Kuda berjalan cepat pada keremangan malam yang menemani. Burung-burung hantu mulai menyuarakan pilunya diri yang keluar tiap malam. Suara derap kuda menggema pada seluruh penjuru desa. Sayup-sayup Danu mendengar teriakan minta tolong dari kejauhan.
“Tolong, tolong, anakku di gigit ular!”
Suara teriakan membuat Danu menghentikan kudanya. “Apakah kamu mendengar itu, Permata?”
“iya, aku mendengarnya!” sahut Permata.
Suara teriakan meminta tolong terdengar lagi beberapa kali. “Ayo kita ke sana, Permata!” ajak Danu, kudanya berjalan santai pada keremangan malam menuju asal suara.
“Danu, aku takut kalau itu adalah jebakan!” ujar Permata beberapa saat kemudian, di depan sana tampak seorang ibu memegangi kaki anaknya yang tergigit ular. Entah benar-benar digigit ular atau tidak.
“Kamu merasakan begitu? Aku juga. Tapi hari kecilku mengatakan bahwa kita harus menolongnya. Bagaimanapun d
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.
“Lihatlah itu, Danu. Bukankah itu adalah dua patung naga yang terbuat dari kayu?” Permata menunjuk sebuah pintu yang di atasnya ada dua buah patung naga cokelat, yang hampir saja tidak terlihat karena keadaan benar-benar gelap, hanya ada penerangan dari lampu minyak tanah.“Iya, sepertinya itu adalah rumah Kosala,” sahut Danu, senyum mengembang dari kedua bibirnya, metanya memandang lekat-lekat dua patung nada besar itu.Dua patung naga itu terlihat indah sekali. Lekuk demi lekuk yang tercipta merupakan buah tangan yang sangat indah, hasil dari perpaduan jiwa dan hati yang berotak seni. Itu adalah sebuah karya yang terlihat biasa, namun di mata manusia yang mempunya jiwa seni, maka itu adalah dua patung naga yang mempunyai estetika tinggi. Danu mengaguminya, tapi Permata terlihat biasa-biasa saja. Di mata Danu, dua patung naga itu bagaikan makhluk hidup, mata naga itu mengatakan sesuatu kepada Danu tapi ia tidak bisa mengartikannya.&ldqu
“Sebelum menceritakan bantuan apa yang kami inginkan lebih jauh, perkenalkan namaku Danu dan ini adalah temanku, Permata namanya!” Danu memperkenalkan diri setelah menyatakan ia memerlukan bantuan.Permata tersenyum hormat kepada Kosala.Kosala berkata, “Tidak usah memperkenalkan diri lagi, orang bodoh, aku masih ingat siapa namamu. Bukankah belasan tahun yang lalu kau pernah berkunjung ke tempat ini?”Danu hampir saja tersedak mendengar penuturan itu, lalu dia tersenyum bangga. “Aku kagum dengan ingatanmu, Kosala! Bahkan aku yang lebih muda darimu hampir saja lupa dengan rumahmu.”“Muda bukan berarti lebih tajam ingatannya dari pada yang tua,” sahut Kosala geram, merasa Danu merendahkannya. Tapi semua itu hanya candaan, Kosala tidak benar-benar marah.“Maaf, aku tidak bermaksud untuk menghinamu!” kata Danu beberapa saat setelah terdiam. “Tujuan kami kemari adalah meminta bantuan!&rd
Sampai matahari menyingsing Danu tetap memandangi dua naga itu, berharap bisa mengartikan dan menerjemahkan apa yang dikatakan oleh dua naga itu. Namun ternyata semua sia-sia, Danu sama sekali tidak bisa mengartikannya. Akhirnya sampai ayam-ayam kampung berkejaran mencari mangsa, ketika burung-burung pagi bernyanyi ria, tiada makna yang Danu temukan dalam pandangan naga.“Danu, sejak kapan kamu berada di situ?” tanya Permata yang mengetahui Danu berdiri di teras rumah, tidak jauh dari patung dua naga berada.“Sejak fajar belum menyingsing!” sahut Danu sembari memalingkan pandangan kepada Permata. Wajah Permata tampak basah, ia baru saja selesai membasuh wajah setelah bangun tidur.“Baiklah, Danu, aku akan membantu istri orang itu menyiapkan sarapan pagi!” kata Permata, ia berjalan meninggalkan Danu yang kembali memandangi dua naga.“Ah, bagaimana lagi aku harus mengartikan kata yang terucap lewat mata naga itu?&rd
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu
“Manusia mempunyai kepekaan sendiri-sendiri, kalian tidak perlu memaksakan diri untuk sama dengan orang lain,” kata Kosala pada malam ketiga. “Yang perlu kalian lakukan adalah berusaha dan berusaha, urusan hasil adalah Tuhan yang melaksanakan!”Bahkan dalam hidupnya sama sekali Danu dan Permata melibatkan Tuhan, dalam artian mengikut sertakan Tuhan dalam setiap tindakan yang mereka lakukan. Mereka melakukan setiap tindakan dengan sendirinya, dengan keinginan dan rasa sendiri dalam hidupnya, dan kali ini Kosala memerintahkan kepada mereka berdua untuk mengakui keberadaan Tuhan.“Dengan demikian, manusia mempunyai dirinya masing-masing, mempunyai jati diri masing-masing, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Kelebihan adalah sebuah hal yang bisa didapatkan dan diijinkan oleh Tuhan. Yang tidak ada dalam kehidupan itu adalah kekurangan, sejatinya Tuhan tidak menciptakan kekurangan untuk manusia, sebab semua bisa dan mampu untuk diusa
Malam ke empat, Danu dan Permata masih berusaha sebisa mungkin untuk memahami apa yang dimaksud dengan bahasa hati, mendengarkan dan mengucapkan dengan hati.Dini hari mereka berdua duduk di atas tanah, di atas halaman rumah yang luas itu. Di samping kanan halaman ada sebuah pohon mangga besar yang selalu bergerak-gerak ketika angin menyapanya. Pohon mangga itu pula yang ketika pagi dan menjelang petang menjadi tempat bermainnya burung-burung bersama kawanannya. Kini pohon itu tengah berbunga, mungkin dua bulan lagi akan menjadi buah, dan beberapa minggu kemudian akan menjadi buah yang matang.Sayup-sayup angin bertiup dari selatan, menggerak-gerakkan pepohonan, mematikan lampu minyak tanah yang sebelumnya masih menyala. Sekarang keadaan benar-benar gelap, tidak ada penerangan kecuali sinar rembulan yang sebentar lagi akan menghilang, juga beberapa bintang yang sinarnya melebih sinar bintang lain.Beberapa saat kemudian angin bertiup lumayan kencang, hingga bebe
“Kamu tega, Danu!” kata Permata lirih kepada daun pintu yang menemaninya. Matanya memandang Danu yang tengah berbincang asyik dengan Rumana di halaman rumah luas, memandang kemerlip bintang.Air matanya dibiarkannya mengalir begitu saja, tangannya tidak mampu lagi menghapus luka yang begitu dalam. Permata tidak sanggup lagi melihat itu semua. Lebih baik sekarang aku kembali tidur saja, batin Permata. Dia berbalik arah, tapi tanpa disadarinya tiba-tiba kakinya menendang sebuah pot dari tanah liat.Brak...Suara kegaduhan terdengar. Danu dan Rumana memalingkan kepala, melihat sebuah pot telah pecah menjadi beberapa bagian. Selanjutnya Permata mematikan lampu minyak tanah dengan kekuatannya, suasana menjadi gelap sempurna. Saat itulah dia gunakan waktu untuk segera kembali ke dalam kamar agar tidak ada yang mengetahui bahwa dirinya telah menangis. Samar-samar dia menggunakan kedua tangannya sebagai penunjuk arah.“Mungkin itu kucing!”
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se