Suatu saat Banaswarih melenting tinggi di udara saat menghindari tombak pendek yang disabetkan lawan. Ketika tubuhnya berada di ketinggian, secara cepat dia memutar tubuh sambil menghantakan ujung kaki kanan ke wajah Jegonglopo. Jegonglopo tersorong ke belakang beberapa tombak. Pandangan matanya sedikit kabur. Dia mundur beberapa langkah untuk pasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan susulan. “Ternyata hanya sampai di situ kemampuanmu, Jegonglopo,” kata Banaswarih. “Kamu tidak mungkin bisa merebut tahta Kerajaan Karangtirta! Sebelum semuanya terlanjur, lebih baik kamu menyerah saja! Segala kesalahanmu akan kumaafkan dan kamu bisa hidup sebagai rakyat Karangtirta asalkan tidak melakukan perbuatan jahat lagi.” “Huahahaha…, jangan sok bijak dan telah merasa memenangkan pertempuran, Banaswarih!” kata Jegonglopo dengan nada sinis. “Kamu belum tahu kemampuanku sebenarnya! Tidak ada keinginan dari Jegonglopo untuk menyerah kepada lawan yang punya kemampuan di bawahnya.” Jegonglopo menyer
“Hm…, ternyata Ganggayuda menggunakan cara yang licik untuk memperdaya lawan,” gumam Suro Joyo pada diri sendiri. “Dia bukan hanya ingin membunuhku, tetapi juga ingin mencari korban dari pihak lawan sebanyak-banyaknya. Tidak mudah bagiku untuk menghadapi tantangannya.”Suro Joyo merasa miris ketika memikirkan tentang orang-orang semacam Ganggayuda yang tega melakukan kekejaman dalam bentuk apa pun demi memenuhi keinginannya. Ganggayuda sampai hati mengobarkan perang saudara sesama rakyat Karangtirta demi merebut tahta yang bukan haknya.Tahta Kerajaan Karangtirta adalah milik Raja Tiyasa secara sah. Tahta Kerajaan Karangtirta tidak bisa diberikan kepada orang lain selain keturunan Raja Tiyasa, yakni Banaswarih. Namun Ganggayuda yang telah lama memendam ambisi untuk mendapatkan tahta Kerajaan Karangtirta, melakukan pemberontakan.Ganggayuda telah menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan, utamanya kalangan perampok. Selain itu, Ganggayuda mempengaruhi para pendekar yang ingin mendapat
Kali ini kamu tidak akan bisa menghindari seranganku, Tunggulsaka! Begitu kata Olengpati dalam hati. Kamu bakalan mampus sekarang!Tunggulsaka terlihat tenang. Sebagai senapati andalan Kerajaan Karangtirta, tentunya dia bukan sembarang orang. Tunggulsaka bukan sembarang prajurit. Dia bukanlah senapati yang bisa dianggap enteng dan disepelekan. Selama dirinya menjadi senapati Kerajaan Karangtirta, sudah banyak pertempuran dia alami. Maka ketika sekarang dirinya bertempur melawan pemberontak, pembawaannya tenang. Begitu juga ketika bertarung satu lawan satu, tidak terlihat grogi atau pun panik.Ketika tubuh lawan sema kin dekat, Tunggulsaka hanya melemparkan diri ke kanan. Dia menghindari sabetan golok Olengpati yang meluncur cepat. Bahkan sabetan golok Olengpati sangat cepat untuk membabat sasaran.Wuuut!Olengpati yakin bahwa golok di tangannya berhasil mengena sasaran. Olengpati merasa bahwa goloknya berhasil menuntaskan pertempuran. Kemenangan dalam genggaman. Begitu rangkaian kata
“Hm…, tiga Ganggayuda tidak takut sama sekali dengan Ajian Rajah Cakra Geni,” gumam Suro Joyo yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Apakah tiga Ganggayuda itu palsu? Belum tentu. Bisa saja satu di antara tiga Ganggayuda yang akan kuhantam dengan ajianku sebenarnya Ganggayuda asli, tapi pura-pura tidak takut. Tujuannya untuk mengecoh diriku.”Suro Joyo tadi memang sengaja tidak menghantam tiga Ganggayuda dengan ajian saktinya. Dia tidak mau membunuh tiga Ganggayuda karena takut mereka bukan Ganggayuda yang asli. Tiga dari Ganggayuda sebenarnya prajurit Karangtirta. Kalau tidak hati-hati, Suro Joyo secara tidak sengaja malah membunuh prajurit Karangtirta.Ganggayuda benar-benar licik. Begitu kata hati Suro Joyo dengan perasaan geram yang terpendam. Dia benar-benar sosok bajingan yang tidak mengenal belas kasihan. Dia bajingan yang suka mengadu domba orang demi keuntungan diri sendiri. Dia manusia bajingan yang suka memperalat orang lain demi kepentingan diri pribadi. Kalau nanti aku b
Sebuah kapal layar milik seorang saudagar dari Tiongkok melaju pelan meninggalkan Tanah Jawa. Semakin ke tengah laut, semakin cepat laju kapal dagang tersebut. Empat orang laki-laki berdiri di geladak kapal layar yang besar itu. Mereka adalah Suro Joyo, Lau Pan, Ching Cuan, dan Sou Wei.Suro Joyo terlihat gagah mengenakan pakaian serba kuning, berikat kepala warna kuning, dan mengenakan ikat pinggang yang berhiaskan kepala burung rajawali. Wajahnya yang tampan terlihat memandang ke kejauhan, yakni ke arah utara. Sejauh mata memandang hanya terlihat kebiruan air laut yang seolah-olah tiada bertepi.Baru kemarin aku terlibat pertempuran dahsyat melawan para pemberontak pimpinan Ganggayuda. Kata Suro Joyo di dalam hati. Ganggayuda dan anak buahnya ingin merebut tahta dari Tiyasa yang menjadi raja di Kerajaan Karangtirta. Aku membantu melawan pemberontak sebagai balas terhadap Banaswarih, putra mahkota Karangtirta. Sekarang aku mesti melanjutkan pengembaraan menuju Tanah Utara, atau masya
“Siapa mereka?” tanya Suro Joyo pada diri sendiri. “Apa yang akan mereka lakukan? Siapa pun mereka, apa pun yang akan mereka lakukan terhadap kapal ini, aku harus mencegahnya! Aku harus melawan mereka yang kelihatannya ingin melakukan tindakan jahat di kapal yang kutumpangi.” Suro Joyo mengingat-ingat cerita teman-temannya tentang penjahat atau gerombolan penjahat yang melakukan kejahatan di lautan. Samar-samar dia teringat tentang keberadaan penjahat yang menjarah harta milik orang-orang yang melintas di lautan. “Orang-orang yang melakukan perampokan di tengah laut biasanya disebut bajak laut atau perombak,” gumam Suro Joyo. “Jadi…, apa mereka ini bajak laut?” Tiba-tiba terdengar suara keras. Bahkan sangat keras. Saking kerasnya, suara itu sampai memekakkan telinga. Dhuer! Dhueeer! Terjadi benturan antara dua balok kayu yang dilemparkan Suro Joyo dengan besi berkait dengan tali besar. Dua balok hancur berkepingan setelah berhasil menggagalkan dua tali berkait besi. Kaitan itu jat
Suro Joyo mengatakan sebuah kenyataan apa adanya. Tidak ditambah, tidak juga dikurangi. Dia mendapatkan cerita tentang keganasan bajak laut pimpinan Ponggewiso dari beberapa orang. Ceritanya dari beberapa orang itu tidak sama persis, tetapi satu dengan lain ada kesamaannya, yaitu Ponggewiso dan gerombolannya sesama bajak laut sangat kejam.“Ponggewiso dan gerombolannya tidak segan-segan membunuhi seluruh orang yang berada dalam kapal yang dirampoknya,” lanjut Suro Joyo dalam menceritakan tentang gerombolan perompak di Selat Utara atau Selat Selebes itu. “Ponggewiso dan anak buahnya tidak pernah merasa belas kasihan kepada orang-orang yang dirampoknya.”Lau Pan dan anak buahnya terdiam mendengarkan cerita Suro Joyo. Mereka mendengarkan cerita yang diungkapkan Suro Joyo dengan penuh perhatian. Tak ada satu pun yang menganggap cerita dari Suro Joyo hanyalah omong kosong atau sekadar untuk menakut-nakuti.“Menurut cerita yang bere
”Anak buah Tuan Lau Pan ternyata jago main senjata golok,” gumam Suro Joyo. “Mereka bisa menandingi para bajak laut yang sok jago. Mereka mampu membuat anak buah Ponggewiso keteter.”Kata-kata yang digumamkan Suro Joyo tidak salah. Anak buah Lau Pan berhasil memecah gerombolan bajak laut menjadi dua kelompok. Para bajak laut terpecah kekuatannya. Kalau mereka bergerombol, maka akan mudah menghabisi anak buah Lau Pan. Namun karena mereka terpecah menjadi dua bagian, kekuatan mereka tinggal separuh untuk masing-masing kelompok.Beberapa bajak laut luka parah terkena sabetan golok-golok anak buah Lau Pan dalam pertempuran yang seru. Sebagian dari anak buah Ponggewiso itu malah terjungkal tewas dan masuk ke laut. Para bajak laut tewas karena terkena sabetan golok yang cepat dan sulit dihindari.“Bajingan…, kalian licik!” umpat seorang bajak laut yang masih hidup. “Jangan merasa telah menang. Kalian semua akan ku
Sebelum menemukan satu cara untuk menghadapi jurus lawan, tiba-tiba Suro Joyo tertawa-tawa riang. Dia ingat sesuatu. Sesuatu itu adalah nama jurus terakhir yang akan dikeluarkan lawannya. ”Hehehe..., aku sudah tahu sekarang!” kata Suro Joyo. “Kamu mau mengeluarkan Jurus Ular Api Neraka. Iya kan? Ah..., tapi aku ngak percaya kalau jurusmu itu hebat. Soalnya caranya seperti cacing kepanasan... !” ”Suro Joyo! Tak perlu banyak bacot! Sekarang bersiap-siaplah kukirim ke neraka, hiaaat…!” teriak Sanggariwut sambil melompat tinggi dengan gerakan tangan siap mencakar lawan. Gerakan cepat yang dilakukan Sanggariwut ini merupakan kembangan dari jurus mautnya. Kembangan jurus ini dinamakan gerakan ’Ular Neraka Mematuk Mangsa.’ Sanggariwut meluncur ke arah Suro Joyo untuk mencakar wajah lawan. Secara sigap, Suro Joyo melibaskan pedang saktinya untuk menebas leher Sanggariwut. Namun Sanggariwut malah menggenggam ujung pedang Suro Joyo dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri siap mencakar
”Kalau kamu tak percaya, akan kubuktikan sekarang juga, hiaaat...!” seru Wadungsarpa sambil menusukkan kerisnya ke arah leher lawan.Sargo cepat menangkis dengan pedangnya. Terdengar dentingan nyaring disertai sinar berkilatan. Saat pedang Sargo berbenturan dengan keris lawan, pedang itu patah menjadi beberapa bagian.Senapati Pulungpitu itu terbelalak kaget. Wadungsarpa tak memberi kesempatan, dia segera melesat cepat dengan ujung keris mengarah dada lawan.Gerakan Wadungsarpa sangat cepat, membuat Sargo panik. Dia tak mungkin menangkis senjata sakti Wadungsarpa hanya dengan menggunakan pedang yang tinggal gagangnya! Ketika Sargo sedang berpikir untuk menyelamatkan diri, Keris Kawungtunjem terus melesat untuk menembus jantungnya!Secara tak terduga, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Baru saja terjadi benturan keras antara Keris Kawungtunjem dengan Pedang Dadaplatu. Benturan dua senjata sakti juga menimbulkan pijaran api. Pedang sakti berkelo
“Bisa saja. Makanya, aku lebih baik menjadi pendekar pengembara.”Kedua pendekar muda itu bercakap-cakap cukup lama. Sampai tak menyadari kehadiran Ratri di dekat mereka.”Oh, Nona Ratri!” sapa Sargo yang lebih dulu mengetahui kehadirannya. ”Belum tidur?””Belum, aku merasa sulit tidur. Maka aku kemari kerena juga ada perlu dengan Suro,” jawab Ratri. Sekaligus menyuruh Sargo meninggalkan tempat itu secara halus.”Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Sargo tahu diri.“Maaf, Senapati, kalau mengganggu.”“Tidak apa-apa, Nona. Mari Suro!””Mari,” sahut Suro Joyo. Lalu Sargo bergegas masuk ke rumah.Samar-samar wajah cantik Ratri diterangi oleh sinar lentera yang tergantung di teras. Sebenarnya dada Suro Joyo sedikit berdesir-desir seperti orang naksir. Namun dia tahan sekuat tenaga. Untuk saat ini dia belum berminat memikirkan kekasih.
Keksi Anjani menghantamkan Ajian Maruta Seketi ke arah dada Miguna. Hantaman angin puting beliung siap menghempaskan tubuh tua itu sejauh ribuan tombak. Atau bisa juga membenturkan tubuh Miguna dengan benda keras hingga remuk!Terdengar suara puting beliung menggiriskan hati.Miguna memutar pedang saktinya di depan dada. Lalu dia silangkan pedang di depan dada. Ketika angin puting beliung menghantam dada, angin deras itu membalik ke arah Keksi Anjani!Keksi Anjani menghindar, angin puting beliung menghantam pendapa kalurahan hingga berkeping-keping! Pendapa Jenggalu hancur berkepingan terkena terjangan Ajian Maruta Seketi.Putri Siluman Alan Waru itu tertegun setelah tahu bahwa ajiannya dapat ditangkis dan dibalikkan oleh lawan. Lawan yang sudah tua renta lagi! Sungguh malu dan geram Keksi Anjani atas kenyataan dihadapi.Keksi Anjani mencabut pedangnya. Pedang tipis tersebut akan dia padukan dengan gerakkan yang cepat seperti siluman untuk menyeran
Di tengah berkecamuknya pertarungan, tiba-tiba Sanggariwut dan Keksi Anjani terjun di arena pertempuran. Mereka mengamuk ke dalam barisan prajurit Pulungpitu. Para prajurit yang bersenjata pedang itu bertumbangan terkena sabetan selendang Keksi Anjani yang mematikan.Sudah beberapa saat berlalu pertarungan semakin seru. Para prajurit yang bertarung melawan anak buah Wadungsarpa tidak merasa kesulitan dalam merobohkan lawan. Karena anak buah Wadungsarpa memang tidak begitu pandai memainkan jurus pedang. Jadi dengan mudah dapat dirobohkan.Pertarungan semakin seru juga terjadi antara Taskara melawan Bremara. Taskara telah mengeluarkan senjata andalannya berbentuk trisula. Bremara pun mengeluarkan tongkat semu dari balik pinggang. Taskara langsung menusukkan senjatanya ke arah lawan. Bremara menangkis senjata lawan dengan tongkat semunya. Beberapa kali dia berhasil menangkis trisula lawan. Pada satu kesempatan Bremara mengetokkan tongkatnya
”Kalau kamu masih penasaran dan ingin bertarung denganku, kutunggu di Jenggalu!” seru Sanggariwut sambil melesat pergi bersama Keksi Anjani. Mereka melesat ke arah selatan, menuju Jenggalu. Sepeninggal mereka, Suro Joyo segera mendekati Sargo yang tertelungkup di tanah. Di punggungnya yang robek terlihat dua tapak kaki yang gosong. Suro Joyo pernah mendengar tentang Jurus Ular Api Neraka yang hanya dimiliki Sanggariwut. Tendangan maut itu kalau dilakukan secara sempurna, maka yang ditendang akan jebol dan gosong. Mungkin tendangannya tadi kurang sempurna, sehingga punggung Sargo hanya gosong. Tapi, masih hidupkah dia? Suro Joyo meraba pergelangan Sargo. Ternyata masih ada denyutan. Berarti senapati muda itu masih hidup. Segera Suro Joyo mencabut pedang saktinya. Dia tempelkan gagang pedang pada punggung Sargo yang gosong. Hal itu untuk menyerap hawa panas akibat tendangan jurus maut dari Sanggariwut. Setelah tubuh Sargo normal, Suro Joyo mengembalikan pedangnya di sarung yang meling
Pada sisi lain, pertempuran antara anak buah Sanggariwut melawan para prajurit Pulungpitu semakin seru. Kedua pihak timbul korban. Walau jumlahnya berimbang, tapi anak buah Sanggariwut semakin menipis. Sekarang tinggal beberapa orang saja yang kocar-kacir mencari selamat dengan melarikan diri memasuki Jenggalu. Para prajurit Pulungpitu terus mengejar mereka secara beramai-ramai. Sanggariwut yang melihat anak buahnya berlarian, jadi semakin gusar. Sungguh tak diduga bahwa mereka ternyata pengecut dan memalukan! Hal ini justru membuat Sanggariwut ingin segera menyelesaikan pertempuran ini. Dia segera mencabut senjata andalannya. Cambuk Sewugeni! Cambuk tersebut langsung dia sabetkan secara bertubi-tubi ke arah lawan. Sargo mesti berjumpalitan mencari selamat. Setiap cambuk menghantam pohon, maka pohon itu hancur dan terbakar. Terdengar suara menggelegar setiap kali cambuk sakti disabetkan. Batu yang tersabet ujung Cambuk Sewugeni pun hancur berkeping-keping disertai letupan api. Sargo
Sanggariwut kini menyadari bahwa lawan-lawan yang dihadapi bukan sembarang pendekar. Mereka ternyata orang-orang hebat, jago-jago silat dengan segudang pengalaman di dunia persilatan.Bukan hanya Sanggariwut, Keksi Anjani pun sadar diri bahwa lawan-lawan mereka ternyata para pendekar hebat yang menjadi senapati Pulungpitu. Pendekar wanita itu makin sadar diri setelah tahu kehebatan Sargo.“Keksi…, lawan kita ternyata para pendekar hebat,” kata Sanggariwut kepada Keksi Anjani dengan nada lirih. “Mereka orang-orang pilih tanding yang punya banyak pengalaman. Kalau kita tadi hati-hati, justru kita berdua yang tewas di tangan mereka.”“Aku pun tak menduga kalau orang-orang Pulungpitu itu ternyata ada yang hebat,” sahut Keksi Anjani. “Benar-benar ini sebuah kejutan.”Walaupun dirinya tahu kalau lawan-lawan yang dihadapi punya kelebihan yang layak diperhitungkan, Keksi Anjani tidak mau harga dirinya jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, apalagi terkesan kalah di depan lawan-lawannya. Keksi A
”Huahahaha..., aku sudah tahu tujuan kalian,” kata Sanggriwut dengan lantang. ”Kalian pasti ingin menggempur Jenggalu. Maka dari itu, kami sudah menyiapkan sambutan yang sangat meriah untuk kalian. Kayu besar ini akan kami gunakan untuk menyambut kalian...!”Sanggariwut dan Keksi Anjani bersalto ke belakang. Lalu kedua tangan mereka yang dimuati tenaga dalam, disorongkan ke depan untuk menghantam kayu gelondongan yang melintang di jalan. Kayu gelondongan melesat cepat ke arah Sargo dan anak buahnya! Kayu besar tersebut melesat untuk menghantam dan menggencet mereka...!“Awas!” teriak Panggas memperingatkan kepada teman-teman dan anak buahnya.Panggas tidak ingin dirinya, teman-teman, dan prajurit Pulungpitu celaka akibat terpaan gelondongan kayu yang besar. Kayu gelondongan yang besar itu sangat berat. Manusia yang terhantam bisa celaka. Manusia yang tergencet, bisa tewas seketika.“Cepat menghindar!” Sargo menyambut teriakan Panggas. Sargo, Sang Senapati Pulungpitu, juga punya pemik