Setelah selesai berdoa di altar, Jian Yi melangkah ke sekitar, mencari pemuda yang tadi memberinya izin untuk berdoa. Namun, sosok itu tak terlihat. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan satu per satu, menyibukkan suasana. Merasa kurang nyaman, Jian Yi melangkah ke arah pilar batu besar di dekat anak tangga dan duduk di sana.
"Sebenarnya aku tidak perlu ke Lanyin," gumamnya pelan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mencoba mengurai kebingungannya. "Tapi dulu aku sudah berjanji padanya untuk kembali ke Sungai Ungu Gelap, untuk belajar mengendalikan Amulet Es Hitam." Suaranya tertahan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. Dia terdiam, membiarkan pikirannya melayang. Tanpa sadar, suasana sekitarnya mulai ramai. Para tamu berlalu-lalang, tapi tak seorang pun memperhatikan keberadaannya. Jian Yi melirik ke arah kerumunan, merasa tersisih. “Mungkin lebih baik aku membaur dengan para tamu biasa. Jangan"Tuan Murong Wei!" Suara Hòu Jūn memecah keheningan, menggema di antara para murid sekte yang sudah berkumpul. Tubuhnya melesat cepat seperti angin, lalu mendarat di depan Jian Yi. Menciptakan lapisan perlindungan di antara pemuda itu dan tatapan tajam kerumunan. Para murid sekte lain segera berdatangan, mengerumuni mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Tidak terkecuali murid-murid Sekte Aliran Roh Suci dan Akademi Bixiao, yang kini berdiri membentuk lingkaran, menatap Jian Yi seolah mencari-cari sesuatu yang salah. Jian Yi berdiri mematung, punggungnya menegang di bawah sorotan mata yang membingungkan itu. "Aiyo! Benar-benar hari yang sial," gumamnya dalam hati. Menahan keinginan untuk mengumpat wanita sialan yang merupakan sumber penderitaan pemilik asli tubuhnya saat ini. Kesal bercampur canggung, dia memalingkan wajah, berusaha mengabaikan atmosfer yang membuatnya tidak nyaman. Dia menghela napas berat. "Ah, iya. Aku ini Murong
Tuan Murong Wei hanya terdiam. Sorot matanya dingin menatap tajam ke arah Selir Ying. Tidak ada sedikit pun emosi yang tergambar di wajahnya. Seruan penuh amarah sang selir seakan hanya angin lalu, bahkan ketika tangannya mengguncang-guncang lengan Tuan Murong dengan putus asa.Namun, tiba-tiba, tangan Tuan Murong bergerak cepat seperti kilat. Ia menepis genggaman Selir Ying dengan kasar, membuat wanita itu terhuyung mundur. Sebelum Selir Ying sempat menarik napas, tangan Tuan Murong menyambar lehernya, mencekiknya dengan kekuatan luar biasa. Wajah Selir Ying memucat, napasnya terhenti, sementara kedua tangannya meronta mencoba melepaskan diri."Tie!" Murong Hu berteriak ketakutan. Tubuhnya menggigil saat melihat ibunya yang tergantung lemah di tangan Tuan Murong Wei, ayah kandungnya.Suasana seketika menjadi kacau. Para murid Sekte Aliran Roh Suci berlarian, beberapa berteriak panik, "Dia dirasuki roh itu!"Ling Qingyu, yang berdiri di dekat alta
Jian Huànyǐng terpaku di tempatnya, matanya tak lepas dari sosok di kejauhan. Angin malam yang dingin menggoyangkan ujung jubahnya. Tetapi ia tidak peduli. Dengan bibir sedikit gemetar, ia berbisik lirih, "Masih seperti dulu... Tampan dan elegan meski sama sekali tak bergaya. Kaku dan kolot." Suaranya mengandung rasa senang, kesal, rindu, dan entah kenapa, segenggam kecil ketakutan.Dari atas altar, sosok itu dengan tenang dan elegan memetik guqinnya. Jari-jarinya yang ramping menyentuh senar dengan kelembutan, tetapi penuh kekuatan. Melodi yang dimainkan mengalun, bergema dalam ruang besar Istana Roh Suci, memikat setiap jiwa yang mendengar.Saat nada menguat, tubuh Tuan Murong Wei yang awalnya tampak tegang tiba-tiba luruh. Ia duduk bersila, napasnya teratur, seakan diselubungi damai yang datang dari langit. Diikuti Selir Ying dan putra mereka.Namun, kedamaian itu segera pecah ketika sesuatu melompat keluar dari tubuh Tuan Murong Wei, bayangan hitam yan
Yue Hòu Jūn melangkah mendekati sosok berjubah putih yang berdiri tegak di teras penginapan. Sosok itu tengah menatap bulan purnama yang memancarkan sinar lembut. Membentuk bayangan yang menari-nari di sekitar mereka, seolah menunggu momen tertentu untuk menyapa.“Dàoyì Zhenjun,” panggil Hòu Jūn dengan suara lembut, penuh rasa hormat yang mendalam. Seolah-olah setiap kata keluar dari hatinya yang terdalam.Pria berjubah putih itu menoleh perlahan. Mata birunya yang tenang bak permukaan samudera yang membeku, menatapnya. Yue Tiānyin, yang dikenal sebagai Dàoyì Zhenjun, selalu tampak seperti sosok yang tidak pernah dipengaruhi oleh dunia sekitar. Dalam setiap situasi, ketenangannya adalah pelindung yang tak dapat ditembus oleh apapun.“Ini tentang roh itu,” ujar Hòu Jūn dengan hati-hati. Suaranya seakan terhambat oleh pikirannya sendiri. Ia menata setiap kata dengan seksama, berusaha mengungkapkan apa yang telah mereka alami sejak tiba di Kota Shanyue.
Orang-orang itu berhasil menerobos masuk ke halaman utama yang dikelilingi oleh pohon plum tua. Pemilik penginapan, yang sejak tadi berdiri cemas di sudut, kini tak dapat lagi menyembunyikan keterkejutannya. Wajahnya pucat pasi, matanya berkeliling gelisah seolah mencari jalan keluar."Paman, apa yang terjadi di sini?" Yue Hòu Jūn cepat-cepat mendekati pemilik penginapan yang tampak cemas."Yue Gōngzǐ... mereka ini keluarga Selir Ying. Mereka sedang mencari Murong Yi Gōngzǐ," sahut pemilik penginapan itu dengan suara gemetar. Berusaha menjaga ketenangannya meski ketakutan tampak jelas di matanya.Sebagai pemilik penginapan, tentu dia sudah mendengar tentang kericuhan yang terjadi di Festival Cahaya Roh kemarin malam. Namun, tak pernah disangkanya bahwa kerusuhan itu akan berimbas langsung padanya."Tuan-tuan, ada apa dengan Murong Yi Gōngzǐ?" Hòu Jūn akhirnya memutuskan untuk mendekati dan menghadapi kelompok orang yang tampaknya sudah kehilangan
"Dàoyì Zhenjun, maafkan kami jika telah mengganggu istirahat kalian!" Suara lembut tetapi tegas itu datang dari Ling Qingyu, yang tiba-tiba muncul di tengah rombongan yang baru saja datang. Ketua Sekte Roh Aliran Suci itu membungkukkan tubuh dengan hormat pada Yue Tiānyin, yang dibalas dengan sikap yang sama."Kalian, segera tinggalkan tempat ini!" Ling Qingyu berkata tegas. Melirik sekilas kepada kerumunan yang masih berkumpul di halaman itu. "Biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini dengan Dàoyì Zhenjun," lanjutnya, suaranya penuh kewibawaan.Mereka yang mendengarnya hanya bisa mengangguk, meskipun terdengar gumaman samar-samar. Tentunya, setelah Yue Tiānyin melepaskan mantra bisu begitu melihat kedatangan Ling Qingyu. Mereka tidak berani membantah."Baik, Jìng Hún Shī!" Mereka menjawab patuh, tidak bisa berbuat lain. Tidak ada yang berani bersikap konyol dengan membantah ucapan Pemimpin Sekte Aliran Roh Suci yang juga merupakan penguasa dan pelindung
Ling Qingyu menghela napas panjang, seolah menanggung beban yang tak terlihat. Matanya menatap tajam ke arah Yao Ming, sejenak memancarkan keraguan yang segera terkubur dalam tatapan tegas.Sebuah mantra mengalir dari bibirnya. Dengan gerakan halus, tetapi penuh kekuatan, dia melemparkan gelang manik-manik di lengannya ke arah Jian Huànyǐng. Pemuda itu, meski cekatan, tak sempat menghindar. Dalam sekejap tubuhnya terjerat oleh tali yang berkilau, memancarkan energi spiritual yang kokoh."Ling Qingyu!" tegur Yue Tiānyin, suaranya terdengar lebih dingin.Namun, tak ada langkah agresif darinya. Dia tetap diam, hanya memerhatikan Jian Huànyǐng yang bergulat dengan tali yang membelit tubuhnya. Usaha pemuda bertopeng jelek itu sia-sia. Gerakannya yang kikuk justru membuatnya terjatuh dengan keras. Saat tubuhnya menyentuh tanah, sebuah rantai putih melesat ke arahnya. Tanpa ampun, rantai itu menghantam punggung Jian Huànyǐng, membuatnya tersungkur berdebam ke tan
Arc 2. PUSARAN KENANGANTahun ke-8 Jing, Kekaisaran Bìxiāo, Dermaga Kota LanyinSerombongan anak muda berusia antara lima belas hingga delapan belas tahun melompat kegirangan dari perahu yang baru saja merapat ke dermaga. Tawa riang dan sorak gembira mengiringi langkah mereka, sementara beberapa di antaranya terhuyung, tampak mabuk akibat perjalanan panjang melintasi air yang bergelombang.Di antara hiruk-pikuk itu, suara riang Jian Huànyǐng terdengar paling lantang. Bahkan sebelum kakinya menjejak daratan. Dia melompat turun dari perahu dengan lincah, tanpa peduli tatapan heran dari beberapa orang yang terganggu oleh tingkahnya."Huànyǐng, ingat! Kau harus selalu menjaga sikap selama di sini!" Seorang gadis yang juga baru turun dari perahu, memperingatkan pemuda itu.Dia adalah Jian Xia, Nona Muda Pertama Jian dari Klan Jian Sekte Pemecah Langit. Dengan hanfu ungu muda yang melayang lembut di udara dan ikat pinggang ungu tua yang menjunt
Yuè Huā Lóu, Rumah Bunga Bulan, adalah salah satu rumah hiburan paling terkenal di Lingxiao. Bahkan, namanya tak kalah tersohor dibandingkan rumah-rumah bordil di Xiāoyún, ibu kota Kekaisaran Bìxiāo. Tempat ini bukan sekadar sarang para wanita cantik, tetapi juga pusat hiburan kelas atas yang dipenuhi musisi berbakat dan penari-penari anggun yang mampu memikat siapa pun yang datang.Bau harum dupa bercampur dengan aroma arak memenuhi udara, berpadu dengan denting kecapi yang mengalun lembut di antara suara gelak tawa para tamu. Cahaya lentera merah menggantung di sepanjang lorong, berpendar samar di atas lantai kayu yang mengilap. Para gadis berhanfu warna-warni berjalan anggun, melayani tamu dengan senyum menggoda dan tatapan penuh arti."Jian Wu Xiōng, aku sangat gugup," bisik Ling Qingyu, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh rendah sekeliling mereka. Jemarinya mencengkeram erat lengan Huànyǐng, seolah mencari pegangan di tengah atmosfer yang terasa begitu asing b
Ling Qingyu mengendap-endap di sepanjang koridor Yè Jū, langkahnya ringan seperti bayangan. Cahaya lentera temaram memantulkan siluetnya di dinding, bergetar seiring hembusan angin malam yang merayap melalui celah-celah bangunan. Tujuannya sudah jelas, kamar Jian Huànyǐng. Sejak siang, mereka telah berencana untuk menikmati malam ini dengan sedikit hiburan.Begitu tiba di depan pintu, Ling Qingyu mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, sebelum sempat jarinya menyentuh kayu pintu, sesuatu yang dingin menyentuh bahunya.Ia tersentak, tubuhnya menegang seketika. Rasa terkejut membuat napasnya tertahan, hampir saja ia berteriak. Tetapi belum sempat satu suara pun keluar, sebuah tangan sudah lebih dulu membekap mulutnya, meredam segala kemungkinan."Ling Xiōng, ini aku," sebuah suara lirih berbisik di telinganya.Ling Qingyu hanya bisa melotot, berusaha meronta dari cengkeraman itu. Ketika tekanan di tangannya mengendur, ia langsung menepis tang
Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di duduka
Jian Lei terpaku menatap keranjang bambu di atas meja. Uap tipis mengepul dari tumpukan bāozi yang masih hangat, menyebarkan aroma lembut tepung dan daging berbumbu. Ada juga beberapa hidangan lain yang tersusun rapi di dalam wadah bambu. Pagi itu, udara di kamarnya masih mengandung sisa dingin dari embun malam, tetapi kehadiran makanan-makanan ini membawa kehangatan yang ganjil.Dia mengernyit. Ini bukan dari dapur Akademi Bìxiāo. Setiap murid hanya mendapat jatah makanan sederhana, jauh dari kemewahan seperti ini. Apalagi, ia sama sekali tidak memesan apa pun.Dengan hati-hati, Jian Lei melangkah ke jendela, jari-jarinya menyentuh bingkai kayu yang terasa sedikit lembap oleh udara pagi. Didorongnya jendela perlahan, membiarkan angin sejuk menerobos masuk. Pandangannya menyapu halaman di luar, mencari sosok yang mungkin baru saja menyelinap dan meninggalkan semua ini di mejanya. Namun, yang ada hanya bayangan pohon pinus yang bergoyang lembut diterpa angin.
Untuk beberapa saat, Huànyǐng tetap terdiam membeku. Tatapannya kosong menembus keramaian yang berlalu-lalang di pusat kota. Cahaya lampion menggantung di sepanjang jalan, menerangi wajah-wajah riang para pedagang dan pejalan kaki. Namun, di matanya, semua itu seolah hanya bayangan samar yang berpendar tanpa makna.“Huànyǐng!” Suara yang akrab itu memecah lamunannya.“Èr Gē...” Huànyǐng bergumam lirih. Suara itu sangat dikenalnya, Jian Xue, kakak keduanya.Kesadarannya perlahan kembali. Ia mengerjapkan mata dan kini dapat melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jian Xue, dengan senyum kecil di wajahnya, dan di sampingnya berdiri Héxié Zhìzūn, menatapnya dengan tatapan hangat dan lembut seperti biasanya.“Èr Gē!” Seketika, Huànyǐng berlari menghambur ke dalam pelukan sang kakak.Jian Xue terkekeh pelan, sementara Héxié Zhìzūn hanya tersenyum lembut. Kedua kakak beradik itu saling berpelukan erat, seolah ingi
Malam di Yè Jū, Asrama Malam, salah satu asrama bagi murid Akademi Bìxiāo, terasa sunyi. Sejak lonceng malam berdentang sembilan kali, tak satu pun murid yang masih berkeliaran di luar. Mereka semua telah kembali ke kamar masing-masing, membiarkan kesunyian menyelimuti bangunan asrama yang dikelilingi taman batu dan pohon pinus menjulang.Namun, di salah satu kamar, suasananya tidak setenang di luar. Huànyǐng bertumpu pada kedua tangannya, tubuhnya terbalik dalam posisi handstand. Di hadapannya, gulungan kertas terbuka, berisi salinan hukuman dari Zhēn Wēn Jīng siang tadi. Cahaya lentera berkelip samar di atas meja, menciptakan bayangan bergerak di dinding. Meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan, Huànyǐng menolak larut dalam perasaan itu."Chénxī," gumamnya pelan. Setiap kali berlatih handstand, sosok pemuda bermata biru itu selalu terlintas dalam benaknya. "Kau pasti sedang bermeditasi sekarang," lanjutnya, suaranya nyaris tertelan heningnya ma
Hēibīng Hùfú, Amulet Es Hitam, pada awalnya adalah Shén Cì, artefak suci yang merupakan anugerah dari dewa. Konon, Hēi àn Zhī Shén sendiri yang menghadiahkannya kepada pendiri Klan Àn Zú, klan yang menjadi akar dari Klan Mo dan Sekte Pedang Iblis. Berbeda dengan jimat biasa, Hēibīng Hùfú bukanlah benda fisik yang bisa digenggam atau disimpan dalam kotak pusaka. Sebaliknya, amulet ini bersemayam di dalam tubuh sang pewaris, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sejak awal, Hēi àn Zhī Shén telah menyisipkannya ke dalam tubuh pendiri Klan Àn Zú dan sejak saat itu, ia diwariskan kepada keturunan yang terpilih. Namun, dalam sejarah ribuan tahun, Hēibīng Hùfú hanya benar-benar terbangkitkan dua kali. Dua kali yang membawa bencana besar. Kekaisaran Bìxiāo gemetar di ambang kehancuran, dan bahkan Benua Shényǔ hampir luluh lantak. Begitulah kisah yang diceritakan Mo Chen kepada Huànyǐng pada senja itu. "Mo Gēge, A Tie juga pernah menceritakan hal ini
Di bawah pohon plum tua yang bermekaran, Huànyǐng dan Mo Chen duduk berdampingan, menikmati hembusan angin yang membawa aroma samar bunga dan asap kayu bakar. Sungai di hadapan mereka mengalir tenang, memantulkan cahaya redup matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali, Mo Chen melemparkan batu kecil ke air, menciptakan riak yang menyebar perlahan."Mo Gōngzǐ, kenapa kau begitu santai? Bukankah kau sedang dalam misi?" tanya Huànyǐng, tak mampu menahan rasa penasarannya.Di matanya, Mo Chen berbeda dari para tuan muda klan besar lainnya. Dia tidak seperti Héxié Zhìzūn yang lembut namun tegas, atau kedua kakaknya yang berwibawa. Bahkan dibandingkan Ling Zhì yang kaku dan Yue Tiānyin yang dingin, Mo Chen lebih terlihat bebas, seperti awan di langit yang berarak tanpa beban.Mo Chen tersenyum santai. Ia mengupas kulit udang bakar dengan tenang, jemarinya cekatan dan penuh perhitungan. "Misiku sudah selesai, sekarang aku hanya menunggu misi berikutnya." Ia m
Huànyǐng berlari riang di sepanjang koridor akademi yang lengang. Suasana begitu sepi karena hampir semua murid masih berada di kelas masing-masing, sibuk mempelajari teori atau menjalani latihan fisik dan meditasi. Tentu saja, Huànyǐng tahu itu. Namun, meski diperintahkan oleh Zhēn Wēn Jīng untuk pergi ke perpustakaan, ia justru memilih untuk berjalan-jalan lebih dulu.Saat tiba di persimpangan koridor, ia menghentikan langkahnya, mendongak sedikit, lalu menggumam, “Ke kanan atau ke kiri?”Di kanan, Qiū Fēng Lín, Hutan Maple Musim Gugur, terbentang dengan pohon-pohon maple menjulang tinggi. Angin bertiup membawa harum dedaunan basah, sementara warna merah dan jingga dari daun-daun maple yang gugur menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Ia bisa berburu kelinci di sana atau menangkap rubah kecil yang sering berkeliaran di antara akar-akar pohon yang menjulur.Sedangkan di kiri, Xiānlù Hé, Sungai Embun Abadi, mengalir jernih. Permukaannya berkilauan d