Bima melesat dengan cepat dengan penuh semangat. Hingga akhirnya dia sampai di rumah terakhir yang sudah hancur akibat serangan Manik dan para pengikutnya di desa itu. Bima berdiri di tengah jalan menghadang rombongan berkuda dengan jumlah yang cukup banyak. Rombongan itu berhenti. Wicaksono menatap tajam, lalu dengan cepat dia cabut pedangnya. "Hei, kisanak, apa yang kau lakukan di tengah jalan! Menyingkir lah atau mati!" hardik Wicaksono. Bima tersenyum kecil. Dia cabut pedangnya. "Waktunya makan pedangku..." ucap Bima dengan seringainya yang membuat para murid itu tegang. Tanpa babibu lagi Bima melesat kearah rombongan itu. Mata kanan nya memancarkan sinar biru. "Hati-hati! Dia akan menyerang!" teriak Wicaksono. Namun terlambat, Bima sudah melompati nya dan langsung mengarah ke para murid yang ada di belakang. "Mengirim bocah Tubuh Besi padaku? Kalian sangat konyol!" ucap Bima masih den
Kuda-kuda itu berlari cukup kencang. Suaranya terdengar dari kejauhan. Saat rombongan kuda itu melewati rumah-rumah penduduk desa, semua orang menatap dengan penuh rasa penasaran. Kuda-kuda itu membawa kantong-kantong berisi sesuatu. Dan cairan berwarna merah pekat berceceran dari kantong itu menebar bau amis yang membuat mual. Rombongan kuda itu masuk ke dalam Perguruan Ular Hitam. Suaranya terdengar hingga ke rumah Ki Kalam dan Ki Sura. Mereka berdua mengira para guru dan muridnya berhasil menangkap Bima. "Luar biasa, Wicaksono bergerak sangat cepat. Sesuai harapanku!" ucap Ki Kalam. Dengan tergopoh-gopoh mereka pun keluar dari rumah dan menghampiri halaman aula tempat berlatih dimana kuda-kuda itu berhenti. Seketika itu juga mata mereka terkejut melihat kuda-kuda itu tanpa ada penunggangnya. Dan yang membuat mereka semakin terkejut adalah buntalan kantong pada pelana kuda-kuda tersebut. Mereka sudah curiga terjadi sesuatu. Namun Ki Sura masih mencoba berpikir tenang. "Mungki
Mata Arimbi pun terpejam setelah merasa nyaman karena tangannya berada dalam genggaman Bima. Pemuda itu menatap wajah Arimbi tanpa berkedip. Ada perasaan yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. "Ada apa denganku? Kenapa hanya dengan melihat wajahnya saja aku merasa sangat nyaman?" batin Bima. Tangan kirinya bergerak ingin mengelus pipi Arimbi. Namun saat jarinya hampir menyentuh kulit putih gadis itu tangannya terhenti. Dia mendengar sesuatu dari arah luar. "Aura Iblis...?" batin Bima. Dengan perlahan Bima melepaskan pegangan tangannya pada Arimbi. Dia merasa aura itu sangat kuat. "Ini aura yang sama saat aku berada di gubuk kecil malam itu..." batin Bima lalu perlahan berjalan ke arah pintu. Dia teringat pembicaraan dengan Banu sebelum meninggal. Banu sudah siap melepaskan Iblis miliknya dan memberikannya kepada Bima. Karena hanya Bima lah yang sanggup menerima Iblis itu. Dan benar saja, dari balik pintu terdengar suara menggeram. Bima menghunus pedangnya. Dia melihat
Keesokan harinya, Arimbi menyediakan sarapan untuk Bima. Dia sengaja memasak bersama pemilik penginapan. Dulu sebelum Arimbi turun gunung dari tempat dia menimba ilmu, dia sering memasak nasi bakar yang di campur dengan bumbu ikan dan kemangi. Kata gurunya makanan buatannya itu sangatlah enak. Itu sebabnya pagi itu Arimbi membuatkannya untuk Bima. Itu adalah pertama kalinya dia membuat makanan untuk seorang pria. Bima menatap nasi yang berada di dalam bambu. Melihat sekilas dia merasa nasi itu enak. Arimbi mengambil nasi itu ke dalam piring tanah beralas daun pisang. "Silahkan kakang, ini adalah makanan buatanku..." ucap Arimbi dengan senyum semringah. Bima menyelupkan tangannya ke dalam mangkuk berisi air. Lalu dia pun menyuapi mulutnya dengan nasi bakar buatan Arimbi. Gadis yang masih diam-diam mencintainya. Mata Bima membesar membuat Arimbi panik seketika. "Ada apa kakang? Apakah tidak enak? atau ada sesua
"Sekarang aku sudah katakan padamu, perkara kamu masih dendam pada Perguruan ku itu bukan masalah lagi. Yang jelas, aku pun mempunyai dendam yang sama dengan dirimu, karena semua muridku kau bunuh secara keji," kata Ki Sura. Bima tersenyum. "Terimakasih Ki, sudah berkata jujur padaku, memberitahu rahasia yang aku tak tahu, tapi apa pun itu alasannya, aku tetap akan memusnahkan semua Perguruan yang ikut andil dalam pembantaian, dan ceritamu tadi tidak akan bisa menghentikan langkahku..." sahut Bima dengan tatapan dingin. Kini tujuannya semakin kuat. Menghancurkan semuanya, bahkan negara Angin Barat sekali pun! Ki Sura tersenyum dengan tekat kuat yang di miliki oleh Bima. Bahkan di dalam Perguruan nya tak ada satu pun murid yang mempunyai jiwa kesatria dan kesetiaan yang begitu besar seperti yang Bima tunjukkan. "Itu terserah kamu anak muda, kamu punya jalan sendiri, begitu juga diriku, kita akan selesai kan semua ini sekarang," kata Ki Sura. Bima menyeringai. "Aku kasih tahu kau
Ki Sura tertawa puas. Dia berdiri setengah terbungkuk karena efek serangan tenaga dalam Bima. "Bagaimana? Apakah kau bisa membandingkan seranganmu sebelumnya dengan yang baru aku katakan?" tanya Ki Sura. Bima menatap orang tua itu dengan heran. Dia merasa tengah di ajari seorang guru. Tapi dia tak tahu harus bersikap apa karena ini baginya adalah pertarungan. "Nama jurus yang baru kau dapat itu adalah Jurus Menarik Matahari," kata Ki Sura. "Sebenarnya apa maksudmu Ki mengajarkan jurus ini padaku?" tanya Bima. "Hei! Siapa yang mengajarimu! Bahkan muridku butuh waktu enam purnama untuk bisa menguasai jurus itu! Kau hanya dalam kejapan mata saja sudah bisa melakukan nya! Kau terlalu berbakat menjadi muridku!" ucap Ki Sura. Bima masih tak mengerti dengan maksud Ki Sura. Tapi dia tak peduli lagi. Dengan cepat dia menyerang kembali. Ki Sura tak diam saja. Dengan kekuatan yang dia miliki dengan mudah Ki Sura mengumpulkan kekuatan angin di tangannya. "Nah, makan ini!" kata Ki Sura sam
Ki Kalam menghentikan kudanya saat dia melihat seekor kuda yang tengah makan rumput di pinggir hutan. Ki Kalam menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan si penunggang kuda. "Aneh... Kenapa kuda ini sendiri? Dimana penunggang kudanya?" batin Ki Kalam. Dia duduk di atas batu untuk menunggu. Setelah cukup lama menunggu dia memutuskan utnuk mencari orang tersebut. "Dia pasti menyadari aku mengejarnya sehingga dia turun dan lebih memilih untuk kabur ke arah hutan... hmmm..."Setelah mempertimbangkan sejenak, Ki Kalam akhirnya memilih ke arah hutan sebelah kiri dimana ada jalan setapak kecil. Dan jalan itu adalah jalan yang tembus ke Perguruan Julang Emas, dimana Arimbi tengah menanti Bima di sana. Ki Sura menangkis semua serangan cepat yang Bima lancarkan. Kali ini Iblis Es di dalam tubuh Bima semakin terlihat. Serangan pun semakin cepat Bima layangkan. Setiap pedangnya mengandung kekuatan ledakan es. Membuat Ki Suta sedikit kelabakan melawan anak muda. "Bagus! Kau sudah
Arimbi mendengar derap kaki kuda. Dia segera mengintip dari balik pagar rumah yang hancur sebagian tersebut. Matanya yang indah itu melihat sosok orang tua berkuda. Orang itu sempat berputar-putar di sekitar gapura. Arimbi yakin orang itu adalah musuh yang mengejarnya saat bersama Bima. Orang yang tak lain adalah Ki Kalam turun dari kudanya. Matanya menyapu seantero tempat. Dia menatap kuda yang terparkir di bawah pendopo itu. "Woe, penjahat! Keluar kau!" teriaknya menggema. Ki Kalam melangkah masuk ke dalam Perguruan yang sudah hancur itu. Seketika dia teringat Perguruan tersebut. "Perguruan sampah memang tak layak berada di dunia ini, selalu berbuat curang untuk bisa berada di atas, cuih!" ucap Ki Kalam. Arimbi tak melihat apa yang orang tua itu lakukan. Apalagi ucapannya yang sangat tidak sopan itu. "Dia orang tua tapi sungguh tak bisa menjadi contoh yang baik! Aku akan beri dia pelajaran!" batin Arimbi. Ki Kalam menoleh saat mendengar langkah kaki Arimbi. Dia menatap gadi
"Terimalah ini Api Pembakar Surga ini!" teriak Abiseka lalu melemparkan bola api raksasa di atas tangannya ke arah empat sosok penjaga Bunga Mahkota Ratu. Bima menatap tak berkedip. Kekuatan bola api yang di lemparkan oleh Abiseka sangat luar biasa panasnya. Saking panasnya membuat Bunga berwarna biru tersebut terlihat layu. "Celaka! Jika di biarkan Bunga itu bisa habis terbakar!" ucap Bima lalu segera berdiri. "Kakang! Mau kemana!?" tanya Arimbi. "Membantu empat penjaga itu! Jika aku diam saja, itu akan jadi masalah..." jawab Bima. Lalu segera saja dia melesat ke arah Bola Api raksasa tersebut. "Pelindung Es...!"Dengan kekuatan Pedang Darah Bima langsung menebas bola api tersebut dengan pedangnya. Woosssshhhh....! Bola api terbelah oleh serangan jarak jauh Bima. Namun sayangnya Api itu tetap melesat ke arah Bunga Mahkota Ratu. Serangan Bima yang membelah bola api itu terus melesat ke arah Abiseka. "Apa ini!?" teriak Abiseka sambil berkelit. Sraaakkkk! Blaaarrrr! Serangan
Siang pun berlalu dan berganti menjadi malam saat matahari sudah terbenam. Hutan Awan Hitam menjadi semakin gelap dan menyeramkan. Di bangunan tua tempat para pendekar dari berbagai rasi berkumpul, terlihat satu cahaya biru terang muncul dari dalam tanah. Semua mata menatap cahaya tersebut tanpa berkedip. Bima dan Arimbi pun sama. Kemunculan Bunga Mahkota Ratu adalah sesuatu yang mendebarkan. Benar saja, dari dalam tanah muncul satu tanaman hijau keluar dari dalam tanah seolah hidup. Pertama muncul di permukaan adalah kuncup bunga tersebut. "Benar... ini adalah Bunga yang di maksud oleh guru! Auranya sangat kuat...!" bisik Bima. Arimbi hanya mengangguk sambil matanya terus menatap ke arah bunga yang keluar dari dalam tanah tersebut. Bunga itu masih kuncup. Semua mata tertuju padanya. Menungu bunga tersebut mekar dan berebut untuk mendapatkannya. "Bersiap Abiseka, ada banyak pasang mata yang telah menantikan kesempatan ini s
"Kenapa kau menggigit jariku?" tanya Bima berbisik. Arimbi tak menjawab. Dia hanya menatap kesal kepada Bima yang menanyakan tentang kegadisannya. Seolah bagi Bima selama ini, dirinya bukanlah seorang gadis. Bima sendiri tak menyadari kekesalan pada gadis itu. Dia juga tak merasa bersalah dengan pertanyaan yang dia lontarkan pada Arimbi. Saat mereka tengah asik dengan pikirannya masing-masing, terdengar suara langkah kaki besar yang menggetarkan tanah. Langkah itu terasa sangat berat berjalan perlahan mendekati bangunan kuno tersebut. Pangeran Baka dan Abiseka menatap ke arah munculnya suara. Mata mereka menatap tajam satu sosok raksasa setinggi pohon berjalan ke arah mereka. Tubuhnya sangat besar sehingga saat kakinya melangkah terdengar suara keras. Dug! Dug! Dug! Abiseka tersenyum. Dia tahu siapa sosok besar itu. "Dia adalah siluman batu dari Klan Bolowatu. Setahuku mereka tak
Mendengar pertanyaan Arimbi membuat Bima tersentak kaget. "Aku lupa menanyakan hal itu kepada guru...! Tapi dia sudah memberi tahu ciri-cirinya padaku, kita akan mencarinya," ucap Bima. Arimbi mengangguk. Mereka berjalan perlahan menyusuri hutan yang sangat lebat itu. Tak ada cahaya matahari masuk ke dalam hutan. Sehingga meski saat itu hari masih siang, di dalam Hutan Awan Hitam tak ubahnya seperti malam hari. "Sepertinya ada bjalan setapak, ini aneh, hutan ini kata guru tak ada manusia yang menghuni, kenapa ada jalan setapak?" batin Bima. Dia tetap waspada jika ada sesuatu yang menurutnya mencurigakan. "Apakah ada sebuah desa di hutan ini?" tanya Arimbi. Bima menggeleng. Dia yakin dengan ucapan sang guru. "Jangan lengah, bisa jadi ini adalah jalan yang di lalui para siluman..." kata Bima. Arimbi hanya mengangguk dan tetap waspada. Tak jauh dari tempat Bima dan Arimbi berada, puluhan sosok aneh tengah berjalan dengan busur di tangan. Sosok itu merupakan manusia dengan dua tan
Langkah Bima terhenti di perbatasan hutan Awan Hitam tersebut. Arimbi pun ikut menghentikan langkah nya. "Ada apa kakang?" tanya Arimbi. "Aku merasakan hawa iblis, sesaat tadi lewat di arah depan kita... Berhati-hatilah Arimbi, jangan jauh-jauh diriku," jawab Bima. Gadis itu mengangguk. Pedang di tangan kirinya siap untuk di cabut kapanpun. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan mereka. Saat pertama kaki mereka melangkah ke dalam Hutan Awan Hitam, mereka merasakan perubahan tekanan yang sangat lain. Hawa di dalam hutan itu lembab dan dingin. Bahkan semua tumbuhan berembun padahal itu siang hari. Suasana pun semakin gelap saat mereka semakin masuk ke dalam. "Hampir tak ada suara binatang sama sekali," bisik Arimbi sambil memegangi pakaian Bima. Dia takut dirinya terpisah. Belum lama mereka berjalan, mereka di kejutkan sesuatu yang cepat di depan sana. Sesosok makhluk cepat yang melompat dari pohon satu ke pohon yang lain. Mata makhluk itu menyorot merah. "Siluman... kita ber
Bima bangkit berdiri. Dengan canggung dia naik ke atas balai-balai bambu tersebut. Terdengar suara berderit. Balai-balai yang ngepas itu membuat tubuh mereka berdua saling bersentuhan. Arimbi memejamkan matanya merasakan detak jantungnya yang bertambah kencang. Bima bingung dan canggung dengan posisi dia merebahkan diri. Mereka berdua saling membelakangi. Punggung mereka saling menempel satu sama lain membuat mereka merasakan kehangatan yang mendebarkan. Tak ada suara, hanya terdengar nafas halus dari keduanya yang sama-sama gelisah. "Tempatnya sempit ya," ucap Bima memecah kesunyian. Arimbi membuka matanya. Dia menarik nafas panjang untuk menenangkan hatinya yang berbunga-bunga. "Iya kakang..." jawab gadis itu. Kembali kesunyian menyelimuti mereka berdua. Keduanya sama-sama canggung untuk berbicara lebih dulu. "Besok, kita akan berangkat pagi atau siang kakang?" tanya Arimbi akhirnya mencari bahan pembicaraan. "Pagi selesai sarapan, tempat itu cukup jauh, jadi paling tidak si
"Ranah Cakrawala Tahap Akhir!? Aku belum pernah melihat seperti apa kekuatan itu Guru!" seru Bima. Arimbi pun ikut terkejut mendengar ranah kekuatan yang belum pernah di dengar olehnya. Pendeta Barata tersenyum. "Itu adalah Ranah di atas Ranah Tulang Dewa, dan Dibawah Ranah Batara. Untuk mencapai ranah itu sangatlah sulit, bahkan kau harus menghabiskan banyak waktumu berkeliling dunia, jika hanya berada di negara Angin ini, maka kau hanya akan sampai di itu-itu saja...""Ranah Cakrawala, Ranah Batara, aku baru mendengarnya Guru! Apakah, ada orang yang benar-benar berada di ranah itu guru?" tanya Bima. Pendeta Barata menggeleng. "Aku hanya sampai pada Tulang Dewa tahap akhir hingga saat ini, selama aku hidup dan berkeliling negara ini, aku hanya menemui satu orang sakti yang bisa mencapai Ranah Cakrawala... Sedangkan untuk ranah Batara, aku tidak yakin ada orang sehebat itu di negara Angin ini..." ucap Pendeta Barata. "Siapa itu Guru?" tanya Bima penuh semangat. "Dia adalah mend
"Lalu, apa yang harus aku lakukan setelah mendapatkan Bunga Mahkota Ratu itu guru?" tanya Bima. "Kau bawa pulang ke sini saat itu juga, jangan tunggu malam habis, aku akan mengolahnya menjadi ramuan, dan kau bisa meminumnya," jawab Pendeta Barata. Bima menatap Arimbi. "Apakah kamu akan di sini atau ikut?" tanya Bima. "Aku? Tentu saja ikut kamu kang," jawab Arimbi. Pendeta Barata tertawa terkekeh. "Untuk apa dia di sini? Nanti kau curiga padaku hikhikhik,"Bima tersenyum tersipu. "Baiklah, kita akan berangkat besok pagi, aku paham hutan Awan Hitam meski belum pernah masuk ke dalam sana terlalu jauh," kata Bima. "Banyak siluman kuat yang akan kau hadapi di sana, jadi berhati-hati lah," ucap Pendeta Barata. Bima mengangguk. Dia menatap gurunya. "Guru, berapa hari aku tak sadarkan diri?" tanyanya. Pendeta Barata tak langsung menjawab. Dia mengambil nasi bakar buatan Arimbi dan menaruhnya di atas meja. "Tanyakan saja pada kekasihmu," jawab Pendeta Barata datar. Tapi hal itu me
Bimasena membuka matanya secara perlahan. Setelah cukup lama membuka mata akhirnya dia melihat ke arah sekelilingnya. "Dimana aku...?" batinnya. Bima terbangun di sebuah kamar yang terbuat dari kayu dan bambu. Dia merasa tidak asing dengan kamar tersebut. Saat matanya melihat ke arah meja, dia melihat gelas bambu dengan air panas yang masih mengepul. Kali ini dia teringat berada dimana dia saat ini. "Ini... bukankah rumah pohon milik Guru?" batin Bima. Terdengar samar-samar suara gadis tertawa. Bima segera beranjak dari kamar tersebut. Namun saat dia berdiri dia terkejut karena dia tak memakai pakaian apa pun. Hanya sehelai kain yang menutupi tubuhnya saat dia terbaring di atas balai-balai bambu. Dengan melilitkan kain itu menjadi penutup tubuh, Bima pun keluar kamar tersebut. Benar saja, dia berada di atas pohon seperti tiga tahun lalu saat dirinya di selamatkan oleh gurunya. Dari atas pohon dia melihat Arimbi dan Pendeta Barata Kalam sedang memasak untuk sarapan. Bima terse