"Aku tidak suka kau selalu mengulang kalimat yang sama. Apa yang kuberikan sudah lebih dari cukup. Jangan berharap sesuatu yang tidak mungkin bisa aku lakukan," tegas Leon. Sebenarnya jawaban itu juga sudah berulang kali-kali Leon tegaskan. Tapi Anastasya yang bebal tidak bisa mengingatnya, atau memang sengaja mengabaikannya. Berharap setelah bulan berganti tahun, Leon akan berubah pikiran. Nyatanya, Leon masih sangat konsisten pada keputusannya. "Dimana hatimu! Kenapa kau tidak bisa melihat dia sebentar saja. Dia putrimu, Le. Darah dagingmu!" Sepertinya Anastasya juga tidak akan bosan untuk terus mengingatkan. Tangis yang terlihat tulus tapi palsu selalu menjadi pemanis setiap drama yang Anastasya mainkan. Jangankan Leon, bahkan Gerry saja sudah sangat muak melihat itu. "Setidaknya jika kau tidak ingin mengakui dia putrimu, bersikaplah hangat sebagai seorang kakak." Leon tiba-tiba berdiri. "Aku anggap pembicaraan ini sudah selesai. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi." "Tungg
"Aku lelah Bu, biarkan seperti ini lebih lama lagi." Meletakkan kepala di atas pangkuan wanita yang sangat dirindukan, Luna merasa semua beban di hati menguap begitu saja. Luna ingin berlama-lama seperti itu, ia merasa jauh lebih baik."Ada kalanya setiap orang merasakan lelah, Nak. Tetapi dengan terus bertahan akan memberinya hal baru. Hidup untuk belajar, memahami kondisi dan situasi. Jika kau bisa melewati semua itu, kau akan mendapat sesuatu yang berharga.""Aku merasa sendiri, Bu. Tidak ada satupun orang yang berpihak padaku. Bahkan ayah yang selalu aku tunggu kepulangannya saja, sampai saat ini tidak ada kabarnya. Sepertinya dia sudah melupakan aku."Hamparan bunga warna-warna yang membentang luas, memanjakan mata Luna, ditambah usapan di kepala membuatnya benar-benar tidak ingin meninggalkan tempat itu. Ia sudah sangat nyaman sekarang."Tetaplah bersabar, dengan begitu kau akan menemukan kebahagiaan yang s
"Dimana dia?" Begitu membukakan pintu apartemen, Flint dibuat terkejut dengan kedatangan Leon disaat hari hampir tengah malam. Tapi kemarahan di wajah pria itu tak kalah membuat Flint bertanya-tanya. Sesuatu pasti sudah terjadi."Ada apa?""Jesslyn!! Keluar!" Tanpa menjawab, Leon langsung menerobos masuk, lantas berteriak seperti orang kesetanan. Suara Leon sampai menggema memenuhi ruangan. Mustahil wanita itu tidak mendengarnya. Lantaran Leon yakin Flint datang ke kota itu tidak sendiri, melainkan bersama Jesslyn seperti yang selalu dilakukan. Tapi sialnya, sudah menunggu lebih dari satu menit, wanita itu tak kunjung keluar, membuat kemarahan Leon semakin menjadi.Bahkan sekalipun Flint menghalanginya untuk bertemu Jesslyn, Leon tidak keberatan jika harus menghadapi teman baiknya itu. Kemarahan berhasil mengalahkan akal sehat, Leon sudah sangat murka, dan semakin menggebu ingin membunuh siapa saja yang sudah berani menyakiti wanitanya.Flint segera menyusul Leon yang masih saja ber
"Hmmppt!!"Luna menjerit bersamaan tubuh wanita itu tergeletak tidak jauh darinya. Luna bisa melihat jelas bagaimana Leon menghilangkan nyawa orang lain dengan sangat kejam. Tangan itu berlumuran darah. Bahkan hanya dalam sekejap saja bisa menghilangkan nyawa tujuh orang sekaligus. Lantas, selama hidupnya sudah berapa banyak nyawa yang Leon hilangkan?Memikirkan itu Luna merasa tidak jauh berbeda ketika Leon belum datang, atau mungkin sebenarnya pria itulah yang lebih berbahaya.Mata Luna masih mendelik tajam tanpa bergerak sedikitpun, mengetahui Leon melepas ikatan di tangan serta kakinya satu-persatu. Sampai terakhir setelah penutup mulutnya dibuka, Luna langsung terjingkat duduk sambil mendekap diri."Jangan mendekat!"Leon tertegun, reaksi ketakutan Luna membuatnya terkejut, dan baru menyadari jika pandangan Luna tertuju pada senjata di tangannya. Leon langsung membuang senjata jenis glock miliknya ke sembarang arah. Reflek, Luna menutup kedua telinga dengan tangannya saat benda
Emma menyusuri jalan tanah yang hanya setapak, sambil sesekali memastikan layar ponselnya. Mengabaikan sepatu bootnya terkena terciprat air bercampur lumpur, tekat Emma lebih besar dibanding kesulitan yang sudah ia hadapi hari itu. Namun, setelah terus berjalan, Emma seperti menemukan jalan buntu. Sempat kecewa lantaran arah yang ditunjukkan tidaklah benar, Emma menoleh ke samping kiri, dan ternyata menemukan beberapa rumah sederhana dengan jumlah yang lumayan banyak. Mungkinkah sebenarnya tempat itu yang terdeteksi sinyal GPS di ponselnya. "Kampung ini seperti bersembunyi di balik bukit. Tidak heran jika sejak dari sama tadi aku tidak melihatnya." Emma kembali melangkah pelan. Jalan yang dilalui sekarang sedikit merosot dengan tekstur tanah yang lengket, dan sangat licin. Sesampai di depan salah satu rumah, Emma mengedarkan pandangan, dan tanpa sengaja melihat seorang pria tua sedang duduk di kursi plastik samping rumahnya. "Permisi.. ." kata Emma sopan. Merasa terpanggil
"Lebih cepat lagi!" gusar Jesslyn dengan pandangan tak berpaling dari belakang. Dua mobil berkaca gelap mengejar taksi yang Jesslyn naiki. Untung saja sang supir tergolong lincah bisa menyelinap di antara kendaraan lain, sehingga bisa memberi berjarak lebih jauh dari dua mobil tersebut. Sebelumnya, Jesslyn sampai harus mengendap-ngendap ketika keluar dari lobby apartemen miliknya—-akan memasuki taksi yang sudah menunggunya di depan lobby. Jesslyn sengaja mengecoh anak buah Leon dengan memesan taksi, berharap penyamaran serta rencananya hari itu tidak diketahui. Tetapi ternyata salah, tanpa sepengetahuan Jesslyn ketika taksi yang dinaiki melintas di jalan raya, mobil yang sebelumnya terparkir di dekat kios buah langsung mengikuti. Jesslyn masih belum sadar sedang diikuti, karena memang jarak mobil di belakangnya cukup jauh. Sampai ketika memasuki pelataran bandara internasional, dan supir taksi memberitahu jika mobil di belakang mereka sejak tadi mengikuti. Barulah setelah itu
Mendengar suara derap sepatu yang semakin mendekat, mampu membuat Jantung Jesslyn berdetak kencang. Sangat yakin siapa pemilik sepatu itu. Jesslyn yang sekarang terikat di kursi kayu hanya bisa menggigil ketakutan dengan bulir bening yang terus mengalir deras dari sudut mata.Sekarang hanya tinggal menghitung mundur. Maka setelah itu, berakhir sudah cerita hidup seorang Jesslyn.Tiba-tiba Leon muncul dengan wajah mengerikan, dan baru pertama kali Jesslyn lihat. Leon memang dikenal dengan sikap tidak ramah dan keangkuhannya. Tapi menunjukkan sisi gelap dirinya, itu hanya akan terjadi pada seseorang yang dianggap fatal dan tidak layak mendapat ampunan lagi. "Aku mohon, maafkan aku, Le. Aku mengaku salah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh, aku janji. Aku masih ingin hidup. Jangan bunuh aku." Jesslyn benar-benar mengiba. Wanita yang selama ini dikenal manja dan selalu cantik glamor, kini terlihat menyedihkan. Rambut serta sisa make up membuat penampilannya sangat berantakan.J
"Selamat datang kembali, Tuan dan Nyonya." Luna sedikit gugup mengetahui Pak Jang menyambut kepulangannya. Sedangkan Emma yang entah dari dari mana tengah berlari mendekat dari arah samping mansion. "Maaf saya terlambat, Nyonya. Selamat datang kembali." Dengan nafas terengah Emma ikut menyambut di belakang Pak Jang Luna beralih menatap Leon yang langsung mengangguk, paham akan kecemasan yang tengah Luna rasakan. Biar bagaimanapun Luna tidak ingin ada yang tahu apa yang terjadi padanya kemarin lusa. Biarlah itu menjadi mimpi buruk yang tidak ingin diingat lagi. Toh. Leon sudah membereskan mereka semuanya, walaupun sebenarnya Luna tidak pernah tahu siapa dalang yang sebenarnya, dan apa yang terjadi pada Jesslyn sekarang. "Sebaiknya kita masuk. Aku tahu kau pasti lelah." Leon segera membimbing Luna memasuki hunian mewahnya. Melihat kepatuhan Luna, tak ayal Emma dan pak Jang saling bertukar pandang. Berpikir sama, mungkin setelah liburan yang ternyata lebih dari dua hari itu,
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y