"Besok aku akan terbang ke Bali!"
Syafa menghela napas.
"Ini bukan tentang uang, Ben," ucap gadis itu. "Masalahnya papaku telah menerima lamaran mereka. Tolong mengerti."
"Syafa, aku–"
"Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini," potong Syafa buru-buru. "Terima kasih untuk delapan bulan yang menyenangkan. Tolong lupakan aku. Maaf, Ben."
Setelahnya, Syafa langsung memutus panggilan.
Gadis itu sudah tidak mampu lagi menahan isakannya. Dadanya sudah terasa sesak oleh kesedihan. Dalam satu hari, mimpi dan hidupnya seolah direbut paksa. Membuatnya seolah terlempar jauh ke dalam jurang yang dalam.
Dalam gamang hatinya itu, Syafa segera mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Dia bersimpuh dengan penuh kepasrahan, mengadu kepada Sang Khaliq tentang kerisauannya.
Di satu sisi dia percaya tidak ada sebuah kebetulan di dunia ini. Semua sudah ada yang mengatur.
Namun, sebagai manusia biasa, tentu dia merasa sangat sedih dan kecewa.
[Aku tidak percaya kau merperlakukanku seperti ini setelah semua yang kita lalui.]
Sebuah pesan masuk dari Ben. Namun, Syafa tidak membalasnya.
Hampir seminggu kemudian, Syafa mencoba bertahan hari demi hari dengan berbagai macam pesan menyakitkan dari Ben.
[Aku pikir kau wanita baik-baik, Syafa. Tapi ternyata tidak!]
Pria itu benar-benar merasa kecewa, marah, dan patah hati, dengan apa yang terjadi saat ini. Dokter 39 tahun tersebut, sama sekali tidak menyangka cinta pertamanya harus kandas, dengan cara yang tidak masuk akal.
Akhirnya karena tidak tahan dengan semua itu, Syafa memutuskan untuk memblokir nomor mantan kekasihnya.
Bahkan gadis itu menutup semua akun media sosialnya, karena tidak ingin berhubungan dengan dunia luar untuk sementara. Dia bahkan mengganti SIM-card-nya agar terbebas dari pertanyaan apa pun.
Kini, dirinya sudah memproses pengunduran dirinya dari program internship yang ia jalani. Ia enggan menjelaskan apa yang membuatnya mengambil keputusan mendadak tersebut kepada semua orang.
Pun, ia tidak sanggup.
Memutus semua jaringan dan akses pada dirinya dari dunia luar. Adalah hal yang tepat. Setidaknya untuk sementara waktu, itu adalah cara terbaik untuk menenangkan diri.
"Malam ini keluarga Abdullah Al-Ghifary akan datang ke rumah kita," ucap Ny. Fatima Altaf, ibu Syafa, kepada putrinya. "Kau harus bersikap sopan, Nak. Mama tahu ini sulit, tapi percayalah, jika ini adalah jalan terbaik dari Tuhan."
Syafa menatap sang ibu dengan pandangan sendu.
"Sekarang bersiaplah, mereka sudah dalam perjalanan dari hotel. Kita akan menyambut mereka," ucap sang ibu dengan senyum menenangkan.
Syafa hanya mengangguk, dia tidak lagi tahu harus mengatakan apa.
Saat ini dia berharap semoga semua berjalan dengan baik. Karena menentang adalah cara yang paling konyol jika dilakukan sekarang.
Setengah jam kemudian Syafa sudah siap untuk menghadapi semuanya. Saat sang ibu datang untuk mengajaknya keluar kamar, gadis itu hanya menghela napas berat beberapa kali.
"Bismillah," ucapnya lirih, sambil berdiri dan berjalan mengikuti langkah sang ibu.
Ada 5 orang yang saat ini telah duduk di ruang keluarga. Mereka adalah Tuan Rasyid Abdullah Al-Ghifary dan sang istri, Ny. Annisa Abdullah. Selain itu ada juga putri bungsu mereka, Az-Zahra Nayla, serta adik kandung Tuan Rasyid.
Dan tentu saja sang putra kedua, Muhammad Syarif Abdullah Al-Ghifary.
Mereka semua datang dengan wajah berseri dan senyum tulus.
Dari pakaian dan dandanan mereka yang tampak sederhana, Syafa bisa merasakan aura keramahan dari tatapan mereka padanya. Sesuatu yang sedikit membuatnya lega.
Tadinya Syafa berpikir bahwa mereka adalah keluarga konglomerat yang berpenampilan glamor, sesuai dengan posisi mereka.
Namun, gadis itu salah besar, orang-orang yang tergabung dalam Al-Hassan Group itu, ternyata cukup membumi. Terlihat dari gaya mereka yang masih wajar, bahkan terkesan cukup sederhana.
"Perkenalkan, ini putri kami, Syarifah Farzana. Kami memanggilnya Syafa." Suara lembut dan sopan sang ibu memecah lamunan calon dokter tersebut, membuat pipinya bersemu merah karena malu.
"Asalamualaikum, Nak." Suara berat tuan Rasyid, membuat Syafa merasa gugup.
"Kau pasti ingat, kita pernah beberapa kali bertemu, bukan?"
Sorot mata ramah dan senyum tulus itu tidak mampu menyembunyikan wibawa dari suara pria 65 tahun tersebut. Siapa pun pasti merasa segan setiap mendengar suara sang Billionaire.
Benar-benar menggambarkan posisinya sebagai pemilik Al-Hasan Group.
"Wa alaikum salam, Tuan. Tentu saja saya masih ingat," jawab Syafa gugup.
Mereka akhirnya duduk dan saling berkenalan.
Suasana yang tadinya canggung perlahan sedikit mencair. Terlebih ketika semua mata tertuju pada pria berusia 33 tahun, yang saat ini tertangkap basah, sedang memandangi Syafa, tanpa berkedip.
Sejak kedatangan Syafa, Syarif seolah terbius oleh pesona gadis 25 tahun itu.
"Rif, Bagaimana?" tanya sang ibu, sambil tersenyum melihat ekspresi wajah putra keduanya tersebut.
"Syarif pasti setuju, Mi. Aku tahu dan sangat memahami putraku," ucap Tuan Rasyid yang membuat Syarif tersenyum tipis.
Semua orang tersenyum bahagia, bahkan ibunya Syafa merasa senang ketika melihat reaksi Syarif pada putrinya.
Mereka semua akhirnya membicarakan tentang lamaran dan pernikahan. Sambil menikmati jamuan makan malam.
"Oh ya. Bagaimana kalau kedua calon yang kita jodohkan ini bicara berdua? Agar makin akrab dan dekat."
Ucapan Ny. Annisa, seketika membuat Syafa membeku.
***
Hening,
Tidak ada sepatah kata pun, yang keluar dari kedua orang tersebut. Baik Syarif dan Syafa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Meskipun keduanya tengah duduk berhadapan, di teras samping kolam renang.
Setelah beberapa saat, akhirnya Syafa buka suara.
"Aku sudah punya pacar," ucap Syafa. "Namanya Ben. Dia dokter ahli jantung di tempatku menjalani program internship. Kami bahkan sudah berencana menikah, sebelum akhirnya semuanya gagal karena lamaran dari keluargamu."
Usahanya yang terakhir, menurut Syafa. Gadis itu berusaha membuat pria ini membatalkan perjodohan mereka.
Jika dirinya tidak mampu, seharusnya Syarif mampu, bukan? Toh pria ini lebih berkuasa.
Syafa melanjutkan, "Papa bahkan melarangku melanjutkan pendidikan secara sepihak, karena tahu aku memiliki hubungan dengan dokter di sana." Syafa tersenyum miris dan melanjutkan kalimatnya, "Padahal hanya tinggal dua bulan lagi, aku mendapatkan izin praktek."
Suasana kembali hening, karena Syarif seolah tidak berniat membuka bibirnya.
"Bagaimana rasanya menjadi penyebab perpisahan dari dua orang kekasih yang saling mencintai? Juga menjadi orang yang menghancurkan mimpi orang lain?" tanya Syafa tegas.
Alih-alih berbicara sopan dan lembut, ucapan gadis itu cukup pedas. Tatapan matanya tampak tegas dan tidak terintimidasi oleh sikap dingin pria di hadapannya saat ini.
Akan tetapi, respons Syarif tetap saja di luar dugaan.
"Itu bukan urusanku," jawab Syarif singkat.
Suara serak bariton-nya terdengar tidak acuh, otomatis membuat Syafa kesal, karena pria itu sepertinya tidak tertarik dengan kisahnya.
"Apa kau mau menikah dengan gadis yang telah mencintai pria lain?" tanya Syafa lagi.
Syarif hanya tersenyum tipis, tetapi kilat matanya tampak bahwa ia sedang merasa terhibur.
Selama ini, banyak gadis yang mencoba untuk merayu dan menggodanya, tapi tidak satu pun, dari mereka yang menarik perhatian sang putra Taipan tersebut.
Sementara, gadis yang tengah bersamanya ini menarik. Meskipun Syafa tidak menunjukkan ketertarikan yang sama, bahkan mencintai pria lain–
Tiba-tiba senyum Syarif menghilang.
"Tunggu. Apa kalian sudah ...?" Pertanyaan Syarif terhenti. Pria itu menatap Syafa dengan pandangan curiga.
Mendengar hal tersebut, Syafa langsung membulatkan kedua netranya. Ekspresi kesalnya, berganti dengan kemarahan yang tampak jelas. Napasnya sedikit memburu, seolah tidak tahan lagi ingin memaki dan berkata kasar.
Namun, sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk lebih bersabar.
"Kau” sergah Syafa, “menuduhku berzina!?"
“Kau menuduhku berzina!?”Usai mengucapkan itu, tanpa menunggu respons dari Syarif, Syafa melanjutkan, "Dengar, Tuan! Aku memang mencintai Ben dan kami berpacaran. Tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal bejat itu." Nada suara gadis itu meninggi."Orang tuaku mendidikku dengan sangat baik, jadi aku tidak akan melakukan hal serendah itu!"Sorot mata Syafa tampak tajam, menghunjam tepat di manik mata Syarif, sementara pria itu masih duduk dengan santai di hadapannya.Bahkan, kini Syarif justru tersenyum!Ada gurat kelegaan dalam senyum pria berusia 33 tahun tersebut."Baiklah," ucap Syarif dengan tenang. "Aku paham."Syafa mengernyit. Apakah pria itu paham sanggahannya tentang apa yang ia tuduhkan tadi, atau mengerti bahwa Syafa ingin perjodohan ini dibatalkan?Jawaban dari pertanyaan dalam kepala Syafa tersebut langsung ia dapatkan beberapa saat kemudian.“Saya menerima perjodohan ini.”Bahu Syafa langsung turun, tubuhnya melemas. Gadis itu bagaikan disambar petir di sia
“Ada hal penting yang ingin aku bicarakan.”"Baik," jawab Syarif dengan singkat dari seberang sana.Setelah itu panggilan diputuskan secara sepihak. Membuat Syafa kembali merasa kesal. Setiap kali dia berusaha untuk berbicara dan berinteraksi dengan calon suaminya itu. Selalu saja gagal, Syarif hampir tidak pernah membalas pesan dan mengangkat teleponnya.Meskipun Syafa tahu pria itu sedang sibuk bekerja. Dia pikir bukankah akan lebih baik jika mereka meluangkan waktu untuk saling mengenal. Agar hubungan mereka tidak terlalu kaku? Toh mereka akan menikah juga akhirnya. Untung saja malam ini dia menerima panggilannya. Jika tidak Syafa berencana nekad menemuinya di hotel tempatnya menginap.Benar saja kurang dari satu jam, Syarif telah tiba di rumahnya sendirian. Pria itu tampak gagah dengan balutan kemeja biru dan celana jeans hitam. Penampilannya sederhana seperti biasa, tetapi Syarif memang memiliki aura dan pesona yang kuat. Segala gerak gerik putra kedua keluarga Abdullah Al-Ghif
“Kita akan menikah, bukan bermain drama.”Syafa yang tadinya merasa percaya diri dengan rencananya kini terdiam. Perlahan semua keberaniannya memudar, saat melihat bagaimana calon suaminya itu bersikap. Di satu sisi pria itu tenang dan datar, tetapi dia tegas dan mengintimidasi dalam waktu yang bersamaan."Aku sudah tanda tangan, sekarang apa masih ada lagi syarat yang ingin kau ajukan?" tanya Syarif sambil meletakkan kembali map dan pena di meja."Tidak," jawab Syafa singkat."Kalau begitu, aku akan kembali ke hotel," ucap Syarif sambil berdiri. “Asalamualaikum.”"Wa alaikumsalam," jawab Syafa pelan, masih tetap duduk di tempatnya.Membiarkan Syarif melangkah menuju pintu, dan memutar kunci. Pria itu keluar dari ruang perpustakaan dengan diam. Meninggalkan Syafa yang masih tak bergeming ditempatnya.Setelah beberapa saat, gadis itu baru bisa kembali tenang. Perlahan dia membuka map berisi perjanjian pranikah yang dia siapkan tadi. Syarif telah menandatangani tepat di atas materinya.
Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang."Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
"Ummi tidak ingin mencampuri masalah kalian, Nak. Tapi Ummi sedih melihat kalian berdua seperti berseberangan." Ny. Annisa akhirnya tidak dapat menahan lagi. Wanita berwajah kalem dan ramah itu, merasa hubungan putranya dan sng istri sudah dalam taraf yang harus di selesaikan segera. Sebagai seorang ibu sekaligus wanita, yang telah memakan asam garam kehidupan. Sang istri miliarder berdarah arab tersebut, dapat denga jelas melihat kejanggalan dalam pernikahan putra keduanya. "Ummi tidak ingin melihat kalian menderita, terlebih Syafa yang saatbini tengah mengandung anak kalian. Dia butuh ketenangan dan kenyamanan selama menjalani kehamilan ini," kata Ny. Annisa dengan lembut. Meskipun Syarif adalah putra kandungnya, diamtetap tidak ingin terlalu kuat campur. "Ummi hanya ingin membantu, mungkin dengan kau menceritakan semua dengan jujur. Ummi bisa memberikan saran," lanjutnya, sambil mengelus lengan Syarif. Setelah beberapa hari tinggal dan mengurusi bisnis di Balikpapan, Ny. Annis
Steven menatap pria yang berdiri dan memegang tangannya dengan pandangan tidak suka. Sementara Syafa menatap orang yang sama dengan keterkejutan yang tidak dapat ia sembunyikan. Dia sama sekali tidak mengira jika suaminya kini berdiri dihadapannya, memegang tangan teman masa lalunya dengan sorot mata tajam. Jelas terlihat Jika sang CEO tidak menyukai pria berwajah blasteran tersebut. "Mas, Syarif?" gumam Syafa pelan dengan suara tercekat. Syarif melepaskan genggaman tangannya pada Steven dan menatap Syafa dengan sorot intimidasi yang menakutkan. Syafa tahu suaminya sedang tidak senang. "Kau mengenal pria ini?" tanya Steven menatap Syafa yang masih tercengang di tempatnya. Dalam hati Syafa sedang bingung dan takut. Dia takut Syarif akan salah paham padanya, dan bingung bagaimana cara menjelaskan tentang semua ini. Syafa juga masih belum bisa mengerti, bagaimana suaminya bisa berada di tempat itu. Biasanya Syarif akan pulang dari kantornya, sekitar jam 8-9 malam. Kecuali memang
"Mau kemana?" tanya Syafa saat Syarif mengemasi pakaiannya ke dalam koper. "Aku akan ke Kalimantan besok pagi, ada beberapa pekerjaan yangnharus aku sendiri yang menangani." jawab Syarif "Berapa lama?""Mungkin tiga atau empat hari. Karena akuningin melihat tambang barunkami di muaralawa. Setelah itu menghadiri pernikahan putri rekan bisnis Abi di sana." Syarif mengatakan semuanitu tanpa melihat istrinya. Diamgokus mengemas dan menyiapkan emua barang yang dia butuhkan selama berada di tanah kelahirannya itu. "Aku menyimpan vitaminmu di laci, jangan lupa meminumnya stelah sarapan dan sebelum tidur. Mbok Minah dan mbak arus sudah aku berikan jadwal makananmu selama seminggu, sesuai yang dianjurkan dokter Anna." Syarif,enutuo kopernya dan menatap sang istri. "Tolong jaga diri baik-baik selama akuntidak di rumah, jangan berpikir untuk menyakiti anak-anak," kata Syarif pelan tetapi penuh penekanan. Entah kenapa setelah kejadian Syafa menyembunyikan kehamilannya waktunitu, membuat Sya
Stella dan dokter Anna yang kebetulan belum sampai keluar dari rumah mereka, segera berlari dan menghampiri Syafa. Saat mendengar teriakkan Syarif. Dua dokter rekan kerja Syafa tersebut, segera mengikuti langkah sang CEO menuju kamar mereka d lantai atas untuk memeriksa kondisi Syafa. Seluruh keluarga tampak panik, Ny. Annisa dan Ny. Fatima, dan Amira, segera ikut ke kamar sementara para lelaki tetap di bawah untuk menemani para tamu yang sedang berpamitan untuk pulang. Semua orang terlihat khawatir, tetapi mereka yakin Syafa dan kedua bayinya baik-baik saja. "Bagaimana dokter?" tanya Syarif setelah dokter Anna selesai memeriksa.Untung saja anggota dokter masih membawa peralatannya di tas. Karena mereka berangkat langsung setelah tugas dari rumah sakit. "Tekanan darahnya naik. Saya belum bisa memastikan, tetapi Syafa sepertinya sedang kelelahan dan stres. Dia butuh istirahat saat ini," kata dokter Anna menjelaskan. Sementara Syafa perlahan membuka mata ketika beberapa saat sang
Seluruh keluarga besar Syarif dan Syafa hadir dalam acara syukuran kehamilan Syafa. Semua rekan bisnis dan juga teman-teman mereka juga di undang semua. Rumah bergaya klasik modern, dengan halaman luas tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan. Terlebih saat mengumumkan jika Syafa sedang mengandung bayi kembar. Rona bahagia tidak dapat ditutupi oleh semua anggota keluarga. Membuat Syafa merasa cukup kesulitan untuk menampakkan ekspresi bahagia, ditengah kegundahan dan kegalauan yang dirasakannya. "Aku tidak menyangka kalian akan memiliki bayi kembar," kata Almeera, menghampiri Syarif dan Syafa yang sedang duduk. "Selamat, Rif. Semoga kehamilan dan persalinannya nanti lancar." Almeera tersenyum, meskipun dalam hatinya tidak terlalu senang. "Bagaimana dengan permintaan tolongku? Apa kau sudah mempertimbangkannya?" Almeera tidak ngin menyia-nyiakan peluang untuk meminta pertolongan Syarif. Minggu depan sidang pertama hak asuh anaknya, akan segera di gelar. Karena mantan suam
Syarif dan Syafa masih duduk termenung di tempatnya. Dua buah kelapa muda dan beberapa camilan de meja terlihat utuh tak tersentuh. Mereka saling berhadapan tetapi seperti berada dalam dimensi yang berbeda. Sesekali hanya terdengar suara Isak tangis Syafa yang membelah keheningan. Suasana kafe pagi itu belum terlalu rame, sehingga hanya mereka berdua yang saat ini mengisi meja di bagian outdoor resort tersebut. "Aku sudah memutuskan," kata Syarif beberapa saat setelah memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan saat ini. Syafa mengangkat kepala dan menatap sang suami dengan perasaan cemas. "Karena kau telah memutuskan sesuatu tanpa berunding denganku sebelumya. Aku juga akan memutuskan semuanya secara sepihak." Deg, Belum reda semua kekalutan di hatinya, Syafa kembali diterpa gelombang rasa takut dan kepanikan, mendengar ucapan Syarif barusan. "Setelah anak-anak lahir, dan kau selesai masa nifas. Aku akan menceraikanmu. Sesuai perjanjian kita, hak asuh anak-anak berada pada
Syafa mencoba untuk memaksa turun dari gendongan Syarif. Tetapi pria itu seolah memiliki kekuatan berlebih, yang bisa dengan mudah mencengkeram tubuh Syafa dipelukannya. Sekuat apapun Syafa mencoba lepas, tenaganya tidak akan dapat menyamai sang CEO. "Ya Allah tolong beri jalan keluar terbaik," bisik hati Syafa. Wanita berdarah Turki-Bali itu akhirnya menyerah. Dia lebih memilih untuk memejamkan mata, agar tidak melihat orang orang disekitarnya yang tentu saja memperhatikan mereka. Hampir semua orang yang berada di tempat itu menoleh ke arah mereka berdua. "Tuan Syarif Abdullah?" tanya seorang perawat yang berada di depan poli kandungan, ketika melihat mereka berhenti di hadapannya.Syarif hanya menjawab dengan anggukan kecil. "Silahkan tunggu sebentar, setelah pasien di dalam selesai diperiksa, anda bisa langsung masuk." Perawat berseragam pink itu tersenyum ramah. Sementara Syafa masih tidak ingin membuka matanya, dia merasa sangat malu dengan posisi mereka. "Turunkan aku, a
Syarif berjalan ke arah Syafa dan berhenti tepat di hadapan sang istri, dengan tatapan mata tajam yang mengintimidasi. "Bayi kembar?" ucapnya dengan pelan, tetapi penuh penekanan. "Jadi selama ini kau menyembunyikan fakta itu dariku? Kita akan memiliki bayi kembar dan kau tidak mengatakan apapun padaku?" Wajah Syarif berubah geram, dia mencengkeram kedua lengan istrinya sambil terus menatap dengan sorot emosi.Sungguh pria berdarah Arab-Jawa itu tidak mengira, jka Syafa bisa melakukan hal sejauh itu padanya. Selama ini Syarif mencoba untuk memahami dan mengerti posisi Syafa dengan segala perasaan bencinya. Dia selalu berusaha agar tidak menyinggung atau menyakiti hati wanita yang sangat ia cintai tersebut. Tetapi kali ini Syarif merasa sangat terkejut, sekaligus merasa sakit hati. Bagaimana mungkin Syafa menyembunyikan sesuatu yang begitu penting darinya. "Inikah alasan kenapa kau tidak pernah mau aku temani setiap kali periksa kandungan?" Syarif tersenyum sarkas. "Apa sebenarnya
"Menantuku sedang mengandung, Almeera," kata Ny Annisa sambil tersenyum bahagia. Sebuah senyuman yang terasa seperti tamparan keras bagi Almeera. Dia sama sekali tidak menyangka jika Syafa akan hamil secepat ini. Padahal wanita itu sangat yakin jika hubungan Syafa dengan Syarif, terlihat bukan seperti dua orang yang saling mencintai.Almeera bahkan sangat yakin, jika wanita 26 tahun itu tidak menginginkan Syarif. "Lalu kenapa dia mau mengandung anak Syarif?" tanya Almeera dalam hati. Meskipun merasa tidak senang dengan kabar tersebut, Almeera berusaha terlihat biasa saja."Selamat, Tante Annisa. Selamat untuk kalian semua," kata Almeera dengan senyum yang tampak canggung. Meskipun demikian tidak banyak dari mereka yang menyadari hal itu. "Datanglah ke rumah Syarif besok lusa, kami akan mengadakan acara syukuran. Ini anak pertama Syarif dan Syafa. Mereka butuh banyak doa dan dukungan." Ny. Annisa kembali tersenyum dengan tulus. Mengundang wanita yang dulu hampir menjadi menantuny