Malam ini rombongan keluarga Abdullah Al-Ghifary terbang meninggalkan Bali. Semua orang harus kembali bekerja besok, setelah cuti seminggu penuh. Hanya tinggal Syarif dan Syafa yang masih tinggal di kediaman keluarga Musthofa Altaf. Mereka akan kembali ke Kalimantan besok siang.
"Kau ingin mampir dulu, atau langsung pulang?" tanya Syarif, ketika mobil mereka baru saja keluar dari tempat parkir bandara.Syarif memutuskan untuk menyetir, agar mereka memiliki waktu pribadi. Sehingga dapat mengutarakan isi hati tanpa takut terdengar oleh siapapun. Seperti ketika berada di rumah keluarga Musthofa Altaf selama dua hari terakhir."Pulang saja, kepalaku pusing," jawab Syafa sambil memijat pelipisnya.Ucapan ibu mertuanya tadi masih terus terngiang di kepalanya. Sesaat sebelum mereka masuk kedalam pesawat pribadi. Wanita itu membisikan sesuatu yang membuatnya merasa frustasi."Berikan kami bayi lucu dan sehat."Perkataan itu seilah terus berulang di benaknya. Membuat Syafa semakin tertekan dan kacau. Belum genap seminggu mereka menikah, tapi keluarga suaminya sudah mulai berulah. Bagaimana jika mereka tahu, bahwa selama ini dirinya dan Syarif, belum melakukan hubungan suami istri sama sekali."Apa kau sengaja mengundang, Ben. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Aku telah mengatakan semua padamu, tetapi selama ini kau seperti sengaja mempermainkanku," kata Syafa, menatap garang sang suami yang sedang fokus di balik kemudi."Abi yang mengundangnya," jawab Syarif singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di hadapannya.Syafa terdiam, dia berpikir sejenak. Mencoba mencerna jawaban yang diberikan suaminya.Memang masuk akal jika Ben diundang oleh ayah mertuanya, karena dia adalah salah satu dokter yang menangani tuan Rasyid."Lalu, apa alasanmu menerima perjodohan ini?" tanya Syafa lagi, seolah masih belum puas."Bukankah seharusnya sangat mudah untuk orang sepertimu memilih gadis lajang, yang jauh lebih cantik dan kaya dariku?"Sebenarnya Syafa masih merasa penasaran, dengan pria yang menikahinya itu.Sejak awal dia telah mengatakan semua dengan jujur. Namun, Syarif sama sekali tidak mengatakan apapun tentangnya. Gadis itu merasa tidak adil, jika hanya dirinya saja yang mengungkapkan masalahnya."Kenapa kau memilih gadis asing sepertiku?" Gadis itu masih terus mencoba."Padahal keluargamu bilang, kau sudah beberapa kali dijodohkan," sambungnya. "Aku sudah mengatakan semua padamu, sekarang giliranmu untuk jujur!"Syarif bergeming, dia hanya sekali melirik ke arah istrinya, yang tampak manis dengan wajah kesal dan penasaran itu.Pria tampan itu tersenyum tipis, dan kembali memfokuskan diri pada kemudi. Membiarkan Syafa bergulat dengan rasa ingin tahunya sendiri."Aku mau makan bakso," ucapnya tiba-tiba.Setelah berusaha untuk mengorek informasi, tetapi tidak membuahkan hasil, perutnya pun, jadi terasa lapar."Beberapa meter dari sini, ada warung bakso solo. Tepat di sebelah kanan rumah sakit Ibnu Sina. Kita makan di sana, aku lapar!" Syafa menyandarkan tubuhnya dan menghela nafas berat.Berbicara dengan Syarif, membuatnya seperti orang tolol. Pria itu seperti orang bisu, yang membuatnya semakin jengkel."Ayo!" Syarif menghentikan mobil tepat di parkiran sebelah kiri warung bakso yang dimaksud istrinya.Membuat Syafa lagi-lagi dibuat terkejut dengan kelakuan sang suami.Tadinya gadis itu mengira, suaminya tidak akan mau makan di tempat seperti itu. Nyatanya pria itu justru malah keluar dari mobil tanpa menunggunya."Kau?" Syafa duduk dengan ekspresi tak percaya, melihat suaminya itu dengan santai duduk di warung tersebut.Beberapa pengunjung memperhatikan mereka. Kedatangan Syarif dan Syafa sedikit menyita perhatian. Karena selain mobil mereka yang sangat mencolok, Syarif tampak begitu kontras berada diantara para pengunjung lain. Walaupun pria itu hanya memakai celana jeans dan kemeja biasa."Monggo, Mbak Syafa. Lama ndak pernah mampir. Sekalinya datang bawa suami baru. Selamat ya, Mbak," ucap pak Slamet, pemilik warung tersebut.Semua orang tentu sudah mendengar pernikahan putri dari pemilik rumah sakit Ibnu Sina, dengan putra kedua Al-Hassan Group.Sehingga hampir semua orang yang mengenal Syafa, tahu jika pria yang bersamanya itu adalah suaminya. Yang membuat heran beberapa orang di sana adalah, sang putra miliarder itu mau duduk dan makan bakso di pinggir jalan seperti saat ini."Sudah tidak lapar?" tanya Syarif ketika dia melihat istrinya hanya diam menatap bakso di hadapannya."Ini lezat, pantas kau menyukainya," kata pria itu lagi, sambil memakan baksonya dengan lahap.Sebenarnya Syafa sangat lapar, tetapi lagi-lagi selera makannya hilang, karena ulah suaminya itu.Sebenarnya niatnya tadi ingin membuat Syarif kesal, dengan mengajaknya makan di pinggir jalan. Dia pikir suaminya itu tidak akan pernah mau. Namun, sekali lagi usahanya untuk membuat pria itu marah dan membencinya, gagal.Syafa mendengus kesal, dan memakan baksonya dengan lahap.Dia merasa suaminya adalah orang yang sangat sulit ditebak. Pria yang membuat hidupnya kacau balau itu. Yang seolah bisa membaca semua pikiran dan rencananya.***"Ini?"Syafa mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia bahkan hampir tidak mempercayai penglihatan sendiri. Saat ini mereka baru saja tiba di mansion kediaman keluarga Abdullah Al-Ghifary.Sesuatu yang membuatnya kembali seperti dibodohi. Awalnya dia pikir mansion milik salah satu keluarga terkaya di Asia itu. Adalah sebuah rumah megah bergaya Eropa atau American classic, yang dipenuhi dengan berbagai fasilitas mewah.Namun, semua dugaannya tersebut salah. Dia bahkan berpikir, jika kekayaan mereka itu hanya sebuah gossip saja.Mobil mereka baru saja berhenti di depan sebuah pagar beton setinggi 3 meter, dengan gerbang besi berwarna hitam.Tidak terlihat bangunan tingkat, atau megah dari balik pagar tersebut. Karena itulah Syafa merasa agak aneh."Welcome home, semoga kau menyukai rumah keluarga kami," kata Syarif sambil menekan tombol remot, yang tergantung bersama kunci mobilnya.Gerbang besi bercat hitam itu terbuka, menyajikan sebuah pemandangan yang lagi-lagi membuat Syafa merasa terkecoh. Jika dari luar pagar tempat ini tampak biasa saja.Dari dalam berbeda lagi kenyataannya. Syafa seperti masuk kedalam dimensi waktu yang berbeda.Mobil mereka berjalan perlahan memasuki sebuah jalan berbatu, yang kanan kirinya ditumbuhi pepohonan dan bunga perdu yang cantik.Bahkan ada kolam ikan dan sungai buatan, yang mengalir di sepanjang jalan tersebut.Sekitar 500 meter masuk kedalam, mobil mereka berbelok ke arah kiri. Syarif memarkir range Rover putih miliknya, bersama deretan mobil lain yang hampir 80% nya adalah jenis super car.Tempat parkir itu seperti lapangan berlantai keramik khusus carport, dengan atap kanopi yang kokoh.Ada sekitar 7 super car, termasuk mobil suaminya, dan beberapa mobil jenis minibus serta sedan. Total ada sekitar 12 mobil disana."Ayo, semuanya sudah menunggu kita," kata Syarif, menyadarkan Syafa dari kekagumannya.Gadis itu seperti orang linglung. Dia kembali merasa dipermainkan oleh keadaan. Jika tadi dia menganggap mansion ini terlalu sederhana, dan bahkan mengira kekayaan suaminya hanya gosip.Sekarang dia dibuat bergidik ngeri dengan apa yang terlihat sesungguhnya.Ini bukan mansion, tapi ini seperti miniatur pedesaan. Mulai dari jalannya, taman yang mengelilinginya, sampai pada bangunan yang ada di sana.Memang bukan rumah megah bergaya Eropa yang mewah. Tetapi sebuah rumah kayu bergaya Jawa tradisional, lengkap dengan berbagai ukiran-nya. Dan hampir 80% semua terbuat dari kayu jati dan kayu ulin kualitas terbaik. Syafa semakin dibuat penasaran oleh keluarga suaminya."Selamat datang di rumah, Nak." Suara lembut menyapa mereka, ketika menapaki tangga teras, dengan bentuk joglo yang luas.Bangunan depan rumah ini, seperti pendopo dalam film kolosal Jawa yang pernah dilihat Syafa. "Bagaimana perjalanan kalian? Pasti melelahkan." Ny. Annisa memeluk menantu dan putranya, secara bergantian."Sebaiknya kalian istirahat dulu, selepas sholat Isyak nanti, kita makan malam bersama." Suara serak dan dalam dari tuan Rasyid, membuyarkan lamunan Syafa, yang tengah mengagumi rumah keluarga suaminya."Ayo, Nak. Kita masuk dan istirahat," ajak Ny. Annisa. Saat masuk kedalam rumah, Syafa semakin dibuat takjub dengan arsitekturnya.Jika diluar dia melihat dekorasi Jawa kuno yang kental, dengan keasrian pedesaan yang mempesona.Di dalam sana, Syafa melihat desain interior bergaya Mediteranian yang hangat dan nyaman. Dengan perabot dan pernak-pernik di setiap sudutnya.Sungguh, masuk kedalam rumah ini, seperti terlempar ke dalam beberapa cultur yang berbeda.Syafa menyukai setiap detail ormanen dan furniture di rumah mertuanya ini. Semuanya seperti menggambarkan pribadi pemiliknya. Keluarga Abdullah Al-Ghifary yang tampak sederhana di luar, tetapi begitu mewah dan menakjubkan di dalam.Sayangnya, rasa kagum dan kesukaannya pada rumah itu berakhir, ketika mereka berdua tiba di dalam kamar. Syarif mengunci pintu sesaat setelah mereka masuk, dan duduk di sofa.Membuat degup jantung Syafa berdetak begitu cepat. Dia tidak berani melihat suaminya, dan memilih untuk mengambil baju ganti dari koper. Segera masuk kedalam kamar mandi dan mengunci dirinya di sana.Segala sesuatu tentang mansion milik keluarga suaminya, telah membuatnya lupa dan hampir terbuai.Sekarang tidak ada lagi yang bisa menolongnya, selain Allah. Kenyataan apakah Syarif akan meminta haknya sebagai suami malam ini, atau tidak. Membuat Syafa seperti ikan di daratan, hati dan jiwanya bergejolak tak tenang.Tok tok tokSuara ketukan dari luar pintu kamar mandi, membuat Syafa terlonjak kaget. Tubuhnya mulai bergetar, memikirkan apa yang mungkin terjadi setelah ini."Ya Allah, tolong selamatkan aku," gumam Syafa lirih, gadis itu hampir menangis karena ketakutan.Jika di rumahnya sendiri, dia masih mungkin menghindar. Namun, sekarang, siapa yang bisa menolongnya dari cengkeraman pria bermata hitam tajam itu?"Syafa?" Suara Syarif terdengar mengerikan di telinga gadis itu.Tok tok tokKembali ketukan terdengar, dan membuat Syafa semakin gemetaran. ###"Apa kau baik-baik saja?" tanya Syarif dari balik pintu.Pria itu sejak tadi menunggu istrinya keluar dari kamar mandi.Namun, sudah hampir satu jam, Syafa belum juga keluar. Sehingga membuat Syarif merasa sedikit khawatir, karena tidak biasanya Syafa berlama-lama di kamar mandi."A-aku baik," ucap Syafa gugup."Apa kau masih lama? Aku butuh ke kamar mandi," kata Syarif lagi, setelah yakin istrinya memang baik-baik saja."Sebentar." Syafa kembali berteriak dari dalam.Dia segera menyelesaikan ritual mandinya, dan buru-buru berpakaian.Setelah lima belas menit, gadis itu keluar dengan hanya memakai dress selutut berlengan pendek.Sebenarnya Syafa tidak ingin memakai baju itu, tetapi tadi dia terlalu buru-buru mengambil baju ganti, sehingga tidak teliti.Syarif menatap istrinya, pria itu selalu merasakan getaran aneh tiap kali melihat Syafa tanpa hijab. Sesuatu yang selalu membuat hati dan otaknya sulit untuk dikendalikan.Syarif segera masuk ke kamar mandi, untuk menutupi kegugupannya
"Kita berangkat lusa," kata Syarif sambil memberikan amplop coklat pada istrinya.Malam itu seperti biasa setelah sholat Isyak berjamaah di kamar, mereka duduk sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.Syafa membuka amplop tersebut, yang ternyata berisi visa Schengen untuknya.Syafa sedikit terkejut, karena Syarif bisa mengurus semua ini dengan sangat cepat. Tidak sampai dua hari. Padahal biasanya akan butuh waktu lama untuk seseorang bisa mendapatkan bisa visa tersebut."Ternyata memang benar, uang bisa melancarkan segalanya," ucap Syafa dengan senyum sarkas. "Terima kasih," lanjutnya.Syarif tidak tertarik untuk menjawab perkataan istrinya. Dia hanya fokus di depan laptop, sambil sesekali melihat ponsel. Pria itu tidak akan pernah beralih fokus, ketika sedang bekerja.Sementara Syafa, segera menyimpan mengambil koper besar miliknya, dan bersiap mengepak berbagai barang keperluannya sendiri. Karena Syarif sudah seminggu lebih menyiapkan keperluannya. Syafa memang pernah berkunjung k
Pria itu semakin menarik dagu istrinya mendekat, sampai kedua bibir mereka saling bersentuhan. Tok tok tok,"Tuan Rasyid memanggil anda ke ruang kerjanya sekarang, Tuan,"ucap seseorang yang berada dibalik pintu.Sebuah pesan yang bagaikan malaikat penolong untuk Syafa. Karena setelah mendengar pesan tersebut, Syarif langsung melepaskan cengkeramannya. Pria itu segera berjalan keluar kamar."Alhamdulillah, Ya Allah," gumam Syafa dengan perasaan sangat lega.Dengan gemetaran gafus itu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sangat lemas, dengan detak jantung yang tak beraturan. ***Hujan deras mengguyur kota Balikpapan sore ini. Suasana sedikit suram dan dingin. Syarif berdiri menatap keluar, dari balik jendela kaca besar ruang kerjanya. Pria itu baru saja selesai meeting dengan dewan direksi.Pertemuan yang membahas kerja sama yang akan mereka lakukan dengan pihak Swiss dan Austria. Besok pagi dia, Syafa dan beberapa orang tim dari Al-Hassan Energi & Batubara
"Oslo Gardermoen Airport," gumam Syafa ketika pesawat mereka memasuki area bandara."Kita tidak pulang?" tanya Syafa menatap suaminya."Kau ingin melihat Aurora, 'kan?" Syarif tersenyum menjawab pertanyaan istrinya.Sedangkan Syafa kembali menatap ke bawah. Melihat kesibukan yang berada di area bandara terbesar dan tersibuk di Norwegia tersebut."Dia menganggap ocehanku serius," bisik Syafa dalam hati.Gadis itu sudah curiga ada yang tidak beres, ketika masuk pesawat tadi pagi. Tim Al-Hassan yang berangkat bersama mereka, tidak ada dalam jet milik keluarga suaminya tersebut. Mereka hanya berdua, selain crew dan pilot pesawat."Kita hanya transit selama empat jam, untuk mengisi Avtur dan makan siang." Syarif seolah menjawab rasa penasaran Syafa. "Setelah itu kita langsung menuju Tromso-Langnes Airport," lanjutnya.Syafa hanya diam dan mendengarkan.Tetapi dalam hati gagus itu bersorak gembira, karena akan segera melihat Aurora. Sesuatu yang sejak lama dia inginkan. Syafa hanya terlalu
Lima hari berada di Tromso, Syafa seolah melupakan segala kegalauan dan kesedihannya. Sepanjang waktu dia begitu bersemangat berburu Aurora. Dengan mobil khusus yang di sewa Syarif. Mereka berkeliling desa, mencari spot-spot terbaik untuk menyaksikan keindahan Aurora. Gadis itu mengabadikan hampir setiap momen yang dia lalui di tempat itu. Sementara Syarif hanya tersenyum, memperhatikan dan menuruti semua keinginan istrinya. Karena setiap tour guide mereka bilang ada tempat bagus, Syafa langsung meminta untuk mengunjungi tempat itu. Suhu minus 25 derajat lebih, seolah tidak dihiraukannya. Dagis itu kedinginan, tetapi dia enggan kembali pulang ke cottage, sebelum puas.Sore itu cuaca tampak cukup cerah, sehingga Syafa mengajak Syarif pergi berdua tanpa tour guide. Niat awal mereka hanya untuk jalan-jalan di sekitar cottage dan memotret Aurora. Beberapa orang pengunjung juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati setiap momen di tempat itu. Sampai terdengar sirine tanda bahaya
Syafa perlahan membuka mata, tubuhnya masih terasa sakit dan kaku. Rasa dingin yang menyiksa sudah tidak terlalu ia rasakan, walau belum hilang sama sekali. Gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum benar-benar bisa melihat keadaan di sekitarnya. "Ya Allah," ucap Syafa pelan ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Dokter muda itu, sudah tidak ada di cottage mereka. Ruangan hangat dan nyaman itu terasa asing baginya. Perlahan Syafa mencoba duduk dan memperhatikan semuanya lebih jelas lagi. Hal pertama yang dia rasakan adalah nyeri di bagian tubuh bawahnya. Kemudian nyeri di tangan kirinya yang terpasang selang infus. "Rumah sakit?" guman gadis itu pelan, ketika telah seratus persen sadar dimana dirinya saat ini. Manik mata birunya memindai seluruh ruangan. Sampai pandangannya berhenti pada sosok sang suami, yang tengah terlelap di sofa panjang tepat di samping tempat tidurnya. Syafa yang kembali merasakan nyeri dan tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya. Mencoba untuk kemba
"Kalian yakin akan pindah ke Bali? Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nak?" Tuan Rasyid menatap putra keduanya dengan lekat. Baru saja satu hari mereka pulang dari Eropa, tetapi putranya sudah mengutarakan niat untuk pindah rumah. "Umar dan Amira dulu tinggal di sini selama dua tahun, sebelum memutuskan tinggal sendiri," ucap Ny. Annisa dengan wajah sedih. "Sekarang, kalian bahkan belum sampai dua bulan," lanjutnya. Syarif terdiam, pria itu tahu orang tuanya kecewa. Mereka sangat mengharapkan cucu pertama mereka lahir di mansion keluarga, sebelum memutuskan hidup mandiri. Namun, dia telah berjanji pada Syafa, dan itu tidak bisa dibatalkan. "Syafa baru saja mengalami hal buruk, Ummi, Abi." Syarif akhirnya mengeluarkan suara, setelah beberapa saat diam mendengarkan pendapat orang tuanya. Mereka berbicara di ruang kerja sang ayah setelah makan malam tadi. Syarif tahu istrinya sedang tidak baik-baik saja. Sehingga sang CEO tidak sampai hati untuk menunda keinginan istrinya. "Dia hampir k
"Syarif Abdullah, sungguh kebetulan yang menyenangkan." Wanita berwajah Arab itu, tersenyum menatap sang CEO. Sementara Syarif tampak acuh dan tidak berniat berbicara dengan wanita tersebut. "Aku dengar kau akhirnya menikah," ucapnya tersenyum, sambil melirik sekilas ke arah Syafa yang sedang duduk diam di kursi kelas bisnis, di samping Syarif."Jadi ini, seleramu?" Pandangan Syarif yang awalnya acuh, mendadak menajam saat mendengar ucapan wanita tersebut. Sang CEO tidak menyukai cara wanita itu meremehkan istrinya. Wanita yang beberapa tahun lalu, dia tolak dalam sebuah rencana perjodohan keluarga. "Aku pikir, kau memiliki selera yang sedikit lebih baik dariku. Ternyata,..." wanita bernama Almeera Hasyim itu, kembali melirik Syafa dengan senyum meremehkan. Dalam hati wanita cantik dengan bibir sensual itu merasa, level Syafa masih jauh dibawah dirinya.Sementara Syafa sama sekali tidak tertarik dengan wanita berparas cantik tersebut. Ia hanya mendengarkan sambil menyamankan pos
"Ummi tidak ingin mencampuri masalah kalian, Nak. Tapi Ummi sedih melihat kalian berdua seperti berseberangan." Ny. Annisa akhirnya tidak dapat menahan lagi. Wanita berwajah kalem dan ramah itu, merasa hubungan putranya dan sng istri sudah dalam taraf yang harus di selesaikan segera. Sebagai seorang ibu sekaligus wanita, yang telah memakan asam garam kehidupan. Sang istri miliarder berdarah arab tersebut, dapat denga jelas melihat kejanggalan dalam pernikahan putra keduanya. "Ummi tidak ingin melihat kalian menderita, terlebih Syafa yang saatbini tengah mengandung anak kalian. Dia butuh ketenangan dan kenyamanan selama menjalani kehamilan ini," kata Ny. Annisa dengan lembut. Meskipun Syarif adalah putra kandungnya, diamtetap tidak ingin terlalu kuat campur. "Ummi hanya ingin membantu, mungkin dengan kau menceritakan semua dengan jujur. Ummi bisa memberikan saran," lanjutnya, sambil mengelus lengan Syarif. Setelah beberapa hari tinggal dan mengurusi bisnis di Balikpapan, Ny. Annis
Steven menatap pria yang berdiri dan memegang tangannya dengan pandangan tidak suka. Sementara Syafa menatap orang yang sama dengan keterkejutan yang tidak dapat ia sembunyikan. Dia sama sekali tidak mengira jika suaminya kini berdiri dihadapannya, memegang tangan teman masa lalunya dengan sorot mata tajam. Jelas terlihat Jika sang CEO tidak menyukai pria berwajah blasteran tersebut. "Mas, Syarif?" gumam Syafa pelan dengan suara tercekat. Syarif melepaskan genggaman tangannya pada Steven dan menatap Syafa dengan sorot intimidasi yang menakutkan. Syafa tahu suaminya sedang tidak senang. "Kau mengenal pria ini?" tanya Steven menatap Syafa yang masih tercengang di tempatnya. Dalam hati Syafa sedang bingung dan takut. Dia takut Syarif akan salah paham padanya, dan bingung bagaimana cara menjelaskan tentang semua ini. Syafa juga masih belum bisa mengerti, bagaimana suaminya bisa berada di tempat itu. Biasanya Syarif akan pulang dari kantornya, sekitar jam 8-9 malam. Kecuali memang
"Mau kemana?" tanya Syafa saat Syarif mengemasi pakaiannya ke dalam koper. "Aku akan ke Kalimantan besok pagi, ada beberapa pekerjaan yangnharus aku sendiri yang menangani." jawab Syarif "Berapa lama?""Mungkin tiga atau empat hari. Karena akuningin melihat tambang barunkami di muaralawa. Setelah itu menghadiri pernikahan putri rekan bisnis Abi di sana." Syarif mengatakan semuanitu tanpa melihat istrinya. Diamgokus mengemas dan menyiapkan emua barang yang dia butuhkan selama berada di tanah kelahirannya itu. "Aku menyimpan vitaminmu di laci, jangan lupa meminumnya stelah sarapan dan sebelum tidur. Mbok Minah dan mbak arus sudah aku berikan jadwal makananmu selama seminggu, sesuai yang dianjurkan dokter Anna." Syarif,enutuo kopernya dan menatap sang istri. "Tolong jaga diri baik-baik selama akuntidak di rumah, jangan berpikir untuk menyakiti anak-anak," kata Syarif pelan tetapi penuh penekanan. Entah kenapa setelah kejadian Syafa menyembunyikan kehamilannya waktunitu, membuat Sya
Stella dan dokter Anna yang kebetulan belum sampai keluar dari rumah mereka, segera berlari dan menghampiri Syafa. Saat mendengar teriakkan Syarif. Dua dokter rekan kerja Syafa tersebut, segera mengikuti langkah sang CEO menuju kamar mereka d lantai atas untuk memeriksa kondisi Syafa. Seluruh keluarga tampak panik, Ny. Annisa dan Ny. Fatima, dan Amira, segera ikut ke kamar sementara para lelaki tetap di bawah untuk menemani para tamu yang sedang berpamitan untuk pulang. Semua orang terlihat khawatir, tetapi mereka yakin Syafa dan kedua bayinya baik-baik saja. "Bagaimana dokter?" tanya Syarif setelah dokter Anna selesai memeriksa.Untung saja anggota dokter masih membawa peralatannya di tas. Karena mereka berangkat langsung setelah tugas dari rumah sakit. "Tekanan darahnya naik. Saya belum bisa memastikan, tetapi Syafa sepertinya sedang kelelahan dan stres. Dia butuh istirahat saat ini," kata dokter Anna menjelaskan. Sementara Syafa perlahan membuka mata ketika beberapa saat sang
Seluruh keluarga besar Syarif dan Syafa hadir dalam acara syukuran kehamilan Syafa. Semua rekan bisnis dan juga teman-teman mereka juga di undang semua. Rumah bergaya klasik modern, dengan halaman luas tersebut penuh dengan kebahagiaan dan kehangatan. Terlebih saat mengumumkan jika Syafa sedang mengandung bayi kembar. Rona bahagia tidak dapat ditutupi oleh semua anggota keluarga. Membuat Syafa merasa cukup kesulitan untuk menampakkan ekspresi bahagia, ditengah kegundahan dan kegalauan yang dirasakannya. "Aku tidak menyangka kalian akan memiliki bayi kembar," kata Almeera, menghampiri Syarif dan Syafa yang sedang duduk. "Selamat, Rif. Semoga kehamilan dan persalinannya nanti lancar." Almeera tersenyum, meskipun dalam hatinya tidak terlalu senang. "Bagaimana dengan permintaan tolongku? Apa kau sudah mempertimbangkannya?" Almeera tidak ngin menyia-nyiakan peluang untuk meminta pertolongan Syarif. Minggu depan sidang pertama hak asuh anaknya, akan segera di gelar. Karena mantan suam
Syarif dan Syafa masih duduk termenung di tempatnya. Dua buah kelapa muda dan beberapa camilan de meja terlihat utuh tak tersentuh. Mereka saling berhadapan tetapi seperti berada dalam dimensi yang berbeda. Sesekali hanya terdengar suara Isak tangis Syafa yang membelah keheningan. Suasana kafe pagi itu belum terlalu rame, sehingga hanya mereka berdua yang saat ini mengisi meja di bagian outdoor resort tersebut. "Aku sudah memutuskan," kata Syarif beberapa saat setelah memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan saat ini. Syafa mengangkat kepala dan menatap sang suami dengan perasaan cemas. "Karena kau telah memutuskan sesuatu tanpa berunding denganku sebelumya. Aku juga akan memutuskan semuanya secara sepihak." Deg, Belum reda semua kekalutan di hatinya, Syafa kembali diterpa gelombang rasa takut dan kepanikan, mendengar ucapan Syarif barusan. "Setelah anak-anak lahir, dan kau selesai masa nifas. Aku akan menceraikanmu. Sesuai perjanjian kita, hak asuh anak-anak berada pada
Syafa mencoba untuk memaksa turun dari gendongan Syarif. Tetapi pria itu seolah memiliki kekuatan berlebih, yang bisa dengan mudah mencengkeram tubuh Syafa dipelukannya. Sekuat apapun Syafa mencoba lepas, tenaganya tidak akan dapat menyamai sang CEO. "Ya Allah tolong beri jalan keluar terbaik," bisik hati Syafa. Wanita berdarah Turki-Bali itu akhirnya menyerah. Dia lebih memilih untuk memejamkan mata, agar tidak melihat orang orang disekitarnya yang tentu saja memperhatikan mereka. Hampir semua orang yang berada di tempat itu menoleh ke arah mereka berdua. "Tuan Syarif Abdullah?" tanya seorang perawat yang berada di depan poli kandungan, ketika melihat mereka berhenti di hadapannya.Syarif hanya menjawab dengan anggukan kecil. "Silahkan tunggu sebentar, setelah pasien di dalam selesai diperiksa, anda bisa langsung masuk." Perawat berseragam pink itu tersenyum ramah. Sementara Syafa masih tidak ingin membuka matanya, dia merasa sangat malu dengan posisi mereka. "Turunkan aku, a
Syarif berjalan ke arah Syafa dan berhenti tepat di hadapan sang istri, dengan tatapan mata tajam yang mengintimidasi. "Bayi kembar?" ucapnya dengan pelan, tetapi penuh penekanan. "Jadi selama ini kau menyembunyikan fakta itu dariku? Kita akan memiliki bayi kembar dan kau tidak mengatakan apapun padaku?" Wajah Syarif berubah geram, dia mencengkeram kedua lengan istrinya sambil terus menatap dengan sorot emosi.Sungguh pria berdarah Arab-Jawa itu tidak mengira, jka Syafa bisa melakukan hal sejauh itu padanya. Selama ini Syarif mencoba untuk memahami dan mengerti posisi Syafa dengan segala perasaan bencinya. Dia selalu berusaha agar tidak menyinggung atau menyakiti hati wanita yang sangat ia cintai tersebut. Tetapi kali ini Syarif merasa sangat terkejut, sekaligus merasa sakit hati. Bagaimana mungkin Syafa menyembunyikan sesuatu yang begitu penting darinya. "Inikah alasan kenapa kau tidak pernah mau aku temani setiap kali periksa kandungan?" Syarif tersenyum sarkas. "Apa sebenarnya
"Menantuku sedang mengandung, Almeera," kata Ny Annisa sambil tersenyum bahagia. Sebuah senyuman yang terasa seperti tamparan keras bagi Almeera. Dia sama sekali tidak menyangka jika Syafa akan hamil secepat ini. Padahal wanita itu sangat yakin jika hubungan Syafa dengan Syarif, terlihat bukan seperti dua orang yang saling mencintai.Almeera bahkan sangat yakin, jika wanita 26 tahun itu tidak menginginkan Syarif. "Lalu kenapa dia mau mengandung anak Syarif?" tanya Almeera dalam hati. Meskipun merasa tidak senang dengan kabar tersebut, Almeera berusaha terlihat biasa saja."Selamat, Tante Annisa. Selamat untuk kalian semua," kata Almeera dengan senyum yang tampak canggung. Meskipun demikian tidak banyak dari mereka yang menyadari hal itu. "Datanglah ke rumah Syarif besok lusa, kami akan mengadakan acara syukuran. Ini anak pertama Syarif dan Syafa. Mereka butuh banyak doa dan dukungan." Ny. Annisa kembali tersenyum dengan tulus. Mengundang wanita yang dulu hampir menjadi menantuny