Pemuda kencur itu kembali ke biliknya untuk bersalin pakaian mengenakan beskap dan celana gombroh hitam. Dia tak perlu membawa apa pun. Segala yang dia miliki di rumah itu adalah pemberian Warok Sastro—hasil dari menjual tubuhnya. Endaru tak ingin terikat dengan kehidupannya yang kelam selama di sana.
Dia melepas kaca semprong lampu minyak di meja, meniup apinya hingga padam, dan mengusapkan jemari untuk mengambil jelaganya. Dengan keberanian dan ketakutan yang saling menggelegak, dia usapkan jelaga itu menutupi wajah.
Endaru berburu dengan waktu. Beberapa saat lagi kembang fajar akan mekar. Dia berlari menuju halaman belakang, memanjat pohon asam, melompat dari batang terdekat ke pagar, lalu merayap ke bawah.
“Enes, aku melihatmu! Jangan kau coba untuk kabur lagi!” teriak penjaga regol—seorang pria tua dengan satu kaki yang pincang.
Tubuh Endaru terguling ke rerumputan basah karena kehilangan pijakan. “Ah, sial! Si pincang i
menurut kalian, Endaru berhasil tidak dalam pelariannya kali ini?
“Kau mencari emakmu di rumah pertanian Cornellis? Meminta pertolongan dari Londo itu?” tanya Suro yang kini duduk bersandar pada terali sel mereka setelah mendengarkan kisah Endaru.“Aku memang mencari emak tapi bukan untuk meminta pertolongannya.”Suro masih bersabar menanti kelanjutan cerita Endaru.“Aku mengajak emak untuk pergi bersama melintasi perbatasan, entah ke Ngawi atau ke Bojonegoro. Ke mana pun itu yang penting kami bisa keluar dari Panaragan.”“Dan kau gagal!” Suro tertawa meledek.“Kau tahu pasti kalau aku gagal. Dia sudah menjadi gundik Cornellis. Tak seharusnya aku mengusik kehidupannya. Aku memang sempat bertemu dengan emak. Dia menyembunyikanku di lumbung selama tiga hari tapi tidak mungkin bagiku untuk berada di sana selamanya. Pada saat itu Emak memintaku pergi ke Alas Jenangan, bukan lagi ke pesantren di Tegalsari seperti saat pertama kali. Pada hari ke tiga Demang Sastro d
Burung-burung itu seperti digerakkan oleh daya sihir. Pekikan dan jeritannya menggema di udara. Kepakan sayap mereka seperti guruh yang membawa badai. Orang-orang seolah berhenti bernapas. Udara tidak terasa dingin pun panas. Angin seakan pempat di bawah kendali kepakan sayap mereka. Endaru ternganga dan menggigil secara bersamaan melihat pemandangan yang aneh itu.“Mereka datang lagi!” pekik anak-anak yang berlatih kanuragan di depan dengan wajah yang pias.Suromenggolo yang duduk di amben segera bangkit dan spontan meraih parangnya. Hanya Sentikno yang masih duduk tenang di amben sambil berteleken pada tongkatnya.“Ada apa ini?” Suro memutar badan dengan kepala terus mendongak ke atas.Burung-burung itu tidak melintas tetapi berputar-putar hanya di atas bubungan rumah. Beberapa burung terlihat menukik turun dengan cepat dan menyerang beberapa anak-anak yang masih ternganga di pelataran. Mereka menjerit sambil melindungi kepala de
Endaru bangkit dengan tangan meraba-raba dinding gedek untuk mencari pegangan. Tatapannya mengabur. Di dalam kepalanya berpuar-putar wajah sang emak yang terus menari-narikan senyum tipis. Dia keluar dari rumah dengan langkah gontai dan telinga yang berdengung sampai tangan kasar Suro menarik bahunya. Endaru jatuh terduduk ke permukaan tanah yang berkerikil.“Aku harus melihat emak!” tatap pemuda tanggung itu dengan nanar dan memohon pada Suro.“Mereka memang ingin kau datang ke sana, sadarlah! Emakmu mungkin sudah mati tapi aku yakin dia tak ingin kau ikut menyusulnya,” bentak Suro.Endaru meraung-raung di tanah. Semua orang memperhatikan dengan dada yang remuk. Setelah lelah melampiaskan marah dan kecewa, Endaru bangkit dengan sedikit limbung untuk menghadap ke Sentikno yang masih duduk di amben.“Ajarkan aku segala ilmu yang Anda punya!” Endaru memelas, membujuk, hingga menghardik dengan mata merah dan bengkak.
Bojonegoro, September 1898“Jullie dieven en rebellen verdienen een zware straf!”[1]Seorang opas indo mendorong dan menendang sebaris pria berpakaian lusuh yang tangannya terikat tambang. Pada kaki mereka terdapat belenggu dari besi. Pria-pria itu digelandang dan dibariskan di halaman penjara.Mendengar keributan tak jauh dari selnya, Suro dan Endaru segera terbangun.Salah seorang tahanan itu menatap tajam pada opas yang memperlakukan mereka dengan kasar, “Kowe wong Walanda maling ing tanah kita, cuih!”[2]Pukulan dan tendangan dari para opas yang lain turut bersarang di tubuh petani kurus berambut gimbal itu.“Siapa mereka, Paman?”“Jika melihat dari cara mereka melawan, tak lain adalah Wong Sikep para pengikut Samin. Mereka menolak membayar pajak, menolak mblandang[3], dan selalu berbicara kasar
Suro terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri saat dua orang opas menarik paksa tubuh si gimbal yang menindihnya. Mata Suro membeliak merah menahan sakit yang teramat di ulu hati. Si gimbal sempat meninjunya sebelum belati berhasil Suro tancapkan pada tenggorokan pria itu.Endaru masih dalam posisi setengah merangkak dengan lengan ditarik tahanan lainnya agar menjauh ketika tiba-tiba terdengar Suro tersedak. Napasnya pendek-pendek dan cepat. Kepanikan yang sesaat lalu menyergapnya seketika menguap. Dia melihat dua orang opas yang memanggul senapan di bahu menyeret tubuh Suro agar bangkit dan meninju perut pria itu dengan popor. Suro tersedak lagi. Opas yang lain memeriksa tubuh pria gimbal yang matanya memelotot tak bergerak. Darah terus merembas dari pangkal tenggorokannya dengan belati tertancap di sana.“Kau membunuh pria ini?” Opas itu memukul perut Suro sekali lagi.Suro menyeringai dengan mulut melelehkan sedikit darah, “Aku tak menyentu
Endaru dimasukkan ke dalam kereta polisi dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu besi. Tak lama Suro datang dalam keadaan yang memprihatinkan. Wajahnya bengkak kebiruan dengan sisa-sisa darah kering di pelipis dan bibir.“Apa yang terjadi?” Endaru mencoba mendekati Suro tetapi terhalang oleh belenggu pada kakinya.Suro didorong masuk ke dalam kereta dengan kasar. Meski dengan wajah bengkak dan lebam dia masih bisa menyeringai dan membuat Endaru kesal.“Apa yang mereka lakukan padamu semalam?”“Apa lagi menurutmu?” Suro mencoba berbaring di lantai kereta yang sempit itu, “Punggungku kaku sekali. Biarkan aku tidur sejenak.”Kemeja Suro yang tak berkancing sedikit tersingkap menampakkan perut dan pinggang yang sama mengerikan dengan wajahnya.“Pasti itu sakit sekali. Dari mana kau dapatkan kemeja itu?” Endaru berbicara seorang diri.
Rosemeijer Vallois-Crussoe seorang perempuan Perancis yang diperistri oleh Barend Crussoe—pria Belanda—yang dikirim ke Hindia empat tahun lalu untuk penugasan pertamanya sebagai kontrolir di Bojonegoro. Perempuan berusia pertengahan dua puluhan itu kini menyandang status sebagai janda Crussoe. Dia duduk di kursi saksi dengan punggung sangat tegak karena korset yang menopangnya.Rose menutupi bibir menggunakan setangan katun berwarna putih dengan sulaman nama suaminya di sana. Topi jala hitam yang menyembunyikan sebagain wajah berbintik-bintiknya terlihat terlalu menawan untuk sebuah pakaian berduka di dalam sebuah persidangan.Endaru dengan sudut mata tajamnya dapat menangkap kepalsuan dari resam tubuh perempuan itu. Seulas senyum tipis terkembang di balik setangan yang menutupi bibir Rose. Dia segera mengalihkan pikiran dari bayangan bibir berpulas merah ceri milik janda Crussoe itu.Semua orang menunggu kesaksian yang akan disampaikan oleh perempua
Sejak kembali dari lapangan untuk menonton pertunjukan reog siang itu dada Rose terus berdentam-dentam setiap kali mengingat wajah Endaru. Waktu yang berlalu semakin meneguhkan perasaannya. Senyum terus terkembang di bibir belah Rose yang semerah ceri. Kadang kala dia menyalahkan diri sendiri. Perempuan itu menjadi lebih sensitif saat bayangan senyum warok muda itu berganti dengan wajah dingin Crussoe—suami yang terpaksa dinikahinya.“Dit is verkeerd! Ik ben een respectabele vrouw. Ik moet geen aandacht schenken aan andere mannen dan aan mijn man.”[1]Seiring berakhirnya musim panen, lapangan kademangan juga kembali lengang. Setiap akhir pekan Rose berkuda dan memeriksa ke sana meski tahu hanya akan ada rerumputan dan ilalang yang mulai meninggi. Dia berharap melihat Endaru tetapi yang tersapu mata adalah sekawanan ternak yang tengah memamah biak.Suatu hari Rose tersesat hingga ke padang gelagah di perbatasan hutan ja
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan
Seorang pria bersarung batik dan berbeskap putih duduk di sebuah kursi goyang sambil memangku seorang anak laki-laki berusia empat tahun yang sedang terlelap. Kumis baplang putihnya berayun-ayun saat bibir melantunkan kidung pengantar tidur.Sret ... sret ... terdengar suara gesekan celana gombroh dari sosok bertopeng merah yang berjalan mendekat ke arah kursi goyang. Kidung terputus. Sembah terangkat dari sosok bertopeng itu, “Sudah saya selesaikan seperti perintah Ndoro!”“Dia menjadi serakah dengan mencoba merebut dan menyakiti apa yang menjadi kebangaannku. Orang seperti itu memang pantas untuk disingkirkan, bukan?” Kursi kembali berayun, “Aku dengar ada kegaduhan di sana. Apa mereka tahu kau pelakunya? Bukankah kubilang untuk melakukannya dengan tenang?”“Ampun, Ndoro ...,” suara di balik topeng itu bergetar dengan sepasang tangan terangkat memberi sembah sekali lagi, “Ada seseorang yang juga me
Gadis itu menghilang saat Endaru berhasil mencapai rumah dalem tempat tinggal para nyai. Sejenak dia ragu karena tak ingin bertemu dengan Nyai Larsih atau siapa pun yang mungkin masih mengenalinya. Dipanjatnya dinding pemisah antara dua gadok—sisi kanan menuju bilik Sastro dan sisi kiri menuju pemondokan Dasi. Endaru memutuskan untuk turun ke sisi kanan.“Dasi, tunggulah sebentar lagi!” gumamnya pada diri sendiri.Dia mencabut belati dari punggung dan mengendap-endap memasuki bilik Sastro. Rapalan mantra dan pemusatan pikiran penyerahan diri pada Sang Kuasa lamat-lamat dia lantunkan. Kilasan-kilasan bayangan masa lalu kembali berkelebat hingga dengan satu entakan keyakinan dia dorong pintu bilik Sastro.Bilik itu kosong.“Sial!”Suara tapak-tapak kaki terdengar bergema semakin mendekat. Bisikan dan tawa bocah-bocah laki-laki terdengar saling bersahutan.“Para gemblak,” Endaru menutup bilik d
Ringkik kuda bersahutan dengan dekut para kuak. Halimun menggantung membatasi penglihatan. Cahaya sintir meliuk-liuk dengan sinar yang berpendar.Kraak ... suara pintu lumbung yang dikuak membuat para pengerat lari ketakutan. Aroma pengap dan masam menguar berhamburan dari bukaan pintu. Udara dingin puncak malam menggantikan lembap di dalam lumbung.Endaru membungkuk meraih bangku yang bergelimpang di lantai berdebu. Dia letakkan sintir di atas kursi dan berputar memandangi atap yang dihuni para pemintal. Jalinan sarang laba-laba yang menghitam menambah suram ruangan. Dia berjalan ke pusat gas dan memompanya hingga seluruh rumah kembali disinari cahaya.Bekas kediaman Cornellis kini menjadi rumah terkutuk yang ditakuti oleh warga. Tak ada yang berani menjamah bahkan sekadar lewat pun mereka enggan. Rumah pertanian itu kini dikepung gelagah, semak belukar, dan tumbuhan pancang. Sulur-sulur tanaman rambat menutupi hampir seluruh gerbangnya menyembunyikan