Hanan menelan ludahnya kasar saat melihat tanah di bawah mereka. Pasti mereka akan mengeluh sakit kalau nekat melompat, tapi tidak ada cara lain untuk kabur.
"Aku lompat duluan, setelah itu baru kau menyusul, paham ?" Hanan menatap kembarannya itu serius."Paham." Hanin mengangguk.Hanan memejamkan matanya ketika melompat ke bawah, menahan sakit di seluruh tubuhnya karena dia terjatuh ke tanah yang keras. Tapi, dia tidak menunjukkan rasa sakitnya sama sekali, karena tidak mau membuat Hanin menangis. Hanin itu hatinya lembut, tidak mau melihat orang tersayangnya cidera."Sekarang lompatlah! Aku akan menangkapmu," suruh Hanan, menengadahkan kedua tangannya ke atas.Hanin pun segera melompat. Karena bobot tubuh Hanin sedikit lebih berat darinya, Hanan pun tak bisa mengimbangi, sehingga Hanin jatuh menimpa tubuhnya."Hanan!" Hanin memekik kuat. "Maafkan aku! Kau pasti kesakitan," lirih Hanin, air matanya sudah hampir keluar.Hanan menoleh ke belakang dengan raut wajah panik. " Terus lari, Hanin! Mereka mengejar kita!" desaknya. Hanin pun semakin berusaha memacu larinya, walau sedikit pincang kakinya sekarang. Betisnya yang luka itu sakitnya bukan main-main, salahkan dia yang tidak hati-hati dalam mengambil pecahan kaca itu. Rasa nyeri itu tidak tertahan lagi, Hanin mau mengeluh lagi, tapi dia juga tahu kalau Hanan terluka juga. Jadi, mereka harus sama-sama kuat untuk satu sama lain.Saat Hanan sibuk menoleh ke belakang untuk memastikan penjahat yang mengejar mereka. Sebuah mobil datang dari arah depan dan hampir saja menabrak mereka berdua. Hanin yang melihat mobil yang mendekat mereka pun berteriak kencang, sehingga Hanan kembali menoleh ke depan. Jantungnya berpacu cepat melihat mobil itu, dia langsung menarik Hanin untuk melindungi adiknya itu.Namun, tiba-tiba mobil itu mengerem, dan tidak jadi menabrak mereka. Hanin sudah memejamkan matanya erat, jantungnya berdegup kencang sebab
"Putra Daddy hebat." Abian mengusap puncak kepala Hanan. Hanya mereka di ruangan ini sementara Flora sedang menemani Hanin di kamar mandi. "Paman Kalandra sudah menceritakan semuanya sama Daddy," sambungnya.Hanan hanya tersenyum tipis dengan bibirnya yang masih sedikit pucat itu."Setelah ini Daddy akan memasukkan mu ke les privat bela diri. Agar kamu bisa menjaga adikmu ke depannya. Daddy sangat bangga denganmu, Nan. Kamu memang putra Daddy," ujarnya."Hanan ingat saat Daddy bilang, kalau seorang Kakak itu harus melindungi adiknya. Dan, Hanan sudah melakukan hal itu. Tapi, Hanan minta maaf karena Hanin sempat terluka," sesalnya.Abian menggeleng pelan. "Tidak masalah. Sekarang kalian sudah aman. Dan, Daddy berjanji kalau kejadian ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Daddy akan menjaga kalian 24 jam. Karena itu sudah tugas Daddy," terangnya, kembali mengusap puncak kepala Hanan."Tapi, siapa Om yang menculik kami ini, Dad? Apa Daddy k
"Jadi, Mas Arifin pelakunya Mas?" Flora mematung melihat mantan suaminya terduduk di sebuah kursi dengan raut wajah frustrasi. Detik berikutnya wajah itu terlihat menegang kala melihat kedatangannya dengan Abian.Abian bergumam pelan. "Ya, dia orangnya. Kamu tenang saja, sayang. Masalah ini akan aku tuntaskan sampai dia mendapatkan hukuman setimpal karena sudah berani menculik anak kita, walaupun itu saudara ku sendiri." Abian mengusap bahu istrinya. "Kamu ingin temui dia?. Aku malas berhadapan dengannya lagi," suruh Abian. Dia lebih menunggu di tempatnya sekarang daripada ikut ke sana.Flora menatap Abian sejenak kemudian mengangguk pelan. Dia tidak takut menghadapi lelaki itu karena ada Abian yang memantaunya. Flora perlahan berjalan ke arah Arifin. Tapi, Arifin malah berdecih sinis kala melihat kehadirannya."Untuk apa kau ke sini? Mau menertawakan diriku?!" ujarnya.Flora tersenyum miring kemudian bersedekap. Lantas duduk di hadapan Arifin. "A
Abian akan menghadapi ibu hamil untuk kesekian kalinya. Di kehamilan pertama Flora begitu manja padanya. Maka kali ini dia juga akan menepati janjinya untuk menikmati semua momen menghadapi momen kehamilan Flora.Namun, semuanya tidak semudah yang dia kira. Saat mengidam, Flora akan meminta aneh-aneh. Pernah saat itu, Flora menyuruh Abian memanjat pohon toge. Nah, yang dibingungkan, bagaimana Abian bisa memanjat pohon toge itu? Kalau pohon mangga tadi, Abian tidak masalah sama sekali, dia akan menuruti permintaan Flora itu langsung.Saat hendak menjelaskan bagaimana dia memanjat pohon toge. Tak di kira, Flora malah marah padanya dan mogok bicara dengannya selama satu harian penuh. Membuat Abian uring-uringan tidak jelas dan saksinya adalah Kalandra. Untungnya besok paginya, Flora mau berbicara padanya, meminta di buatkan sarapan pagi dari tangannya sendiri. Mana mungkin Abian menolak, maka setelah membasuh wajahnya, Abian pun langsung turun ke bawah untuk memasak,
Kabar baik. Menjelang siang Flora sudah berhasil melakukan persalinan dengan lancar. Keluarga baru Abian sudah lahir ke dunia ini dengan selamat. Bayi berjenis kelamin laki-laki dengan bobot tubuhnya 3,9 kilogram dan lahir dengan normal.Flora menatap haru bayinya yang begitu rakus menyedot sumber asinya untuk pertama kalinya. Di sampingnya selalu ada Abian. Jangan ditanyakan bagaimana kondisi Abian sekarang, setelan baju kerjanya sudah acak-acakan begitu juga dengan rambutnya yang berantakan sebab dia menjadi tempat lampiasan Flora tadi saat menahan sakit yang begitu luar biasa untuk melahirkan buah hati mereka. Lalu tangan kanan Abian yang penuh cakaran Flora, tapi Abian tidak mempersalahkan sama sekali."Terima kasih, sayang." Dan, dia malah tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Flora.Flora hanya tersenyum haru sambil mengangguk. Sementara Abian mengecup dahinya dengan penuh kasih sayang. "Dia sangat tampan," lirih Abian, mengusap pipi kec
"Kalian dulu jalannya. Tante agak ribet bawa ini." Santi mengeluh dalam hati karena banyak belanjaan yang dia bawa siang ini, kebetulan dia baru pulang dari mall untuk berbelanja hadiah yang akan dia berikan pada adik si kembar. Dan, sekali jalan, dia pun menjemput si kembar dari sekolah."Tante, sih, kenapa banyak belanjaannya." Hanin berjalan di depan bersama Hanan."Mau Hanan bantu, Tante nggak ngasih," tambah Hanan lagi."Nggak, nggak." Santi menggeleng tegas. "Tante cantik kalian ini kuat sekali kok. Ini hadiah dari Tante untuk adik kalian, lho," sambungnya.Hanin menggembungkan pipinya. "Jadi, adik bayi itu enak, ya? Dari kemarin dia dapat hadiah terus," ujarnya. Kemudian menoleh menatap Hanan. "Apa waktu bayi, kita di gitukan juga? Di beliin banyak hadiah sama orang-orang?" tanyanya.Hanan mengangkat bahunya, tanda dia tidak tahu. "Ya, mana aku tahu. Pas bayi aku nggak ingat apa pun," balasnya.Sedangkan Santi tertawa geli
Sore harinya Flora sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Hanya mereka bertiga saja yang pulang, sementara si kembar dan keluarga lainnya sudah menunggu di rumah karena ada tamu spesial untuk Flora. Dan, wanita itu belum tahu kalau Adidjaya sudah tiba di rumah mereka. Kalandra yang menjemput Adidjaya atas suruhan Abian."Hati-hati, sayang." Abian membukakan pintu mobil untuk Flora. Meletakkan tangannya di atas pinggiran mobil agar tak melukai kepala Flora nantinya. Flora pun segera keluar dengan gerakan perlahan dengan Hendra di dalam gendongannya sedang tidur pulas. Ya, kebanyakan bayi lebih suka tidur, kan?Setelah itu Abian mengambil tas yang berisi pakaian kotor dan keperluan bayi Hendra yang digunakan selama di rumah sakit. Lalu keduanya berjalan menuju depan pintu rumah yang masih tertutup rapat. Lantas Abian pun memencet bel rumahnya, tak berapa lama setelah itu di bukakan oleh Jingga."Selamat datang, Tuan, Nyonya." Jingga tersenyum lebar. Abian p
5 Tahun Kemudian"Mommy?!" Gadis remaja itu berteriak histeris kala melihat adiknya sudah tidur di sebelahnya sepanjang malam. Padahal saat tidur, dia tidak mendapati adiknya ini, karena pasti tidur di kamar sendiri. Tapi, ketika pagi hari, Hanin harus pasrah ketika kasurnya dan piyama tidurnya basah karena terkena ompol adiknya yang super nakal ini. Entah bagaimana adiknya ini masuk, pasti tengah malam, lagi dan lagi dia mengendap ke dalam kamarnya ini. Salahkan Hanin yang lupa mengunci pintu kamarnya kemarin malam."Kakak belisik!" ujar bocah berumur 5 tahun itu.Hanin hanya berdecih pelan melihat adiknya itu yang menegurnya dengan mata masih terpejam. Rasanya Hanin mau mencubit adiknya ini, tapi pasti nanti dia kenal omel kalau ketahuan membuat Hendra nangis lagi. Ah, ternyata punya adik itu tidak seindah realita. Walau dia benar-benar anak emas di rumah ini."Ada apa?" Flora masuk ke dalam kamar Hanin.Hanin sudah tumbuh menjadi gadis
Zahra masih saja setia menunduk, tidak berani menatap pria paruh baya yang sejak tadi menatapnya dengan sorot tajam. Zahra sangat takut, takut sekali, di saat seperti ini dia membutuhkan perlindungan dari papinya. Tapi, Papi sudah bahagia di sisi Tuhan sekarang. Maka itu, yang Zahra lakukan adalah saling meremas kedua tangannya satu sama lain. "Tinggalkan putraku, saya mohon padamu untuk kali ini. Biarlah kau anggap saya ini sebagai ayah yang egois. Tapi, saya melakukan ini demi kebaikan dan keselamatan putraku," ujar Abian dengan suara beratnya. Menatap Zahra yang masih menunduk. Tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana raut wajah gadis itu. "Kalian tidak bisa bersama." Abian menahan napasnya. "Masa lalu Papi mu akan selalu menghantuimu meski dia sudah meninggal. Mereka tidak akan pernah puas sebelum membuatmu mati. Karena keturunan dari almarhum Marion harus mati ditangan mereka, demi membalaskan dendam. Musuh-musuh Papi mu terlalu banyak. Hanan akan terus terancam bila berad
Sepuluh bulan kemudian. "Dad, Hanan nggak apa-apa, kan?" Hanin yang baru saja tiba dengan mommynya di rumah sakit, langsung saja memberondong daddynya dengan pertanyaan. Hanin rasanya ingin pingsan kala mendengar apa yang menimpa kembarannya itu. Tapi, Hanin harus kuat karena ada mommynya yang lebih syok saat mendengar kembarannya di serang. Dan, itu di luar jangkauan dari daddynya. Semenjak SMA dan Hanan pandai beladiri. Kembaranya itu meminta dengan sendirinya untuk tidak ada pengawal yang lagi menjaganya dari kejauhan. Hanan merasa bisa menjaga dirinya sendiri, maka itu meminta Daddynya membayar pengawal untuk menjaganya dan Hendra saja bila di luar rumah. Namun, kembarannya itu sudah sok jagoan sekali. Tapi, ujung-ujungnya berakhir seperti ini. Abian yang ditanya putrinya itu menggeleng pelan. Wajahnya pucat pasi bak mayat sekarang. Di melihat dengan mata kepalanya sendiri, ada dua bekas tusukan yang di dapat putranya itu. Dia terus berdoa dalam hati dan terus meminta pada Tu
"Rumah lo di mana?" tanya Hanan setelah itu. "Ntar Zahra kasih tahu jalannya. Hanan lurus aja dulu, nanti ada pertigaan baru belok kiri," jawab Zahra agak kuat takut Hanan tidak mendengar bila suaranya kecil. "Ok." Hanan mengangguk pelan. Matanya kembali menatap ke arah spion. Saat tiba dipertigaan, dia langsung berbelok kiri dan benar saja mobil di belakang sana ikut belok juga. Hanan menyeringai lebar. "Kayaknya mereka mau main-main sama gue, nih," batinnya. Hanan pernah mengalami siatusi seperti ini. Saat itu ada Pak supir yang ahli mengelebui orang-orang yang menguntit mobil mereka. Maka dari itu juga Hanan belajar juga. "Zahra!" panggilnya. "Ya?" "Pegangan yang kuat!" ucap Hanan. "Eh, kenapa?" Zahra melotot kecil. Dia malah malu ketika mau memeluk Hanan. Yang tadi hanya spontan saja. Zahra tidak mau mengulangi hal seperti itu lagi. Tapi, kali ini dia langsung berpegangan pada ujung jaket Hanan tanpa memeluk Hanan. "Pokoknya pegangan yang kenceng, ya!" Hanan mewanti
Sebagai teman yang baik. Zahra membawakan buah tangan untuk menjenguk Hanin. Dia sempat mampir ke toko roti dan toko buah sebelum pergi ke rumah Hanin. Gadis itu dengan perasaan riangnya menjenguk Hanin yang sejak pagi sudah tidak dia temui. Rasanya Zahra rindu, karena saat bersama Hanin, dia merasa aman karena Hanin selalu melindunginya kapanpun. Zahra juga dapat merasakan sosok kakak bila di samping Hanin. Mobil Zahra yang baru tiba di depan gerbang rumah Hanin langsung terhenti karena pintu gerbangnya tak dibukakan sama sekali. Zahra langsung membuka kaca jendelanya untuk meminta sang satpam membuka gerbang di depan sana. Namun, satpam itu malah menolaknya. "Zahra ini teman Hanin lho, Pak." Zahra menghela napas pelan dengan bibir mengerucut. "Zahra ke sini juga mau jenguk Hanin yang lagi sakit. Zahra pun udah pernah datang ke sini. Pak satpam nggak kenal sama Zahra, ya?" todongnya dengan jari telunjuknya. "Maaf, Nona.
Meski Hanin sering berisik dan suka berteriak tidak jelas. Bila jatuh sakit seperti ini, mansion akan terasa sepi sekali. Baik Hendra dan Hanan merasakan kehilangan, Hanin yang biasanya aktif dan lincah ke sana kemari kini terbaring lemah di kasur empuknya dengan handuk kecil di dahinya. Hanin jatuh sakit setelah traumanya kembali, hal ini terjadi untuk pertama kalinya setelah Hanin melihat lelaki yang mirip Arifin itu lagi. Hanan pun menceritakan semuanya pada sang mommy, sehingga Flora menyarankan Abian untuk membawa putri mereka ke konseling psikologi. Agar trauma Hanin tidak semakin parah nantinya. Dan, pagi ini Hanan berangkat ke sekolah seorang diri. Rasanya tidak enak sekali karena tidak ada Hanin di sampingnya. Tidak ada Hanin yang merecokinya, tidak ada yang menggodanya dengan suara cempreng nan mengesalkan itu. Hanan mendesah pelan, walau dirinya terlihat cuek dari luar, tetap saja dia merasa khawatir dengan Hanin. "Lho, tumben Hanan datang se
Tanpa disadari dua gadis itu. Hanan sejak tadi memperhatikan mereka, mendesah pelan, Hanan kembali teringat dengan pembicaraan Daddy dan Mommynya kemarin malam. Saat itu Hanan tidak sengaja mendengar semuanya. Dia penasaran dengan alasan dari Daddynya itu sehingga memutuskan untuk menguping, meski itu adalah tindakan tidak sopan. Hanan pun perlahan bisa mengerti akan kecemasan Daddynya itu, sehingga memberikan ide dan jalan keluar padanya dan juga Hanin agar keduanya tetap bisa berteman dengan Zahra. "Demen lo sama Zahra?" Hanan langsung menoleh ke arah teman satu mejanya, ternyata dia ketahuan menatap kembarannya dan Zahra. Pemuda itu menyeringai lebar, menjadikan Hanan mendengkus pelan melihatnya. Raut wajahnya masih datar dan tidak niat membalas ucapan temannya tadi. "Zahra cantik kok, nggak masalah lo naksir sama dia. Artinya lo itu normal Pak ketua," seloroh pemuda di sebelah Hanan itu lagi. Hanan kembali mendengkus. T
"Tapi, nggak harus memperkekang pertemanan anak-anaknya juga, Nan," sahut Hanin cepat. "Apa salah Zahra coba? Yang ada dia sedih pas kita tiba-tiba menjauh dari dia. Kasihan tahu lho, Nan. Memang gue selalu kesal sama tingkah polosnya, tapi gue nggak tega melihatnya sendirian nanti tanpa teman-teman. Lo tahu sendiri kalau di kelas, dia cuman dekat sama kita aja." "Gue tahu." Hanan bersandar di sisi meja belajar Hanin. Lalu bersedekap dada dan menatapi kembarannya itu. "Tapi, kita tidak tahu alasan Daddy sebenarnya." "Lo kenapa selalu dipihak Daddy, sih?" sungut Hanin kesal. Larangan Daddy kali ini nggak masuk akal, lho. Bukannya selama ini Daddy memperbolehkan kita berteman dengan siapa saja?" Hanan mendengkus pelan. "Coba ambil sisi lainnya dulu, Nin. Sekarang kita pikirkan alasan Daddy yang katanya demi kebaikan kita. Itu artinya Daddy sedang menjauhkan kita dari bahaya. Meski sepenuhnya gue nggak setuju juga dengan larangan Daddy. Tapi
"Kenapa, Dad?" Hanin langsung melayangkan pertanyaan dengan nada penuh protes. Akan tetapi, Abian tetap menatap si kembar penuh ketegasan. "Turuti perkataan Daddy. Kalian akan mengalami hal buruk kalau tetap berteman dengan dia. Ini demi kebaikan kalian berdua," ujar Abian penuh penekanan. Hanin tertawa miris. "Hanin tidak menyangka kalau Daddy sampai mengekang anaknya seperti ini. Dalam pertemanan saja dibatasi!" balasnya tak suka. Dia senang berteman dengan Zahra. Zahra selalu mengasyikkan meski terkadang kesal dengan kepolosan gadis itu. "Hanin, jangan membangkang Daddy, ok?" pinta Abian dengan helaan napas pelan. "Daddy punya alasan untuk ini. Percaya sama Daddy, Daddy tidak pernah melarang satu hal kalau itu tidak merugikan kalian. Tolong pahamilah permintaan Daddy kali ini." Abian menatap si kembar lekat. Dia berharap si kembar bisa mengerti keadaan sekarang. Ketakutan Abian sejak dulu adalah sebuah
Hanan menggeleng lagi. "Gue akan bertugas mencatat pertanyaan aja. Zahra yang jadi moderator dan Hanum kebagian menjawab pertanyaan," jelasnya kemudian. "Kalau kamu udah atur tugas kita masing-masing nggak perlu nanya kayak tadi, Nan," tegur Hanum dengan gelengan kepalanya. Hanan tak menjawab. "Jadi Zahra moderator, nih?" gumam Zahra karena untuk pertama kalinya dia tunjuk seperti ini. "Iya." Ketiga temannya itu mengangguk serentak. "Tapi, Zahra nggak punya pengalaman lhooo," rengeknya. "Sebelum presentasi tiba, kamu masih bisa belajar di rumah kok, Ra," sahut Hanum, memberikan senyuman menenangkannya. "Tetap saja. Zahra takut gugup," balasnya lagi. "Nggak boleh protes. Gue udah kasih tugas masing-masing. Jadi, jangan sampai presentasi kita ini dapat nilai rendah. Paham kalian!" ujar Hanan penuh ketegasan.