"Le! Ingat, kita harus berunding."Luna masih saja rewel mengingatkan. Belum cukup hanya menunggu, Luna bahkan sampai mengekor di belakang Leon begitu keluar dari kamar mandi.Leon seakan kembali diingatkan jika memang sudah menikahi bocah. Meski terkadang Luna bersikap keras kepala dan suka menentang. Tak jarang gadis itu juga bersikap labil bahkan kekanak-kanakan seperti sekarang. "Apa kau tidak bisa lebih tenang menunggu? Aku harus bersiap sebelum Gerry datang.""Kau bisa melakukan itu sambil kita berbicara," keukeuh Luna masih mengekor hingga Leon berhenti di depan lemari yang tingginya melebihi tinggi Luna. "Aku tidak keberatan membantumu bersiap." Luna menawarkan diri.Setidaknya itu dilakukan agar Leon tidak lupa, dengan apa yang sudah dijanjikan padanya semalam."Kau pikir aku akan ingkar janji?Sepertinya Leon juga tidak keberatan Luna terus mengekor, dan mendesaknya. Kecemasan Luna menjadi hiburan tersendiri bagi pria yang kini hampir menyentuh angka empat puluh tahun itu.
"Kau?""Apa aku mengganggu?""Tidak.""Boleh aku duduk?""Silahkan."Sebenarnya Emma sedikit kikuk saat beranjak duduk di seberang Darma. Mereka hanya terhalang meja kayu, dengan arah pandang yang sama, pantai. Beberapa menit berlalu, keduanya belum juga terlibat obrolan lagi.Darma terlalu tak acuh setelah hanya melirik Emma singkat, untuk kembali memperhatikan keadaan sekitar pantai. Pria itu memang sedang serius memantau titik yang dijangkaunya. "Hari ini pengujung tidak seramai biasanya," kata Emma berusaha memecah keheningan.Tapi tidak ada tanggapan, Darma seolah tidak mendengar apapun. Pandangannya masih belum teralihkan.Kendati tidak mendapat penolakan, tetapi dari sikap tak acuh Darma, Emma tahu pria itu tak peduli ada ataupun tidak dirinya. Emma memilih tidak bertanya lagi. Sebenarnya kejadian tempo hari membuat Emma
"Kau terlihat seperti tidak baik-baik saja. Apa kau sakit?"Menerima gelas yang Sesil ulurkan, Luna tersenyum singkat, dan memperhatikan gadis itu duduk di sampingnya."Aku sering merasa sedikit pusing akhir-akhir ini," kata Luna mengeluhkan kondisi tubuhnya."Apa kau sudah memeriksakan diri? Mungkin saja kau hamil," celetuk Sesil yang dengan cepat Luna tepis. "Tidak. Itu tidak mungkin." Luna membalas ringan seraya meletakkan gelas di atas meja, setelah menenggak setengah isinya.Hamil anak Leon tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Keadaan akan semakin rumit jika Luna sampai mengandung benih pria itu.Tapi ternyata respon Sesil di luar dugaan. Gadis itu tampak begitu terkejut, sampai-sampai menyerongkan posisi duduknya. "Bagaimana tidak mungkin! Bukankah kau sudah menikah?" "Iya. Maksudku, Aku sengaja menundanya," ralat Luna sedikit gugup.Luna tidak tahu, jika Emma yang duduk di teras kontrakan Sesil, ikut mendengarkan, dan tidak jauh berbeda dengan Sesil, Emma pun tak kalah ter
"Sepertinya saya melihat Anda menginginkan yang lain sekarang. Apakah Anda berubah pikiran, Tuan?" Gerry berani bertanya, setelah tahu sang tuan sudah selesai membubuhkan tanda tangan di berkas yang beberapa saat lalu ia sodorkan. Beralih dari berkas yang baru ditutup, Leon menegakkan punggung demi bisa menjangkau wajah Gerry yang menjulang di depannya. "Kapan mereka datang?" "Jika tidak ada kendala, kemungkinan besok malam mereka sudah tiba di tanah air, Tuan." Leon mengangguk sekali. "Mulai sekarang aku terapkan peraturan baru. Tidak ada pertemuan di malam hari." Gerry cukup terkejut mendengarnya, tapi tidak berani bertanya. Selain itu, sebagai orang yang selalu mendampingi Leon, tentunya Gerry sangat tahu apa yang bisa mempengaruhi suasana hati sang tuan. Sedangkan yang Gerry lihat sekarang, tepatnya sehariab tadi—Leon sedang berada di fase sangat baik. Leon beberapa kali terlihat melengkungkan senyum. Tidak hanya pada saat meeting dewan direksi, Leon juga bersedia
Luna merasa gugup lantaran untuk pertama kali dibawa ke pesta kaum elit, terlebih dengan pakaian yang sangat membuatnya tidak nyaman. Leon benar-benar menyebalkan dengan semua keangkuhannya. Pria itu juga tak hentinya memaksakan kehendak, sampai akhirnya dengan berat hati Luna mau mengenakan gaun brokat berlapis furing dengan potongan sabrina, dan memiliki ekor sedikit lebih panjang. Luna hanya tidak menyangka, Leon sampai mendatangkan seorang MUA demi membantunya bersiap untuk menghadiri pesta. Pesta yang ternyata tamu undangannya tidak terlalu banyak seperti yang Luna pikirkan. Gaun berwarna maroon yang Luna kenakan tampak pas di tubuhnya, ditambah rambut yang digulung sedikit ke atas hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Membuat penampilan Luna tampak menawan dan berkelas. Leon yang sebelumnya sempat kesal, dan memilih menunggu di lantai satu—dekat tangga, sampai terpana melihat Luna saat berjalan pelan menuruni anak tangga. Siapa yang percaya jika gadis itu mantan pel
Sontak saja, Luna terperanjat ketika wajahnya disiram air beraroma khas oleh wanita yang ada di depannya. "Jika memang tidak suka lebih baik minuman itu tetap di gelasmu, dan tinggalkan saja di atas meja. Bukan malah kau buang sembarangan!" Luna masih berusaha bersabar, meski tahu wanita itu sengaja membasahi wajahnya. Tapi apa masalah wanita itu sebenarnya? Sedangkan Luna yakin, itu pertemuan pertama mereka. "Aku bahkan sangat ingin mengguyur tubuhmu! Agar kau sadar seberapa mahal barang-barang mewah yang Leon gunakan menutup tubuhmu, kau tetap saja jalang rendahan!" Tanpa mengusap wajahnya, Luna lantas berdiri menatap berani wanita itu. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Tolong beritahu aku, dan itu terjadi dimana? Karena aku benar-benar sudah melupakan wajah sadismu." Tidak tahu karena cairan itu mengenai wajahnya, atau lantaran terkejut, sekarang Luna merasa
"Kau sudah lama?" kata Darma seraya menarik kursi, lantas duduk di depan Emma. Mereka ada di cafe yang lumayan ramai pengunjung, untuk sekedar melewati siang itu yang lumayan terik, seperti yang Emma jelaskan di dalam pesan singkatnya satu jam lalu. Duduk berhadapan dengan pesanan Emma yang sudah tersaji, Darma tampak lebih ringan dibanding pertemuan mereka tempo hari. "Aku juga baru datang, tapi langsung memesan ini. Kau mau minum apa?" ujar Emma menunjukkan jus jeruk pesanannya. "Sebentar." Darma mengedarkan pandangan mencari keberadaan waiters. Begitu melihat pria berseragam itu muncul dari arah party dan menoleh padanya, Darma segera mengangkat tangan. Waiters itu pun langsung mendekat. "Aku mau kopi tanpa gula." "Baik, Kak. Mohon, tunggu sebentar." Darma mengangguk setuju. Begitu waiters pergi, Darma kembali berkata, "aku sengaja mengambil hari libur untuk dua hari kedepan," ujarnya mengingat pertanyaan Emma dipesan tadi yang belum sempat ia balas. "Kau tidak berniat meng
Senyum smirk Leon nampak mengerikan kala matanya menatap serius berita yang sedang disaksikan melalui laptop, di ruang kerjanya. Seorang pria yang juga ia kenal, tertunduk saat dibawa keluar dari lobby kantor. Banyaknya blitz kamera, serta serbuan pertanyaan membuat pria paruh baya itu semakin menunduk dalam, dengan kedua tangan tertaut di depan perut. Tidak ada satu katapun yang diucapkan sampai pria itu memasuki mobil, dan tidak lama iring-iringan mobil perlahan meninggalkan para mencari berita yang sepertinya juga kecewa—-tidak mendapat keterangan apapun. Selain dugaan sementara keterlibatan pria itu dalam kasus yang sedang beredar. Tapi itu sudah cukup membuat Leon tersenyum puas. "Saya pastikan statusnya akan segera berubah menjadi tersangka, Tuan," jelas Gerry yang berdiri di samping Leon—ikut menyaksikan berita trending hari itu. "Kau sudah menemukan pria itu?" "Masih dalam pengejaran orang kita, Tuan. Karena memang pemuda itu tidak bisa kita anggap remeh. Dia sangat cerdi
“Bukankah itu Max?” Leon terkejut begitu turun dari mobil, mengetahui keberadaan pria bertato hampir sekujur tubuh itu ada tidak jauh dari tempat pameran. Meski terhalang mobil-mobil para pengunjung, tapi Leon yakin tidak salah mengenali.Gerry yang sudah berdiri di samping Leon ikut memperhatikan arah yang sama, dan sepertinya juga menunjukan reaksi yang tidak jauh berbeda. Mustahil pria seperti Max mau repot-repot menunjukkan diri di tempat keramaian jika memang tidak ada yang diincar.“Oh sial!”Leon bergegas lari saat melihat Luna dari kejauhan. Gerry juga tak mau ketinggalan untuk ikut menyelamatkan sang nyonya.******Luna panik begitu sadar telah kehabisan peluru, sedangkan pria itu sudah semakin mendekati dirinya sambil memainkan pisau lipat milik Emma.“Kau pikir bisa lolos dariku?”“Kita tidak saling mengenal. Kenapa kau begitu ingin membunuhku?” Luna berkata gugup.Melihat pria itu belum menyerah untuk melukai Luna, tentu saja Emma tidak tinggal diam dengan menyambar satu p
“Sepertinya nyonya belum datang.” Gerry ikut memperhatikan pengunjung yang melintas di depan mereka, dan ternyata tidak menemukan Luna ataupun Emma. “Saya akan memberitahu Emma jika Anda sudah menunggu.” Leon mengangguk setuju.Namun, sudah dua kali panggilan Emma tak juga menjawab.“Ada apa?” Leon melihat Gerry bolak-balik menempelkan ponsel ke telinga setelah memastikan layarnya.“Emma tidak menjawab, Tuan.”Leon lantas melirik arloji di pergelangan tangannya. Semalam Luna meminta izin hanya akan satu jam mengunjungi tempat itu, sedangkan sekarang sudah hampir lewat tiga puluh menit Luna belum juga terlihat datang. Sementara Emma malah mengabaikan panggilan Gerry. Leon merasa pasti ada yang tidak beres.“Tuan—”“--kita pergi sekarang.” Belum sempat Gerry menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah lebih dulu pergi seraya memberi perintah.*******“Tetap diam di tempat kalian!” Pria itu memperingatkan semua orang. “Dan kau!” Beralih pada Emma yang juga masih bergeming. “Jangan coba-coba me
Tidak mudah mencari tahu kehidupan seorang Leon Smith. Kendati sudah bukan rahasia umum lagi pria itu memiliki kebiasaan bergonta-ganti wanita, tapi sampai detik ini belum ada yang tahu pasti siapa wanita yang sedang bersamanya dan memiliki hubungan khusus dengannya. Atau memang tidak pernah ada komitmen setia dalam diri pria seperti Leon.Selain Ayumi, ada beberapa wanita dari kalangan pebisnis maupun artis yang mengaku pernah memiliki hubungan dekat dengan Leon. Namun, Leon sendiri enggan menanggapi kabar tersebut. Tidak hanya sulit didekati, Leon juga terlalu dingin pada siapa saja, tak terkecuali para pemburu berita yang ingin mengulik kehidupan pribadinya.Sampai ketika berita kehamilan Ayumi mencuat ke publik, tidak sedikit yang menduga Leon lah ayah bayi itu. Pasalnya jika dihitung dari usia kehamilan Ayumi, dan hari dimana wanita itu menyebut dirinya tengah memiliki hubungan Leon. Untuk itu tidak heran jika Leon kandidat yang paling tepat."Belum diketahui dengan siapa dia tin
Hari sudah lewat tengah malam, tapi Luna belum juga bisa tidur setelah keluar dari ruang rahasia Leon dua jam lalu. Luna masih belum tenang memikirkan untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu. Belum lagi rasa penasaran akan rahasia Leon, benar-benar membuat Luna terus memikirkannya."Aku ragu kematian Nyonya Lauren ada hubungannya dengan Pak Jang. Dilihat bagaimana sikap Leon begitu menghormati Pak Jang, sepertinya semakin tidak mungkin." Lelah hanya duduk bersandar di ranjang, Luna memilih bangkit lantas berjalan mendekati pintu balkon."Lalu bagaimana dengan Kak Emma? Bukankah mereka berteman?"Pertanyan itu masih saja mengusik Luna, sebagaimana yang ia ketahui, Emma dan Leon bahkan sudah berteman sejak remaja. "Astaga! Atau jangan-jangan dia?"Tiba-tiba saja Luna merasakan panas di sekujur tubuh. Pendingin ruangan seakan tidak mampu menghalau rasa panas yang sekarang menjalar hingga pembuluh darah. Luna lantas membuka satu daun pintu kaca, demi mendapat udara dari luar. "Te
Luna jadi tahu apa fungsi ruang rahasia Leon. Digunakan untuk penyimpanan senjata-senjata mematikan. Ternyata selain dingin dan menyebalkan—Leon memiliki hobi diluar nalar manusia dengan menjadi kolektor senjata api."Apa dia segila itu?" Belum hilang keheranan Luna atas apa yang dilihatnya.Pemikiran sederhana Luna belum bisa memahami untuk apa Leon menyimpan senjata sebanyak itu, dengan jenis yang sama."Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan setelah aku mengetahui semua ini." Luna kembali bermonolog. "Yang terpenting aku harus bisa membuatnya tunduk, dan menuruti apa saja yang aku inginkan." Untuk pertama kali seringai licik muncul di ujung bibir Luna, mengingat rencana yang sudah tersusun rapi di kepala. Kali ini Luna harus berhasil, lantaran tidak hanya untuk keselamatan dirinya, melainkan juga seseorang yang sampai saat ini masih sering ia khawatirkan. Sadar tidak bisa pergi dari jalan manapun, Luna mulai berpikir cerdas dalam menentukan sikap. Jika tidak bisa melepaskan diri
Luna sudah berdiri di depan pintu ruang rahasia Leon. Setelah mendorongnya, dan terbuka, Luna tidak langsung masuk. Melainkan mencari tahu bagaimana bisa membuka pintu itu lagi ketika dirinya sudah ada di dalam. "Apa mungkin ada tombol tertentu di dalam?" Luna dilema. Masih sangat takut untuk masuk lagi. Tapi juga tidak bisa menunda waktu demi menuntaskan rasa ingin tahunya. Luna harus bergerak cepat sebelum Leon kembali.**********Leon mengendarai sendiri kendaraan roda empatnya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya bersama Gerry. Leon memutuskan memutar arah untuk menuju suatu tempat.Suara mesin mobil Leon berdengung sangar, saat membelah jalanan yang sepi di bawah naungan langit cerah. Cepatnya laju kendaraan setara angin beliung yang bisa menyapu jalanan ketika melintas. Leon yang sudah tidak sabar ingin segera sampai tujuan, tidak mengurangi kecepatan sedikitpun meski kondisi jalan menikung. Tak ayal lantaran ketidak sabarannya itu, mobil Leon sempat menabrak pembatas jalan, lan
"Aku bosan di dalam." Sebelum Emma bertanya, Luna lebih dulu menjelaskan. "Terkadang saya juga suka duduk disini untuk sekedar menikmati malam, Nyonya." Emma ikut duduk di kursi seberang Luna. "Melihat langit saat malam hari memberi saya ketenangan." Luna balas tersenyum ringan. Apa yang Emma katakan memang benar, baru saja beberapa menit ada disana, Luna merasa suasana hatinya sedikit membaik. Tidak hanya itu, sejenak Luna juga bisa mengalihkan keingintahuannya akan rahasia Leon. Tapi sayangnya, ketika menatap langit bertabur bintang, mendadak Luna mengingat satu orang yang paling dirindukan. Ibu. Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Luna sampai akhirnya takdir memaksa mereka untuk perpisah. Namun, kendati demikian, Luna merasa sosok itu akan selalu ada di hati serta ingatannya. "Apa benar, setelah meninggal orang bisa melihat kita dari atas sana?" Emma terhenyak, meski tak ayal ikut mendongak. Sejenak Emma berpikir, lantaran belum memiliki jawaban yang tepat. "Saya
"Kau sudah terlalu banyak bicara, Luna. Aku tidak suka itu." Tidak bisa disangkal lagi, memang ada rahasia yang sengaja Leon tutupi. Luna hanya semakin penasaran meski tahu itu bukan urusannya."Kau cuma perlu menjadi istri yang baik, hanya itu."Seharusnya Luna paham, sekalipun hubungan mereka membaik, tetap ada batasan yang harus dipatuhi. Mendapat pengecualian untuk bisa bergerak bebas kemanapun, baik luar maupun dalam mansion, bukan berarti Luna juga berhak mengetahui apa yang Leon rencanakan, juga apa yang menjadi tujuan utamanya selama ini."Segeralah turun untuk sarapan," kata Luna lantas melangkah pergi.Leon tidak menjawab, hanya masih menatap datar kepergian Luna. Sampai kemudian perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari ponselnya yang ada di atas meja kerja. Leon segera mendekat untuk memastikan siapa yang menelpon."Ada apa?" ujarnya begitu sambungan terhubung."Wan
"Apa dia akan baik-baik saja? Aku lihat lukanya lumayan dalam." Bruri benar-benar khawatir sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, setelah dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat pria itu menggores lengan yang terbungkus jaket kulit, hingga darah segar merembes keluar."Dia sendiri yang menolak dibawa ke rumah sakit. Aku bisa apa." Darma tidak mau disalahkan setelah niat baiknya ditolak tegas.Berdiri di samping Darma yang sedang mengaduk kopi, Bruri kembali memperhatikan Emma yang duduk sendiri di kursi."Setidaknya lakukan sesuatu agar lukanya tidak infeksi. Jika terjadi sesuatu padanya, kita juga dalam masalah."Alih-alih menanggapi kecemasan Bruri, selesai mengaduk dan meletakkan dua gelas kopi di atas nampan, Darma lantas mengangkat nampan tersebut menggunakan kedua tangan. "Milikmu aduk sendiri," ujarnya memberitahu sebelum berlalu."Baiklah. Kopi hitam di pagi hari memang selalu dinanti," celoteh Bruri setelah sempat mendesak nafas sekali."White kopi untukmu. Maaf hanya ini y