Bintang melepaskan rangkulannya pada Ocin. Kini dia berdiri di samping Ocin. Jari telunjuknya mengorek telinganya kemudian berkata, "Gue tak salah dengar, nih?! Lu berani membantah perintah gue?!"
Detak jantung Ocin semakin cepat. Kedua kakinya juga merasa gemetaran. Sedang si anak yang memakai gelang cokelat tiba-tiba tersenyum mendengar ucapan Ocin. Namun dia tetap lanjut membaca bukunya dan berusaha untuk tidak ikut campur urusan orang."Aku tidak akan..."Bugg!! Belum sempat Ocin menyelesaikan kalimatnya, dia sudah mendapatkan hadiah pukulan dari Bintang di wajahnya. Saking kerasnya pukulan tersebut, berhasil membuat Ocin jatuh ke belakang beserta kursinya. Sontak hal itu menyita perhatian semua siswa yang masih di kelas. Sebagian hanya curi-curi pandang karena penasaran, sebagian lagi tak acuh dan menganggap tidak terjadi apa-apa."Sial! Masih pagi lu sudah buat gue marah saja!" bentak Bintang."Haha berani sekali dia membantah lu, Tang! Apa mungkin otaknya sudah miring?" ejek Toni."Entahlah, mungkin gue terlalu lembut padanya," ujar Bintang tanpa menoleh sedikit pun ke arah Toni. Matanya semakin membara saat melihat tubuh gemuk Ocin mulai bangkit dan kini berdiri tegap di hadapannya."Wah wah... sepertinya dia nantangin lu,Tang!" tangkas Satrio yang kini duduk di atas meja depan meja Ocin.Bintang menoleh ke sekeliling kelas untuk memastikan keadaan. Meski sebenarnya dia sudah tahu tidak akan ada yang berani menolong Ocin dan melaporkan perbuatannya. Siswa lain yang tadi melihat perbuatan Bintang segera berpura-pura tidak melihatnya. Tanpa membuang kesempatan lagi, Ocin langsung menyerang Bintang saat dia sedang lengah. Ocin layangkan tinju kanannya ke dagu Bintang. Bintang yang terlalu tinggi untuk Ocin membuatnya tidak bisa mengincar muka secara langsung . Namun sayang, gerakan Ocin terlalu lambat dan Bintang segera menyadarinya. Pukulan Ocin dapat dipatahkan dengan mudah oleh Bintang. Bintang memegang tangan kanan Ocin dengan tangan kirinya."Lu mau pukul gue , ya? Sini biar gue ajarkan ca..."Whusshh! Ocin kembali melayangkan tinjunya menggunakan tangan kiri tanpa peduli ucapan Bintang. Keberuntungannya sudah cukup sampai di situ. Pukulan kedua Ocin pun dapat dihindari oleh Bintang."Jangan memotong orang yang lagi ngomong, Dasar Bodoh!" bentak Bintang lantas segera memukul Ocin balik. Setelah menerima pukulan Bintang, Ocin melepaskan tangan kanannya dari tangan Bintang. Napas Ocin sudah mulai tak karuan. Kali ini dia hanya merasakan sedikit rasa sakit dari pukulan yang diterimanya."Sial! Aku memang tidak bisa berkelahi!" batin Ocin merutuki dirinya sendiri."Begitulah cara memukul yang benar. Bukan begitu, Ton, Sat?" ujar Bintang masih menoleh ke belakangnya."Ya, benar! Lu cari mati ya Cin berani melawan Bintang! Haha," timpal Toni.Satrio hanya menyeringai. Bintang kembali menatap jijik pada Ocin."Selanjutnya, seperti inilah cara menendang!" lanjut Bintang kemudian mengangkat dan mengarahkan kaki kanannya itu pada Ocin.Ocin sudah tahu apa yang akan Bintang lakukan. Dengan cepat Ocin membentengi tubuhnya dengan kedua tangan. Tanpa basa basi lagi Bintang menendang Ocin dengan keras. Tubuh gemuk Ocin terdorong beberapa senti ke belakang. Kedua tangannya merasa sakit karena tendangan Bintang.Bintang yang masih belum puas dan termakan emosi yang membara, tanpa membuang waktu lagi melangkah maju dan memukuli Ocin dengan penuh berangasan."Ah.. lu memang pantas mendapatkan pukulan-pukulan ini!" kata Bintang.Kedua tangannya tanpa henti memukul ke setiap penjuru tubuh Ocin sampai Ocin terpojok ke tembok belakang kelas."Sudah kuduga. Aku memang tidak akan mungkin bisa menang melawan Bintang. Hidupku tidak berguna! Mati pun aku tidak masalah sekarang!" pikir Ocin.Beberapa saat setelah Ocin berpikiran seperti itu, dia kembali teringat akan kakeknya. Tak jadi menyerah dengan keadaan, satu hal yang bisa Ocin lakukan di saat seperti itu, yakni melindungi diri dengan kedua tangannya. Luka-luka yang diterimanya kemarin saja masih belum sembuh sepenuhnya, kini dia dihadapkan dengan kejadian yang serupa namun berbeda waktu, tempat, dan suasana.Bintang masih saja membabi buta memukuli Ocin bak orang kesurupan. Hingga seorang siswi berteriak karena tak sengaja melihat kejadian itu saat baru masuk kelas, Bintang tetap saja melampiaskan kekesalannya itu. Ketua kelas dan siswa yang lain tak berani melerai mereka berdua.Sampai ketika Bintang melayangkan pukulannya yang entah ke berapa kalinya, tiba-tiba seseorang dari belakang mencekal tangan Bintang dan otomatis menghentikan pukulannya.“Sudah cukup, Tang! Hentikan perbuatan kekanak-kanakanmu ini,” ucap orang tersebut.Bintang menoleh ke belakang guna ingin tahu siapa orang yang berani mengganggu urusannya. Tangannya masih dipegang erat oleh orang itu. Setelah tahu siapa gerangan, dengan cepat Bintang melepaskan tangannya.“Kenapa lu ikut campur, Joe? Ini urusan gue, tahu.”Orang bergelang cokelat di tangan kiri yang tadi menghentikan pukulan Bintang ternyata adalah siswa yang duduk dua bangku di depan bangku Ocin. Orang yang sedari tadi masih asyik sendiri dengan bukunya, kini datang melerai perkelahian di kelasnya. Toni dan Satrio hanya mematung melihat kejadian itu. Mereka berdua tak berani menyerang Joe.Joe menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil cengar-cengir. Dia terkenal sebagai murid yang dingin dan pendiam di kelas. Namun siswa yang bernama lengkap Joe Grambell itu juga terkenal sangat cerdas dan menduduki peringkat 1 di semester 1 kemarin.“Yah... sebenarnya tadi aku juga tidak ingin ikut campur urusanmu, Tang. Namun sepertinya kau yang terlebih dahulu mengganggu waktu membacaku,” jawab Joe dengan tenang namun mengintimidasi.Ocin yang masih terkapar di lantai melonggarkan pertahanannya dan melihat siapa gerangan orang yang membelanya.“Hah?! Lu berani juga ya, Joe.” Bintang balik menampakkan muka sangarnya. Joe hanya tersenyum tipis menanggapi itu.“Pergilah sebelum guru datang. Aku ingatkan kau jangan sampai lupa kedudukanmu,” ujar Joe.“Cih!”Bintang geram dikala dia harus mengingat itu. Emosi yang kini rasakan dibendungnya sekuat tenaga. Sesaat kemudian dia berlalu keluar kelas bersama Toni dan Satrio.Joe kembali duduk di tempatnya semula, membuka kembali bukunya, dan melanjutkan bacaannya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Ocin. Ocin sendiri bangkit dan segera menghampiri tempat duduk Joe.“Joe, terima kasih karena telah menolongku,” ucap Ocin tergagap-gagap.“Emmm,” Joe masih saja fokus pada bukunya.“Aku mungkin berhutang budi padamu, Joe. Sekali lagi terima kasih banyak.”Joe meletakkan bukunya, melirik ke arah Ocin berada. Banyak luka yang hampir memenuhi wajah Ocin.“Tak masalah. Kau bersihkanlah wajahmu dulu sebelum mengikuti pelajaran selanjutnya,” saran Joe.“Oh benar juga!” Ocin pun segera menuju toilet guna mengikuti saran Joe.Bel berbunyi lagi pertanda jam istirahat selesai dan berganti dengan jam pelajaran selanjutnya. Ocin akhirnya bisa tenang mengikuti pelajaran sampai selesai sedang Bintang dan 2 temannya nongkrong di warung tempatnya biasa.“Sialan! Sepertinya dia harus gue beri pelajaran juga!” geram Bintang.Di sebuah warung yang biasa digunakan untuk membolos oleh trio kopet, Bintang yang masih geram karena ulah Ocin dan Joe sesekali memukul meja dan menggenggam erat gelas miliknya. Toni dan Satrio yang duduk di depannya juga kena semprot kekesalan Bintang."Kalian berdua juga! Kenapa enggak bantu gue buat cegah si Joe itu biar enggak ikut campur?! Misal memeganginya atau pun memukulnya! Kalian berdua cuma diam saja!" tanya Bintang dengan sorot mata tajam.Toni dan Satrio sedikit merasa takut dengan mode murka Bintang."Ya.. lu pun tahu sendiri dia anak siapa, kan? Mana mungkin kami berdua berani melakukan hal tersebut. Gila si!" jawab Satrio."Betul, Tang. Apa lu serius mau memberinya pelajaran juga? Lu tahu kan risikonya?" tanya Toni yang kemudian menyeruput minumannya."Sial! Kalo saja dia bukan anak pemilik sekolah ini," pikir Bintang.Hanya beberapa siswa saja yang mengetahui bahwa Joe Grambell adalah anak Pak Grambellion Tero, pemilik SMA Atsaw
"Pena milik siapa ini?" tanya Ocin seraya mengambil pena yang tergeletak di meja belajarnya. Diamatinya baik-baik pena berwarna kuning keemasan dan hitam yang seimbang itu. Bentuk penanya pun agak antik dan berbeda dengan pena jaman sekarang. Yang lebih aneh lagi, Ocin tidak bisa membuka pena tersebut untuk mengetahui isinya masih atau belum.Ocin yang penasaran segera menuju ruang makan untuk menanyakan perihal pena yang ditemukannya pada kakeknya. Namun di ruang makan pun kakek Darto tidak ada."Kek, kakek di mana?! Sudah berangkat jualan sayur, ya?!" teriak Ocin sembari keliling ruangan."Kakek itu rajin sekali. Se pagi ini sudah jualan sayur. Ah, mungkin saja pena ini pemberian kakek untukku. Lebih baik aku bawa saja ke sekolah untuk cadangan," pikir Ocin.Ocin segera bersiap berangkat sekolah. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.52 WIB. Buru-buru dia mengenakan seragam, menyantap sarapan yang ada, memakai sepatu, lantas merangkul tas dan
Bughh!! Bugh!!Pukulan demi pukulan dari kepalan tangan seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam sekolah di gang sempit belakang warung berhasil membuat suasana yang tadinya sunyi kini menjadi sedikit ramai. Dua orang temannya yang berdiri di sampingnya hanya melihatnya sembari tertawa. Sedang si korban yang tengah dipukuli itu merintih kesakitan yang sekarang dia rasakan di sekujur tubuhnya. Diketahui mereka berempat adalah siswa dari salah satu SMA swasta di Jakarta Selatan yang bernama SMA Atsaws."Hey, Ocin! Minta maaflah karena lu sudah salah beli merek rokok yang sudah gue pesankan sebelumnya!" bentak lelaki yang sedari tadi memukuli siswa itu. Dia berhenti sejenak setelah beberapa menit berlalu."Dasar bodoh!! Bintang menyuruh lu buat beli rokok itu, lu malah beli yang lain!" cemooh Toni, salah satu dari teman Bintang.Satu lagi teman Bintang yang berada di situ pun hanya tertawa lantang. Dia lantas menghampiri Ocin yang baru saja bisa menarik napa
Ocin dan kakek Darto bukan termasuk orang kaya dan bukan pula orang miskin. Sebuah rumah yang meski ukurannya kecil dan sederhana itu menjadi pertanda kakek dan cucu tersebut hidup dengan layak. Hanya dengan penghasilan yang diperoleh dari jualan sayur dan tabungan Kakek Darto rupanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.Ocin melangkahkan kaki menuju kamarnya setelah membereskan piring dan segala macamnya. Tak langsung tidur, Ocin memilih belajar beberapa menit. Pasalnya, selain sering dipukuli oleh trio kopet, Ocin juga sering bolos karena diajak tiga orang itu. Mau tak mau Ocin menurut saja demi tidak dipukuli di hari itu. Karena hal itulah Ocin sering ketinggalan pelajaran di kelas.Setelah kiranya cukup dengan angka dan huruf yang ada di depan matanya, kantuk pun mulai bersarang. Ocin menguap dan melemaskan tubuhnya. Ditutuplah buku pelajaran, namun Ocin tak segera merebahkan tubuhnya. Digantinya buku pelajaran itu dengan buku berwarna biru yang be
"Pena milik siapa ini?" tanya Ocin seraya mengambil pena yang tergeletak di meja belajarnya. Diamatinya baik-baik pena berwarna kuning keemasan dan hitam yang seimbang itu. Bentuk penanya pun agak antik dan berbeda dengan pena jaman sekarang. Yang lebih aneh lagi, Ocin tidak bisa membuka pena tersebut untuk mengetahui isinya masih atau belum.Ocin yang penasaran segera menuju ruang makan untuk menanyakan perihal pena yang ditemukannya pada kakeknya. Namun di ruang makan pun kakek Darto tidak ada."Kek, kakek di mana?! Sudah berangkat jualan sayur, ya?!" teriak Ocin sembari keliling ruangan."Kakek itu rajin sekali. Se pagi ini sudah jualan sayur. Ah, mungkin saja pena ini pemberian kakek untukku. Lebih baik aku bawa saja ke sekolah untuk cadangan," pikir Ocin.Ocin segera bersiap berangkat sekolah. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.52 WIB. Buru-buru dia mengenakan seragam, menyantap sarapan yang ada, memakai sepatu, lantas merangkul tas dan
Di sebuah warung yang biasa digunakan untuk membolos oleh trio kopet, Bintang yang masih geram karena ulah Ocin dan Joe sesekali memukul meja dan menggenggam erat gelas miliknya. Toni dan Satrio yang duduk di depannya juga kena semprot kekesalan Bintang."Kalian berdua juga! Kenapa enggak bantu gue buat cegah si Joe itu biar enggak ikut campur?! Misal memeganginya atau pun memukulnya! Kalian berdua cuma diam saja!" tanya Bintang dengan sorot mata tajam.Toni dan Satrio sedikit merasa takut dengan mode murka Bintang."Ya.. lu pun tahu sendiri dia anak siapa, kan? Mana mungkin kami berdua berani melakukan hal tersebut. Gila si!" jawab Satrio."Betul, Tang. Apa lu serius mau memberinya pelajaran juga? Lu tahu kan risikonya?" tanya Toni yang kemudian menyeruput minumannya."Sial! Kalo saja dia bukan anak pemilik sekolah ini," pikir Bintang.Hanya beberapa siswa saja yang mengetahui bahwa Joe Grambell adalah anak Pak Grambellion Tero, pemilik SMA Atsaw
Bintang melepaskan rangkulannya pada Ocin. Kini dia berdiri di samping Ocin. Jari telunjuknya mengorek telinganya kemudian berkata, "Gue tak salah dengar, nih?! Lu berani membantah perintah gue?!"Detak jantung Ocin semakin cepat. Kedua kakinya juga merasa gemetaran. Sedang si anak yang memakai gelang cokelat tiba-tiba tersenyum mendengar ucapan Ocin. Namun dia tetap lanjut membaca bukunya dan berusaha untuk tidak ikut campur urusan orang."Aku tidak akan..."Bugg!! Belum sempat Ocin menyelesaikan kalimatnya, dia sudah mendapatkan hadiah pukulan dari Bintang di wajahnya. Saking kerasnya pukulan tersebut, berhasil membuat Ocin jatuh ke belakang beserta kursinya. Sontak hal itu menyita perhatian semua siswa yang masih di kelas. Sebagian hanya curi-curi pandang karena penasaran, sebagian lagi tak acuh dan menganggap tidak terjadi apa-apa."Sial! Masih pagi lu sudah buat gue marah saja!" bentak Bintang."Haha berani sekali dia membantah lu, Tang! Apa mungkin ota
Ocin dan kakek Darto bukan termasuk orang kaya dan bukan pula orang miskin. Sebuah rumah yang meski ukurannya kecil dan sederhana itu menjadi pertanda kakek dan cucu tersebut hidup dengan layak. Hanya dengan penghasilan yang diperoleh dari jualan sayur dan tabungan Kakek Darto rupanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.Ocin melangkahkan kaki menuju kamarnya setelah membereskan piring dan segala macamnya. Tak langsung tidur, Ocin memilih belajar beberapa menit. Pasalnya, selain sering dipukuli oleh trio kopet, Ocin juga sering bolos karena diajak tiga orang itu. Mau tak mau Ocin menurut saja demi tidak dipukuli di hari itu. Karena hal itulah Ocin sering ketinggalan pelajaran di kelas.Setelah kiranya cukup dengan angka dan huruf yang ada di depan matanya, kantuk pun mulai bersarang. Ocin menguap dan melemaskan tubuhnya. Ditutuplah buku pelajaran, namun Ocin tak segera merebahkan tubuhnya. Digantinya buku pelajaran itu dengan buku berwarna biru yang be
Bughh!! Bugh!!Pukulan demi pukulan dari kepalan tangan seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam sekolah di gang sempit belakang warung berhasil membuat suasana yang tadinya sunyi kini menjadi sedikit ramai. Dua orang temannya yang berdiri di sampingnya hanya melihatnya sembari tertawa. Sedang si korban yang tengah dipukuli itu merintih kesakitan yang sekarang dia rasakan di sekujur tubuhnya. Diketahui mereka berempat adalah siswa dari salah satu SMA swasta di Jakarta Selatan yang bernama SMA Atsaws."Hey, Ocin! Minta maaflah karena lu sudah salah beli merek rokok yang sudah gue pesankan sebelumnya!" bentak lelaki yang sedari tadi memukuli siswa itu. Dia berhenti sejenak setelah beberapa menit berlalu."Dasar bodoh!! Bintang menyuruh lu buat beli rokok itu, lu malah beli yang lain!" cemooh Toni, salah satu dari teman Bintang.Satu lagi teman Bintang yang berada di situ pun hanya tertawa lantang. Dia lantas menghampiri Ocin yang baru saja bisa menarik napa