Satu minggu setelah pertemuan Liu Bian dan Sima Zhou, Kaisar mangkat. Sekarang Liu Bian menjabat sebagai Kaisar ke tiga belas Dinasti Han dengan gelar Sang Muda pemberani.
"Buat apa membiayai pembangunan waduk? Lebih baik kita membangun taman indah untuk Ibu Suri," ucap kasim Zong, kasim senior yang mengepalai sebelas kasim pembantu Kaisar.
Menteri bingung karena menurutnya urusan waduk harus didahulukan. "Yang Mulia, rakyat terutama petani, mereka membutuhkan waduk untuk bisa bertahan mengelola tanah mereka. Mohon Yang Mulia memikirkan lagi." Dia membungkuk memberi hormat pada Liu Bian.
"Kaisar tidak perlu repot. Sesuai tradisi, kami yang akan membantu Kaisar. Pajak sangat penting bagi kas negara, biar kami yang mengurus," sahut Kasim Zong membungkuk kemayu di hadapan Bian.
Tradisi yang dimaksud para kasim adalah tradisi kontrol kasim, tradisi yang ada sejak jaman Kaisar ke-10 berkuasa. Dalam tradisi Kasim mewakili Kaisar muda dalam memberi pendapat karena menganggap Kaisar belum terbiasa.
Liu Bian memandang Kasim Zong yang menggeleng. Sebagai Kaisar dia paham apa yang Menteri katakan, tetapi di umurnya yang masih muda,pemerintahan dipegang para Kasim. Sementara Ibu Suri bersama adik tirinya mengintip dibalik gerai bambu.
Bian sadar ibunya menginginkan taman baru di kota. Dia tidak berdaya dan mengangguk pada kasim.
"Menteri, kembali ke posisimu. Anak Naga telah memutuskan. Apa kamu mau melawan?" Dengan suara seperti banci Kasim bicara, membuat menteri kembali ke barisan.
Liu Bian ingin melawan, tapi dia tidak punya suporter. Banyak menteri menjadi menteri karena jasa Kasim. Dia takut diracun seperti ayahnya yang mencoba merevolusi Kekaisaran.
Dia malu pada Sima Zhou yang menolongnya. Omong besar. Dia berucap muluk. Sekarang dia menjadi boneka duduk di atas singgahsana naga emas, memakai pakaian merah berajut emas, hanya untuk dipajang.
Tiba-tiba seorang Jendral memandang lekat dirinya. Dia He Jin, Kakal Ibu Suri. Sorot mata tajam membuat Kaisar terhenyak.
Apa arti sorotan tajam itu?
(Lawan) Gerak bibir He Jin. (Ambil kekuasaanmu, Nak. Kami ada di belakangmu.) Lalu He Jin mengangguk kecil.
Ketika Kasim mengajukan proposal melalui menteri bonekanya tentang kenaikan pajak untuk membangun taman, Bian berani melawan.
"Aku tidak setuju," ucap Bian dengan lantang, membuat para pejabat memandang heran.
Sebelas kasim terbelalak tidak menyangka anak naga bisa menjawab lantang.
Bian lanjut berkata, "Setelah pemberontakan Yellow Turban, rakyat sedang menderita. Tidak baik kita memasang pajak tinggi demi taman. Aku putuskan untuk meniadakan penarikan hasil panen musim ini."
"Tapi Kaisar--"
“Hamba setuju!” He Jin memotong ucapan kasim dengan maju ke tengah ruang. Membawa triplek tipis kecil setinggi sumpit, dia membungkuk di hadapan Kaisar. "Keputusan Kaisar yang terbaik. Kami semua setuju."
Beberapa Jenderal membungkuk di belakang He Jin. Beberapa Menteri yang sembari tadi menonton, ikut membungkuk.
Sekarang Bian tahu, masih ada kelompok yang berani menentang Kasim. Belum jernih apa tujuannya mendukung Bian, tapi ini membuat geram para Kasim. Senyum Bian mengutarakan hal lain. Musuh dari musuhnya adalah teman.
Rapat mingguan berjalan alot. Pejabat pro Kasim selalu diintervensi oleh suporter He Jin, sementara Bian tidak terlalu mengerti bagaimana jalannya birokrasi yang menjadi keahlian para Kasim. Dia berusaha melawan tapi pada akhirnya rapat tidak menghasilkan apapun kecuali keputusan membangun taman santai untuk Ibu Suri.
“Rapat berakhir!” teriak Kasim muda, pertanda jalannya rapat mingguan telah usai.
Kasim Zong ditemani dua kasim lain menghampiri Kaisar, smeentara sisa delapan Kasim membicarakan sesuatu dengan Ibu Suri.
"Hormat pada anak naga."
Bian mengangguk. "Ada apa Kasim Zong?"
"Saya hanya khawatir dengan Jenderal He Jin. Yang Mulia tidak mengenalnya. Hamba takut dia memiliki niat untuk kudeta."
Bian berdecak, mengibas tangan. "Itu hanya rumor. Sebaiknya Kasim Zong tidak usah bergosip, cukup jalankan birokrasi seperti biasa."
"Tapi Yang Mulia." Kasim melihat beberapa pejabat mendekat. Diab membungkuk mundur pelan. "Hamba permisi anak naga."
Bian mendengar beberapa pejabat berdiskusi.
"Kebangkitan Han akan dimulai. He Jin akan mengambil alih."
"Kejayaan apa yang kamu bicarakan?"
"Haiya, bukankah bagus jika keluarga Kaisar mengambil alih?"
"Bagaimana bisa bagus jika Militer mengambil alih dan Kaisar masih muda. Anggaran negara bisa dikuasai militer!"
Mereka semua kaget membungkuk ketika sadar Kaisar berada di dekat mereka.
Kaisar tidak terlalu peduli dengan mereka para pejabat yang dalam rapat bersikap netral. Dia ingin segera ke perpustakaan untuk membaca. Dikawal beberapa dayang dan kasim muda, dia melangkah keluar ruang singgasana.
"Tunggu, Nak Bian." Di luar rapat He Jin bebas menyapa keponakan sendiri.
"Ada apa, Paman? Semoga apa yang aku lakukan tidak salah."
"Semua yang kamu lakukan sangat bijaksana, Nak."
Mengiringi langkah Bian dengan santai, He Jin mengamati sekitar. Ketika tidak ada pejabat lain, dia bicara lebih bebas.
"Aku suka melihat raut wajah para Kasim menjadi pucat pasi seperti ayam yang terlalu lama direbus."
Tersenyum kecil, Bian bersyukur ada yang sependapat dengannya. Dia melihat gelagat Paman yang seakan ingin kencing, tidak tenang. Dia paham paman ingin membicarakan sesuatu, tapi takut terdengar atau terlihat orang.
"Jika ada yang ingin dibicarakan, lebih baik kita ke ruang santai saja," ajak Kaisar.
Beberapa menit kemudian mereka sampai di ruang santai. Kaisar duduk di atas bantal bersebelahan dengan He Jin. Sekarang mereka bebas untuk bicara tanpa takut ada yang mencuri dengar.
He Jin berkata, "Ayahmu terlalu menikmati dunia hingga membuat kekuasaan para Kasim terlalu besar. Mereka menguasai pemerintahan, bahkan mengontrol setiap pengeluaran."
Bian mengangguk. Urusan birokrasi memang para Kasim jagonya, tapi ini tidak bisa dibiarkan. "Aku berusaha membatasi mereka dengan memimpin rapat, tapi Paman dengar sendiri, bagaimana mereka membungkamku, kan?"
He Jin menjawab, "Untuk menyingkirkan mereka, tidak bisa dengan jalan seperti itu. Ayahmu sudah mencoba dan lihat hasilnya."
"Lalu bagaimana, Paman?"
"Menyingkirkan rumput benalu tidak bisa dengan memotong saja. Nanti akan tumbuh kembali. Kita harus menarik sampai ke akar-akarnya. Sepuluh Kasim tua, itu sumber semua sini. Dengan Kekuatan militer kita habisi mereka."
"Menghabisi mereka berarti memotong sendi birokrasi," ucap Bian.
Dia paham jika para kasim adalah pekerja kekaisaran. Pengalaman mereka melayani Kekaisaran selama berpuluh tahun adalah aset berharga. Menghabisi mereka sama saja membutakan diri.
“Sepuluh kasim tua belum menguasai militer, kita bisa bergerak sekarang atau kelak akan menyesal,” ucap Paman.
Bian paham, tapi memberi perintah macam ini ke pihak militer akan membuat Bian berada dalam cengkeraman Paman.
Melihat wajah waswas Bian, He Jin berdecak kesal. "Sudahlah, kamu tenang saja. Serahkan semua pada Paman. Bian, aku perkenalkan beberapa jenderal setia."
He Jin berdehem cukup keras, suaranya terdengar sampai taman. "Masuk para jenderal setia!"
Bian semakin cemas karena Paman telah menyiapkan jenderal setia sebelumnya. Itu berarti dia tidak perlu memberi tahu Bian akan masalah ini. Obrolan mereka tadi hanya basa-basi formalitas. He Jin ingin membunuh para kasim dengan atau tanpa persetujuan dari Kaisar.
Bukankah hal ini bisa dinamakan pemberontakan? batinnya. Bian tidak berani bersuara. Dia berdoa Paman tidak memiliki maksud terselubung.
Dari luar, suara derap sepatu besi mendekat. Masuk empat pria memakai pakaian militer, memberi hormat pada Bian sambil bertumpu satu lutut.
Serempak mereka berseru, "Panjang umur Kaisar Bian, panjang umur kekaisaran Han!"
****
Para jendral menebar teror pada diri Liu Bian. Selama ini dia melihat jendral seperti He Jin, gagah, rapi, berwibawa, tapi sekarang para jendral 'lapangan' berada di hadapannya. Mereka memiliki banyak luka di tubuh, bahkan salah satu dari mereka kehilangan jari kelingking. Badan Liu Bian sedikit condong ke arah paman. Tangannya terangkat hingga bagian lengan pakaian menutupi wajah di bawah mata ketika dia berbisik. "Paman, aku tidak mengenal mereka." He Jin tertawa bangga memandang para jendral. "Mereka jenderal yang akan berjasa pada Han. Kalian, perkenalkan diri kalian!" Satu persatu mereka memberi hormat pada Liu Bian. Hanya beberapa yang Kaisar hafal namanya. Salah satunya adalah Cao Cao. Dia masih muda dan tampan. Tentu Liu Bian hafal wajah mulus i
"Cao Cao, bawa pasukan kavaleri maju duluan. Pasukan kita masih lama memasuki kota," perintah He Jin. "Laksanakan!" "Kenapa Tuan mempercayakan semua pasukan kavaleri ringan ke Cao Cao?" tanya salah satu jenderal di bawah kuasa He Jin. "Harusnya kehormatan itu diberikan kepadaku, anak dari keluarga Yuan." "Hmmp! Aku punya banyak alasan untuk melepas Cao Cao ke sana." "Maaf karena mempertanyakan keputusanmu, Tuan He."
Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang. He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara. Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan. Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara. Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin. Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka. Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri. Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung.
Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,
Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me
Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D
"Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me
Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b
Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"
Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n
Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda
Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.
Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri
Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang
Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?
Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m
Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun