suro Joyo seperti kakak kandung. Dengan memposisikan diri sebagai adik kandung, aku bebas bermanja-manja pada Suro Joyo.’”Kesenangan yang diperoleh Janur, merupakan kesenangan yang bersifat fana,” Suro Joyo menjelaskan. “Itu hanya kesenangan semu. Bukan kesenangan yang sebenarnya. Sifatnya tidak abadi. Juga tidak bermutu. Andaikata ada mutunya, maka mutunya termasuk rendah. Rendahan. Dia merasa senang, tapi hanya sekejap, setelah itu hilang.”Ayumanis mengangguk-angguk ketika mendengarkan penjelasan Suro Joyo.
Ayumanis teringat kematian Raden Tumon beberapa waktu lalu. Dia menduga, Bawera mendatangi Penginapan Melati Jingga dengan membawa anak buahnya untuk menuntut balas atas kematian Raden Tumon. ‘Tidak ada kapok-kapoknya Bawera mau mencari masalah denganku,’ batin Ayumanis. ‘Kalau itu yang diinginkan Bawera, aku tidak akan berkelit lagi. Aku tidak akan menghindar lagi dari masalah ini. Sebaiknya hari ini juga masalahku dengan Bawera dituntaskan.’ Beberapa saat Ayumanis mengamati wajah Wandagni yang pucat pasi. Mungkin dia takut Penginapan Melati Jingga akan diratakan oleh Bawera. Ayumanis merasa kasihan pada anak buahnya yang sangat setia itu. pagi-pagi begini sudah mencarinya ke sini. ”Bawera mengepung Penginapan Melati Jingga?” tanya Ayumanis disertai gemertakan gigi. ”Kalau begitu, biar aku yang menghadapinya.” Ayumanis segera melesat menuju penginapan. Disusul Wandagni dan Suro Joyo. Dalam beberapa saat mereka
“Aku tidak mengatakan begitu,” sahut Bawera. “Tapi siapa tahu sebenarnya Wandagni yang memancing-mancing Tumon supaya masuk kamarnya.”“Hehehe..., kamu menduga seperti itu?” Suro Joyo bertanya sambil tersenyum sinis. “Aku bisa maklum. Kenapa? Karena kamu termasuk orang yang suka berpikir mesum ketika melihat perempuan. Pikiran seperti itu diwarisi Raden Tumon. Maka Raden Tumon berpikir mesum ketika melihat Wandagni. Dalam bayangannya, bayangan yang semu, bayangan yang bukan sebenarnya, Wandagni suka padanya. Padahal dalam kenyataan, Wandagni tidak suka pada Raden Tumon.”Ketika terjadi perdebatan seru antara Suro lawan Bawera, diam-diam Ayumanis berbisik pada Wandagni, “Wandagni, kamu beri isyarat kepada seluruh anak buah kita! Sekarang kita berada dalam keadaan darurat. Kita dikepung musuh. Mau tidak mau, kita lawan mereka. Suka atau tidak suka, kita berperang
Bawera merasa girang di hati karena berhasil memukul punggung Suro Joyo dengan kedua tangannya secara bersamaan. Dia berharap semoga Suro Joyo mengalami luka dalam yang bisa berakibat fatal. Bawera berharap pukulannya bisa membunuh Suro Joyo. Atau..., kalau tidak bisa membunuh, setidaknya bisa membuat Suro Joyo luka dalam yang parah.“Ternyata kemampuan silat Suro hanya segitu,” gumam Bawera. “Hanya dengan satu gebrakan, bisa kena pukulan. Mestinya kalau dia pendekar hebat, tentu ceroboh seperti itu.”Akibat pukulan dari Bawera, Suro Joyo terdorong ke depan beberapa langkah. Namun, dengan satu gerakan tubuh memutar, Suro Joyo telah menghadap ke arah lawan. Dia berdiri kokoh dalam keadaan telah pasang kuda-kuda untuk bertarung melawan Bawera.Suro Joyo tidak meremehkan Bawera. Dia juga tidak meremehkan siapa saja yang menjadi lawannya. Semua lawan, siapa pun itu, terkenal atau tidak dikenal, tetap diwaspadai. Namun ketika bertarung melawan
Pertarungan bersenjata antara Sunita melawan Blendok berlangsung seru. Keduanya sama-sama ahli memainkan senjata masing-masing. Sunita memainkan pedangnya dengan lincah. Mata pedang yang tajam itu berkelebat-kelebat mencari celah untuk menusuk lawan.Blendok menggunakan gada bergeriginya untuk menangkis pedang lawan. Kadang-kadang Blendok berusaha menghantam tubuh lawan denga senjata penghancur yang ada di tangannya.Trang! Ting! Tang!Beberapa kali terjadi benturan dua senjata yang menimbulkan percikan api dan suara berdentingan. Sunita telah mengeluarkan beberapa jurus pedang untuk menundukkan lawan. Blendok juga telah menggunakan segala kemampuannya menggunakan gada bergerigi. Namun belum terlihat pihak mana yang kalah atau pun menang.‘Melawan Blendok tidak bisa mengandalkan otot dan kemampuan menggunakan senjata saja,’ kata Sunita dalam hati. ‘Aku harus menemukan akal untuk bisa mengalahkan Blendok.’