Cao Cao mengamati wajah Xu Huang yang tanpa kerut. Dia mengartikan itu sebagai tiada niat jahat atau maksud tersembunyi dari pertanyaan pemuda di depannya. Terlebih sikap tenang dan aura petarung yang bagai laut tanpa angin menarik rasa bangga juga ngeri bersamaan. Cao Cao merasa beruntung mendapat Jenderal permata yang terselimuti tanah pekat seperti Xu Huang.
Ketika pasukan datang hendak menyeret si permata menuju kerangkek, Cao Cao memberi kode dengan lambaian lemas tangan supaya mereka melepas Xu Huang.
"Pertanyaan yang sangat bagus."
Cao Cao memandang sekitar, banyak orang-orang bingung. Ini membuat raut wajahnya berseri-seri karena mereka tak mampu menebak pikirannya.
Dia lanjut bicara, "Aturanku tadi sangat buruk, karena aturan yang baik tidak membuat ce
Sementara itu di Huasan, api cemburu membutakan mata beberapa murid. Qiao tahu rubah seperti apa Lu Xun. Menurutnya gadis yang menyamar sebagai lelaki guna merebut cinta adalah iblis jahat. Dia paham benar jika dia bertindak gasak-gusuk, bisa berujung sial. Dia berusaha bermain cantik dengan menjadi 'kakak baik' bagi Lu Xun. Selama beberapa hari terakhir dia selalu mengajak Lu Xun berlatih pedang. Siang ini dia bersama Deng Ai, Zhou, Shi, dan Lu Xun berkumpul di perpustakaan. Dia membawa buku tua duduk di sebelah Zhou yang saat ini berada di bawah kekuasaan Bian. Qiao cemberut mendapati Zhou sedang bercengkrama dengan Lu Xun. "Zhou, lihat ini, pedang keramat meteor. Satu dari dua senjata Liu Ban." Dia menar
Semua murid tahun kelima Huasan berkumpul di pagoda Air Terjun. Guru gendut menanti mereka bersama guru wanita tua. Para siswi berada di sisi kiri sementara para pemuda memenuhi sisi kanan. Shi yang terakhir datang, melangkah pelan berdiri di baris paling belakang. Raut wajahnya seperti es, pandangan sipit fokus ke depan. Tiada senyum mencuat di bibir. Bian yang menguasai tubuh Zhou menilai dia masih cemburu. Pintu utama perlahan tertutup rapat. Semua siswa panik ketika suara dentuman pintu menggema, kecuali Bian yang menguasai tubuh Zhou dan Shi. "Shi, sini!" ajak Deng Ai, tapi Shi tak bergeming. "Zhou, Ada apa dengan Shi?" "Fokus ke depan," saran Zhou berdiri gagah di sebelah Ai. Semua siswa berdiri tegap dalam barisan
Banyak siswi Huasan mencuri start. Sebelum matahari berdiri di angkasa, mereka berbondong-bondong turun gunung. Beberapa malah membantu guru dan senior demi stempel. Para siswa tak mau kalah, mereka berpencar penuh semangat ke segala arah. Zhou hari ini menguasai badan. Dia, Shi, Ai, dan tiga Bu berkumpul di jalan setapak di muka gapura depan tangga kaki gunung Huasan, yang rimbun oleh pepohonan di sekitar. "Awas kalian ya, siap-siap memanggil kami 'Kakak'!" Tiga Bu tertawa lantang. Mereka melayang menuju selatan, sepertinya mau ke kota Jiangxia. Ai menepuk dada Shi dan Zhou di sisi kiri dan kanannya bergantian. "Hei, apa kalian yakin mau ke Xiao Pei?" Tanpa menj
Sehari terlewati. Pagi kembali datang, Zhou kembali menguasai tubuhnya. Tinggal beberapa jam perjalanan, mereka bakal tiba di tembok kota Xiao Pei. Baru saja rombongan hendak keluar desa, suara teriakan histeris dan ringkik kuda terdengar dari arah sawah, membawa mereka menuju ke sana. Beberapa pasukan berkuda menabrak para petani, menusuk punggung mereka yang terjatuh memakai tombak. Beberapa pasukan infanteri juga menangkap kerbau di sawah, membawa hewan pergi. "Ya Dewa, apa-apaan ini!" teriak Deng Ai, badannya bergidik melihat semua itu. Puluhan rakyat berlari ke arah Zhou, beberapa dari mereka terjatuh. "Ampun, ampun!" teriak seorang pria tua menggendong anaknya di
Empat tombak pasukan yang nyaris menusuk Shi patah. Sehelai kain merah jambu tipis pelakunya. Seorang pendekar gadis menampar keempat pasukan memakai kain tipis, hingga mereka jatuh. Dua gadis pendekar lain mendarat gemulai di sekitar sandera wanita, menyerang tanpa terdeteksi para pasukan di sekitar mereka, hingga pasukan tumbang. Para gadis pendekar memakai pakaian serupa, berpakaian putih berkombinasi sutra merah jambu. Pakaian menutup nyaris seluruh tubuh, kecuali bagian atas leher dan sebagian pundak. Mereka bagai bidadari khayangan yang mendarat ke bumi. Kecuali seorang gadis anggun yang memakai pakaian serba putih tanpa merah. "Bertobatlah kalian," ucap gadis paling cantik, dengan nada indah. Ter
Para pasukan ini berbeda dari pasukan Qing. Mereka memakai pakaian biasa berwarna gelap, lusuh, juga memakai ikat kepala merah darah, atau mungkin itu perban? Karena beberapa dari mereka mengenakan perban di lengan juga kaki, wajah mereka pun berhias darah kering.Yo Sa memberi salam dengan sopan, sedikit membungkuk."Saya Yo Sa, murid Hengshan, dari puncak gunung Taiping. Keponakan jauh dari Yo Qiang, istri gubernur Tao Qian."Yo Sa memperkenalkan Sima Shi dan Sima Zhou, sembari memberi kode bagi seorang gadis pendekar memberi lambang giok naga berwarna putih susu pada pria bersenjatakan tombak."Hh? Adik Zhou dan Shi?" Deng Ai datang bersama beberapa penduduk desa, mereka membawa beberapa korban."Kamu mengenal
Karena belum tidur seharian, pagi ini Zhou masih berkuasa atas badannya sendiri. Bian tak masalah asal setelah tidur dia menguasai tubuh kelak. Qiu juga tidak mengeluh, naga centil paham akan situasi yang terjadi. Terlebih dia bisa berlama-lama di sebelah Bian, itu cukup.Langit belum cerah sempurna. Rombongan pengungsi menarik gerobak berisi pengungsi yang terluka. Mereka semua menangis, memakai perban di luar pakaian, membawa obor untuk penerangan, karena tersamarkan cahaya remang banyak yang mengira balutan perban adalah kain putih. Selain itu, mereka membawa perban anyaman besar bertulis 'Turut berduka untuk kematian Ayah Cao Cao'.Sayang sekali pasukan Tao Qian enggan ikut. Mereka memilih menyelamatkan warga yang terjebak di luar sana."Hebat juga kamu, Zhou," puji Zuo Ci.
Sementara itu di kota Puyang, mengikuti info yang Nu An dapat mengenai adiknya, dia mengunjungi sebuah toko di pasar kota yang ramai penduduk dan pedagang beraktifitas.Sekarang Nu An punya sepuluh murid baru, juga sebuah kereta kuda yang membawa barang-barang mereka. Sesampainya di pasar, beberapa murid baru berpencar mencari informasi tentang adik Nu An juga mencari orang sakit untuk Nu An tolong.Hanya Hi Sam dan Ha Nif yang setia menemany guru mereka. Sesuai informasi, ketiganya berdiri di depan toko yang tersegel."Guru, kita jauh-jauh ke sini, malah tutup. Bagaimana sekarang?" tanya Ha Nif, mengusap keringat.Nu An memandang dua muridnya. Mereka mengangkat kotak berisi bahan obat-obatan, bekal makan, juga pakaian, dan peralatan medis. Kasihan mereka.
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun