Share

4. Kobaran Api

Penulis: WarmIceBoy
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-03 12:14:33

Satu minggu berlalu. Bian memimpin dengan tenang.

He Jin, tidak menghalangi untuk melayani masyarakat, dia hanya memberi saran dan 'mengambil sendiri' uang di kas negara.

Akan tetapi tragedi terjadi, semua karena efek dari insiden yang He Jin lakukan.

Sembilan kasim menyergap He Jin ketika hendak bertemu Ibu suri, mereka berhasil membunuh Jenderal Besar dan membuang kepalanya keluar istana. Hal ini membuat Cao Cao, Zhu Cun, dan Yuan Shao membawa pasukan mendatangi istana di tengah jalannya rapat negara.

Mereka membunuh semua kasim, baik sembilan kasim dan kasim-kasim muda yang tidak bersalah untuk membalas dendam kematian He Jin.

Para menteri dan dayang kabur ke berbagai arah, bahkan Bian dan Xian terpisah dari pada abdi mereka.

Sementara itu di luar, suara pedang beradu, jeritan kematian menebar terror sampai bulu roma Bian berdiri.

Kobaran api melahap apapun hingga tercipta asap hitam pekat yang menusuk hidung. 

Dia berinisiatif membawa Xian sembunyi demi keselamatan nyawa mereka.

“Kaisar!” teriak Zhu Cun, memasuki ruang singgasana yang sepi. Di tangannya terdapat pedang berlumur darah. “Kaisar di mana? Jangan takut, aku akan melindungi Kaisar dari para pengkhianat!”

Dia mencari ke mana-mana, bahkan ke balik kursi singgasana, tetapi gagal menemukan Bian dan Xian. Dia tidak sadar jika di dalam kendi raksasa dekat kursi kasim Bian dan Xian bersembunyi. Bian perlahan mengintip.

“Zhu Cun! Apa kamu berhasil menemukan Kaisar?” tanya Cao Cao, masuk bersama pasukan kerajaan.

“Tidak, bagaimana denganmu?”

“Haiya! Gawat jika begitu."

Suara Cao Cao terdengar sangat panik. Dia memandang sekitar sambil berpikir, lalu mengangguk mantap.

“Kalau begitu kamu bawa pasukan mencari Kaisar dan Adiknya, sementara aku akan mengamankan Ibu Suri, mengerti?”

“Ide bagus!” sahut Zhu Cun.

Zhu Cun membawa pasukan pergi, sementara Cao Cao beranjak menuju ruang Ibu Suri yang terletak tidak jauh dari ruang singgasana.

Keadaan mendadak kembali tenang, setidaknya dalam ruang ini.

Bian membantu Xian keluar dari kendi.

“Kakak, kita mau ke mana?” bisik Xian.

“Tenang, sebagai keturunan naga kita harus berpikir jernih,” jawab Bian, keluar dari kendi.

Dia menggandeng Xian menuju dinding di balik kursi singgasana. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka, dia menekan dada lukisan seorang wanita cantik dan pintu rahasia terbuka di lantai. Terbentuk tangga masuk ke sana.

“Dik, kamu masuk duluan.”

Xian memeluk pinggang Bian sambil menggeleng. Dia benci gelap, hingga tidur pun harus ditemani lilin.

“Jangan takut, kita keturunan naga, kan? Ayo masuk.”

Walau gelap Bian menggandeng Xian masuk ke ruang rahasia. Dia tahu jalan itu hanya lurus menuju pintu keluar.

Keduanya mengikuti jalan panjang menuju cahaya remang di ujung sana hingga tiba di sebuah pintu batu. Dengan mendorong sedikit pintu, benda itu terbuka dan keduanya keluar dalam semak belukar di sebelah dinding besar Luoyang. 

Mereka berhasil menghirup udara segar, juga merasakan hangat matahari lagi. 

“Kakak, kita mau ke mana?” tanya Xian.

“Sabar Adikku, yang penting kita selamat dari derita.”

Mereka melangkah tanpa tujuan, menjauh dari ibukota. Lama mereka melangkah hingga Xian mulai sempoyongan. Bocah itu tidak memakai alas kaki. Bebatuan tajam membuat telapak kaki luka-luka. Bian sebagai Kakak yang baik langsung menggendong adik di punggung.

“Terima kasih, Kak.”

“Ya.”

Bian cukup kuat menggendong tubuh mungil, sosok yang sangat dia sayangi. Keduanya tiba di lengan sungai luas. Mereka duduk berteduh dari terik matahari di bawah pohon besar. Perut mereka mulai berkicau meminta makan.

"Kak, lapar."

“Aku akan mencari makan untukmu.”

Akan tetapi Xian menarik tangannya. “Jangan pergi.”

Bian tidak mungkin membiarkan Xian menangis. Akan tetapi jika tidak mencari makan, mereka bisa tewas kelaparan.

Dia teringat akan roti yang dia sembunyikan pagi ini untuk dimakan ketika rapat kekaisaraan. Dia mengambil roti kering dari dalam hanfu hitam suteranya.

“Makanlah.” Bian memberi kudapan yang dia punya untuk Xian. “Katamu lapar, kan?”

Xian membelah roti menjadi dua, memberi setengah untuk Bian.

“Aku akan makan jika Kakak juga makan, kalau tidak mau, aku juga tidak mau makan.”

Begitu polos dan baik hati Xian, membuat Bian tersenyum sambil mengangguk. Bian menggigit kecil roti supaya Xian mau makan, lalu dia menyimpan roti bagiannya untuk Xian makan nanti ketika bocah itu kembali merengek lapar. Bagi Bian mending kelaparan daripada adiknya yang kelaparan.

Keduanya duduk di rerumputan hijau memandang sungai jernih. Bian mulai bermain seruling untuk mengisi waktu, membuat Xian tertidur di pangkuan.

Ikatan kakak beradik sangat erat, bahkan di kala kritis mereka selalu bersama.

Suara merdu suling mengundang perhatian dari beberapa warga. Salah satu dari mereka pergi memberi tahu pihak kerajaan tentang keberadaan Bian dan Xian.

Tak lama kemudian Zhu Cun datang bersama dua pengawal kerajaan.

“Panjang umur Kaisar Bian, panjang umur kekaisaran Han!” ucapnya. “Kaisar, akhirnya kita bertemu.”

“Mau apa kamu?” tanya Bian. “Mau membunuhku?”

“Hamba tidak berani! Hamba datang untuk membawa Kaisar kembali ke ibukota. Semua sudah usai. Sepuluh kasim tewas!”

“Lalu kamu mau menjadikanku boneka, seperti yang para kasim lakukan kepada ayahku?”

Bian memandang cukup tajam hingga membuat jenderal bergidik karena Aura kekaisaran kental dalam diri Kaisar.

Sementara Xian menangis, memeluk pinggang Kakaknya. Dia memang keturunan Kaisar, akan tetapi aura kekaisaran nyaris tidak ada dalam dirinya.

Dari kejauhan pasukan lain muncul. Bukan pasukan dari ibukota, akan tetapi dari penampilan garang dan pakaian perang lengkap mereka, mereka adalah pasukan perbatasan barat Xi Liang. Bendera berkibar tinggi di tengah barisan ratusan pasukan, bertulis, ‘Dong Zhuo’.

“Haiya, kenapa orang barbar itu datang kemari?” gumam Zhu Cun.

Zhu Cun cukup cerdas untuk tidak melawan, tapi menyimpan pedang ke sarung pedang. Dia memberi hormat pada kereta kuda yang membawa seorang pria gendut berberewok hitam tebal.

“Hormat, pada Jenderal Perbatasan Barat. Kaisar ada di sini bersama adiknya, mohon Anda untuk memberi hormat.”

Dong Zhuo turun dari kereta kuda, bersujud memberi hormat pada Bian dan Xian. Dia yakin jika Kaisar saat ini tanpa pengawalan. Hal ini membuatnya berani menarik kedua bocah mendekat.

“Biar aku melindungi kalian berdua. Pasukanku banyak! Siapapun yang melawan kita, akan kubinasakan!” 

“Lancang!” bentak Bian. Suaranya membuat Dong Zhuo langsung bersujud. “Berani kamu menyentuh Kaisar? Pasukan itu bernama pasukan Han, aku yang memiliki mereka, bukan kamu!”

“A-ampuni hamba—“

“Kak, kasihan dia. Paman ini baik, dia ingin menolong kita, mohon ampuni, ya,” pinta Xian, menarik-narik lengan hanfu Kakaknya.

Bian tidak tega menolak permintaan si kecil Xian. Dia menghela napas.

“Kamu aku ampuni karena permohonan Xian. Bangunlah.”

“Terima kasih Kaisar!” ucap Dong Zhuo, perlahan bangun.

Dia memberi hormat, membiarkan Bian dan Xian mengendarai kereta kuda menuju Ibujota bersama pasukan.

Dia memandang jengkel pada kereta kuda. Dia sadar keadaan ibukota sedang genting. Pasukannya bisa mengambil alih kekuasaan dan kaisar muda bisa menjadi bonekanya. Bian memiliki aura Kekaisaran, jelas akan sulit dikontrol.

"Aku harus menyingkirkan dia,"

Bab terkait

  • Pendekar Dua Jiwa   5. Beruang Keji

    Setelah menyelamatkan Bian, Dong Zhuo memproklamasikan diri sebagai Perdana Menteri. Kaisar tidak bisa bertindak banyak, akibat insiden sepuluh kasim dan He Jin, terjadi power vacuum di kekaisaran. Jabatan-jabatan kosong terisi oleh orang-orang kepercayaan Dong Zhuo, membuat status quo Dong Zhuo semakin besar. Hal ini nampak pada rapat mingguan di kekaisaran. “Kaisar datang!” teriak seorang kasim. Para pejabat membungkuk mengucapkan kalimat panjang umur kepada Bian. Bian duduk di singgasana. “Berdiri lah kalian semua.” Harusnya pada rapat seperti ini, semua pejabat masuk dan harus menunggu Kaisar. Mereka berbaris rapi, tanpa membawa senjata, juga wajib melepas sepatu. Kali ini berbeda, satu orang dari mereka merusak tatanan krama. “Perdana Menteri tiba!” Suara derap sepatu semakin mendekat. Dong Zhuo melangkah santai menenteng pedang juga memakai pakaian perang masuk ke ruang rapat. Beberapa menteri yang baru menjabat,

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-04
  • Pendekar Dua Jiwa   6. Turun Tahta

    Setelah mendapat kehormatan memimpin pasukan kerajaan, Cao Cao bagai mendapat berkah dari langit. Dia semakin mudah masuk ke kamar Ibu Suri. Berdua mereka memadu cinta terlarang, sebuah skandal perusak moral kekaisaran. Dia lalai dalam tugas, memilih meniduri Ibu Suri dari pada menjaga Bian dan Xian. Cao Cao mengira tidak akan ada yang berani mengancam nyawa Bian, selama Bian dan Xian berada di dalam wilayah istana. Terlebih Zhu Cun menjaga pintu gerbang bersama para pasukan loyal. Walau Dong Zhuo berniat memberontak, dia perlu memanggil pasukan Xi Liang yang berada di barak istana. Namun, dugaannya meleset. Setelah selesai rapat harian bersama para pejabat Luo Yang, Bian menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Xian. Di sana mereka membaca banyak buku, karena memang keduanya sangat suka buku. Ruang yang dipenuhi buku adalah surga bagi mereka. “Kak Bian, coba lihat ini.” Xian berlari kecil menghampiri Bian yang tengah santai me

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-06
  • Pendekar Dua Jiwa   7. Kuda Malam

    Beberapa bulan setelah Liu Bian turun tahta, keadaan negara makin kacau. Satu persatu pejabat loyal dibunuh tanpa sebab, membuat mereka yang beruntung menjadi takut dan bergabung dengan Dong Zhuo. Bahkan Zhu Cun dan Cao Cao menyatakan loyalitas kepada hewan itu. Sementara itu, Yuan Shao membangun kekuatan di daerah utara, mengirim banyak pesan bagi pejabat ibukota untuk berkomplot membunuh Dong Zhuo dan gerakan untuk mengembalikan Bian menjadi kaisar semakin besar. Dong Zhuo ingin menghabisi semua pejabat yang tidak berguna. Dia mempersiapkan pasukan untuk bergerak, tetapi Li Ru mencegah. "Minggir!" teriak Dong Zhuo. "Biar aku penggal mereka semua!" "Jika Anda melakukan itu, pemberontakan akan terjadi," ucap Li Ru. Nasihat itu membuat Dong Zhuo duduk di lantai melempar pedang. Berkali-kali dia mengumpat geram. "Jika begini terus, aku bisa digulingkan dari kekuasaanku!" Li Ru berdecak, duduk di sebelah Dong Zhuo. D

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Pendekar Dua Jiwa   8. Lu Bu

    "Serahkan mantan Kaisar!" sentak Lu Bu. Dengan suara keras yang menggelegar seperti bunyi halilintar, dua membuat kuda Zhu Cun meringkik ketakutan. "Ayo, menyerahlah!" lanjut Lu Bu. "Atau keluargamu akan mati!" "Hmmp!" sentak Zhu Cun. "Demi Han, keluargaku siap mati, kamu dengar?" Lu Bu terbahak. "Lucu sekali. Ayo berhentilah bercanda, serahkan kaisar sekarang juga. Kamu akan diampuni kelak, Cun." "Kamu mau memiliki Bian? Langkahi mayatku dulu!" tantang Zhu Cun. Lu Bu memberi kode bagi beberapa penunggang kuda di sekitar Zhu Cun untuk menyerang. Tiga penunggang kuda dari kiri, kanan, dan belakang maju. Dengan tangkas Zhu Cun meladeni mereka. Permainan tombaknya lumayan lihai hingga berhasil menghabisi dua penyerang. Perut penyerang terakhir dia tusuk memakai tombak lalu dia lempar ke arah Lu Bu. Dengan sekali tebas Lu Bu membelah pria yang melayang menjadi dua. Dia tertawa keras karena rasa puas. "Cukup me

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Pendekar Dua Jiwa   9. Kesetiaan

    Hujan semakin brutal menghantam bumi. Tapal kuda menghantam jalanan berkubang. Cao Cao memimpin pasukan berkuda untuk mencari Zhu Cun dan Liu Bian. Dia tak peduli jika besok demam lantaran hujan-hujanan. Mereka berputar cukup jauh mengikuti jalan, karena jurang terlalu terjal dan dalam untuk bisa langsung dituruni. Dia berharap dua orang itu baik-baik saja. Cao Cao punya rencana untuk kabur bersama Bian, Xian, dan Ibu Suri, memakai perahu pergi ke utara bergabung dengan Yuan Shao, tapi Zhu Cun merusak segalanya. Zhu Cun membawa Bian pergi begitu saja. Memikirkan hal itu membuat Cao Cao mengepal kencang. Dewa, kenapa tidak membantuku? Kenapa malah merusak rencanaku? batin Cao Cao. Setelah lama b

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Pendekar Dua Jiwa   10. Suara Malam

    Cao Cao meluncur menuju tempat penggalian makam. Belum sampai ke tujuan, nyala obor di tengah hujan membuat langkah melambat. Tiga pasukan memeriksa mayat teman mereka. Seketika kerongkongan Cao Cao kering. Dia bukan pendekar, tidak terlalu jago bermain pedang. Menghadapi satu atau dua pasukan dia bisa, tapi tiga terlalu banyak. Hanya dengan kejutan dia bisa menang. "Kenapa kalian berkumpul di sini?" tanya Cao Cao. Dia memandang bingung ketiga pasukan. Akan tetapi ketiga pasukan menjaga jarak, mundur. Mungkin mereka mengetahui apa yang terjadi? Begitu isi kepala Cao Cao. Satu dari mereka menjawab, "Lapor Tuan, kami menemukan mayat teman-teman--" "Bagaimana dengan kuburan pesananku, beres?" sela Cao Cao, melangkah pelan mendekat. Pria itu memandang kedua temannya di belakang, lalu menjawab, "Kami berhasil membuat makan itu dengan baik." Cao Cao mengangguk, sembari tersenyum pelan. Dia menepuk pundak pria itu. "Ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Pendekar Dua Jiwa   11. Hati Pasukan

    Nu An melihat Cao Cao membunuh teman-temannya. Dia bersembunyi di kegelapan malam. Setelah dirasa aman, dia bergegas pergi dari sana. Dia harus menceritakan apa yang dia lihat kepada Jenderal Lu Bu. Beruntung di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang bocah di atas kuda, tepat di bawah pohon tua besar. "Bocah, aku pinjam kudamu!" bentak Nu An. Bocah menggeleng. "Ini kuda Kakakku" "Mana Kakakmu?" tanya Nu An. "Itu, di sana." Nu An berjinjit melihat semak. Di sana nyala obor nampak terang, sepertinya lokasi itu memang menjadi tempat ideal untuk membuang kotoran. "Ayo turun, nanti aku kembalikan." Bocah kecil menggeleng. "Aku bayar lima keping tembaga, mau?" tanya Nu An. Bocah itu menggeleng. Sikap ini membuat Nu An geram. Diam enarik jatuh bocah kecil dari atas kuda, lalu menggantikan bocah itu di pelana. "Pencuri kuda!" teriak bocah, menarik kaki Nu An. Sua

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Pendekar Dua Jiwa   12. Taois Tua

    "Berani sekali kalian memperebutkan Kaisar?" Suara itu menggema di hutan yang gelap. Baik pasukan penunggang kuda dan Cao Cao menoleh ke berbagai arah, mencari sumber suara. "Keluar kamu!" bentak penunggang kuda. Dari kegelapan muncul selendang putih memukul mata penunggang kuda. Seorang pria tua melayang di udara, menendang jatuh penunggang dan mendarat ke pelana kuda sebelum Bian terjatuh. Dari pakaiannya pria tua itu petapa Taoist. "Keparat!" Pasukan hendak menyerang petapa. Petapa menyentil kerikil menembus kening penyerang. Seketika badan penyerang ambruk. "Haiya, aku membunuh satu makhluk. Semoga Dewa mengampuniku." Cao Cao memungut pedang, mendekati petapa memberi hormat. "Guru, terima kasih karena datang menolong. Sekarang biar aku--" "Kamu kira aku tidak tahu siapa bocah ini? Sekarang ikuti aku, kita harus segera menolongnya." Petapa melayang ke udara, menghilang ditelan kegelapan malam. Cao Cao

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17

Bab terbaru

  • Pendekar Dua Jiwa   145. Musuh Atau Teman?

    Cao Cao dan para punggawa berada di kota Ba. Mereka berkumpul guna menyelidiki surat-surat rahasia Yuan Shao yang ditujukan pada teman-temannya di daerah kekuasaan Cao Cao. Cukup banyak surat-surat sampai dua hari menyita perhatian Cao Cao, menetap di ruang baca. "Apa yang hendak sepupu lakukan dengan semua surat-surat?" tanya Cao Hong, memberanikan diri setelah menanti begitu lama, sampai kakinya pegal. Cao Cao menghela nafas panjang membaca satu surat, lalu dia terkekeh. "Yuan Shao, Dong Cheng, Liu Bei, Sun Ce, Ma Teng, Liu Zhang, Liu Biao, King Ring, Meng Tian, Meng Huo, Zhang Reng. Mereka bersumpah setia pada Kaisar untuk membunuhku." Dia terkekeh hingga terlentang di bantal. "Haiya, jadi surat ini yang membuat Yuan Shao berani menantangku, Perdana Menteri Han?"

  • Pendekar Dua Jiwa   144. Nu An dan Zuo Ci

    Nu An dan pengikutnya malam ini sibuk dengan kegiatan merawat korban perang.Pelarian pasukan Yuan Shao banyak yang singgah di pertigaan Hubei, pertigaan antara kota Ye, Beihai, dan kota Ba.Bisa dibilang pertigaan Hubei menjadi tempat paling netral dari politik juga peperangan di seantero Han saat ini.Semua karena nama besar Nu An membuat pasukan Cao Cao sungkan hendak menyerang, terlebih bukan hanya pelarian pasukan Yuan Shao yang dia tolong, tapi juga beberapa pasukan Cao Cao yang terluka pun dirawat di sana.Ha Nif berlari dari arah hutan dengan raut wajah panik. "Guru, Guru Nuan!"Nu An sedang menjahit luka tebas di badan salah satu pasukan Yuan Shao, dia fokus pada pekerjaan tak mengindahkan muridnya itu.&n

  • Pendekar Dua Jiwa   143. Quan Long di Utara

    Sementara itu di pelabuhan Yang Feng, pelabuhan dekat kota Ye, puluhan kapal besar berlabuh dikawal ratusan kapal kecil dan ribuan sampan. Cahaya obor mewarnai sungai kuning di malam hari, mempertontonkan bendera Cao Cao yang berkibar di masing-masing kapal. Semua warga berkumpul di depan rumah masing-masing, menunjuk-nunjuk ribuan prajurit yang berbaris menuju utara. Para warga mulai berbisik. "Wah, bukankah Cao Cao telah mengalahkan Yuan Shao, kenapa pasukan mereka masih siaga seperti ini?" "Haiya, Perdana Menteri mungkin ingin menghabisi seluruh penduduk utara karena mendukung Yuan Shao." Mereka berhenti bicara ketika Quan Long bersama beberapa jendral berkuda

  • Pendekar Dua Jiwa   142. Selamat Tinggal

    Ini ucapan pertama Liu Bang setelah beberapa jam berdiam diri."Baik, selamatkan rakyat dari tirani adalah hal terpenting."Zhou lega, mengetahui Liu Bang orang baik. Namun, dia sadar, pasti sulit mengucapkan tirani pada sesuatu yang dia bangun sepenuh jiwa dulu. Sesuatu yang diyakini berbeda dari dinasti sebelumnya.Liu Bang berbalik menghadap Zhou. Lagi-lagi dia memberi raut wajah yang serius. "Aku merasakan dua tenaga dalam dirimu. Katakan, apa kalian melakukan transfer ruh?"Zhou mengangguk."Kenapa? Siapa yang kehilangan badan?"Zhou menceritakan apa yang terjadi pada Liu Bang karena percaya buyut Liu Bian tidak memiliki niat jahat kepadanya.

  • Pendekar Dua Jiwa   141. Legenda Asli

    Liu Bang masih terpukul. Kedua telapak tangannya menekan dua sisi pelipis, memandang pantulan wajah di jernih air danau."Bian, bagaimana ini?" tanya Zhou dalam tubuh Bian. "Cepat selidiki, sebenarnya apa yang terjadi."Tanpa disuruh pun Bian ingin bertanya, hanya saja dia menanti saat yang tepat, melihat kondisi pemuda itu membuatnya sungkan untuk mendesak.Liu Bang tertawa histeris menggeleng cepat. "Dewa naga sialan, dia benar-benar berhasil membuat danau rembulan!"Dia berbalik mencengkram kedua lengan Zhou. "Kamu berhasil masuk, berarti kamu keturunanku. Katakan, keturunan ke berapa dan bagaimana keadaan di luar sana?""A-aku keturunan ke-13. Keadaan di luar kacau balau. Setelah nyaris empat ratus tahun Han berdiri

  • Pendekar Dua Jiwa   140. Liu Bang

    Pertukaran terjadi. Sekarang Bian memegang kendali tubuh Zhou.Dia berdiri membawa obor abadi, mengamati kemegahan dinding batu raksasa berlumut dengan seksama. Sesekali dia meraba-raba dinding berharap menemukan keajaiban seperti tempo hari, di mana dia tidak sengaja menekan tombol rahasia yang membuat pintu terbuka.Sambil memakan biji padi dia duduk bersila mengamati pintu raksasa berhias tanaman hijau memanjang bak tirai."Zhou, menurutmu bagaimana?" tanya Bian.Tidak ada jawaban dari sahabat di dalam alam bawah sadar."Hei, bantu berpikir.""Ah berisik, aku sedang menikmati arak!"Bian menghela napas panjang. Terkadang

  • Pendekar Dua Jiwa   139. Sumber Kehidupan

    Pertukaran kuasa atas tubuh terjadi seperti biasa. Keduanya silih berganti, menahan lapar juga haus. Zhou duduk bersila kaki menggaruk kepala seperti kera kutuan walau tidak gatal. Entah berapa lama dia menunggu sampai kuku memanjang, pipi cekung, bibir pecah-pecah. Rupa Zhou seperti mayat hidup. Hingga detik ini dia sabar menanti. Dengan nada panjang yang malas, dia bertanya, "Bian, bagaimana sekarang? Sudah ketemu belum jalan keluarnya?" Dalam alam bawah sadar Bian menjawab, "Ikuti sumber kehidupan menuju kehidupan. Haiya … apa maksudnya coba?" Zhou berdecak sebal, selalu pertanyaan yang sama, selalu kalimat yang sama. Dia tak pernah akur dengan puisi, bagaimana mungkin bisa mengerti?

  • Pendekar Dua Jiwa   138. Penjaga Makam Kuno

    Zhou menghindari serangan musuh tanpa melepas batu besi inti bumi yang meluncur menuju dasar danau. Keduanya tercengang ketika melihat sosok musuh. Mereka pernah bertemu sosok manusia ikan ketika pertama kali bertemu dengan Qiu Niu, dalam dunia bawah sadar. Namun, baru kali ini mereka berhadapan dengan para manusia ikan di dalam air. Gerakan mereka seperti ikan koi menyerang capung. Senjata tombak spatula bermata tiga begitu tajam juga bercahaya terang. Mereka memakai senjata dengan cara menyodok. Selama perjalanan Zhou hanya bisa menghindar. Gerak badannya lambat di dalam air, membuat menghindari serangan sangat susah. Zhou masuk ke dalam gelembung kasat m

  • Pendekar Dua Jiwa   137. Sabun dan Kendi

    Sementara itu di tepi danau rembulan, Zhou belum juga masuk ke dalam danau."Kakek, sekarang apa?" tanya Bian yang menguasai tubuh Zhou.Dua Kakek terkekeh. Kakek putih mengayun tangan, memberi kode para dayang untuk menaruh kendi raksasa ke tepi danau rembulan.Yu An dan Yu En datang membawa kayu pipih besar, juga cairan aneh dalam kendi berukuran sedang."Kakak tenang saja," jawab Yu An, senyumnya mampu membuat Zhou sedikit rileks.Jika gadis kalem menyuruhnya tenang, bukankah berarti semua baik-baik saja?Yu An menuang cairan itu ke dalam kendi berisi air, lalu Yu En dan Kakek mengaduk perlahan memakai kayu pipih.Aroma sabun

DMCA.com Protection Status