“Apakah kau sadar dengan kata-katamu, Danu?” tanya Permata. Tangannya mengelap air mata yang terus mengalir.
“Sadar!” sahut Danu ringan.
“Apakah kau benar-benar dan sungguh-sungguh mengatakannya?”
“Iya,” sahut Danu lagi, ringan saja dia mengucapkan.
Melihat dan mendengar hal itu, para perampok tertawa keras-keras, bulu tangan Permata berdiri. Takut.
“Danu, kau benar-benar... akan...” suara Permata terputus-putus sebab air matanya yang terus mengalir.
“Malam ini kita akan menikmati tubuh indah gadis itu!” seorang perampok berambut gondrong, gigi tengahnya ompong, berbicara demikian disambut tawa oleh teman-temannya.
Permata saat itu benar-benar benci kepada mereka, benar-benar benci kepada Danu.
“Cepat kau pergi dan tinggalkan gadis itu, bangsat! Pengecut!” kata salah satu perampok.
“Aku akan meninggalkan gadis cantik ini untuk kalian!” sekali lagi Danu meyakinkan. Danu mengecup kening Permata. Seandainya keadaan
Wah, tidak nyangka aku bisa melanjutkan sampai bab ini. Ini semua juga tidak lepas dari bantuan dan dukungan teman-teman. Terima kasih, selamat melanjutkan!!
Bayangan di kejauhan yang seperti kerikil, yang kian lama kian mendekat, berubah membesar dan menampakkan diri itu terus berjalan. Semakin mendekat dan semakin mendekat, ternyata itu adalah empat orang yang menunggang kuda, mengenakan pakaian prajurit. Empat kuda itu berlarian menuju tempat Danu dan Permata istirahat. Tanda tanya memenuhi kepala Danu juga Permata. Namun orang yang menggembala kambing itu tenang-tenang saja, tidak ada tanda bahwa dia mempunyai kekhawatiran, sebab dia masih tidur dan berjalan dalam dunia mimpi. “Apakah tujuan mereka?” tanya Danu entah pada siapa, matanya memandang jauh kepada empat prajurit itu. “Apakah mereka mencari kita?” tanya Permata setengah kebingungan. Mereka semakin mendekat, melewati beberapa kambing dengan gagahnya, kambing itu berlarian memberikan jalan kepada kuda prajurit. Kini hanya tinggal beberapa puluh meter jarak Danu dan Permata dengan para prajurit berkuda. “Apakah kalian yang merusak desa K
“Kalian tahu berapa kerugian yang aku tanggung?” tanya orang itu sekali lagi. “Memangnya apa yang kami lakukan sehingga kau bertanya begitu kepada kami?” Danu yang sudah tahan sejak tadi akhirnya membuka mulut. “Masih juga belum paham dengan hal bodoh yang kalian lakukan?” sahut orang itu dengan nada sinis. “Apa?” tanya Danu singkat, matanya memandang tajam kepada laki-laki bermahkota. “Kalian telah menghancurkan ladang bisnisku yang tidak ternilai harganya! Eh, perkenalkan terlebih dahulu namaku Anjasari, pembesar kerajaan Kalimas!” Dia mengenalkan diri dengan nama Anjasari. Danu tidak memedulikan nama itu, dia masih heran dengan ladang bisnis yang Anjasari katakan. Bagaimana bisa seorang pembesar kerajaan mempunyai bisnis yang bekerja sama dengan para perampok? Memang, lokasi desa itu sangat strategis, hampir semua pedagang yang dari barat melewatinya, dan tentunya membawa barang dagangan juga harta. Maka, jika berhasil sekali saja dal
Serapi apa pun manusia menyimpan bangkai, pada suatu saat kemungkinan besar akan tercium, setidaknya akan diketahui oleh manusia lain jejak-jejak yang ia lahirkan dalam kebusukan tersebut. Itulah misi yang Danu lakukan bersama tiga orang lainnya. Sudah semestinya perjuangan untuk mengangkat kebenaran akan selalu berat. “Bagaimana caranya, Soga?” tanya Kumbra. Kakek penggembala yang tidak lain adalah Soga menjawab, “Aku sudah mempunyai rencana yang sangat matang, semoga saja dengan kerja sama yang baik rencana itu akan berhasil!” “Apa kau bisa menceritakannya kepada kami?” Danu ikut bicara. “Tidak perlu!” sahut Soga cepat. “Nanti kalian juga akan mengetahuinya sendiri!” “Aku percaya denganmu, Soga!” Kumbra berkata. Malam telah memenuhi bumi dengan cahaya gelapnya. Bukan karena mereka melihat matahari yang hilang sehingga mengetahui bahwa ini malam hari, hanya lebih mengarah pada perkiraan mata yang mengantuk. Tapi, mereka malam ini tida
Utusan dari kerajaan datang untuk menyelidiki berita yang dibawa oleh seorang prajurit yang seharusnya bekerja untuk tuannya. Namun dengan adanya penekanan dari Danu semua terlihat berbeda, dia tidak berani melawan.“Di mana Anjasari?” tanya orang bermahkota itu. Dia adalah utusan dari kerajaan.“Beliau tengah menjalankan tugas, Tuan!” jawab seorang prajurit.“Di mana tiga tahanan baru itu?” tanya orang bermahkota itu lagi.“Di penjara bawah tanah, Tuan!”“Antarkan aku sekarang!”Seorang yang mengenakan mahkota itu berjalan diiringi oleh dua prajurit bertombak dan membawa tameng di tangannya. Suara kaki tegap itu terdengar melangkah dengan mantap, obor-obor yang menempel pada tembok terombang-ambing terkena desiran angin tiga orang itu. Udara pengap mulai terasa, mereka telah memasuki ruangan penjara bawah tanah.“Di mana?” tanya orang bermahkota tidak sabaran.
“Bolehkah aku mencium keningmu, Permata?” tanya Danu sekali lagi. Wajah Permata memerah, malu, senang, semua perasaan berebut masuk ke dalam hati Permata menjadi satu. “Apa yang kamu katakan, Danu? Apakah aku tidak salah dengar?” tanya Permata, matanya menyelidik. “Tidak, Permata, kamu tidak salah dengar. Aku ingin mencium keningmu!” sahut Danu, mendekatkan bibir pada telinga Permata. Udara hangat menjalar pada telinga Permata, suara nafas Danu terdengar begitu menegangkan bagi Permata. “Boleh,” kata Permata malu-malu, matanya memandang jauh ke atas. “Dalam mimpi aku ingin mengecup keningmu, Permata!” kata Danu lagi. Permata tidak menyangka bahwa yang dimaksudkan Danu adalah demikian. Dia tidak mengira bahwa Danu ingin mengecupnya dalam dunia nyata. Permata menahan malu, tapi rasa bahagia lebih dominan datang kepadanya. “Selamat tidur!” kata Permata. “Selamat tidur juga, Permata,” sahut Danu. Akhirnya mereka mengakhiri
Darah mengucur deras dari leher yang terpotong dengan kepalanya. Darah segar mengalir deras seperti aliran sungai. Semua mata memandangnya ngeri, kecuali Danu di sana yang tetap melihat dengan mata mendelik. Bahkan Danu pernah berada di posisi manusia yang memenggal kepala seperti itu, tidak hanya menyaksikan. “Apakah nanti siang kita akan melanjutkan perjalanan, Danu?” tanya Permata sembari menahan ngilu. “Semoga saja kita nanti siang bisa melanjutkan perjalanan!” sahut Danu. Kerumunan satu per satu mulai meninggalkan balai pertemuan. Anak kecil berlarian mengejar orang tuanya, begitu pula orang-orang tua mencari anaknya. Darah telah hilang, beberapa prajurit telah mengurusnya, bahkan mengurus pemakaman mayat yang berpisah dengan kepalanya. Meskipun Anjasari selama hidupnya banyak kesalahan, tetapi dia akan dikuburkan selayaknya manusia, sebab orang mati itu telah melewati masa peleburan dosa, telah dihukum di dalam dunia. “Kalian ikut denganku!” Tiba-tiba Kumbra mu
Sebenarnya waktu masih siang, namun keadaan terlihat gelap. Pohon-pohon menjulang tinggi menjadi penghalang masuknya sinar matahari, daunnya begitu rindang. Daun-daun kering memenuhi setiap jengkal tanah, semua tertutup rapi oleh dedaunan, bahkan juga ranting-ranting yang mengering dan terhempas angin, terjatuh. “Jangan jauh-jauh dariku, Permata!” kata Danu memperingatkan, mereka tengah berada di pusat jantung hutan. Suara hewan-hewan terdengar menggema. Ada hewan yang Danu mengenalinya, dan selebihnya adalah hewan-hewan yang bahkan ia tidak pernah mendengar suaranya. “Iya, aku juga takut, Danu!” sahut Permata lirih, langkah kuda mereka yang menginjak dedaunan begitu terdengar. Monyet-monyet tampak berlompatan di atas dahan, satu dua membawa pisang matang yang entah mereka dapatkan dari mana. Tidak ada pohon pisang terlihat tumbuh, mungkin mereka membawa dari jauh lalu masuk ke dalam hutan. Sesekali rusa bertanduk panjang lewat, lalu berlarian ketika melihat dua kuda put
“Hem, rupanya mereka berdua bisa sedikit bangga karena bisa mengelak jurus pertama kita, Satu!” kata kepala sebelah kanan.Kepala sebelah kiri menjawab, “Iya, aku kira juga begitu, Dua. Mereka mengira akan bisa melawan kita. Mari kita lanjutkan dan jangan buang-buang waktu, Dua!”Danu dan Permata bingung sendiri mendengar cakap-cakap dua kepala itu. Satu kepala menamakan diri dengan sebutan Satu, sedang kepala satunya lagi menamakan diri dengan Dua.“Hai, apakah kalian juga mempunyai nama sendiri-sendiri?” tanya Danu, ia berusaha tertawa mengingat sepertinya Permata masih sedikit takut.“Kau menertawakan kami?” tanya Satu sinis.“Oh, tidak, tidak! Aku tidak menertawakan kalian. Hanya saja aku tidak kuat menahan kelucuan ini. Ada satu manusia, eh, entahlah, kalian manusia atau bukan, mempunyai dua kepala dan dua nama. Itu sangat lucu bagiku!” Danu mengangkat tangan. Permata di sampingnya be
Dalam hati ada sebuah rasa kagum terhadap Anjasmara yang baru saja Danu melihatnya. Dia tidak banyak bicara, selalu tersenyum, dan selalu menundukkan kepala ketika tidak diperlukan memandang. Danu dan Anjasmara berjalan-jalan di area luar kerajaan, masih di dalam kerajaan namun sepi dari keramaian, sedang tiga orang lainnya masih meneruskan perbincangan di dalam ruang tamu kerajaan dengan raja. “Apakah namamu hanya Anjasmara?” tanya Danu, sedari tadi mereka hanya saling diam menatap rumput-rumput di atas batu-batu, kadang air mancur menjadi penghias, sedang di bawahnya hidup bahagia ikan-ikan emas. “Tidak,” sahut Anjasmara dengan senyumnya. “Nama lengkapku Titihan Putri Anjasmara!” “Indah namamu!” Danu memuju tulus, Anjasmara menyambutnya dengan senyuman hangat. “Apa keahlianmu?” tanya Danu lagi, dia benar-benar kehabisan tema pembicaraan. Sebenarnya banyak hal yang ingin dia tanyakan, namun saat ini belumlah waktu yang tepat. “Aku suk
Perjalanan hidup antara Permata dan Danu berjalan sampai beberapa bulan kemudian, sampai Danu benar-benar siap menjadi seorang raja dan Sekte Timur menemukan sebuah kerajaan yang tepat. Danu sangat sibuk, bahkan untuk sekadar menikmati sinar matahari dan udara pagi. Bangun dari tidur ia langsung bersiap-siap untuk menjalani berbagai aktivitas yang menunggu, tidak jarang dia bertemu dengan orang-orang penting, yang nantinya akan mendukung dirinya menjadi raja. Benar, Danu sangat sibuk untuk mengangkat diri.“Hari ini kita akan bertemu dengan seorang raja, Danu!” ucap Ketua Sekte kepada Danu, mereka tengah sarapan pagi bersama.Danu tidak perlu bertanya kepada Ketua Sekte tentang apa yang menjadi tujuan mereka. Sekarang sudah jelas, bahwa setiap langkah yang mereka jalani adalah dalam rangka untuk menjadikan Danu seorang raja, kemudian menjadi penguasa dunia.Beberapa saat kemudian Danu diajak ke dalam kamar rias, Danu mendapatkan riasan dari para peri
Sudah dua hari Permata tidak melihat Danu, rasanya semakin ada jarak yang memisahkan antara dirinya dan Danu. Permata sibuk dengan melatih para generasi, sedang Danu sibuk dengan urusan-urusan yang Permata tidak mengerti. Benar, dua hari ini Permata tidak melihat Danu sama sekali. Suatu waktu Permata pernah berpikir untuk meninggalkan tempat itu, namun ia kembali berpikir panjang tentang perjuangannya selama ini menuju hutan ini, dan sekarang tentulah harus sesuai dengan rencana. Selama itu pula, Permata belum melihat atau mendengar keberadaan Diana sama sekali. Memang, Danu sengaja tidak memberitahukan kepada Permata bahwa ia telah mengetahui keberadaan Diana. Ia mempunyai rencana sendiri yang dianggapnya lebih matang dan akan berhasil.Permata hari ini tidak enak badan, hampir seharian ia tidak keluar kamar. Ia menitip pesan kepada seorang pelayan, menitip pesan untuk remaja yang diajarnya, bahwa dua hari ke depan mereka akan belajar mandiri. Permata benar-benar kelelahan,
Semua berubah menjadi hal yang tidak menyenangkan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada mengembara di dalam hutan dan hanya ada dua manusia saling berkata. Permata merasakan itu semua siksaan, meskipun ia belum mengerti bagaimana langkah hidup selanjutnya. Yang dia mengerti saat ini adalah hari-hari yang menyebalkan dan serba tidak membahagiakan. Memang Permata makan setiap hari dengan makanan yang terjamin, setiap pagi, siang, malam, ada yang mengantarkakn. Namun kini untuk melihat senyum Danu barang sejenak, ia agaknya berkurang waktu. Danu sekarang mulai berubah sedikit demi sedikit. Danu dipenuhi dengan kemauan dan target yang selalu membuatnya tidak tenang.Malam ini Permata tidur sendirian di dalam kamarnya, tidak ada yang menemani. Di luar sana tampak sepi, namun Permata dapat menebak pastilah Danu sedang memikirkan sebuah rencana. Permata akhir-akhir ini merasa tidak sejalan dengan Danu. Memang, Danu saat ini berambisi untuk menjadi seorang raja, setelah menden
Pagi benar Danu bangun, bahkan ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri. Udara dingin, Danu membasuh muka dan menimum air putih di atas meja. Beberapa saat kemudian ada suara orang mengetuk pintu, ia membuka, dan itu ternyata adalah seorang pelayan yang mengantarkan sarapan dan minuman hangat. Danu sangat bersyukur sekali mendapatkan pelayanan yang demikian baiknya, sangat berbeda dengan perkiraan awal yang mereka bayangkan.Tiba-tiba Danu kepikiran Permata, apakah dia sudah bangun? Tanya dia dalam hati. Danu belum menyentuh makanan atau minuman yang dibawakan oleh seorang perempuan muda yang menjadi pelayan tadi, ia berjalan ke luar kamar menuju kamar Permata. Pelan-palan Danu berjalan, bahkan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Di jalan ia berpapasan dengan beberapa anggota Sekte Timur yang tengah berjalan pula dengan kepentingan berbeda, kadang mereka menyapa Danu terlebih dahulu, kadang juga sebaliknya.“Permata, apakah kamu sudah b
Malamya Danu dan Permata menginap di salah satu bangunan megah itu, selepas makan-makan besar yang dilakukan oleh Sekte Timur di Pasanggrahan. Danu dan Permata tidak menjadi satu kamar, mereka terpisahkan oleh sebuah lorong panjang, terang, penuh dengan ornamen keindahan berwarna merah menyala. Besok pagi Danu dan Permata mendapatkan undangan kehormatan sekaligus penawaran dari ketua Sekte Timur, itu mereka dengar dari salah satu orang yang berjalan bersama mereka tadi siang.“Beliau ingin mengundang kalian dan itu adalah sebuah kehormatan besar, sekalian memberikan penawaran kerja sama,” ujar orang itu kepada Danu dan Permata sebelum berpisah.Bukan undangan itu yang membuat Danu tidak bisa tidur malam ini, melainkan sebuah bayangan rembulan yang terligat dari jendela kamarnya menginap. Dari bayangan itu keluarah wajah Diana yang tidak akan pernah bisa tergantikan, Diana, selalu ada dan sepertinya malam ini akan tidur bersama dalam naungan cahaya rembulan.
Perjalanan menuju markas Sekte Timur kurang lebih membutuhkan waktu dua puluh menit (andai waktu itu ada jam). Mereka berjalan kaki, entah kenapa tidak memakai kuda sebagai kendaraan. Danu dan Permata berada di barisan paling belakang di antara semua orang Sekte Timur.Sepertinya gapura di depan sana menandakan bahwa mereka telah memasuki wilayah Sekte Timur. Sebuah plang besar bertuliskan huruf China, pun hiasan-hiasan yang ada juga khas bangsa China. Warna merah, gambar naga menjadi penghias. Ini bukan khas masyarakat sekitar, tapi lebih mengarah pada bangsa China. Benarkah para perampok itu adalah keturunan China yang merantau dan beranak-pinak? (Hai, aku tidak menyinggung bangsa Indonesia ini, yah... Ini asli karangan dalam cerita aku saja).Danu dan Permata dibuat kagum dengan ornamen-ornamen bangunan yang ada, ini hampir mirip dengan kerajaan. Bangunan-bangunan lebih mirip dengan penginapan orang-orang kaya, setiap rumah mempunyai kolam masing-masing di depan rum
Malam itu Danu dan Permata bermalam tidak jauh dari empat mayat yang mereka bunuh. Ketika angin berhembus, maka bau amis darah tercium, tersampaikan kepada hidung mereka. Danu dan Permata dengan hati was-was dan waspada bergantian berjaga malam itu. Ketika Danu tidur Permata dibangunkan, ketika Permata tidur Danu dibangunkan, begitu seterusnya hingga pagi menjelang.Pagi datang, sinarnya menerobos dedaunan yang hijau. Mayat-mayat itu tampak dikerubung oleh semut, kucing, bahkan ada beberapa anjing yang datang dari kejauhan. Satu di antara empat mayat itu yang paling mengenaskan, ialah mayat yang mengenakan baju berwarna biru tua, wajahnya tercabik-cabik cakar anjing, ususnya keluar semua, bahkan matanya kini telah tiada. Mereka ngeri sendiri menyaksikan pemandangan itu, hampir saja Permata muntah dibuatnya.“Ayo kita segera pergi, Danu!” ajak Permata setelah benar-benar tidak kuat.“Ayo!” sahut Danu.Mereka melanjutkan perjalanan,
Malam hari Permata terbangun ketika mendengar langkah kaki yang berat berjalan mendekat. Permata dengan segera membangunkan Danu. Danu bangun dan segera menyadari apa yang terjadi, ia menangkan Permata. Pandangan Danu jelas lebih tajam dari pada Permata meskipun dalam hal pendengaran sebaliknya. Itu adalah dua kemampuan yang mereka asah ketika mendatangi rumah Kosala, bapak dari Rumana.“Siapa yang datang, Danu?” tanya Permata, matanya berusaha memandang siapa yang tengah berjalan mendekat, namun percuma, pandangannya tidak setajam Danu. Ia hanya bisa mendengar langkah kaki yang kian mendekat itu.“Aku melihatnya, tapi hanya sosok hitam yang berdiri di bawah gelap malam. Malam ini benar-benar gelap, Permata,” ujar Danu. Ia melanjutkan sembari tidak melepas bayangan di kejauhan sana. “Yang bisa aku pastikan sekarang ini bahwa dia tidak satu orang, ada tiga orang atau empat!”“Apa yang harus kita lakukan?” Permata se