Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.
Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam.
"Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala.
"Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.
Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya.
"Mama dan Papa sudah makan malam?" tanyaku lebih dari sekadar basa-basi setelah kami sudah duduk nyaman di ruang keluarga. Karena tadi sebelumnya mas Tala sudah memesan makanan lewat delivery online.
Tadinya aku sempat menolak dan lebih memilih untuk masak saja, tapi melihat waktu yang sangat sempit ditambah bahan makanan habis dan juga belum dibeli. Pada akhirnya aku pun setuju untuk memesan makanan saja.
"Kamu masak nak?" tanya mama terlihat antusias.
Mendengar pertanyaan mama aku melirik mas Tala yang mengkode diriku untuk menganggukkan kepala.
"Tidak, Ma," aku menggeleng dan lebih memilih untuk menjawab jujur saja.
"Biasanya Lana masak Ma, tapi Mas Tala...." ku lirik lagi mas Tala yang kini wajahnya terlihat tegang dan pucat.
"Sedikit manja, jadi Lana tidak punya banyak energi untuk memasak. Ya, Mama dan Papa tau sendirilah." lanjutku tersipu malu.
Ku dengar tawa papa dan mama menggelegar, pasti mereka senang dan berpikir bahwa kehidupan pernikahan kami bahagia.
Wajah tegang dan pucat mas Tala perlahan berangsur berkurang, kini terlihat santai kembali.
"Maklumlah ya Pa, masih bau-bau pengantin baru jadinya pengen nempel terus."
"Hahaha, iya Ma, maunya nempel terus kayak perangko."
Aku meringis dan memaksakan tersenyum menanggapi godaan dari mertuaku ini. Hah, seandainya saja mereka tau yang sebenarnya.
"Eh, sayang, ngomong-ngomong udah mulain belum?" aku gelagapan ingin menjawab pertanyaan mama. Apalagi mama secara gamblang menjelaskan maksud dari ucapannya dengan menggerakkan kedua tangannya membentuk perut buncit seperti ibu hamil.
"Ah, itu—"
"Belum, Ma. Doain aja ya semoga secepatnya kabar baik itu hadir." sela mas Tala memotong ucapanku.
Bagus! Benar-benar sempurna ucapan mas Tala hingga mampu membuat mama dan papa berharap penuh.
Bagaimana aku bisa hamil jika mas Tala saja tidak mau menyentuhku?! rutukku dalam hati.
"Amin," sahut papa dan mama kompak. Dan tak lama aku pun menyusul mengucapakan satu kata itu diikuti mas Tala yang juga menggumamkan kata 'amin'
Setidaknya meskipun mustahil, tetapi tidak ada salahnya mendoakan yang terbaik untuk pernikahan ini.
****
Suasana antara aku dan mas Tala terasa canggung, perasaan gugup tengah menyelimutiku saat ini.
"Ehemm," aku berdeham sekali untuk mencairkan suasana karena sedari tadi hanya keheningan yang terjadi.
Mas Tala kembali bersikap dingin dan menjadi pendiam saat masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang mulai saat ini juga akan ku tempati sampai mertuaku pulang nanti.
Tadi sebelum masuk kamar kami sempat menghabiskan waktu untuk makan malam, kemudian berlanjut mengobrol sebentar di ruang keluarga kembali sambil menonton televisi. Lalu setelahnya barulah kami semua memutuskan untuk tidur di kamar masing-masing.
Kamar yang sebelumnya ku tempati kini sudah di sulap menjadi tempat tidur untuk mertuaku. Padahal awalnya aku dan mas Tala sudah menawarkan kamar yang lainnya namun mama dan papa memilih untuk tidur di kamar yang dekat dengan kamar mas Tala.
Hufffh, untunglah aku tadi sudah membersihkan barang-barangku. Kalau tidak rahasia kami tidur berpisah di kamar yang berbeda pasti ketahuan.
"Ehemm," lagi aku berdeham untuk yang kedua kalinya saat tak mendapat respon dari mas Tala.
Berhasil! Kini perhatian mas Tala beralih padaku.
Aku meneguk air liurku sendiri saat melihat tatapan mas Tala yang menoleh ke arahku.
"Kau kenapa?" tanyanya, "batuk?"
Aku menggeleng, "tersedak air liurku sendiri, Mas."
Mas Tala tak menyahut dan kembali memalingkan wajahnya ke arah lain, lebih tepatnya menatap serius pada ponsel pintarnya.
Sedangkan aku? Aku sendiri dilanda kebingungan. Dimanakah aku harus tidur? Apakah mas Tala mengizinkan jika aku tidur di ranjang yang sama dengannya?
Ah, tidak, tidak. Mas Tala bias marah nanti, dia 'kan tidak ada mengatakan jika kami akan tidur bersama diatas ranjang ini. Mas Tala hanya mengatakan jika kami akan tidur satu kamar, itu saja. Ya, hanya itu.
Jadi, bisa bedakan artian kata tidur di kamar yang sama dengan tidur bersama di atas ranjang bukan?
Ah, pusing. Kepalaku pusing jadinya memikirkan masalah perihal soal tidur.
Daripada semakin pusing, pada akhirnya aku memutuskan untuk tidur di lantai yang sudah ku gelar selimut putih tebal milikku.
Ku lirik mas Tala masih sibuk dengan ponselnya, entah apa yang sedang dia lakukan aku bahkan tidak tahu dan juga tidak ingin bertanya. Cepat-cepat aku mengambil bantal dan guling di atas ranjang dan ku letakkan dibawah.
Hatiku sedikit tercubit ketika mas Tala tak memperhatikan sekaligus tak mempedulikanku. Berbeda sekali saat di depan mama dan papa tadi, mas Tala justru terlihat sangat manis romantis sekali memperlakukanku layaknya seperti istri yang begitu dicintai.
Tetapi aku sadar, bahwa itu semua memang benar hanyalah akting belaka. Akting yang begitu sempurna aku dan mas Tala lakoni di depan orang yang tak tahu apa-apa?
Aku merasa sangat berdosa karena telah membohongi sekaligus menipu mama dan papa mertuaku. Tetapi, aku akan jadi seorang pembunuh apabila mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Hah, entahlah. Aku tengah berada di penghujung perasaan dilema.
Ku pejamkan kedua mata ini dan berusaha untuk meraih kantuk. Kira-kira baru beberapa menit saat aku sudah ingin terlelap tiba-tiba saja ku rasa sebuah tepukan di bahuku.
Aku menoleh ke samping dan melihat bahwa mas Tala-lah ternyata yang menepuk bahuku.
"Kenapa tidur disini?" tanya mas Tala membuatku mendelik seketika.
"Jadi aku harus tidur dimana?" tanyaku kebingungan.
"Naiklah," titah mas Tala.
Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan mas Tala barusan. Seperti orang bego aku bingung mengartikan perintah mas Tala yang menyuruhku untuk naik ke atas. Naik kemana? Ke atas ranjang?
"Hei, kenapa masih disini? Ayo, cepatlah naik ke atas ranjang." titah mas Tala sekali lagi.
"Naik ke atas ranjang?" tanyaku dengan nafas tercekat.
Ini sungguhan atau mas Tala hanya sedang mengerjaiku saja?
"Iyalah, memangnya naik ke atas mana lagi? Ke atas pohon? Atau langit gitu?"
Aku menggeleng, "aku akan naik."
Tak ingin mas Tala berubah pikiran, cepat-cepat aku bangkit dari lantai dan segera naik ke atas ranjang.
"Ah iya, kelupaan." kataku seraya menepuk jidat dan kembali turun dari ranjang untuk mengambil bantal, guling dan juga selimut.
"Selamat malam, Mas." kataku sebelum mengambil posisi nyaman untuk tidur.
Tak ingin semakin gugup aku pun membelakangi mas Tala. Dan aku nyaris memekik senang saat mendapatkan balasan ucapan selamat malam dari mas Tala.
Ah, senangnya. Semoga saja ini bukan hanya sekadar mimpi yang akan menghilang saat aku bangun tidur esok hari.
Tbc....
Pagi ini kami semua sarapan lewatdelivery onlinelagi. Mas Tala memesankan nasi uduk paling enak langganannya yang sering dia santap tiap pagi. Aku hampir cemas setengah mati saat mas Tala mengatakan itu dengan entengnya, syukurlah mama dan papa tidak mempertanyakan kata 'langganan' yang diucapkan mas Tala tadi.Dan rencananya siang ini mas Tala ingin mengajakku berbelanja bahan makanan untuk stok persediaan di lemari pendingin kami yang saat ini kosong melompong.Setelah pamit pada mama dan papa, kami langsung memutuskan pergi. Butuh waktu cukup lama untuk sampai di pusat perbelanjaan karena tadi kami sempat mengalami macet yang lumayan panjang. Seluruh kesabaran kami hampir terkuras sepenuhnya disana."Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya mas Tala yang sepertinya risih saat aku terus melihat ke arahnya."Mas tidak bekerja?" tanyaku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung per
Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu."Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang."Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala."Maaf."
Aku memekik bahkan nyaris menjerit saking takutnya pada kegelapan, berusaha berjalan dengan baik dengan cara meraba-raba. Namun tanganku menyentuh sesuatu yang bidang dan terasa keras, seperti ... dada pria?"Mas Tala?" panggilku.Ah, aku hampir lupa jika ini kamar mas Tala. Tentu saja dia ada disini."Ssstt, iya ini aku, Lana." sahut mas Tala membuatku lega. Namun tidak denganku yang merasa sesak dan pengap akibat keadaan gelap gulita seperti ini."Kenapa kamu menjerit?" tanya mas Tala menyentuh tanganku yang masih setia bertengger di depan dadanya.Aku tersentak dan berusaha menarik tanganku namun mas Tala mencegahnya. Alhasil aku tidak jadi berhasil menarik tanganku dari dadanya."Mas, aku takut gelap." cicitku dengan suara berbisik."Sebentar.""Mau kemana?" tanyaku panik seraya menahan tubuh mas Tala agar tak beranjak dari tempatnya.Sungguh, aku sangat takut."Aku mau mengambil lilin dulu, Lana." katanya memberitahu m
"M-mau yang rasa apa, Mas?" tanyaku gugup dan terbata.Sungguh, aku masih merasa tidak percaya kalau mas Tala memintaku untuk membuatkannya mie kuah instan juga."Sama kayak kamu aja.""Yang ini?" aku menunjukkan bungkus mie instan rasa kari pada mas Tala."Yang itu rasa apa?" mas Tala menunjuk bungkus mie instan yang satu lagi."Soto.""Kamu suka yang rasa apa?""Hah? Aku?" Mas Tala mengangguk."Keduanya aku suka Mas," sahutku jujur."Ya sudah, buat saja keduanya. Kebetulan aku juga suka semua rasa mie instan." kata mas Tala yang kemudian beranjak melangkah ke meja makan."Aku nunggu disini ya," mas Tala menarik salah satu kursi meja makan dan duduk disana sembari menatapku.Aku langsung memalingkan wajah dan mulai fokus memasak dua bungkus mie instan dengan rasa berbeda ini. Walaupun sejujurnya aku
"Loh, Mas mau kemana?" tanyaku terhenyak kaget saat keluar kamar dan menemukan mas Tala yang sepertinya juga baru keluar kamar dengan penampilan yang sudah rapi."Pergi." sahut mas Tala singkat dan terkesan datar.Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat tak berani bertanya lagi, dan mas Tala berlalu pergi begitu saja tanpa mempedulikanku.Aku meringis melihat perubahan sikap mas Tala yang kembali dingin, ia tak penasaran dan tak bertanya kemana aku akan pergi? Jangankan itu, mas Tala bahkan tak melihat penampilanku saat ini yang berbeda dari sebelumnya.Apa aku tidak terlihat menarik dimatanya? pikirku bertanya-tanya.Aku jadi tidak berminat untuk pergi dan ingin mengurungkan saja niat itu, tetapi lagi-lagi gagal karena Lista yang terus mengirimkan pesan memaksa diriku untuk datang.Aku menghela nafas kasar dan mengirimkan pesan pada Lista.Sebenarnya ada hal menarik apa si
Lista menyarankanku untuk bersikap biasa saja seolah aku tidak pernah melihat kehadiran mas Tala yang sedang bermesraan dengan Sally di tempat ini.Ya, Lista kembali menyeretku masuk ke dalam club malam tersebut dan langsung mengajakku berdansa di lantai dansa.Aku yang sama sekali tidak terbiasa bahkan nyaris tidak pernah seperti ini tentu saja merasa kikuk seperti orang tolol. Lista berulang kali mengedipkan sebelah matanya padaku sebagai kode agar aku merasa rileks.Aku menghembuskan nafas panjang sebelum mencoba memulai seperti apa yang Lista pinta. Berusaha mencoba sesantai mungkin. Namun alih-alih seperti itu aku justru malah terkesan terpaksa. Ini bukan seperti diriku."Rileks, Lana," bisik Lista lagi entah sudah yang ke berapa kalinya.Aku mengangguk patuh, perlahan-lahan ku coba menggoyangkan tubuhku berdansa mengikuti irama yang dimainkan oleh DJ. Akhirnya lama-kelamaan aku mulai terb
Sesuai keinginan pria ini dan Lista, akhirnya aku pun menghabiskan satu gelas minuman laknat ini. Hah, sepertinya aku termakan omongan sendiri yang tidak ingin menyentuh sampai kapanpun minuman semacam ini. Tapi nyatanya, aku telah meminumnya dalam ukuran yang lumayan."Sudah, aku tidak ingin minum lagi." tolakku saat pria itu kembali menuangkan wine ke dalam gelasku."Menyerah?" tanyanya dengan wajah mencemohku.Sialan!"Hei, kamu ini sebenarnya berniat ingin membuatku mabuk atau bagaimana sih?"Ku lihat pria itu tertawa kecil, "kalau mau mabuk ya silakan saja. Tidak ada juga yang melarangmu," katanya begitu enteng."No!" aku menggeleng kuat."Ya sudah," pria itu meraih gelas milikku yang sudah terisi penuh wine. Lalu dalam sekali teguk ia menghabiskan wine itu.Ia tersenyum bangga seraya menunjukkan gelas kosong bekas wine tadi. Dan kembali menu
Aku berdiri di depan pintu kamar mas Tala dengan senyuman mengembang yang tak ingin surut menghiasi wajahku. Dadaku berdebar kencang tatkala ingin melihat mas Tala dan mengatakan sesuatu padanya.Hufffh! Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku hembuskan secara perlahan. Berpikir ulang pada niatku, ketuk atau tidak ya? batinku bimbang dan ragu-ragu.Perlahan sebelah tanganku terangkat dan mengetuk cukup kuat daun pintu kamarnya. Berulang kali sampai mas Tala mau dan sudi membukanya.Cklek...."Mas," sapaku riang."Ada apa?" tanya mas Tala berkerut alis."Itu Mas....""Itu apa?""Anu Mas....""Apa sih?" tanya mas Tala kembali dengan nada berdecak kesal.Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, lidahku terasa keluh ingin bicara. Hufffh, entah kemana perginya keberanian dalam diriku tadi."Hei," mas Tala men
Part Bonus.Beberapa bulan kemudian...."Kok bisa samaan gini?!" pekik Lista merasa takjub dan bersyukur atas kehamilannya dan kehamilan Lana yang bersamaan."Iya nih, kita hamilnya samaan. Kamu lima bulan juga kan?"Lista mengangguk, "wih, keren!""Kira-kira kita hamilnya samaan juga gak ya?""Hehe, semoga aja sama. Biar anak kita jadi kayak anak kembar gitu." ucap Lista penuh harap."Iya, biar seperti Davira dan Cavia. Asyikk!""Davira anaknya Airaa, dan Cavia anaknya Kia kan?" tebak Lista mengingat keluarga Wicaksana dan Atmadja yang merupakan salah satu rekan bisnis Tala dan juga Javis."Ya, benar!" sahut Lana menganggukkan kepala."Wah, semoga saja bisa sama seperti mereka ya." kata Lista sembari mengelus perutnya yang sudah terlihat mulai membuncit."Aminn," timpal Lana ikut mengusap dan mengelus perutnya yang terlihat lebih besar buncitnya ketimbang p
"Apa?!" kaget Tala dan Lana bersamaan saat mendengar satu pengakuan mengejutkan dari Lista dan juga Javis.Bagaimana tidak terkejut?Jika tiba-tiba secara mendadak keduanya mengatakan akan segera menikah. Sontak saja sepasang suami tersebut kaget luar biasa. Pasalnya selama ini Lista selalu menunjukkan sikap tidak suka pada Javis, jadi kaget saja jika sekarang justru wanita ini terlihat antusias mengatakannya."Kalian bercanda ya?" tanya Lana meragu.Lista menggeleng, "tidak, kami serius.""Ya, kami berdua serius mau menikah." kata Javis menimpali."Wow!" takjub Tala bertepuk tangan pelan, "ini kejutan yang sangat luar biasa. Selamat ya untuk kalian berdua.""Thanks, bro!" Javis menepuk pelan bahu Tala."Oke, jadi kapan hari baiknya akan tiba?""Secepatnya!" sahut Javis mantap menjawab pertanyaan Tala."Baikla
"Javis, kenapa kamu bawa dia kesini?" tanya Lana histeris."Lana, aku-""Enggak, pergi kamu!" sergah Lana memotong ucapan Tala yang melangkah mendekatinya."Sayang, tolong dengerin aku dulu.""Enggak! Aku gak mau, jadi tolong kamu pergi Mas!""Gak bisa. Aku gak akan pergi, karena aku gak bisa hidup tanpa kamu. Sebab tujuanku kemari ya karena aku mau jemput kamu.""Mimpi aja kamu! Sampai kapanpun aku gak akan mau ikut kamu. Dasar berengsek! Pembohong ulung, aku benci sama kamu!" tukas Lana membuat Tala sedih dan merana mendengarnya. Apalagi kalimat terakhir yang Lana katakan, sungguh membuat tubuh Tala seakan mati rasa."Lana, tolong jangan egois. Izinkan kami masuk lebih dulu, karena ada sesuatu hal penting yang ingin kami katakan padamu." kata Javis merasa iba melihat Tala."Sesuatu hal penting apa?" tanya Lana terlihat penasaran.
Setelah berjuang susah payah meyakinkan Lista untuk menyetujui kesepakatan mereka. Akhirnya disinilah Javis, mengadakan janjian pertemuan dengan Tala di tempat ini.Cafe yang terletak di pusat kota sepertinya cocok untuk pertemuan kali ini. Sekitar lima belas menitan sudah Javis berada di sana menunggu kehadiran Tala sembari menikmati minumannya.Icecappucinomasih tetap yang menjadi favoritnya.Dan ternyata menunggu masihlah tetap menjadi sesuatu yang membuat jenuh sekaligus bosan. Untuk menghilangkan kebosanannya Javis memilih sibuk dengan ponselnya.Javis melakukan panggilan suara ke nomor Lista yang sudah lama ia beri namamy wife. Mungkin terlihat gila, karena belum menikah tapi sudah berani memberi nama itu.Tapi bagi Javis gak masalah. Lagian apalah arti sebuah nama yang ia berikan untuk sebuah nomor ponsel. Javis bahkan tak menghiraukan protesan Lista yan
Dengan lembut dan penuh kehati-hatian Lista menyelimuti tubuh Lana yang baru tertidur setelah tadi tergugu menangisi Tala. Ia sentuh dan belai kepala serta rambut Lana dengan sangat lembut, seperti sentuhan seorang ibu kepada anaknya.Jujur, Lista sangat sedih dan menyayangkan nasib Lana. Dalam hati Lista berdoa semoga saja hal baik datang dalam hidup sahabatnya. Dan semoga apapun masalah yang saat ini tengah Lana hadapi cepat selesai."Apa?!" tanya Lista ketus saat ia melirik Javis yang ternyata tengah menatapnya intens.Javis menggeleng, "gak ada apa-apa.""Beneran gak ada apa-apa?" Javis mengangguk."Tapi kok wajah kamu terlihat kayak lagi banyak pikiran gitu?" goda Lista terkikik geli melihat wajah frustasi Javis.Javis menelan ludah dan menggigit bibirnya pelan. Merasa takut ingin mengungkapkan sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Lista."Kenapa, sih?!" tan
Javis bergegas membuka pintu ketika terdengar berulang kali suara bel rumah yang terus berbunyi.Klek!Javis terkejut menatap seseorang yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Begitupun orang tersebut yang juga sama terkejutnya saat melihat sosok Javis.Tala? batin Javis syok.Pastilah pria ini datang mencari Lana. Huh, sungguh dugaan yang tepat dan akurat."Kamu... bukannya pria yang waktu itu ada di club kan?" tebak Tala yang masih mengingat kejadian di club dulu. "Yang bermesraan dengan istri saya. Kamu kekasihnya Lana, bukan?"Buru-buru Javis menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan! Tala—""Loh, kamu tau nama saya?" sela Tala kaget ketika namanya disebut.Javis merasa pusing dan bingung ingin mulai bicara dan menjelaskannya dari mana."Siapa yang datang Jav?!" jerit Lista disusul suara langkah kaki mendekat.
Lista menggeram kesal dengan wajah memerah, sejak tadi ia sudah berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Namun, sial! Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak marah setelah mendengar penjelasan Lana hingga sampai terdampar balik ke rumahnya lagi."Berengsek!" kata-kata itu terus keluar dari mulut Lista tiada henti.Brakkk!Javis bergidik ngerih melihat Lista yang marah, kini meja makan di jadikan wanita itu sebagai pelampiasan dari kemarahannya."Benar kan yang aku bilang, Lan? Ini nih yang aku takutin ketika kamu bilang ingin percaya pada kata-kata Tala. Dan, memulai semuanya dari awal kembali untuk memperbaiki kesalahan yang ada. Omong kosong!" kata Lista yang tak bisa menahan kebenciannya pada Tala.Pria yang katanya ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Tapi apa? Nyatanya pria itu malah kembali menyakiti sahabatnya, Lana."Seharusnya kam—""
"Lana, tunggu!" jerit Tala yang telah berhasil mengejar Lana dan kini mencengkeram pergelangan tangannya."Kamu jangan langsung ambil kesimpulan secara mendadak begini dong!" lanjut Tala tak suka akan tindakan Lana yang marah dan ingin pergi dari rumah ini.Lana menyentak tangan Tala kuat dan terlepas. "Mengambil kesimpulan secara mendadak Mas bilang?" Lana tersenyum geli mendengarnya, "Mas ini sadar gak sih? Bahwa Mas udah bikin aku kecewa untuk yang kedua kalinya!""Dan, wow! Hebat ya Mas bisa sampai bikin Sally hamil." Lana bertepuk tangan pelan. "Aku salut sama kalian berdua, terima kasih Mas."Lana kembali melangkah melewati Tala yang hanya dapat terdiam di tempatnya. Ia bingung kenapa semuanya tiba-tiba jadi kayak gini."Lana, aku bisa jelasin semuanya!" jerit Tala kembali berusaha mengejar Lana yang kini tengah memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper."Stop, Lan!" Tala
Ting tong....Bunyi bel rumah terdengar nyaring ketika Tala dan Lana tengah menikmati sarapan. Keduanya saling bertatapan, seolah dalam tatapan mereka saling melempar tanya 'siapa tamu yang datang sepagi ini.'"Biar aku saja yang buka, Mas." kata Lana bangkit berdiri dan segera melangkah untuk membukakan pintu buat sang tamu tersebut.Tubuh Lana menegang kaku dengan tatapan horor saat pintu terbuka dan melihat siapa tamu yang datang tersebut ternyata ...."Hai, Tala ada di rumah?" sapa Sally seadanya dan tanpa merasa malu langsung menanyakan keberadaan Tala.Lana melongo tak percaya mendengarnya, wanita di depannya ini sungguh tak tau malu sekali datang ke rumah ini hanya untuk menanyakan suaminya."Hei, ada gak sih Tala di rumah?" tanya Sally lagi merasa kesal karena Lana hanya diam dan terkesan tak mengacuhkannya."Ada apa ya memangnya cari suami saya?" Lana be