"Demi Buddha!" pekik Candra tanpa sadar."Ada apa Sayang?" Tara ikut kaget dibuatnya."Ahhh...tidak.""Ada apa Sayang? Bukankah kau berjanji tak akan bohong padaku?"Candra jadi serba salah. Namun ia harus tetap tenang supaya Tara tak curiga. "Aku hanya tak percaya Sayang.""Karena jabatanku?""Ya Sayang. Aku tak menyangka, jika kekasih cantikku ini orang hebat dalam pasukan Sriwijaya," puji Candra berusaha menutupi kekagetannya. Dalam hati ia masih juga tak percaya, "Demi Buddha. Benarkah yang kudengar ini?""Begitulah kenyataannya Sayang. Aku punya tanggung jawab yang besar dalam pasukan Sriwijaya." "Aku maklum dan mengerti posisimu sekarang.""Apakah itu berpengaruh dengan hubungan kita Kak?" tanya Tara. Ada rasa khawatir tersirat didalamnya."Tidak. Tidak Sayang. Aku malah makin mencintaimu karenanya."Jawaban Candra membuat Tara lega. Ketegangan di wajah Tara terurai kembali. Hari beranjak siang. Udara makin terasa panas."Kak Candra Sayang. Sudah siang, aku mesti kembali bertu
Tangan Candra dengan cekatan membuka pintu gerbang bukit milik Tara. Ia lalu membuka pintu dan memasukkan kudanya dengan cepat. Sebelum menutup pintu gerbang, ia sempat menoleh kanan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihatnya masuk.Setelah dirasa aman, Candra lalu menutup pintu gerbang dan langsung menuju puncak bukit. Malam ini Candra menepati janji terhadap kekasihnya.Suasana di sekitar Dangau Cinta sepi. Tak ada aktivitas manusia. Seperti biasa, yang terdengar hanya suara binatang malam dan desir angin. Setelah menambatkan kuda, Candra lalu masuk ke dalam Dangau Cinta. Pintu dangau memang tak pernah terkunci. Tara dari awal sengaja melakukan itu. Candra lalu menghidupkan obor minyak jarak dan keluar lagi. Menunggu Tara, bidadari cantiknya.Tak menunggu lama, dari kejauhan Candra mendengar derap kaki seekor kuda menuju puncak bukit. Makin lama suaranya makin jelas."Tara," kata Candra sembari tersenyum. Candra lalu berdiri dan berjalan lebih ke muka lagi.Kuda yang ditung
Ruang tengah rumah Wak Baidil sudah mulai ramai. Koh Bai dan para tetua Dusun Lubuk Ruso yang diundang Wak Baidil telah hadir. Tak ada lagi yang ditunggu. Sesaat lagi acara akan dimulai.Ketika Wak Baidil berniat menghampiri tempat duduknya dari teras rumah, di saat itulah dua orang pemuda terburu-buru mengejarnya. "Wak! Wak! Tunggu sebentar!" teriak salah seorang dari mereka sambil tergopoh menaiki anak tangga rumah.Wak Baidil menahan langkahnya."Muri! Kau sudah kembali lagi?""Ya Wak! Aku ditemani oleh Pendek! Kami berdua berangkat dari Kutaraja Melayu semalam!""Ayo duduk dulu. Sambil istirahat, kau bisa langsung bercerita.""Ya Wak?" jawab Muri. Ia dan Pendek lalu duduk dan segera minum dengan tergesa."Kau tampak tergesa-gesa kembali ke Lubuk Ruso. Padahal kau harusnyabaru berangkat dari Kutaraja Melayu besok malam. Ada apakah gerangan?" tanya Wak Baidil pada Muri.Muri mengatur nafas yang masih tersengal. Baru kemudian menjawab pertanyaan Wak Baidil."Wak, sebelum aku cerita,
Setelah pertemuan para Datuk di rumah Wak Bai, Lubuk Ruso berubah menjadi sibuk. Dusun yang biasanya telah sepi dan hanya meninggalkan para orang peronda malam berjaga, kini berubah total. Manusia, obor, dan teriakan hilir mudik menjadi satu.Kesepakatan bersama dalam pertemuan tadi menghendaki semua penduduk Lubuk Ruso harus mengungsi ke hutan larangan besok pagi. Mau tak mau, semua yang hadir dalam pertemuan langsung bergerak sesuai dengan tugas masing-masing. Bahkan Muri dan Pendek yang baru tiba di Lubuk Rusopun harus bergerak menyiapkan pengungsian massal.Telah disepakati dalam pertemuan itu juga, seluruh lelaki muda di Lubuk Ruso malam ini harus dibangunkan dan diberi tugas menyebarkan kabar ke seluruh dusun, menjaga keamanan, menyiapkan jalur pengungsian, menyiapkan tandu-tandu untuk membawa barang, orang jompo, orang sakit, dan lainnya. Sementara perempuan, anak-anak, dan orang tua juga dilibatkan untuk mengemasi barang-barang yang akan akan dibawa mengungsi ke hutan larangan
Pagi masih remang. Ekor rombongan besar pengungsi Lubuk Ruso sudah hilang dari pandangan mata Aditya. Itulah rombongan terakhir yang berangkat ke hutan larangan.Sedangkan rombongan pertama yang terdiri dari lima belas orang tua, orang sakit, dan para perempuan hamil jadi rombongan pertama yang diberangkatkan ke hutan larangan tengah malam tadi. Rombongan itu dikawal oleh tiga puluh orang pemuda yang bertugas memandu, melindungi, dan menyiapkan perkemahan sementara di hutan larangan. Rombongan pertama ini dipimpin oleh Nadir, sebagai orang yang tahu jalan rahasia menuju hutan larangan.Pemuda pengawal rombongan pertama nantinya akan dipecah jadi dua bagian. Sepuluh orang akan tinggal di tengah jalan dan bertugas menjaga keamanan jalur pengungsian. Sementara dua puluh orang lainnya akan ikut sampai ke hutan larangan.Rombongan kedua dipimpin oleh Koh Bai yang kebetulan memahami separuh jalan yang akan dilewati. Rombongan ini terdiri dari seluruh penduduk Lubuk Ruso yang tersisa. Rombo
"Ada apa Kadi? Kenapa kau malah datang kemari?" tegur Wak Baidil melihat Kadi datang."Anu Wak... anu!" Kadi tergagap."Anu kenapa Kadi? Coba tenang dulu. Baru kau cerita pada kami apa yang terjadi!" ujar Wak Baidil."Huft...huft...! Anu Wak...itu...itu!""Ya Kadi! Itu kenapa?" bentak Wak Baidil mulai kesal."Anu Wak...salah satu perempuan hamil dalam rombonganku hendak melahirkan!""Astagaaa...kukira ada apa! Kadi... Kadi...!" Wak Baidil jadi lega setelah dengar kabar dari Kadi. "Sekarang bagaimana kondisinya?""Sedang diurus semampunya oleh teman-teman yang lain Wak. Aku diperintahkan Nadir untuk mengabari Wak!""Baiklah! Koh Bai, perintahkan seorang dukun bayi dan seorang pemuda untuk mendahului kita! Cepat selesaikan persalinan perempuan itu. Jangan sampai nanti malah menghambat laju seluruh rombongan!" perintah Wak Baidil pada Koh Bai."Siap Wak!" jawab Koh Bai langsung mengerjakan perintah Wak Baidil.Wak Baidil kembali pada Kadi. "Lalu bagaimana dengan anggota rombongan yang la
"Akupun berpikir demikian Pak Cik! Satu ini yang belum bisa kuselesaikan." Candra mengakui kekurangannya. Ia kemudian bertanya pada Pak Cik. "Pak Cik, adakah kabar terbaru dari Aditya?""Aku belum dapat kabar terbaru Candra. Justru kabar tentang Aditya dan mereka semua di Lubuk Ruso yang jadi pikiranku. Entah apa yang terjadi pada mereka."Mendengar kata-kata terakhir Pak Cik, kepala Candra menjadi berat. Selama ini ia memang prajurit, namun hanya prajurit biasa yang menjalankan perintah atasan saja. Tak pernah ia bekerja atas keputusan sendiri. Tapi kini kondisi memaksa Candra untuk berubah sepenuhnya. Ia dan beberapa kawan seusianya mau tak mau harus bisa mengambil keputusan. Di tangan Candra dan teman-temannyalah nasib Kedatuan Melayu ditentukan."Candra! Masih adakah yang harus kita bicarakan?""Kupikir cukup Pak Cik. Menurutku kita tinggal menunggu kabar dari Lubuk Ruso!"Lubuk Ruso? ada rasa getir ketika Candra mengucapkan kata "Lubuk Ruso". Kembali kepala Candra merasa dihantam
Di waktu yang sama dengan keberangkatan Tara, satu hari perjalanan dari tepi Sungai Batanghari. Aditya berjalan mondar-mandir. Ia dan beberapa pemuda Lubuk Ruso gelisah menanti proses persalinan seorang perempuan pengungsi. Perempuan itu dikenal sebagai Midah. Anak dari Datuk Arsam.Bagaimana tak gelisah, seumur hidupnya ia tak pernah sekalipun melihat orang melahirkan. Apalagi sampai harus mendampinginya. Erang kesakitan Midah membuat hati Aditya masygul. Apalagi saat ini suami Midah tak ada. Kabarnya, suami Midah pergi merantau ke Muara Bulian saat Midah baru mengandung dua bulan. Hingga kini tak pernah ada kabar tentangnya.Bi Daya, dukun bayi yang membantu persalinan Midah sudah berusaha sekuat tenaga. Segala cara digunakannya untuk mempercepat persalinan Midah. Tapi sampai saat ini bayi yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Yang terdengar hanya erangan kesakitan Midah yang membuat Aditya makin panik.Waktu terus bergerak."Oek...oek...!" tiba-tiba terdengar keras tangisan bayi.
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!