Share

5.

Author: Ade Tiwi
last update Last Updated: 2021-04-19 11:06:31

Pagi ini aku bangun seperti biasa, setelah mandi aku langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Bedanya dimulai hari ini aku hanya membuat sarapan untuk diriku sendiri.

Sedikit memekik saat membuka lemari pendingin aku baru sadar kalau isi di dalamnya sudah ludes tak bersisa. Ah iya, aku dan Lista sudah menghabiskannya kemarin.

Bingung ingin sarapan apa akhirnya aku memutuskan untuk membuat mie goreng saja, kebetulan masih ada stok beberapa bungkus mie instan yang aku beli minggu lalu. Cukup butuh waktu beberapa menit saja untuk mengolah mie goreng dan selesai.

Menaruhnya ke dalam piring dan langsung saja untuk mengeksekusinya, biar lebih mantap aku juga membuat kopi susu panas untuk teman makan mie.

Saat asyiknya menikmati sarapan aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit mendengkus aku mencoba untuk mengabaikannya, itu pasti mas Tala.

"Sedang apa kau disini?" pertanyaan lantang itu terlontar begitu saja.

Aku melirik sekilas lalu menunjukkan piringku ke hadapannya tanpa repot-repot menjawab. Aku rasa mas Tala mengerti apa yang sedang ku lakukan, bukan?

"Masak lagi?"

Kali ini pertanyaannya tak ku hiraukan, tentu saja. Lebih baik aku menikmati mie goreng ini.

"Berapa kali aku bilang padamu untuk tak perlu memasak lagi karena aku—"

"Tidak ingin memakannya," sahutku cepat memotong ucapannya.

"Lihat!" aku menunjukkan kembali piringku padanya, "aku cuma membuat satu porsi sarapan untukku saja. Apakah juga salah?"

Ku lihat ekspresi mas Tala sedikit terkejut dengan mata yang terbelalak kaget, namun dengan cepat juga ia merubah air mukanya menjadi santai.

"Tetap salah, kau telah menggunakan tempat ini hingga membuat dapur menjadi kotor serta berantakan hanya karena masakanmu yang tak enak juga tak higienis." setelah mengatakan itu mas Tala berlalu pergi meninggalkanku yang tercengang hebat.

Hah, apa maksudnya ... aku juga tidak boleh menggunakan dapur lagi untuk memasak?

Astaga, keterlaluan!

Ucapan mas Tala benar-benar mempengaruhi diriku hingga membuat nafsu makanku hilang tak bersisa. Sepertinya apapun yang ku lakukan selalu salah di depan mas Tala.

Sempat terlintas di pikiranku tadi saat mas Tala berjalan menghampiriku, ku pikir dia akan marah karena aku tidak membuatkannya sarapan. Nyatanya mas Tala malah nampak senang dan malah mengatakan hal-hal pedas.

Tapi, baiklah, kalaupun menggunakan dapur juga tidak boleh maka aku tidak akan menginjakkan kaki lagi ke sini.

*****

"Bete?" tanya Lista yang ku angguki. Saat ini aku dan Lista tengah hang out bareng di sebuah cafe.

"Kenapa?"

"Mas Tala," sahutku lirih tak bersemangat.

"Kenapa lagi sama suamimu? Buat ulah kembali?"

Aku mengendikkan kedua bahuku, "entahlah Lis. Aku juga tidak mengerti dengan sifat mas Tala. Semakin lama semakin kejam, aku merasa setiap apapun yang ku lakukan selalu baginya."

"Haduh, kan udah gue bilang minta cerai aja. Lu sih ngotot banget pingin mempertahankan pernikahan ini."

Aku memutar bola mata jengah mendengar ucapan Lista, "gak segampang itu, Lis."

"Siapa bilang? Pisah itu gampang kok, lagian apa sih yang ingin lu pertahanin? Lu cinta sama Tala?"

Aku mendelik mendengarnya, "sejujurnya sih belum. Tapi entah jika nanti."

"Haduh, berharap banget dah jatuh cinta sama laki-laki model kayak begituan. Lan, cowok model macam Tala itu pantasnya di hempaskan saja." kata Lista tampak berang, "sumpah gue geram banget pas lu udah ceritain semuanya tentang pria berengsek—aissh, sialnya suami lu."

"Kalau bukan suami aku, kenapa Lis?"

"Ya udah gue buat hancurlah, ini gimana gue mau ngancurin kalau lu-nya aja gak tegaan begini."

Aku tertawa lirih, "kata siapa? Aku juga bisa kejam loh."

"Masa?" Lista menyipitkan matanya menatap curiga padaku.

Aku kembali tertawa, "Lis, kamu bisa bantu aku gak?"

"Bantu apa? Gue selalu siap kok bantuin lu dari yang gampang sampai yang sulit sekalipun. Asyeek, mantap banget dah bacotan gue," Lista terkekeh di akhir kalimatnya.

"Jadi, bantuan apa?"

"Cara ngelupain hal-hal yang berbau kesedihan."

"Bunuh diri—awhh!" tepat setelah tiga detik Lista mengatakan dua kata itu aku langsung menyubit cukup kuat lengannya.

"Canda!" katanya meringis perih, "tuh kan merah." Lista menunjukkan lengannya yang memerah bekas cubitanku.

"Habis bercandamu seram banget. Memang mau nih aku bunuh diri?"

"Ya, enggaklah, enggak salah lagi maksudnya." Lista tertawa sementara aku melotot marah.

"Lagian lu ada-ada aja sih minta tolongnya kayak yang begituan."

"Itu kan gak aneh, Lis."

"Lu salah bilangnya. Yang bener tuh gini, hal apa saja yang bisa bikin kita merasa bahagia."

"Memang apa?" tanyaku penasaran.

"Setiap orang pasti punya cara tersendiri untuk merasa bahagia. Ada yang benar-benar bahagia dan ada juga yang pura-pura bahagia."

"Dan kamu salah satu orang yang seperti apa?"

"Keduanya. Kadang aku hanya pura-pura bahagia dan kadang malah sangat bahagia." aku tertegun mendengarnya.

"Lan, ngelihat lu kayak gini gue jadi ragu buat menerima permintaan kedua orangtua gue."

"Maksudnya?"

Lista menarik napas sesaat sebelum bicara, "gue... dijodohin sama laki-laki anak sahabat orangtua gue."

Mataku berbinar bahagia mendengarnya, "wah serius?"

Lista mengangguk lemah, "tapi gue takut."

"Takut kenapa?"

"Takut nasib pernikahan gue kayak lu. Masa iya nambah lagi penantian seorang istri yang kedua." cibir Lista yang sebenarnya tak benar-benar bermaksud untuk menyindirku.

Aku mengerti jika Lista pastilah ikut merasakan dampak dari semua yang aku ceritakan kemarin. Ya, akhirnya aku menceritakan semuanya pada Lista setelah dia berhasil membujukku untuk mengatakannya.

"Gak semuanya pernikahan yang dilandasi perjodohan berakhir menyedihkan, Lis. Ada juga beberapa pasangan yang dijodohkan berakhir manis dan hidup bahagia."

"Memang perjalanan kisah cinta lu udah berakhir?"

"Itu—aku rasa belum." sahutku sambil membayangkan kehidupan pernikahan yang bahagia bersama mas Tala dan juga anak-anak kami kelak.

Hah, biarlah walaupun aku hanya bisa berandai-andai saja sambil menghayal. Siapa tahu kali ini khayalanku menjadi kenyataan. Mas Tala berubah dan bisa menerimaku, menerima pernikahan ini dan mulai mencintaiku.

"Hei!" aku tersentak sadar dari lamunanku, "pantesan diajak ngomong udah gak konek lagi. Ternyata oh ternyata melamun, lagi ngelamunin apaan sih?"

"Tidak ada."

"Bohong banget, pasti lagi melamun hal-hal yang jorok ya? Hayoo, ngaku!"

"Astaga, Lista, enggak!"

"Iya."

"Enggak."

"Iya."

Terus seperti itu, kami berdebat tiada henti hingga tanpa terasa waktu sudah sore. Aku memutuskan untuk pulang dengan diantar Lista menggunakan mobilnya. Memang tadi saat pergi pun Lista yang datang ke rumah menjemputku.

Aku tiba di rumah pukul lima sore, tepat setelah menutup pintu rumah aku dikejutkan dengan suara mas Tala.

"Darimana saja kamu?"

Aku membalikkan badan dan melihat mas Tala berdiri di belakangku sembari berkacak pinggang.

"Mas Tala sudah pulang?" aku malah balik bertanya, "tumben," sambungku santai dan hendak melangkah pergi.

Tap!

Sebuah tarikan tangan mencengkeram pergelangan tanganku, dan tentu saja pelakunya mas Tala.

"Lepas—"

"Mama dan Papa ingin menginap di sini," ucap mas Tala yang saat itu langsung membuat kedua bola mataku melotot sempurna.

Related chapters

  • Penantian seorang istri   6.

    Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?""Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu.""Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami."Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   7.

    Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam."Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala."Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya."Mama

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   8.

    Pagi ini kami semua sarapan lewatdelivery onlinelagi. Mas Tala memesankan nasi uduk paling enak langganannya yang sering dia santap tiap pagi. Aku hampir cemas setengah mati saat mas Tala mengatakan itu dengan entengnya, syukurlah mama dan papa tidak mempertanyakan kata 'langganan' yang diucapkan mas Tala tadi.Dan rencananya siang ini mas Tala ingin mengajakku berbelanja bahan makanan untuk stok persediaan di lemari pendingin kami yang saat ini kosong melompong.Setelah pamit pada mama dan papa, kami langsung memutuskan pergi. Butuh waktu cukup lama untuk sampai di pusat perbelanjaan karena tadi kami sempat mengalami macet yang lumayan panjang. Seluruh kesabaran kami hampir terkuras sepenuhnya disana."Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya mas Tala yang sepertinya risih saat aku terus melihat ke arahnya."Mas tidak bekerja?" tanyaku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung per

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   9.

    Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu."Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang."Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala."Maaf."

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   10.

    Aku memekik bahkan nyaris menjerit saking takutnya pada kegelapan, berusaha berjalan dengan baik dengan cara meraba-raba. Namun tanganku menyentuh sesuatu yang bidang dan terasa keras, seperti ... dada pria?"Mas Tala?" panggilku.Ah, aku hampir lupa jika ini kamar mas Tala. Tentu saja dia ada disini."Ssstt, iya ini aku, Lana." sahut mas Tala membuatku lega. Namun tidak denganku yang merasa sesak dan pengap akibat keadaan gelap gulita seperti ini."Kenapa kamu menjerit?" tanya mas Tala menyentuh tanganku yang masih setia bertengger di depan dadanya.Aku tersentak dan berusaha menarik tanganku namun mas Tala mencegahnya. Alhasil aku tidak jadi berhasil menarik tanganku dari dadanya."Mas, aku takut gelap." cicitku dengan suara berbisik."Sebentar.""Mau kemana?" tanyaku panik seraya menahan tubuh mas Tala agar tak beranjak dari tempatnya.Sungguh, aku sangat takut."Aku mau mengambil lilin dulu, Lana." katanya memberitahu m

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   11.

    "M-mau yang rasa apa, Mas?" tanyaku gugup dan terbata.Sungguh, aku masih merasa tidak percaya kalau mas Tala memintaku untuk membuatkannya mie kuah instan juga."Sama kayak kamu aja.""Yang ini?" aku menunjukkan bungkus mie instan rasa kari pada mas Tala."Yang itu rasa apa?" mas Tala menunjuk bungkus mie instan yang satu lagi."Soto.""Kamu suka yang rasa apa?""Hah? Aku?" Mas Tala mengangguk."Keduanya aku suka Mas," sahutku jujur."Ya sudah, buat saja keduanya. Kebetulan aku juga suka semua rasa mie instan." kata mas Tala yang kemudian beranjak melangkah ke meja makan."Aku nunggu disini ya," mas Tala menarik salah satu kursi meja makan dan duduk disana sembari menatapku.Aku langsung memalingkan wajah dan mulai fokus memasak dua bungkus mie instan dengan rasa berbeda ini. Walaupun sejujurnya aku

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   12.

    "Loh, Mas mau kemana?" tanyaku terhenyak kaget saat keluar kamar dan menemukan mas Tala yang sepertinya juga baru keluar kamar dengan penampilan yang sudah rapi."Pergi." sahut mas Tala singkat dan terkesan datar.Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat tak berani bertanya lagi, dan mas Tala berlalu pergi begitu saja tanpa mempedulikanku.Aku meringis melihat perubahan sikap mas Tala yang kembali dingin, ia tak penasaran dan tak bertanya kemana aku akan pergi? Jangankan itu, mas Tala bahkan tak melihat penampilanku saat ini yang berbeda dari sebelumnya.Apa aku tidak terlihat menarik dimatanya? pikirku bertanya-tanya.Aku jadi tidak berminat untuk pergi dan ingin mengurungkan saja niat itu, tetapi lagi-lagi gagal karena Lista yang terus mengirimkan pesan memaksa diriku untuk datang.Aku menghela nafas kasar dan mengirimkan pesan pada Lista.Sebenarnya ada hal menarik apa si

    Last Updated : 2021-05-07
  • Penantian seorang istri   13.

    Lista menyarankanku untuk bersikap biasa saja seolah aku tidak pernah melihat kehadiran mas Tala yang sedang bermesraan dengan Sally di tempat ini.Ya, Lista kembali menyeretku masuk ke dalam club malam tersebut dan langsung mengajakku berdansa di lantai dansa.Aku yang sama sekali tidak terbiasa bahkan nyaris tidak pernah seperti ini tentu saja merasa kikuk seperti orang tolol. Lista berulang kali mengedipkan sebelah matanya padaku sebagai kode agar aku merasa rileks.Aku menghembuskan nafas panjang sebelum mencoba memulai seperti apa yang Lista pinta. Berusaha mencoba sesantai mungkin. Namun alih-alih seperti itu aku justru malah terkesan terpaksa. Ini bukan seperti diriku."Rileks, Lana," bisik Lista lagi entah sudah yang ke berapa kalinya.Aku mengangguk patuh, perlahan-lahan ku coba menggoyangkan tubuhku berdansa mengikuti irama yang dimainkan oleh DJ. Akhirnya lama-kelamaan aku mulai terb

    Last Updated : 2021-05-07

Latest chapter

  • Penantian seorang istri   42.

    Part Bonus.Beberapa bulan kemudian...."Kok bisa samaan gini?!" pekik Lista merasa takjub dan bersyukur atas kehamilannya dan kehamilan Lana yang bersamaan."Iya nih, kita hamilnya samaan. Kamu lima bulan juga kan?"Lista mengangguk, "wih, keren!""Kira-kira kita hamilnya samaan juga gak ya?""Hehe, semoga aja sama. Biar anak kita jadi kayak anak kembar gitu." ucap Lista penuh harap."Iya, biar seperti Davira dan Cavia. Asyikk!""Davira anaknya Airaa, dan Cavia anaknya Kia kan?" tebak Lista mengingat keluarga Wicaksana dan Atmadja yang merupakan salah satu rekan bisnis Tala dan juga Javis."Ya, benar!" sahut Lana menganggukkan kepala."Wah, semoga saja bisa sama seperti mereka ya." kata Lista sembari mengelus perutnya yang sudah terlihat mulai membuncit."Aminn," timpal Lana ikut mengusap dan mengelus perutnya yang terlihat lebih besar buncitnya ketimbang p

  • Penantian seorang istri   41.

    "Apa?!" kaget Tala dan Lana bersamaan saat mendengar satu pengakuan mengejutkan dari Lista dan juga Javis.Bagaimana tidak terkejut?Jika tiba-tiba secara mendadak keduanya mengatakan akan segera menikah. Sontak saja sepasang suami tersebut kaget luar biasa. Pasalnya selama ini Lista selalu menunjukkan sikap tidak suka pada Javis, jadi kaget saja jika sekarang justru wanita ini terlihat antusias mengatakannya."Kalian bercanda ya?" tanya Lana meragu.Lista menggeleng, "tidak, kami serius.""Ya, kami berdua serius mau menikah." kata Javis menimpali."Wow!" takjub Tala bertepuk tangan pelan, "ini kejutan yang sangat luar biasa. Selamat ya untuk kalian berdua.""Thanks, bro!" Javis menepuk pelan bahu Tala."Oke, jadi kapan hari baiknya akan tiba?""Secepatnya!" sahut Javis mantap menjawab pertanyaan Tala."Baikla

  • Penantian seorang istri   40.

    "Javis, kenapa kamu bawa dia kesini?" tanya Lana histeris."Lana, aku-""Enggak, pergi kamu!" sergah Lana memotong ucapan Tala yang melangkah mendekatinya."Sayang, tolong dengerin aku dulu.""Enggak! Aku gak mau, jadi tolong kamu pergi Mas!""Gak bisa. Aku gak akan pergi, karena aku gak bisa hidup tanpa kamu. Sebab tujuanku kemari ya karena aku mau jemput kamu.""Mimpi aja kamu! Sampai kapanpun aku gak akan mau ikut kamu. Dasar berengsek! Pembohong ulung, aku benci sama kamu!" tukas Lana membuat Tala sedih dan merana mendengarnya. Apalagi kalimat terakhir yang Lana katakan, sungguh membuat tubuh Tala seakan mati rasa."Lana, tolong jangan egois. Izinkan kami masuk lebih dulu, karena ada sesuatu hal penting yang ingin kami katakan padamu." kata Javis merasa iba melihat Tala."Sesuatu hal penting apa?" tanya Lana terlihat penasaran.

  • Penantian seorang istri   39.

    Setelah berjuang susah payah meyakinkan Lista untuk menyetujui kesepakatan mereka. Akhirnya disinilah Javis, mengadakan janjian pertemuan dengan Tala di tempat ini.Cafe yang terletak di pusat kota sepertinya cocok untuk pertemuan kali ini. Sekitar lima belas menitan sudah Javis berada di sana menunggu kehadiran Tala sembari menikmati minumannya.Icecappucinomasih tetap yang menjadi favoritnya.Dan ternyata menunggu masihlah tetap menjadi sesuatu yang membuat jenuh sekaligus bosan. Untuk menghilangkan kebosanannya Javis memilih sibuk dengan ponselnya.Javis melakukan panggilan suara ke nomor Lista yang sudah lama ia beri namamy wife. Mungkin terlihat gila, karena belum menikah tapi sudah berani memberi nama itu.Tapi bagi Javis gak masalah. Lagian apalah arti sebuah nama yang ia berikan untuk sebuah nomor ponsel. Javis bahkan tak menghiraukan protesan Lista yan

  • Penantian seorang istri   38.

    Dengan lembut dan penuh kehati-hatian Lista menyelimuti tubuh Lana yang baru tertidur setelah tadi tergugu menangisi Tala. Ia sentuh dan belai kepala serta rambut Lana dengan sangat lembut, seperti sentuhan seorang ibu kepada anaknya.Jujur, Lista sangat sedih dan menyayangkan nasib Lana. Dalam hati Lista berdoa semoga saja hal baik datang dalam hidup sahabatnya. Dan semoga apapun masalah yang saat ini tengah Lana hadapi cepat selesai."Apa?!" tanya Lista ketus saat ia melirik Javis yang ternyata tengah menatapnya intens.Javis menggeleng, "gak ada apa-apa.""Beneran gak ada apa-apa?" Javis mengangguk."Tapi kok wajah kamu terlihat kayak lagi banyak pikiran gitu?" goda Lista terkikik geli melihat wajah frustasi Javis.Javis menelan ludah dan menggigit bibirnya pelan. Merasa takut ingin mengungkapkan sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Lista."Kenapa, sih?!" tan

  • Penantian seorang istri   37.

    Javis bergegas membuka pintu ketika terdengar berulang kali suara bel rumah yang terus berbunyi.Klek!Javis terkejut menatap seseorang yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Begitupun orang tersebut yang juga sama terkejutnya saat melihat sosok Javis.Tala? batin Javis syok.Pastilah pria ini datang mencari Lana. Huh, sungguh dugaan yang tepat dan akurat."Kamu... bukannya pria yang waktu itu ada di club kan?" tebak Tala yang masih mengingat kejadian di club dulu. "Yang bermesraan dengan istri saya. Kamu kekasihnya Lana, bukan?"Buru-buru Javis menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan! Tala—""Loh, kamu tau nama saya?" sela Tala kaget ketika namanya disebut.Javis merasa pusing dan bingung ingin mulai bicara dan menjelaskannya dari mana."Siapa yang datang Jav?!" jerit Lista disusul suara langkah kaki mendekat.

  • Penantian seorang istri   36.

    Lista menggeram kesal dengan wajah memerah, sejak tadi ia sudah berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Namun, sial! Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah setelah mendengar penjelasan Lana hingga sampai terdampar balik ke rumahnya lagi."Berengsek!" kata-kata itu terus keluar dari mulut Lista tiada henti.Brakkk!Javis bergidik ngerih melihat Lista yang marah, kini meja makan di jadikan wanita itu sebagai pelampiasan dari kemarahannya."Benar kan yang aku bilang, Lan? Ini nih yang aku takutin ketika kamu bilang ingin percaya pada kata-kata Tala. Dan, memulai semuanya dari awal kembali untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Omong kosong!" kata Lista yang tak bisa menahan kebenciannya pada Tala.Pria yang katanya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi apa? Nyatanya pria itu malah kembali menyakiti sahabatnya, Lana."Seharusnya kam—""

  • Penantian seorang istri   35.

    "Lana, tunggu!" jerit Tala yang telah berhasil mengejar Lana dan kini mencengkeram pergelangan tangannya."Kamu jangan langsung ambil kesimpulan secara mendadak begini dong!" lanjut Tala tak suka akan tindakan Lana yang marah dan ingin pergi dari rumah ini.Lana menyentak tangan Tala kuat dan terlepas. "Mengambil kesimpulan secara mendadak Mas bilang?" Lana tersenyum geli mendengarnya, "Mas ini sadar gak sih? Bahwa Mas udah bikin aku kecewa untuk yang kedua kalinya!""Dan, wow! Hebat ya Mas bisa sampai bikin Sally hamil." Lana bertepuk tangan pelan. "Aku salut sama kalian berdua, terima kasih Mas."Lana kembali melangkah melewati Tala yang hanya dapat terdiam di tempatnya. Ia bingung kenapa semuanya tiba-tiba jadi kayak gini."Lana, aku bisa jelasin semuanya!" jerit Tala kembali berusaha mengejar Lana yang kini tengah memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper."Stop, Lan!" Tala

  • Penantian seorang istri   34.

    Ting tong....Bunyi bel rumah terdengar nyaring ketika Tala dan Lana tengah menikmati sarapan. Keduanya saling bertatapan, seolah dalam tatapan mereka saling melempar tanya 'siapa tamu yang datang sepagi ini.'"Biar aku saja yang buka, Mas." kata Lana bangkit berdiri dan segera melangkah untuk membukakan pintu buat sang tamu tersebut.Tubuh Lana menegang kaku dengan tatapan horor saat pintu terbuka dan melihat siapa tamu yang datang tersebut ternyata ...."Hai, Tala ada di rumah?" sapa Sally seadanya dan tanpa merasa malu langsung menanyakan keberadaan Tala.Lana melongo tak percaya mendengarnya, wanita di depannya ini sungguh tak tau malu sekali datang ke rumah ini hanya untuk menanyakan suaminya."Hei, ada gak sih Tala di rumah?" tanya Sally lagi merasa kesal karena Lana hanya diam dan terkesan tak mengacuhkannya."Ada apa ya memangnya cari suami saya?" Lana be

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status