Tangan itu mulai mendorong tubuh Geston yang langsung menabrak Inspektur, tak lupa Albara mengebas-ebaskan tangannya. ‘Dor! Dor!’ suara tembakan sengaja ditargetkan untuk Albara dan pasukannya yang tengah lengah. Inspektur terlebih dahulu mengamankan Geston dengan membawanya pergi dari tempat kejadian. Albara berusaha memfokuskan penglihatannya dikala debu tanah yang berterbangan menghalangi pandangannya. “Satu!”“Dua!”“Tiga!”Seseorang sedang menyerang Albara beberapa kali, namun pria itu dengan tanggap menangkisnya. Akan tetapi, dirinya tak bisa menghindar dari racun yang diberikan. “Kau akan mati, seperti Eleird!” teriaknya kemudian berlari sekencang mungkin meninggalkan Albara. “Apa ini? Shhk!” deruh Albara perlahan mulai merasa linglung. Tubuhnya ambruk tak sadarkan diri setelah itu. Albara segera dibawa menuju rumah sakit pangkalannya, dalam perjalanan pria itu seakan terlihat sudah tak bernyawa. Saat sampai di rumah sakit, prosedur pemeriksaan menyeluruh mulai dilaku
Perkataan itu membuat Albara sadar, dia yang ditugaskan untuk menjaga Belle malah memperlakukannya seperti orang lain.“Maaf,” jawabnya.“Tuan sulit untuk dimengerti,” ungkap Belle. Dirinya yang selalu mencoba memahami Albara selalu gagal, pria itu memiliki lebih banyak rahasia di luar prediksinya. Malam itu, mereka habiskan dengan mengobrol satu sama lain. Saat mentari mulai naik, Albara terlebih dahulu bangun dengan Belle yang tidur di sofa. Dirinya ingin beranjak untuk sekedar melihat Belle dari dekat.“Kenapa ... kenapa seperti ini?” lirih Albara. Sejak pertama kali bertemu, ada perasaan di ujung hati yang terus membelenggunya. Seakan menolak cinta, Albara berusaha menutupinya dengan erat hingga tak sengaja melukai hati Belle. Dengan tekad untuk terus melindungi Belle, Albara menjalani perawatan yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Akan tetapi, kali ini ia tak sendiri untuk bangkit. Melainkan ada tangan yang selalu menggandengnya ketika dunia sangat buruk. “Aku akan
Khaira yang kembali lagi ke tempat itu sangat terkejut kala melihat kondisi gudang. Bangunan itu sudah penuh dengan warna hitam dan hancur lebur, saat gadis itu menerobos masuk sudah tak ada siapapun di sana. “Tidak! Bagaimana dia bisa selamat?” pekik Khaira murka. Menelusuri setiap titik untuk setidaknya menemukan bukti bahwa Belle sudah tiada. Hatinya sangat sulit menerima hal ini.“Akh! Sialan!” teriak Khaira tak bisa mengendalikan kekesalannya. Penyiksaan yang ia dapatkan selama berada di penjara membuat mentalnya sangat cepat terpuruk. Kegagalan seakan memaksanya untuk semakin melakukan lebih. Khaira beranjak dari sana dengan dendam yang semakin membara. “Kakek, dia bebas!” adu Khaira menghadap kakeknya yang sedang bersantai di taman. “Khaira, setidaknya biarkan kakekmu meminum tehnya!” bentak sang Ibu.“Sudahlah, jangan memarahi cucuku. Duduklah sini, Nak. Katakan kepada kakek apa lagi yang terjadi?” ajak kakeknya meletakkan secangkir teh di meja. Perbedaan generasi san
51Di sisi lain, Albara yang tak melihat keberadaan Belle menjadi panik dan segera mencarinya. Perasaannya mulai tak tenang karna tak menemukan Belle di toilet. “Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk kepadanya,” rapal Albara.Saat akan melewati lorong, sudut matanya seakan menangkap sosok yang sedari tadi menikutinya.Lewat pantulan vas bunga, Albara bisa melihat jelas tanpa menoleh ke belakang.“Lucifer ... setelah sekian lama kenapa dia muncul?” batin Albara beranjak dari sana dengan cepat.Dirinya yang tak fokus menabrak Belle yang juga tak menyadari pertemuan mereka. Keduanya saling terbentur satu sama lain dan tersungkur di lantai yang dingin.“Auh!” ringis Belle memegangi kepalanya. Albara segera berdiri, “Bangunlah, kita harus segera pergi dari sini.”Kemudian menggandeng tangan Belle untuk mengikutinya. “T-tuan, pelan-pelan kakiku terasa sakit,” ujar Belle. Namun, Albara tak menghiraukannya dan malah berjalan semakin cepat.Saat akan sampai di pintu, Khaira dan kakekny
52“Kejutan!” suara seorang wanita menarik atensi orang-orang yang sedang duduk di meja makan pada pagi yang cerah. “A-anna!” teriak pria tua yang langsung bangkit dari tempat duduknya. “Ayah, siapa dia? Kenapa bisa masuk sembarangan? Pengawal ... usir dia pergi.” titah Khaira menunjuk ke arah Anna. Anna yang baru saja tiba di bandara segera menaiki taxi untuk menuju kediaman Gerald, yang merupakan Ayah kandungnya. “Ayah, katakan pada adik untuk menjaga sikapnya. Aku tidak harus memukulnya 'kan?” tutur Anna berjalan mendekat dan kemudian duduk di sebelah wanita tua yang enggan memandangnya.Gerald yang terkejut karna kedatangan Anna hanya bisa diam disaat ujaran Khaira memenuhi telinganya. Langkah kakinya ingin segera beranjak, namun sebuah ketakutan seakan mencegahnya.“Khaira, masuk ke kamarmu,” suruhnya.“Kenapa-”“Dengarkan Ibu! Cepat pergi ke kamarmu!” teriakannya membuat Khaira mengepalkan tangan marah. Setelah Khaira pergi, dirinya beralih menarik tangan Anna dan menyeret
53Di sisi lain, Belle tengah duduk berdua di sebuah restoran bersama Dahlia. Sembari menunggu makanan datang, keduanya fokus dengan ponsel masing-masing. Perasaan canggung menyertai sedari tadi, Belle menundukkan wajahnya lesuh, perlahan-lahan menoleh ke arah samping dan mendapati Albara juga menatapnya.“Ah, kenapa dia harus ikut? Aku tidak bisa leluasa.” batinnya menghela nafas gusar. Albara tak melepaskan pandangannya sedikitpun, dirinya waspada kepada Dahlia yang tiba-tiba mengajak Belle untuk bertemu.“Jadi, kenapa memintaku ke sini?” tanya Belle meletakkan ponselnya. “Tidak penting, aku hanya merasa ingin bertemu,” jawab Dahlia. Poros matanya melirik kalung yang dipakai Belle. Kilauannya seakan memancing Dahlia pada sebuah kenyataan bahwa Belle lebih bahagia. Perlahan, air matanya turun membasahi pipi yang nampak makin tirus. Dahlia berada di ambang keputuasaan.“Ada apa, katakan saja kepadaku.” minta Belle memberikan tisu kepada Dahlia. “Aku baik-baik saja, terima kasih.
Dahlia kian menangis sesaat setelah taxi yang dinaikinya meninggalkan Belle, sesak di dada semakin memaksanya untuk melampiaskan kesedihan. Tangannya mulai menyeka air mata yang terus jatuh. “Tidak ... aku harus menemuinya segera, dia tidak bisa mencampahkanku seperti ini.” batinnya mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Pada malam harinya, Dahlia bersiap untuk pergi keluar. Jaket tebal yang dikenakan membuat tubuh Dahlia semakin menggemuk. Setelah mengunci kostnya ia bergegas menuju sebuah tempat yang sudah ditentukan.“Ada apa lagi? Bukankah aku sudah menjawabnya?” sela Elvan kala Dahlia datang. Bahkan gadis itu belum masih berdiri.“Kita melakukan kesalahan, kenapa hanya aku yang menanggungnya, apa itu yang dinamakan keadilan?” sergah Dahlia melempar alat tespect kepada Elvan. Pria itu kian menjadi diam, namun tatapannya mengarah lekat pada dua garis yang dianggapnya hanya tipuan. “Apa yang harus aku lakukan?” pikir Elvan. “Aku merasa sakit, aku sendiri, dan kau ... tidak
Pagi-pagi sekali, Belle menuruni tangga dengan seragam lengkap dan tas yang digenggamnya.Meninggalkan rumah megah yang masih sunyi, matahari belum sepenuhnya bersinar. “Setelah tiga hari aku bisa pulang,” ungkap Dahlia.Sesaat setelah makanan yang dikunyahnya sampai ke tenggorokan. Nafsu makannya tak terlalu baik hari ini, namun Belle terus menyuapinya.“Baiklah, aku akan kembali lagi nanti. Jika butuh sesuatu panggil saja suster, jangan melakukan apapun sendirian.” ujar Belle meletakkan piring makan Dahlia di meja. Kemudian mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu. Sejenak matanya melirik jam tangan yang melingkar sempurna di pergelangannya. Langkah kaki mulai berlari menuju parkiran.Sementara itu, Dahlia yang perlahan meraba perutnya kian terluka. Hatinya memikirkan anaknya yang akan lahir tanpa seorang Ayah. Seketika air mata mulai keluar dari pelupuk matanya. Dahlia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit rumah sakit sembari menahan isakannya. ***“Kenapa kau pe
Dentingan ponsel menarik atensi Albara untuk mengulurkan tangannya, tatapan matanya berubah menjadi dingin kala membaca pesan yang dikirimkan kepadanya. Tanpa mengatakan apapun, ia membuang puntung rokok dan segera menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.“Ada apa dengannya?” tanya Belle kala Albara keluar dari kamarnya. Gadis itu masih duduk di depan meja riasnya menatap pintu yang tak ditutup. Albara yang sampai di kamarnya buru-buru membuka laptop dan memeriksa sesuatu, raut wajahnya kian memburuk kala membaca email dari seseorang.“Sial! Dia membatalkan kerja sama hanya karna satu anggotanya ditangkap polisi.” geramnya memijat dahinya dengan gusar. “Kau juga harus menanggung kerugiannya!” pekiknya menuliskan pesan kepada sekretarisnya untuk segera menyiapkan tiket keluar negeri. Sementara itu, ia pergi mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama Belle sesaat setelah pelayan memberitahunya bahwa Belle sudah menunggu di meja makan. Gadis itu fokus dengan ponselnya sampai-sampai t
Setelah sampai di rumah, ia tak mencari Albara karna tahu pria itu sudah berangkat bekerja. Bahkan tanpa sarapan, Belle duduk sendirian di meja makan menatap beberapa hidangan yang sudah disiapkan. “Kenapa pelayan menyajikan banyak makanan saat mereka tahu tuan tidak makan?” gumam Belle memakan perlahan. Belle menghabiskan waktunya seharian di rumah melakukan aktivitas yang dapat membuatnya sibuk. Namun, saat malam menjelang Albara tak kunjung pulang ataupun mengabari. “Biasanya sore tuan sudah pulang,” lirihnya.Berada di balkon terus memandang gerbang yang tertutup. Selang beberapa saat, Belle bergegas ke kamarnya berganti pakaian dan mengambil tas untuk menemui Albara di perusahaan tanpa memberitahunya. “Pak, apa masih lama?” tanya Belle tak sabar. “Sebentar lagi sampai, nona. Jalanan sedikit macet,” balas supir. Saat sampai, Belle masuk sendirian sementara supir menunggu di parkiran. Gadis itu merasa canggung kala memasuki tempat besar yang berisi orang-orang dengan penam
Belle merasa bahagia ketika menjalani prosesi wisuda, namun juga merasakan kekecewaan kala teringat Dahlia yang sudah tiada. Suasana itu membuat Belle merasa kesepian dan dirundung kesedihan. “Andai saja ... kau masih ada di sini,” lirihnya. Melirik buket bunga yang sedang dipegangnya. Kemudian, sorot matanya tiba-tiba tertuju pada Albara yang duduk di bangku wali murid dengan memegang ponselnya memotret Belle. Senyuman di wajah gadis itu kian merona menghadap Albara. Setelah acara selesai, Albara membawa Belle untuk pulang lebih awal. Namun, keduanya tak langsung sampai di rumah, melainkan datang ke sebuah gedung yang sengaja dipesan Albara.“Bagaimanapun juga, kita harus merayakannya.” gumam Albara mengulurkan tangannya. Berjalan masuk bersama Belle dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Langkah kaki Belle terhenti, matanya menatap tajam ke arah suasana sunyi penuh dengan warna hitam di hadapannya. Hatinya bergejolak kala Albara menariknya untuk masuk ke sana dan duduk di
Siang harinya, Albara bersiap untuk memulai pelatihan bersama timnya. Tak lupa membawa beberapa peralatan yang mereka butuhkan. Namun, dari keseluruhan yang ikut pelatihan Albara terus mengacuhkan Anna. Bahkan ucapan gadis itu tak diresponnya dan membuat Anna sangat marah.“Hanya aku, saat aku mengajak berbicara tuan mengabaikanku. Ada apa ini? Apa tuan menyalahkanku?” lirihnya gusar.Bibirnya membulat sempurna dengan mata yang melirik tajam, namun Anna tetap berusaha menarik atensi Albara. “Perhatikan baik-baik, setelah itu kalian lakukan sendiri,” titah Albara. Selang beberapa jam, ia meninggalkan lokasi hendak memeriksa keadaan Belle. Namun, saat ia sampai di sana matanya malah mendapati Anna berdiri di dekat ranjang Belle yang sudah ketakutan. “Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah pelatihan masih berlangsung?” tanya Albara berjalan mendekat.“Aku pergi ke toilet, dan aku pikir akan mengunjunginya.” dalih Anna mundur beberapa langkah dari Belle. Albara menatap mata Belle da
Belle memegangi cangkir yang berisi teh hangat, menyeruputnya perlahan-lahan sembari membiarkan Albara memakaikan selimut di tubuhnya.“Hey, tuan kenapa mereka seperti itu?” tanya Belle kala matanya menangkap adegan kekerasan yang tak jauh dari posisinya.“Itu sudah biasa, tidak akan ada masalah jadi jangan dihiraukan.” balas Albara duduk di dekat Belle.Mengalihkan pandangannya dari kedua pria yang hendak berkelahi. Beberapa jam kemudian, Belle tertidur lelap menyender kepada Albara. Pria itu masih berbincang dengan asistennya dengan menahan tubuh Belle agar tak jatuh.Lalu, membawanya menuju kamar. Sebelum merebahkan Belle di ranjang, Albara melepaskan sepatu dan jaket yang ada pada Belle. Kemudian, mengambil pakaian di lemari dan menuju kamar mandi.“Berpacaran dengan gadis yang belum genap 19 tahun, apa bisa disebut menyukainya?” tanya Albara sembari memejamkan mata membiarkan air mengalir dari rambut menuju pangkal kakinya.Sejenak, mendongakkan kepala agar wajahnya terguyur a
“Berdiri, kalian sudah cukup istirahat!” titahnya kemudian.Belle berusaha menopang tubuhnya yang terus goyah dan berbaris bersama yang lain. “Lakukan kuda-kuda ... hey, kau bukan seperti itu!”Pengawas itu menghampiri Belle yang salah melakukan kuda-kuda, kemudian memukul kakinya dengan tongkat untuk membenarkan. Institut memulai dengan beberapa gerakan dasar belah diri yang kemudian diikuti oleh semua orang. Pengawas berjalan di sekeliling mereka dan memukul siapapun yang tak melakukan gerakan dengan baik. “Aku hanya salah sedikit, kenapa sampai seperti itu?” ringis Belle menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya setelah mendapatkan pukulan tongkat beberapa kali. Selang beberapa saat, Albara yang sudah selesai dengan kegiatannya menghampiri Belle yang sedang berlatih. Gadis itu mengerutkan kedua alisnya dengan bibir yang membulat kala Albara sampai.“Tuan, tahap pertama sudah hampir selesai.” ungkap pengawas menunduk saat berada di sebelah Albara.Pria itu mengepulkan asap rokok y
Kegelapan memenuhi satu ruangan di rumah megah yang penuh dengan cahaya lampu. Disaat itu, Albara tengah membawa piring dan gelas menuju ke sana. Menaiki satu-persatu anak tangga dengan perlahan. “Belle, kenapa tidak turun untuk makan?” tanya Albara kala membuka pintu kamar Belle.Gadis itu terbaring lemas di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuhnya, Albara menyalakan lampu agar ruangan itu tak sunyi dan gelap.“Hey, bangun.” titah Albara menurunkan selimut dan menatap wajah Belle.“Aku tidak lapar, aku sangat mengantuk.” jawab Belle menepis tangan Albara yang memegangi selimut.Albara beralih duduk di sebelahnya dengan kaki yang mulai dinaikkan di ranjang. Satu tangan menepuk-nepuk kepala Belle yang tertutup selimut, sementara tangan lain memegangi ponsel.“Kenapa kau sangat keras kepala? Hanya karna masalah kecil selalu tidak makan,” ejek Albara.“Ini bukan masalah kecil, dampaknya sangat besar!” tegas Belle bangun dan memandang Albara yang tepat berada di sebelahnya. Wajah
Langkah kaki terlihat semakin memasuki area sekolah, suasana hening di pagi hari sedikit menenangkannya.Belle memegang tasnya erat-erat sembari menundukkan kepala dan berjalan menuju kelasnya.Lorong-lorong itu menjadi saksi kejadian tragis yang dialami Dahlia, namun Belle berusaha untuk tak melihatnya.“Aku salah, aku terlalu berharap bahwa semua ini hanya ilusi. Dan kemudian, aku kembali jatuh pada kenyataan yang pahit,” ujarnya.Berdiri di depan kelas memandangi bangku-bangku yang masih kosong.Matanya tertuju pada bangku tempat Dahlia duduk bersamanya, kakinya membeku di sana tak ingin masuk ke dalam kelas.Akan tetapi, Belle berusaha menghadapinya dan tak menghiraukan perasaannya yang terluka.Selang beberapa saat, kelas mulai di datangi oleh beberapa murid yang terkejut kala melihat Belle duduk di tempat Dahlia.Sekilas mereka mengira bahwa itu Dahlia. “Benarkan? Dia memang orang ternaif yang pernah aku temui.” ucap Khaira berjalan masuk ke dalam kelas bersama Angel.Maniknya
Dahlia kembali ke dalam kelasnya dengan mata yang sembab, sorakan saat ia masuk membuat mentalnya semakin jatuh.Orang-orang itu sama sekali tak memikirkan perasaannya. “Aku tidak tahan lagi,” gumamnya.Telinganya memaksa untuk tuli agar tak mendengarkan cemoohan yang semakin lama membuatnya muak. Setibanya di rumah, Dahlia langsung pergi menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Pikirannya sudah bulat, Dahlia menuliskan beberapa surat yang kemudian diletakkan di dalam laci.“Maaf ... maaf, aku tidak sekuat itu untuk menahan semua ini.” ucapnya meletakkan pulpen dan berjalan ke kamar mandi. Perlahan-lahan, Dahlia masuk ke dalam bathtub yang sudah penuh dengan air. Merebahkan tubuhnya seiring dengan kran air yang terus mengalir, Dahlia menikmati saat-saat terakhirnya.“Sangat me-ne-nang-kan-” Dahlia mulai kehilangan kesadarannya diiringi rasa sesak yang terus menekan jantungnya, namun hal itu nyatanya tak membuat Dahlia mengurungkan niatannya.*** Albara yang baru saja menyuapi B