Pangeran Idrawarman duduk termangu di ruang utama Istana Kedatuan Melayu. Raut mukanya sedang kurang nyaman. Berulang kali ia menarik nafas panjang. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya saat ini.Kegundahan Pangeran Indrawarman itu tak berlangsung lama. Permaisuri Sobakencana tak lama kemudian telah muncul dan duduk tak jauh dari putranya."Ananda Pangeran, Ibu Ratu lihat setelah selesai kita menumpas Rajaputra Aruna, kau lebih sering melamun. Apa sebenarnya yang membuat kau demikian gundah anakku?"Pangeran Indrawarman tak langsung menjawab pertanyaan Ratu Sobakencana. Ia diam beberapa dan saat dan menarik nafas panjang."Hhhh...Ibu Ratu bisa membaca hati Amba.""Pangeran, kau anakku. Dari rahimku ini kau kukandung dan kulahirkan. Dari payudaraku ini kau kususuim dari kedua tanganku ini, kau kubesarkan. Anakku, aku kenal betul sifatmu. Kau tak bisa menyembunyikan kegelisahanmu dari ibumu ini. Ceritakanlah padaku. Siapa tahu itu bisa menemukan jalan keluar. Setidaknya meringank
"Pangeran, kini aku akan menceritakan kenapa Kedatuan Srwijaya harus mengirim ekspedisi penaklukkan ke Pulau Bangka. Secara geografis daerah Pulau Bangka, merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka yang bermuara juga sungai-sungai di Mukha Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Swarna Dwipa. Disekelilingnya, di sebelah barat, Utara, dan timur masih tertutup hutan rawa pantai. Disebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit. Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar 125 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara, membentang dari timur laut menuju barat mengalir Sungai Mendo yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa," ujar Ratu Sobakencana panjang lebar. Karenanya keluasan pengetahuan sang ibu, pewaris takhta Kedatuan Sriwijaya ini dibuat terkagum-kagum.Ratu Sobakencana melanjutkan ceritanya."Dengan letak mengapit Selat Bangka bersama-sama Swarna Dwipa, kau bisa bayangkan betapa strategis posisi Pulau B
"Aku setuju dengan usulanmu Aditya. Memang sudah saatnya kita lebih maju lagi," ujar Pak Cik menanggapi ucapan Aditya."Bagaimana denganmu Candra?""Aku selalu siap sobatku!""Baiklah sekarang kita langsung berbagi tugas!" ujar Aditya tanpa basa-basi. "Berdasarkan semua laporan hari ini, menurutku paling tidak ada empat hal utama yang harus kita lakukan.""Apa saja itu Aditya?" tanya Pak Cik."Pertama, kita harus tetap mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pihak Sriwijaya. Terutama tentang informasi ekspedisi penaklukkan ke Kerinci Rendah, Pulau Bangka, dan Palas Pasemah. Aku sendiri yang akan bertanggung jawab atas hal ini. Kedua, harus ada salah satu dari kita yang fokus merembeskan dan membangun kekuatan prajurit Melayu untuk mengepung Istana Kedatuan Melayu yang saat ini dikuasai Sriwijaya. Tapi tindakan ini harus terukur dan boleh gegabah. Karena ini menyangkut keselamatan Datu Melayu dan keluarganya. Untuk tugas ini, siapa yang bersedia bertanggung jawab?" tanya Aditya pada
"Sekarang giliranku," Aditya meneruskan menyampaikan rencananya. "Sebelum lupa, aku hanya mengingatkan. Semua yang kita lakukan bersifat organik. Artinya, semua, satu sama lain saling berkaitan. Maka apabila ada satu rencana yang gagal, ini akan sangat mempengaruhi keseluruhan operasi militer kita. Maka dari itu, aku mengingatkan kita semua untuk berhati-hati. Jangan sampai ceroboh dan gegabah dalam mengambil keputusan dan bertindak! Sampai di sini paham?""Paham!" jawab Pak Cik dan Candra."Baik. Aku akan sampaikan rencana-rencanaku dalam operasi gangguan keamanan di pedalaman. Setelah pertemuan ini, langkah pertama yang kulakukan adalah pergi ke wilayah-wilayah target tentunya. Aku memerlukan pemetaan kondisi geografis dan pemetaan sebaran kekuatan militer Sriwijaya di pedalaman. Selain itu, aku juga harus benar-benar mendapatkan gambaran utuh mengenai kondisi masyarakat Melayu pedalaman di bawah penjajahan Sriwijaya. Semua data ini harus aku padukan. Khusus data sebaran kekuatan mi
Tak butuh waktu lama. Kebisuan itu segera dipecahkan oleh Pak Cik. Mula-mula Pak Cik terhenyak mendapat pertanyaan yang cukup sulit dijawab dari Candra. Tapi pengalaman keprajuritan dan penguasaannya terhadap alam negeri Melayu, menyebabkan Pak Cik percaya diri untuk menjawab pertanyaan Candra."Luar biasa! Aku tak menyangka mendapat pertanyaan yang begitu baik Candra. Terimakasih, karena pertanyaan ini mengingatkanku agar tak teledor membangun jalur telik sandi darat.""Lalu bagaimana jawabanmu tentang masalah itu Pak Cik?" Candra kembali bertanya."Jalur darat dari Melayu hingga Kerinci Rendah sudah pasti melalui bentang alam berupa rimba raya, jurang, dan sungai-sungai. Khusus untuk rimba raya, aku dan para sigindo di Kerinci Rendah bersepakat tidak membangun jalan sama sekali. Walaupun itu berupa jalan setapak. Yang dilakuan hanyalah memberi tanda seperti cakaran harimau pada kulit kayu-kayu tertentu. Dengan begitu, tak ada jalan sama sekali yang bisa dijadikan penanda jalur telik
Pagi yang permai. Kristal bening embun direrumputan belum lagi mengering. Sinar matahari yang berbinar ceria membuat kristal embun itu tertimpa cahaya dan memantulkan sinar yang elok dipandang. Pagi itu suasana Istana Kedatuan Melayu tak seperti biasanya. Ratusan kuda telah disiapkan di halaman istana layaknya akan diadakan gelar pasukan. Suasana makin hiruk akibat ratusan prajurit yang hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.Di waktu yang telah dijadwalkan, suasana ramai dan hiruk itu berubah senyap. Ratusan prajurit kini telah berbaris rapi di samping kuda masing-masing. Sementara, ratusan lainnya berbaris di sisi yang lain. Tak lama kemudian, dari arah dalam Istana Kedatuan Sriwijaya, dengan langkah tegap, Pangeran Indrawarman berjalan di muka, dikuti oleh rombongan kecil yang terdiri dari Ratu Sobakencana, Bhiksu Dharmapala, Senapati Madya Arsa, dan beberapa orang prajurit pengawal Kedatuan. Tak tampak Selir Laksita didalamnya.Begitu sampai di teras istana, ro
Seminggu setelah pertemuan dengan Aditya dan Pak Cik di dangau kebun, Candra telah mulai melakukan tugasnya. Pertama yang ia lakukan adalah nongkrong di sebuah kedai yang berdekatan dengan Istana Kedatuan Melayu.Sementara Aditya telah pergi ke pedalaman Melayu bersama Nadir. Sedangkan Pak Cik sudah kembali dengan rutinitasnya membuka kedai air nira.Istana Kedatuan Melayu terletak di antara bukit-bukit yang sambung menyambung membentuk rangkaian bukit barisan. Ini sesuai dengan asal kata Melayu. Melayu berasal dari bahasa Sansekerta "Malaya" yang berarti bukit. Letak Istana Kedatuan Melayu sendiri terletak di pedalaman dan lumayan jauh dari pelabuhan Kutaraja Melayu[1].Tak jauh dari istana tersebut terdapat sebuah pasar rakyat. Tempat di mana kini Candra duduk dan menikmati sarapan paginya. Didepannya, gaduh sibuk pasar dengan aneka ragam manusia dan barang dagangannya.Mula-mula suasana pagi begitu nyaman. Jarang sekali ada perselisihan apalagi keributan di pasar rakyat itu. Walaup
Seekor kijang berlarian gesit. Tubuh rampingnya seperti tak terganggu sama sekali dengan rapat dan liatnya tumbuhan hutan. Makin lama, makin cepat dan lincah ia berlari dan menerobos rimba raya Melayu. Tak lama kemudian seekor harimau jantan besar berukuran lebih dari satu depa mengejarnya di belakang. Harimau itu tampak begitu lapar. Ia terus berlari kencang tak memperdulikan hal lain didepannya. Ia harus dapatkan kijang mungil tadi untuk mangsa siang ini.Melihat kejar mengejar itu, dua lelaki muda yang kebetulan berjalan tak jauh dari tempat kejar mengejar kedua binatang tadi, terpaksa menghentikan langkahnya. Keduanya tak mau konyol menjadi santapan alternatif si harimau. Keduanya merunduk lalu tak bergerak sama sekali."Ssssst...jangan bergerak Kak! Harimau tak mau menyerang objek yang gak bergerak. Biarkan ia menjauh dulu. Baru kita lanjutkan perjalanan lagi!" bisik salah satu pemuda tersebut pada yang lain. Pemuda yang dimaksud menurutinya. Ia lalu merunduk dan diam. Hanya dengu
"Nadir adalah penyusup itu!" semua yang hadir seperti tersambar petir di siang bolong mendengar nama Nadir disebut Candra sebagai telik sandi Sriwijaya yang berhasil menyusup ke dalam tubuh gerakan kemerdekaan Melayu. Wak Baidil menjerit histeris."Apa? Nadir? Aku tak salah dengar Candra?""Tidak Wak! Nadir memang penyusup itu!""Demi Buddha! Nadir...! Tak kusangka anakku itu ternyata seorang musuhku sendiri...," ucap Wak Baidil lemas. Tubuhnya seperti kehilangan tulang penyangga tubuh. Ia duduk lemas tanpa daya. Ia benar-benar tak menyangka, anak angkat yang sangat ia kasihi itu ternyata seorang mata-mata Sriwijaya. Dengan suara parau, Wak Baidil berkata, "Alangkah sial hidupku ini. Setelah seumur hidup tak punya keturunan, saat punya anak angkat ternyata ia adalah musuhku!"Mata Wak Baidil berkaca-kaca. Orang tua itu setengah mati berusaha menahan tangis. Tapi ia gagal melakukannya kali ini. Air mata Wak Baidil menderas. Sekuat mungkin ia menahan ledakan tangis yang bisa merusak su
Pertemuan yang dipimpin Wak Baidil terus berlanjut. Setelah membahas tentang Persatuan Melayu, kini pertemuan mulai membahas soal isu-isu dan peristiwa terkini yang terjadi di Lubuk Ruso dan Melayu. Berbeda dengan materi sebelumnya yang cenderung kaku. Sekarang suasana berubah jadi lebih cair.Situasi di kota Melayu yang menjadi pokok bahasan pertama. Dalam bahasan Melayu ini, Wak Baidil minta Pak Cik dibantu Candra untuk menjelaskannya.Pak Cik berkesempatan menjelaskan situasi Melayu lebih dulu. Dengan penuh semangat ia lalu menceritakan kondisi Melayu. Mulai dari proses perembesan prajurit masuk ke Melayu hingga konflik yang terjadi antara Tara dan Senapati Madya Danar.Dalam kesempatan itu juga, Pak Cik menjelaskan tentang peta kekuatan pasukan Sriwijaya di Melayu. Baik kekuatan pasukan reguler, pasukan khusus, dan telik sandi milik Sriwijaya.Koh Bai yang jadi orang pertama bertanya pada Pak Cik. "Apa kabar sahabat lama? Senang bisa bertemu denganmu hari ini Cik. Apalagi aku mas
Hari belum lagi dini hari. Kokok ayam jantan pertama baru terdengar ketika rombongan Wak Baidil sampai di tepi Melayu. Sebelum meneruskan perjalanan masuk ke kota Melayu, Aditya menugaskan Muri dan Yoga untuk lebih dahulu masuk kota untuk memantau situasi dan memberitahu Pak Cik soal kedatangan mereka. Kehadiran mereka tak boleh diendus siapapun.Setelah menunggu cukup lama, Muri dan Yoga sudah kembali. Dari laporan mereka, situasi cukup aman bagi rombongan untuk dengan cepat mengendap dan langsung menuju kedai Pak Cik.Tanpa membuang waktu, seluruh rombongan bergerak senyap. Tak boleh ada suara ringkikan kuda yang terdengar. Tak ada satupun penduduk Melayu yang harus terbangun karena mendengar langkah kaki mereka.Jelang dini hari, rombongan Lubuk Ruso sudah sampai di rumah Pak Cik. Tak ada kendala selama perjalanan mereka dari pinggir kota hingga ke tujuan.Muri dan Yoga adalah orang yang terakhir masuk. Keduanya punya tugas tambahan menghapus seluruh jejak kaki mereka. Terutama je
Pagi ini Tara melakukan dinas militer seperti biasa. Seolah tak ada ketegangan yang sedang terjadi antaranya dengan Senapati Madya Danar dan Ishra. Setidaknya begitu dihadapan para prajurit bawahan.Setelah apel pagi, Tara langsung masuk ke dalam ruangan. Sementara prajurit peserta apel lain masih bergerombol dan mengobrol di lapangan. Di antara mereka terlihat Senapati Madya Danar, Ishra, dan Awang.Sejak peristiwa amukannya terhadap Senapati Madya Danar, Tara lebih banyak memilih diam di ruang kerjanya ketimbang harus berbaur dengan prajurit lain. Ia terlalu muak dan khawatir tak mampu mengontrol emosi jika melihat Senapati Madya Danar dan Ishra.Saat Tara berjalan menuju ruang kerjanya, di kejauhan Senapati Madya Danar melihat sinis pada perwira cantik itu. Tak perduli ia sedang berada di tengah orang ramai, ia dengan terbuka menunjukkan rasa permusuhannya."Ishra, kau tengoklah Tara bangsat itu! Gaya jalannya sudah macam Datu Sriwijaya pula? Congkak!" desis Senapati Madya Danar ny
"Kau benar Ishra. Emosi hampir membuatku terjebak dalam kebodohan. Memang, sudah selayaknya aku dapat keuntungan dari matinya iblis perempuan bernama Tara itu!" ucap Senapati Madya Danar yang mulai tersadar dari amarahnya. Ia telah kembali ke watak aslinya yang culas dan licin. "Bagaimana Ishra? Kini kita mulai susun skenario untuk membunuh Tara?""Siap Senapati! Makin cepat, makin baik!" jawab Ishra tak kalah licik.Keduanya kembali tenggelam dalam siasat untuk membunuh Tara. Tak lupa tentu keuntungan-keuntungan yang harus mereka dapat dari kematian Tara.Malam makin larut, obrolan Senapati Madya Danar dan Ishra makin serius. Seperti tak ada hari esok bagi keduanya. Menjelang fajar barulah obrolan kedua manusia culas itu selesai. Begitu semua rencana mereka dirasa matang, dengan cepat Ishra kembali ke baraknya. Tak boleh seorangpun yang melihat pertemuan mereka.Saat Ishra baru menutup pintu barak, sebuah bayangan manusia berkelebat di keremangan fajar. Ia menyelinap cepat di balik t
Istana Kedatuan Melayu malam hari. Tak ada aktivitas berarti di dalamnya. Gelap malam dan suasana sepi makin menambah muram istana yang pernah bersinar dan dikenal hingga ke negeri jauh itu.Istana Kedatuan Melayu terletak cukup jauh dari tepi Sungai Batanghari. Posisinya sendiri berada di antara bukit-bukit kecil. Pendahulu Sang Mahadatu Melayu memang sengaja memilih lokasi istana jauh dari Batanghari dengan pertimbangan pertahanan dan keamanan. Tapi setelah invasi Sriwijaya ke Melayu, pertimbangan tersebut terbukti rapuh[1].Jika menilik luas area yang dijadikan kawasan kompleks istana, maka kita tak akan mendapatkan jawaban pasti. Ada yang mengatakan luasnya lima hektar, ada yang menyebut lebih dari lima hektar, dan ragam pendapat lain.Di dalam area tersebut berdiri kompleks istana yang terdiri atas beberapa bangunan, bangunan utama dan beberapa bangunan pendukung.Bangunan utama dalam komplek Istana Kesatuan Melayu adalah istana yang kini didiami oleh Sang Mahadatu Melayu Muda da
Beberapa hari ke muka, halaman depan gubuk Wak Baidil terlihat ramai. Di keramaian terlihat Wak Baidil, Aditya, Nadir, Koh Bai, dan seluruh penduduk Lubuk Ruso. Tampak juga Umak dan beberapa perempuan lainnya. Tapi tak tampak Vidya di antara mereka.Keberangkatan Wak Baidil dan rombongan baru dilakukan setelah Muri terlebih dahulu pulang dari Melayu. Dengan begitu, setelah mendengar informasi perkembangan Melayu dari Muri, semua gerakan bisa disusun dan dilakukan dengan baik.Pagi ini, sesuai dengan hasil pertemuan yang dilakukan para tetua Lubuk Ruso beberapa hari sebelumnya, maka Wak Baidil bersama rombongan akan melakukan long march menyusuri seluruh bumi Melayu. Terutama dusun dan negeri yang berada di sepanjang aliran Sungai Batanghari melalui jalur darat. Jalur darat dipilih karena jauh lebih aman dari intaian pasukan Sriwijaya.Ikut dalam rombongan Wak Baidil adalah Aditya dan Koh Bai. Mereka berdua sengaja diminta langsung oleh Wak Baidil karena keduanya memiliki pengetahuan y
Ketiga anak beranak itu benar-benar tenggelam dalam obrolan panjang. Sampai matahari tenggelam, mereka masih tak beranjak dari tempat duduk masing-masing. Obrolan mereka hanya terpotong ketika Umak memaksa mereka untuk makan malam. Setelah itu, obrolan mereka kembali dilanjutkan.Saat sedang asyik mengobrol, dari gerbang pintu rumah, tampak Koh Bai menghampiri mereka."Wah...obrolan Wak Baidil dan dua pemuda tampan ini tampaknya asyik juga. Apakah kehadiranku ini mengganggu kalian?" tanya Koh Bai setibanya di teras gubuk Wak Baidil."Eh...Koh Bai. Kebetulan kau datang. Ayo sini bergabung," ajak Wak Baidil pada Koh Bai. "Nadir kau ambilkan kursi satu lagi di dalam. Biar Koh Bai bisa ikut ngobrol bersama kita."Nadir langsung bangkit dari duduk dan mengerjakan perintah Wak Baidil. Kini mereka berempat mulai terlibat obrolan yang lebih panjang."Kalau aku boleh tahu, apa sebenarnya yang dengan kalian bertiga obrolkan Wak?" tanya Koh Baidil membuka pembicaraan."Naaaah...kalau pertanyaanm
Lubuk Ruso di waktu yang sama. Di beranda gubuk Wak Baidil, Aditya, Nadir, dan Wak Baidil seperti biasa, tampak bercengkrama. Santai tapi serius.Tema obrolan mereka kali lumayan berat. Tentang Persatuan Melayu."Aditya, Nadir, sejak obrolan kita terakhir soal Persatuan Melayu, aku benar-benar terganggu. Sulit aku tidur memikirkannya," Wak Baidil mengungkap kegelisahannya pada Aditya dan Nadir."Bak, sudahlah! Bak jangan berpikir yang berat-berat. Ingat. Bak sudah tua. Kalau Bak sakit, yang merasakan juga Bak sendiri!" omel Nadir pada Wak Baidil.Bukannya menuruti omongan Nadir, Wak Baidil malah menyanggah Nadir dengan omelan khas orang tua."Tahu apa kau Nadir! Justru di masa tua ini aku harus makin giat memikirkan negeriku, Melayu! Kau yang muda justru harus malu padaku! Kalian mestinya harus lebih giat memikirkan dan bekerja untuk Melayu!"Hampir saja Nadir mendebat Wak Baidil. Untungnya Aditya segera menengahi debat antara bapak dan anak tersebut agar tak memanjang."Sudah! Sudah!