Di dalam mobil, Flora terus saja melihat kuku-kukunya yang terlihat cantik dan rapi. Selera Abian memang bagus, bahkan penampilan Flora berubah drastis sekarang. Dia berubah seolah bukan Flora yang dulu, dia menjelma menjadi Flora yang berbeda.
"Mas..""lya, sayang. Kenapa hmm?""Kuku aku jadi bagus-bagus gini, sayang banget kalo aku pake cuci piring.""Jangan cuci piring, biar Mas yang suruh-suruh orang rumah. Mereka gak bakalan berani menolak ucapan Mas karena mereka masih membutuhkan uang Mas.""Omong-omong tentang uang, kembaranmu itu kenapa sih, Mas?""Kenapa memangnya?" Balik tanya Abian dengan kernyitan di dahinya. Meskipun begitu, dia tetap menyetir dengan fokus."Selama dua tahu menikah denganku, dia tidak pernah memberikan aku uang sesuai gajinya. Tapi dia memberikannya pada Mbak Winda dan yang memberi aku uang bulanan itu ya Mbak Winda." Jelas Flora yang membuat Abian terkejut."Berapa setiap bulannyaTubuhnya terangkat dengan nafas yang berkejaran, keringat membanjiri tubuhnya membuat Abian tersenyum. Dia puas karena berhasil membuat Flora klimaks berkali-kali dalam satu kali penyatuan saja."M-mas..""Hmm, apa sayang?" Tanya Abian sambil tersenyum. Dia meraba tubuh wanita yang terkulai lemas di bawah tubuhnya dengan tangan besarnya, dia meremas buah kembar yang ada di dada Flora dengan gemas."Eemmm..""Lanjut?""lya, Mas." Jawab Flora, membuat Abian kembali menghantam Flora dengan kenikmatan yang jauh lebih besar. Pria itu bergerak dengan cepat karena dia juga ingin segera mendapatkan klimaksnya."Aaarghhhh.." Pria itu mengerang tertahan, kepalanya mendongak ke atas dengan kedua mata yang terpejam rapat. Pria itu menekan senjatanya lebih dalam lagi, hingga membuat Flora kelonjotan sendiri karena merasa miliknya benar-benar penuh dan sedikit terasa sakit, mungkin karena Abian menekannya terlalu dalam."Terimakasih, sayang." Bisik Abian, lalu mengecup mesra kening Flora. Dia bergu
"Sayang, kenapa belum tidur?""Kebangun, Mas. Tadi denger suara orang masuk, jadinya aku nyusul kesini buat lihat Mas udah pulang atau belum." Jawab Flora sambil duduk di sisi ranjang."Kemarilah, ini masih malam." Ucap Abian sambil menepuk-nepuk pelan kasur di sampingnya. Dengan senang hati, Flora pun membaringkan tubuhnya disana dan segera merangsek memeluk tubuh besar Abian. Entahlah, sekarang dia sangat nyaman berada di pelukan Abian, apalagi aroma tubuhnya."Jangan peluk-peluk, sayang.""Lho kenapa? Kamu gak suka aku peluk?" Tanya Flora sambil mendongak agar bisa menatap wajah tampan Abian."Bukan begitu, sayang. Mas suka banget kamu peluk begini, apalagi pas kamu manja sama Mas. Tapi sekarang. Mas bau keringat, sayang. Mas gak mandi, males.""Ckk, kayak yang gak pernah aja aku peluk kamu pas lagi keringetan." Ucap Flora yang membuat Abian terkekeh pelan, lalu menepuk-nepuk mesra puncak kepala wanitanya itu lalu mengecupnya.
"Abi.." Panggil Santi, dia menatap adiknya itu dengan tatapan yang sulit di artikan."lya, Mbak. Kenapa?""Kita harus bicara." Jawab Santi lalu berjalan lebih dulu dan di ikuti oleh Abian di belakangnya. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya."Ada apa, Mbak?" Tanya pria itu sambil mendudukan pantatnya di kursi, begitu pula dengan Santi."Abi..""lya, Mbak.""Flora itu istri saudara kembarmu, Bi.""Lalu?" Tanya pria itu dengan sebelah alis yang terangkat."Mbak tahu kalau Flora adalah cinta pertamamu dulu, tapi sikapmu ini menurut Mbak sudah keterlaluan, Abi.""Maksud Mbak apa sih? Tolong lebih rinci.""Mbak kira, kamu masih belum bisa melupakan Flora, apa itu benar?" Tanya Santi serius, dia menatap wajah Abian dengan tatapan yang sulit di artikan."Benar, aku takkan pernah bisa melupakan cinta pertamaku, Mbak. Apalagi sekarang dia ada di rumah yang otomatis aku ak
"Ini uang buat kalian, biasa jatah bulanan." Ucap Abian sambil memberikan amplop berwarna coklat pada semuanya. Winda dan Santi mendapatkan jatah bulanan seperti biasanya dan Ranti akan mendapatkan dua kali lipat karena Abian berpikir kalau sang ibulah yang mengatur semua kebutuhan rumah.Padahal semua itu adalah tugas Flora biasanya, tapi sekarang tidak lagi. Jadi Ranti benar-benar menerima sesuai kebutuhannya."Di potong berapa lembar ini, Abi?" Tanya Winda sambil menghitung uangnya, ternyata berkurang beberapa ratus ribu dari bulan kemarin."Jangan lupa, aku pernah mengatakan akan mengurangi jatah bulanan kalian, agar tidak semena-mena dan berfoya-foya!" Tegas Abian yang membuat Winda mendelik kesal."Bersyukur, Win. Segini saja, dia memberikan secara cuma-cuma. Kita tidak bekerja, hanya tinggal menerima saja." Ucap Santi sambil tersenyum kecil. Santi memang selalu menerima apa adanya, meskipun terkadang dia juga mengomel kalau jatah bulanannya
"Mau kemana? Udah rapi aja." Tanya Winda dengan ketus, dia menatap sinis ke arah Flora yang mengekor di belakang Abian dengan menggunakan dress selutut yang belum pernah dia lihat sebelumnya."Jalan-jalan." Jawab Abian sambil membenarkan letak jam tangannya."Kenapa gak ngajakin Mbak? Kenapa harus sama Flora? Jangan lupa kalau Flora itu istri kembaranmu, Abi.""Gak usah iri, Mbak. Lagian Mbak sudah sering aku ajak jalan-jalan, gak di ajak juga biasanya suka pergi sendiri." Jawab Abian sambil berjalan ke arah mobilnya sudah di panaskan tadi."Tapi kan belakangan ini selalu Flora yang kamu ajak jalan-jalan.""Kalau Mbak mau jalan-jalan, yaudah berangkat aja sendiri kayak biasa. Kali ini aku ngajak Flora sekalian dia mau bikin rekening." Ucap Abian berbohong, padahal Flora tidak akan membuat rekening."Ckk, yaudah pulangnya bawa makanan.""Makanan aja terus, Mbak. Gak kepikiran buat diet? Badan udah kayak bola juga." Celetu
Keesokan harinya, Arifin benar-benar pulang. Pria itu membawa banyak barang di tangannya, Flora tidak berharap karena sudah pasti pria berstatus suaminya itu takkan mengingat dirinya. Pria itu hanya akan mementingkan keluarganya.Pria itu masuk ke dalam rumah dan memeluk Flora, wanita itu mengernyitkan keningnya keheranan. Bagaimana tidak heran? Biasanya pria itu selalu acuh tak acuh kan? Lalu apa ini?"Kenapa? Каmu gak merindukan suamima ini, Flora?""Aahhh, mana ada begitu, Mas? Aku hanya merasa heran saja.""Heran kenapa? Bukannya wajar kalau suami memeluk istrinya setelah sekian lama tidak bertemu?" Tanya Arifin yang membuat batin Flora bergejolak, rasanya dia ingin memaki suaminya itu."Mas ada belikan kamu oleh-oleh, semoga kamu suka." Ucap Arifin sambil memberikan satu paperbag pada istrinya."Itu?""Ini buat Ibu, Mbak Winda sama Mbak Santi.""Ohh.." Flora hanya menjawab dengan jawaban yang singkat, kemud
"Ini uang untuk membeli perhiasan." Arifin memberikan sejumlah uang pada Flora yang sedang berhias diri di depan kaca rias.Flora berbalik dan mengambil uang dari tangan suaminya itu. Dia menghitungnya dan tersenyum kecil."Hanya segini, Mas?" Tanya Flora, Arifin hanya memberikan uang sebanyak dua juta saja."lya..""Kamu yakin?" Wanita itu beranjak dari duduknya lalu berjalan mendekat dan meraba tubuh suaminya. Pria itu memejamkan matanya, jujur saja sentuhan Flora membuatnya sedikit bergairah. Terlebih lagi, dia sudah lama tidak menyalurkan hasratnya.Selama di luar kota, ternyata asistennya itu pulang ke rumah saudaranya, jadi dia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan rencana jahatnya itu.Dia berharap pada Flora, tapi istrinya juga tidak mau melayaninya sama sekali. Jadi harapannya satu-satunya sekarang hanyalah Arina. Tapi dia tidak mungkin datang hanya untuk meminta tubuhnya bukan? Dia harus membawa sejumlah uang untukn
"Hai, Mas. Aku kangen.." Ucap Arina sambil menggelayut manja di lengan Arifin. Pria itu terlihat sedikit cemas, pasalnya dia tidak membawa uang sepeserpun, satu lembar uang yang di berikan Flora padanya tadi di belikan bensin dan sialnya, ban motornya malah bocor dan harus di tambal."Mas, kenapa diam saja?" Tanya perempuan itu sambil mengamati lamat-lamat wajah Arifin yang terlihat tidak bergairah sama sekali."Tidak apa-apa, sayang.""Kenapa pulang gak ngabarin hmm? Kamu juga gak ada nelepon aku? Kamu udah bosan sama aku ya, Mas?" Tanya Arina lagi."Mas kecapean, sayang. Jadi pas sampai ke rumah, langsung tidur.""Ckk, tidur sama istri kamu ya?" Perempuan itu terlihat merajuk saat ini."Ya sama siapa lagi, tentu saja sama Flora, sayang.""Jangan-jangan, kamu masih mencintai istrimu itu ya?""Tidak kok, dari awal aku menikahinya karena ingin membuat saudara kembarku menderita, itu saja." Jawab Arifin sambil mem
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.