Emma menyusuri jalan tanah yang hanya setapak, sambil sesekali memastikan layar ponselnya. Mengabaikan sepatu bootnya terkena terciprat air bercampur lumpur, tekat Emma lebih besar dibanding kesulitan yang sudah ia hadapi hari itu. Namun, setelah terus berjalan, Emma seperti menemukan jalan buntu. Sempat kecewa lantaran arah yang ditunjukkan tidaklah benar, Emma menoleh ke samping kiri, dan ternyata menemukan beberapa rumah sederhana dengan jumlah yang lumayan banyak. Mungkinkah sebenarnya tempat itu yang terdeteksi sinyal GPS di ponselnya. "Kampung ini seperti bersembunyi di balik bukit. Tidak heran jika sejak dari sama tadi aku tidak melihatnya." Emma kembali melangkah pelan. Jalan yang dilalui sekarang sedikit merosot dengan tekstur tanah yang lengket, dan sangat licin. Sesampai di depan salah satu rumah, Emma mengedarkan pandangan, dan tanpa sengaja melihat seorang pria tua sedang duduk di kursi plastik samping rumahnya. "Permisi.. ." kata Emma sopan. Merasa terpanggil
"Lebih cepat lagi!" gusar Jesslyn dengan pandangan tak berpaling dari belakang. Dua mobil berkaca gelap mengejar taksi yang Jesslyn naiki. Untung saja sang supir tergolong lincah bisa menyelinap di antara kendaraan lain, sehingga bisa memberi berjarak lebih jauh dari dua mobil tersebut. Sebelumnya, Jesslyn sampai harus mengendap-ngendap ketika keluar dari lobby apartemen miliknya—-akan memasuki taksi yang sudah menunggunya di depan lobby. Jesslyn sengaja mengecoh anak buah Leon dengan memesan taksi, berharap penyamaran serta rencananya hari itu tidak diketahui. Tetapi ternyata salah, tanpa sepengetahuan Jesslyn ketika taksi yang dinaiki melintas di jalan raya, mobil yang sebelumnya terparkir di dekat kios buah langsung mengikuti. Jesslyn masih belum sadar sedang diikuti, karena memang jarak mobil di belakangnya cukup jauh. Sampai ketika memasuki pelataran bandara internasional, dan supir taksi memberitahu jika mobil di belakang mereka sejak tadi mengikuti. Barulah setelah itu
Mendengar suara derap sepatu yang semakin mendekat, mampu membuat Jantung Jesslyn berdetak kencang. Sangat yakin siapa pemilik sepatu itu. Jesslyn yang sekarang terikat di kursi kayu hanya bisa menggigil ketakutan dengan bulir bening yang terus mengalir deras dari sudut mata.Sekarang hanya tinggal menghitung mundur. Maka setelah itu, berakhir sudah cerita hidup seorang Jesslyn.Tiba-tiba Leon muncul dengan wajah mengerikan, dan baru pertama kali Jesslyn lihat. Leon memang dikenal dengan sikap tidak ramah dan keangkuhannya. Tapi menunjukkan sisi gelap dirinya, itu hanya akan terjadi pada seseorang yang dianggap fatal dan tidak layak mendapat ampunan lagi. "Aku mohon, maafkan aku, Le. Aku mengaku salah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh, aku janji. Aku masih ingin hidup. Jangan bunuh aku." Jesslyn benar-benar mengiba. Wanita yang selama ini dikenal manja dan selalu cantik glamor, kini terlihat menyedihkan. Rambut serta sisa make up membuat penampilannya sangat berantakan.J
"Selamat datang kembali, Tuan dan Nyonya." Luna sedikit gugup mengetahui Pak Jang menyambut kepulangannya. Sedangkan Emma yang entah dari dari mana tengah berlari mendekat dari arah samping mansion. "Maaf saya terlambat, Nyonya. Selamat datang kembali." Dengan nafas terengah Emma ikut menyambut di belakang Pak Jang Luna beralih menatap Leon yang langsung mengangguk, paham akan kecemasan yang tengah Luna rasakan. Biar bagaimanapun Luna tidak ingin ada yang tahu apa yang terjadi padanya kemarin lusa. Biarlah itu menjadi mimpi buruk yang tidak ingin diingat lagi. Toh. Leon sudah membereskan mereka semuanya, walaupun sebenarnya Luna tidak pernah tahu siapa dalang yang sebenarnya, dan apa yang terjadi pada Jesslyn sekarang. "Sebaiknya kita masuk. Aku tahu kau pasti lelah." Leon segera membimbing Luna memasuki hunian mewahnya. Melihat kepatuhan Luna, tak ayal Emma dan pak Jang saling bertukar pandang. Berpikir sama, mungkin setelah liburan yang ternyata lebih dari dua hari itu,
"Ada apa denganmu, Gerry!" sentak Anastasya marah. Pria itu bersikeras tidak mau memberi tahu dimana alamat tempat tinggal Leon yang sekarang. Begitu setianya pria yang dulu juga telah diselamatkan suaminya itu, sampai menutup rapat mulutnya. Tapi bukan Anastasya namanya jika tidak bisa memanfaatkan statusnya sebagai Nyonya Smith. Ditatapnya remeh Gerry yang sekarang berdiri menjulang di hadapannya."Kau tau bagaimana saat Jeff marah, bukan? Bahkan Le saja tidak bisa menghentikannya."Sebelumnya Anastasya sudah mendatangi apartemen Leon, tapi pihak keamanan memberitahunya jika sudah lama Leon tidak pernah datang. Itu artinya Leon memiliki hunian lain yang tidak Anastasya ketahui. Tidak ingin membuang waktu, Anastasya lantas mendatangi kantor Leon. Dua resepsionis yang kemarin sempat melarangnya masuk, hanya bisa tertunduk takut saat melihatnya kembali.Tapi begitu Anastasya sampai di lantai tertinggi gedung itu, tepatnya lantai dimana ruangan Leon berada, sekretaris Leon mengatakan
"Rudolf masih hidup. Disinyalir dia sengaja mengubah wajah serta identitasnya agar tidak bisa dikenali lagi.""Lantas, dimana dia sekarang?""Selama beberapa tahun terakhir, dia kerap berpindah-pindah tempat, setelah berhasil menjadi pemimpin gangster yang paling brutal dan berbahaya di daerah x.""Tapi paling tidak dia punya satu tempat tinggal tetap, bukan?" Emma semakin penasaran, tidak ada ketakutan sedikit pun di wajahnya meski tahu Rudolf bukan pria yang layak untuk dicari tahu."Kota mati?""Kota mati?" ulang Emma yang segera diangguki pria yang ada di depannya. Emma lantas beralih pandang sebentar pada Pak Jang yang sejak tadi juga ikut menyimak. "Dimana itu?""Ada didaerah xxx tepatnya pinggir kota, dan berbatasan langsung dengan kota A."Emma seperti tidak asing dengan daerah yang pria itu sebutkan, hanya saja Emma lupa siapa yang pernah mengatakan itu sebelumnya. Tapi Emma sa
"Apa yang kau perhatikan, hm?"Sempat terkejut merasakan lengan Leon melingkari pinggangnya, Luna yang masih berdiri di dekat jendela mengusap lengan prianya yang kini sudah terbalut jas."Aku hanya sedang memikirkan tanggal berapa sekarang? Sepertinya aku melupakannya." Setelah menghadiahi kecupan di puncak kepala Luna, Leon segera memutar tubuh kecil wanitanya untuk diperhatikan lekat-lekat."Apa kau mencemaskan sesuatu?" Selesai memindai Luna dari atas hingga bawah, Leon yang masih tampak cemas menangkup pipi Luna dengan kedua telapak tangannya yang besar. "Kau mengingatnya lagi?""Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya sedang mengingat hari ini tanggal berapa." Luna memang masih harus memastikan sesuatu yang sebenarnya belum diketahui pasti."Sekarang tanggal tiga belas, bulan enam? Apa ada sesuatu? Kau ulang tahun?"Sepertinya Leon juga tidak cukup lega dengan jawaban Luna."Tidak. Ulang tahunku masih empat bulan lagi."Kendati tidak pernah ada perayaan, tapi Luna selalu ingat hari ul
"Bagaimana kabarnya sekarang?" Emma butuh waktu sepersekian detik untuk memikirkan siapa yang Luna bicarakan. Terlalu sibuk menyusun rencana untuk memulai mencari tahu siapa Albert Dark, Emma memang lebih banyak diam berpikir hari itu. "Kakak masih sering menemuinya?" Luna kembali melontarkan pertanyaan lain, tapi tetap ditujukan untuk orang yang sama melihat Emma tak kunjung menjawab. "Apa yang sedang Anda bicarakan Darma, Nyonya?" Emma memastikan. Mengingat akhir-akhir ini banyak yang ia temui. "Iya." Luna merasa hatinya benar-benar ringan sekarang. Tidak merasakan lagi getaran kala nama pria masa lalunya disebutkan. Keputusannya untuk tidak lagi menoleh ke belakang, ternyata sudah paling benar. Luna pun berharap Darma bisa melanjutkan hidup jauh lebih baik, tentunya setelah bisa melupakan dirinya. Merelakan memang bukan perkara mudah. Tapi dengan merelakan sesuatu yang pernah dianggap mustahil, hati akan merasa jauh lebih baik. Bukan tentang bisa atau tidak bisa. Mela
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y