Jian Huànyǐng memperhatikan Baili Yunhua yang berjalan dengan langkah anggun di sampingnya. Cucu pemilik Restoran Baili itu, dengan senyum lembutnya, telah bersedia mengantarkannya menuju Kediaman Aroma Wisteria di Lembah Wisteria.Tempat itu tidak jauh dari pusat Kota Lanyin. Hanya perlu menelusuri Sungai Ungu Gelap yang membelah kota hingga mencapai lembah sunyi di ujungnya. Di lembah itu, tersembunyi keindahan Kediaman Aroma Wisteria. Tempat tinggal Klan Yue sekaligus pusat Sekte Musik Abadi yang terkenal.“Jiějie, aku mau membeli itu!” seru Jian Huànyǐng dengan mata berbinar. Pandangannya terpaku pada gula kapas putih bersih yang berputar seperti gumpalan awan di langit.“Belilah, Dìdi. Setelah sampai di Kediaman Aroma Wisteria, kau takkan menemui semua manisan dan camilan ini,” sahut Baili Yunhua sambil menepuk lengannya dengan lembut. Seolah membujuk anak kecil yang penuh semangat.Tanpa ragu, Jian Huànyǐng segera berlari ke kedai terdekat.
Jian Huànyǐng melangkah perlahan di jalan setapak berlapis batu alam, setiap injakan kakinya disambut lembut oleh gemericik air dari parit kecil di sisi jalan. Tebing-tebing batu yang menjulang kokoh di kedua sisi tampak melindungi jalannya, seperti tembok alam yang sunyi.Di sela-sela tebing itu, tumbuh bunga liar dengan warna-warna cerah, sementara di tepi parit, daun-daun hijau bergoyang mengikuti irama angin. Di kejauhan, suara kicau burung liar dan gemuruh air terjun menciptakan harmoni alam yang menenangkan.“Sepi sekali,” gumam Jian Huànyǐng, membiarkan pikirannya mengembara dalam keheningan itu.Sambil berjalan, ia mengulum tanghulu yang manis menggigit lidahnya. Satu tangannya menggenggam batang bambu tempat sisa tanghulu itu tertusuk, sementara matanya sesekali melirik ke sekeliling. Memperhatikan tiap detail jalan dengan iseng sambil bersiul pelan.Setelah menempuh perjalanan cukup lama, ia t
Sepasang mata yang dalam bak samudera biru membeku itu menatap Jian Huànyǐng dengan tajam. Pemuda berusia lima belas tahun itu bergidik ngeri. Tiba-tiba saja tengkuknya terasa sangat dingin, seolah berada di musim dingin yang menggigit.Tanghulu di tangannya kini tak lagi menggiurkan. Seperti turut membeku karena tatapan itu. Ingin dilemparkannya begitu saja, tetapi dia merasa sayang untuk membuang manisan favoritnya hanya karena sepasang mata biru cemerlang pemuda tampan yang menahan beban tubuhnya saat ini."Yue Èr Gōngzǐ?" Jian Huànyǐng bergumam dalam hati. Menyebut nama pria yang semalam dilihatnya di Sungai Ungu Gelap memainkan melodi surgawi dengan guqin-nya. Namun, tiba-tiba, sesuatu membuatnya terkejut. Seperti ada yang bergerak di belakang tubuhnya, dengan cengkeraman yang membuatnya terperangah."Aiya! Apa yang kau lakukan? Dasar mesum! Kau meremas bokongku!" Jian Huànyǐng berteriak histeris dengan nada tinggi.
Yue Tiānyin berdiri di teras Shuǐyùn Tíng, Paviliun Harmoni Air, kediaman pribadinya. Tempat paling sunyi di Kediaman Aroma Wisteria. Pandangannya tertuju pada langit malam yang seolah dipenuhi samudra bintang. Bulan menggantung terang, meski masa purnama telah lewat. Sinarnya masih menerangi seluruh paviliun, memantul samar di permukaan kolam yang tenang.Dia adalah Tuan Muda Kedua Yue, murid kesayangan Hé Yùn Dàshī, guru besar dari Sekte Musik Abadi. Sejak kecil, Tiānyin selalu menjadi teladan. Sikapnya yang disiplin, bakatnya yang tiada tanding dalam seni musik, membuatnya dijuluki Dewa Musik Lanyin, bersama sang kakak, Yue Lingyin. Namun malam ini, sebuah insiden kecil meruntuhkan segala ketenangan yang selama ini ia jaga."Dasar mesum! Kau meremas bokongku!" teriakan histeris itu terus terngiang dalam benaknya.Wajahnya memanas setiap kali ia mengingatnya. Sebuah tuduhan tak masuk akal yang tak pernah terbayangkan akan ia alami.Seumur hidupn
Malam di Kediaman Aroma Wisteria terasa begitu sunyi. Tidak ada lagi kesibukan para murid sekte yang terdengar. Hanya ada desau angin malam yang membelai lembut bunga wisteria di luar jendela.Di salah satu kamar, Jian Huànyǐng dan Jian Lei duduk bersisian di depan jendela, menatap bulan yang bersinar terang di langit.“Sepi sekali,” gumam Jian Lei sambil menguap lebar. Ia menyandarkan tubuh pada kusen jendela, tampak setengah mengantuk.Jian Huànyǐng menatap kakaknya dengan sebal. Ia mendorong tubuh Jian Lei agar menjauh darinya. “Jangan menguap di dekatku! Aku tidak suka melihatmu mengantuk lebih dulu. Kalau kau tidur, siapa yang akan menemaniku begadang?”Jian Lei tertawa kecil, meski ia enggan membuka mata. “Huànyǐng, kau tidak tahu nikmatnya tidur lebih awal.”Jian Huànyǐng mendengus, melipat tangan di dada. Setelah beberapa saat ia berkata dengan nada penuh keluhan, “Bagaimana kalau kita berjalan-jalan saja? Aku bosan setengah mati
Malam merayap tenang di atas Istana Langit Biru di Kota Xiāoyún, tempat penguasa Kekaisaran Bìxiāo bertakhta. Suasana begitu sunyi, hanya ditemani gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Istana ini berbeda dari bayangan kebanyakan orang tentang tempat tinggal seorang kaisar. Tidak ada kemegahan berlebihan atau menara emas yang menjulang.Sebaliknya, Istana Langit Biru lebih menyerupai kompleks kediaman sekte. Sekumpulan bangunan dengan arsitektur yang sederhana tetapi anggun. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran seni yang rumit, mencerminkan nilai-nilai luhur para leluhur. Tak lebih megah dari Kediaman Aroma Wisteria milik Sekte Musik Abadi, Teluk Laut Biru milik Sekte Pemecah Langit atau Istana Roh Suci milik Sekte Aliran Roh Suci. Istana ini adalah perpaduan antara keindahan dan fungsi. Mencerminkan harmoni alih-alih kemewahan.Di bawah sinar rembulan yang redup, salah satu bangunan utama di pusat kompleks istana tampak memancarkan aura kebesaran. Di dalamnya, seoran
Kediaman Aroma Wisteria, seperti pagi-pagi sebelumnya, diselimuti keheningan yang nyaris mistis. Cahaya lembut matahari menerobos melalui celah-celah dedaunan wisteria, menciptakan bayangan abstrak di atas jalan setapak batu. Semua murid bergerak tanpa suara, seperti kabut yang melayang. Langkah-langkah mereka terukur, sopan santun mereka terjaga, menciptakan suasana yang hampir menyerupai harmoni.Hanya sebuah rutinitas membosankan yang terbungkus dalam keheningan. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Jian Huànyǐng. Setelah rutinitas yang hampir sama setiap pagi, di mana Jian Lei dan Jian Xia berusaha membangunkannya tepat jam lima pagi, hanya untuk menemukan adiknya masih tenggelam dalam tidur yang dalam. Bukan hanya gagal terbangun tepat waktu, tetapi Jian Huànyǐng bahkan berhasil membuat mereka semua hampir terlambat mengikuti acara pertama di Aula Harmoni."Huànyǐng! Kalau kau tidak bisa bangun pagi, lebih baik kau tidak tidur sama sekali selama tinggal di sini
Pintu aula tiba-tiba terbuka. Seorang murid sekte Musik Abadi berusaha mencegah beberapa orang yang mencoba menerobos masuk. Para murid terbelalak menatap ke arah orang-orang yang mengganggu suasana kelas yang tenang.Hanfu putih dan jubah biru langit cerah dengan bordiran benang emas bermotif naga membuat semua murid menahan napas. Naga emas adalah lambang dari Klan Jing, yang merupakan klan penguasa Kekaisaran Bìxiāo. Kehadiran mereka di Aula Harmoni sekte Musik Abadi jelas bukan kunjungan biasa, mengingat mereka tidak pernah menghadiri festival dari klan berlambang kupu-kupu biru itu selama beberapa dekade."Sungguh suatu kehormatan Anda berkenan mengunjungi Kediaman Aroma Wisteria, Pangeran Jing Jūnlán!" Sebuah suara lembut nan merdu menyejukkan hati menenangkan suasana aula yang terganggu oleh kedatangan para tamu tak diundang itu.Jing Jūnlán, pemimpin rombongan Klan Jing, menoleh ke arah sumber suara. Para murid di aula pun ikut memalingkan pandanga
"Chén Gēge! Apa kita hanya menunggu salah satu di antara mereka kalah?" tanya Lei, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin dingin yang memeluk medan pertempuran.Di hadapan mereka, pertarungan antara Wù Yǒng Lóng, si naga kabut abadi, dan Hán Shuāng Jù Rén, Titan Es kolosal, berlangsung sengit. Setiap gerakan keduanya meninggalkan jejak kehancuran—kabut beracun yang menciptakan ilusi berbahaya, serta gelombang es yang seakan membekukan waktu. Beberapa kali mereka harus berpindah tempat, menghindari ancaman yang begitu dekat."Kau mau menunggu?" Mo Chén berbalik bertanya, dengan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Tatapan jenakanya meluncur ke arah Lei, penuh keingintahuan."Tunggu saja sampai besok pagi!" jawab Jian Wei sambil memukul kepala Lei dengan gemas.Jian Xia tertawa melihat kejenakaan kakak dan adiknya. "Bisa-bisanya kalian bercanda di situasi seperti ini?" keluhnya. Namun, sorot matanya tetap hangat, penuh kasih sayang kepada ked
Angin dingin menderu lewat celah-celah tebing, membawa serta butiran salju yang berputar liar seperti pasir perak di tengah badai. Medan Perburuan Roh kembali diselimuti ketegangan. Mo Chén berdiri tegak di atas batu tinggi, jubah hitamnya berkibar tertiup angin tajam, sementara matanya yang tajam mengawasi perubahan cuaca yang tak lazim.Apa yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Suara pekikan yang memekakkan telinga terdengar dari kejauhan—sebuah raungan yang membelah langit kelabu."Aiyo! Wù Yǒng Lóng!" teriak para kultivator yang masih terjebak di jalur utama medan berburu. Kabut putih pekat mulai menyelimuti tanah, menyusup ke setiap celah batu dan ranting yang tertutup es.Tanpa menunda waktu, Mo Chén mengangkat tangannya dan melepaskan sinyal cahaya ke langit. Asap keperakan membentuk pusaran kecil sebelum pecah menjadi semburat cahaya yang terlihat dari segala penjuru. Itu adalah isyarat—bukan hanya kepada para pemimpin sekte dan klan untuk mulai men
Kabut turun begitu tebal hingga nyaris menutupi seluruh lembah Shén Wu Gu. Awan kelabu menggantung berat di langit, dan udara mendadak terasa jauh lebih dingin. Hembusan angin membawa aroma tajam tanah basah bercampur dengan hawa es yang menggigit tulang."Apa ini?" Jìng Zhenjun Wángyé bergumam pelan, suaranya nyaris terseret oleh desir angin. Ia memandang sekeliling dengan dahi berkerut, matanya menyapu pemandangan yang tertelan kabut.Di sisi lain, Mo Chén, Jian Wei, dan Líng Zhì berdiri kaku, memandangi kabut pekat yang kini mulai menipis, perlahan mengurai seperti tirai sutra yang ditarik angin. Udara berubah drastis—lebih dingin dari biasanya."Salju?" Líng Zhì menatap ke langit yang mulai dihiasi bintik-bintik putih. Butiran salju turun perlahan, mendarat di bahu dan rambutnya, seolah waktu sendiri melambat menyambut datangnya sesuatu."Sialan!" Jian Wei mengumpat, mendadak waspada. Ia langsung me
Roh-roh yang berada dalam zona penahanan kini benar-benar terperangkap. Mereka menggeliat gelisah, terbungkus pusaran energi yang membatasi gerak. Suasana mulai terkendali, meski udara masih berat oleh sisa kekacauan yang sebelumnya meledak liar. Suhu di sekitar merosot drastis, membuat napas para kultivator tampak seperti uap tipis di udara yang mengkristal."Biarkan klan dan sekte kecil menangani roh-roh itu," kata Líng Zhì dengan tenang, suaranya nyaris tenggelam dalam desir angin bersalju.Ia berdiri di sisi tebing es bersama Jian Wei dan Mo Chén, menatap ke bawah tanpa ekspresi. Kabut tebal yang menyelimuti lembah seakan menjadi tirai pembatas antara mereka dan dunia yang sedang berkecamuk.Mereka bertiga tampak seperti bayangan di atas sana—menyaksikan kekacauan yang baru saja reda, namun tak terlibat langsung. Sikap mereka tenang, bahkan nyaris santai. Sebuah pengingat bahwa bagi mereka, ini bukan soal menang atau kalah, tapi kes
Para penjaga Perburuan Roh yang berasal dari Klan Wu datang bersama para kultivator dari Klan Jìng dan Sekte Gerbang Sembilan Kuali."Bagaimana situasinya?" tanya pemimpin penjaga Perburuan Roh pada Jian Wei dan yang lainnya."Seperti yang kau lihat. Kacau!" sahut Jian Wei seraya menunjuk ke bawah dengan dagunya. Di bawah mereka, para kultivator dari berbagai sekte dan klan berusaha menangkap roh-roh yang terpanggil oleh teknik Wàn Líng Zhèn Míng."Tiānyù Jiànzhàn, apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" Kini Jìng Zhenjun Wángyé yang bertanya. Ia datang bersama Qing Yǔjiā dan Qing Héng Zhì. Wajahnya terlihat serius dan penuh tanda tanya.Jian Wei tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia justru menoleh menatap Mo Chén, yang berdiri sedikit lebih jauh. Pria berjubah hitam itu tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan situasi yang sedang berlangsung. Mo Chén masih tampak santai, meskipun keadaan sudah sangat genting. Dengan senyum leba
Di tengah kekacauan yang mengguncang Perburuan Roh, Jian Wei, Mo Chén, Héxié Zhìzūn, dan Ling Zhì berkumpul dalam keheningan yang tegang, merencanakan langkah selanjutnya. Angin kencang menyapu kabut tebal di Shen Wu Gu. Namun, tidak mengurangi hiruk-pikuk yang terjadi di medan tersebut. Suara gemerisik roh-roh yang mulai menguasai medan itu memecah kesunyian, menggema di setiap sudut.“Kita harus menghentikan kekacauan ini tanpa mengacaukan medan dan peraturan Perburuan Roh,” ucap Líng Zhì dengan nada serius. Wajahnya yang tenang tidak menggambarkan betapa dalamnya situasi yang tengah mereka hadapi.“Líng Ménzhǔ, ini cukup sulit,” sahut salah seorang dari klan kecil yang turut bersama mereka. Suaranya terdengar ragu, hampir seperti seorang anak yang berusaha memecahkan teka-teki rumit.“Memang benar, ini sulit!” sahut Mo Chén. Suara baritonnya yang dalam seolah berusaha memberi penekanan pada kata-katanya. Pria tampan berjubah hitam dan berambut putih itu
"Yuè Èr Gōngzǐ," bisik Jian Wei, suaranya tenggelam dalam gemuruh angin lembah, saat denting guqin yang melengking jernih semakin memenuhi pendengaran.Di tengah kabut, seorang pemuda berjubah putih, Yuè Tiānyin, melayang anggun di udara. Sinar matahari yang terang memantul pada guqin-nya, membuatnya berkilauan indah. Dengan gerakan halus, jemari Tiānyin menari di atas senar guqin, mengendalikan alunan melodi yang memancar dari alat musik itu. Setiap denting senar memancarkan aura magis, seakan mantra yang menyegel roh-roh liar yang mengamuk tak terkendali. "Chénxī!" seru Huànyǐng, matanya yang ungu berbinar-binar penuh kekaguman. "Lihatlah, Huànyǐng Xiōng! Yuè Èr Gōngzǐ memang tampan dan berbakat! Tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya!"Líng Qingyu, yang entah sejak kapan telah berada di sisi Huànyǐng, mengangguk setuju dengan tatapan kagum yang tak disembunyikan. Mereka berdua terpaku menatap Tiānyin yang dengan khidmat memainkan guqin-nya. Seme
Dentingan lonceng menggema samar di telinga Jian Wei. Suara itu bergema di antara riuh rendah pekikan panik, gemuruh langkah kaki, dan desir angin yang membawa hawa asing. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan sumber suara tersebut. "Da Gē! Lihat itu!" Tiba-tiba Jian Xuě berseru, mengalihkan perhatiannya. Jian Wei sontak mengangkat kepala. Langit yang tadinya terbuka kini dipenuhi pusaran energi berbentuk lingkaran. Partikel bercahaya keperakan berputar di udara, memancarkan kilauan ganjil. "Sial!" Jian Wei menggeram, kedua tangannya mengepal erat. Matanya berkilat, menatap adik-adiknya dan anggota sekte lainnya. "A Xuě, lindungi Huànyǐng! Jangan biarkan dia terpengaruh oleh roh-roh di sekitarnya!" "Baik, Da Gē!" Jian Xuě tak ragu sedikit pun. Ia segera berdiri di depan Huànyǐng dengan Xuě terhunus, siap menghadapi apa pun yang datang. "Lei, siapkan Líng Qì Wǎng! Jian Xia, terus pantau situa
"Target utama kita adalah roh yang sudah kita kunci tadi. Setelah itu kita bisa berburu roh lain di zona yang sudah terbuka," jelas Jian Wei sembari melompat ke depan gua yang tersembunyi di celah tebing es yang menjulang tinggi. Sinar matahari siang memantul di permukaan es, menciptakan kilauan tajam seperti pecahan kaca."A Xue, ayo kita gunakan Xiáng Líng Zhèn untuk menangkap Xuě Láng Wang!" serunya pada Jian Xuě."Baik, Da Gē!" Jian Xuě menyusul, melompat ringan ke depan gua."Gunakan energi es, kau bisa menggabungkannya dengan energi es milik Huànyǐng," saran Jian Wei.Jian Xuě mengangguk mantap, lalu mulai menggambar pola formasi lingkaran dengan elemen energi es di udara. Garis-garis bersinar biru keperakan muncul di udara, membentuk corak rumit yang berpendar lembut. Begitu formasi selesai, ia menyegelnya dan mengarahkannya ke dalam gua. Dari dalam terdengar geraman marah, berat dan bergema, mengguncang lapisan es di sekitar mereka.