"Ya Tuhan!"Darma bergegas berlari untuk memastikan penumpang yang ada di dalam mobil tersebut. Kondisi kaca yang gelap membuat Darma harus berjongkok bahkan sampai tertelungkup di atas aspal agar bisa mengintip kondisi di dalam. Sayangnya, hal itu juga tidak cukup membantu. Darma tetap tidak bisa melihat apapun. Aroma bahan bakar semakin menyengat, Darma berpikir keras agar bisa membuka pintu mobil yang semua pintunya terkunci. Kembali berdiri, Darma mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk mencongkel pintu di samping kemudi. Sampai akhirnya, di tengah langit malam yang masih diselimuti mendung—meski sempat hujan rintik, mata tajam Darma menemukan sebuah pipa besi panjang—sebesar lingkar lengan anak-anak, tergeletak sedikit jauh dari tempatnya berdiri.Tidak ingin membuang waktu, Darma segera berlari mendekati mobil dan memukul kaca.Darma terus berpacu dengan waktu, saat melihat tetesan bahan bakar sudah berubah genangan. Khawatir akan menimbulkan percikan api, Darma semakin k
"Le! Ingat, kita harus berunding."Luna masih saja rewel mengingatkan. Belum cukup hanya menunggu, Luna bahkan sampai mengekor di belakang Leon begitu keluar dari kamar mandi.Leon seakan kembali diingatkan jika memang sudah menikahi bocah. Meski terkadang Luna bersikap keras kepala dan suka menentang. Tak jarang gadis itu juga bersikap labil bahkan kekanak-kanakan seperti sekarang. "Apa kau tidak bisa lebih tenang menunggu? Aku harus bersiap sebelum Gerry datang.""Kau bisa melakukan itu sambil kita berbicara," keukeuh Luna masih mengekor hingga Leon berhenti di depan lemari yang tingginya melebihi tinggi Luna. "Aku tidak keberatan membantumu bersiap." Luna menawarkan diri.Setidaknya itu dilakukan agar Leon tidak lupa, dengan apa yang sudah dijanjikan padanya semalam."Kau pikir aku akan ingkar janji?Sepertinya Leon juga tidak keberatan Luna terus mengekor, dan mendesaknya. Kecemasan Luna menjadi hiburan tersendiri bagi pria yang kini hampir menyentuh angka empat puluh tahun itu.
"Kau?""Apa aku mengganggu?""Tidak.""Boleh aku duduk?""Silahkan."Sebenarnya Emma sedikit kikuk saat beranjak duduk di seberang Darma. Mereka hanya terhalang meja kayu, dengan arah pandang yang sama, pantai. Beberapa menit berlalu, keduanya belum juga terlibat obrolan lagi.Darma terlalu tak acuh setelah hanya melirik Emma singkat, untuk kembali memperhatikan keadaan sekitar pantai. Pria itu memang sedang serius memantau titik yang dijangkaunya. "Hari ini pengujung tidak seramai biasanya," kata Emma berusaha memecah keheningan.Tapi tidak ada tanggapan, Darma seolah tidak mendengar apapun. Pandangannya masih belum teralihkan.Kendati tidak mendapat penolakan, tetapi dari sikap tak acuh Darma, Emma tahu pria itu tak peduli ada ataupun tidak dirinya. Emma memilih tidak bertanya lagi. Sebenarnya kejadian tempo hari membuat Emma
"Kau terlihat seperti tidak baik-baik saja. Apa kau sakit?"Menerima gelas yang Sesil ulurkan, Luna tersenyum singkat, dan memperhatikan gadis itu duduk di sampingnya."Aku sering merasa sedikit pusing akhir-akhir ini," kata Luna mengeluhkan kondisi tubuhnya."Apa kau sudah memeriksakan diri? Mungkin saja kau hamil," celetuk Sesil yang dengan cepat Luna tepis. "Tidak. Itu tidak mungkin." Luna membalas ringan seraya meletakkan gelas di atas meja, setelah menenggak setengah isinya.Hamil anak Leon tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Keadaan akan semakin rumit jika Luna sampai mengandung benih pria itu.Tapi ternyata respon Sesil di luar dugaan. Gadis itu tampak begitu terkejut, sampai-sampai menyerongkan posisi duduknya. "Bagaimana tidak mungkin! Bukankah kau sudah menikah?" "Iya. Maksudku, Aku sengaja menundanya," ralat Luna sedikit gugup.Luna tidak tahu, jika Emma yang duduk di teras kontrakan Sesil, ikut mendengarkan, dan tidak jauh berbeda dengan Sesil, Emma pun tak kalah ter
"Sepertinya saya melihat Anda menginginkan yang lain sekarang. Apakah Anda berubah pikiran, Tuan?" Gerry berani bertanya, setelah tahu sang tuan sudah selesai membubuhkan tanda tangan di berkas yang beberapa saat lalu ia sodorkan. Beralih dari berkas yang baru ditutup, Leon menegakkan punggung demi bisa menjangkau wajah Gerry yang menjulang di depannya. "Kapan mereka datang?" "Jika tidak ada kendala, kemungkinan besok malam mereka sudah tiba di tanah air, Tuan." Leon mengangguk sekali. "Mulai sekarang aku terapkan peraturan baru. Tidak ada pertemuan di malam hari." Gerry cukup terkejut mendengarnya, tapi tidak berani bertanya. Selain itu, sebagai orang yang selalu mendampingi Leon, tentunya Gerry sangat tahu apa yang bisa mempengaruhi suasana hati sang tuan. Sedangkan yang Gerry lihat sekarang, tepatnya sehariab tadi—Leon sedang berada di fase sangat baik. Leon beberapa kali terlihat melengkungkan senyum. Tidak hanya pada saat meeting dewan direksi, Leon juga bersedia
Luna merasa gugup lantaran untuk pertama kali dibawa ke pesta kaum elit, terlebih dengan pakaian yang sangat membuatnya tidak nyaman. Leon benar-benar menyebalkan dengan semua keangkuhannya. Pria itu juga tak hentinya memaksakan kehendak, sampai akhirnya dengan berat hati Luna mau mengenakan gaun brokat berlapis furing dengan potongan sabrina, dan memiliki ekor sedikit lebih panjang. Luna hanya tidak menyangka, Leon sampai mendatangkan seorang MUA demi membantunya bersiap untuk menghadiri pesta. Pesta yang ternyata tamu undangannya tidak terlalu banyak seperti yang Luna pikirkan. Gaun berwarna maroon yang Luna kenakan tampak pas di tubuhnya, ditambah rambut yang digulung sedikit ke atas hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Membuat penampilan Luna tampak menawan dan berkelas. Leon yang sebelumnya sempat kesal, dan memilih menunggu di lantai satu—dekat tangga, sampai terpana melihat Luna saat berjalan pelan menuruni anak tangga. Siapa yang percaya jika gadis itu mantan pel
Sontak saja, Luna terperanjat ketika wajahnya disiram air beraroma khas oleh wanita yang ada di depannya. "Jika memang tidak suka lebih baik minuman itu tetap di gelasmu, dan tinggalkan saja di atas meja. Bukan malah kau buang sembarangan!" Luna masih berusaha bersabar, meski tahu wanita itu sengaja membasahi wajahnya. Tapi apa masalah wanita itu sebenarnya? Sedangkan Luna yakin, itu pertemuan pertama mereka. "Aku bahkan sangat ingin mengguyur tubuhmu! Agar kau sadar seberapa mahal barang-barang mewah yang Leon gunakan menutup tubuhmu, kau tetap saja jalang rendahan!" Tanpa mengusap wajahnya, Luna lantas berdiri menatap berani wanita itu. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Tolong beritahu aku, dan itu terjadi dimana? Karena aku benar-benar sudah melupakan wajah sadismu." Tidak tahu karena cairan itu mengenai wajahnya, atau lantaran terkejut, sekarang Luna merasa
"Kau sudah lama?" kata Darma seraya menarik kursi, lantas duduk di depan Emma. Mereka ada di cafe yang lumayan ramai pengunjung, untuk sekedar melewati siang itu yang lumayan terik, seperti yang Emma jelaskan di dalam pesan singkatnya satu jam lalu. Duduk berhadapan dengan pesanan Emma yang sudah tersaji, Darma tampak lebih ringan dibanding pertemuan mereka tempo hari. "Aku juga baru datang, tapi langsung memesan ini. Kau mau minum apa?" ujar Emma menunjukkan jus jeruk pesanannya. "Sebentar." Darma mengedarkan pandangan mencari keberadaan waiters. Begitu melihat pria berseragam itu muncul dari arah party dan menoleh padanya, Darma segera mengangkat tangan. Waiters itu pun langsung mendekat. "Aku mau kopi tanpa gula." "Baik, Kak. Mohon, tunggu sebentar." Darma mengangguk setuju. Begitu waiters pergi, Darma kembali berkata, "aku sengaja mengambil hari libur untuk dua hari kedepan," ujarnya mengingat pertanyaan Emma dipesan tadi yang belum sempat ia balas. "Kau tidak berniat meng