"bagaimana keadaan Rani, Bu? Apa kata dokter?" tanya Alex beberapa saat setelah sampai di rumah sakit."Kamu tanyakan saja sendiri sama adik kamu!" ketus Esti, melipat tangan di depan dada serta menatap kesal kepada putrinya."Katakan sama Mas. Siapa yang menghamili kamu?" Kini mata Alex terpantik ke wajah pucat Rani.Dan seperti saat ditanya oleh sang ibu, Rani hanya bisa menangis tersedu. Dalam hati ia menyesali mengapa dulu begitu gampangnya menyerahkan keremajaannya kepada laki-laki yang jelas-jelas tidak memiliki hubungan apa-apa. Bukan hanya sekali, setelah kejadian di tempat kosan Roy, pria itu menjadi sering meminta jatah kepada Rani, dan mengancam akan menyebarkan video syur mereka jika perempuan berusia dua puluh satu tahun itu menolak ajakannya.Hingga suatu hari Rani merasa ada yang aneh di dalam dirinya. Dia sering merasakan pusing, mual juga mudah kelelahan. Rani begitu ketakutan ketika terlambat datang bulan dan
Alex menyentak napas kasar. Bagaimana bisa ibunya berpikir sepicik itu? Meskipun ia kesal kepadanya, tidak mungkin dia juga tega merampas harta benda milik ibunya sendiri."Jujur saja, Alex. Kamu yang merencanakan ini semua 'kan?""Astaga, Ibu. Aku nggak mungkin melakukan hal seperti itu. Ibu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Masa iya ada anak merampok ibunya sendiri? Ada-ada saja!" Dia lalu kembali menghampiri Riana dan Rachelya, mengajak kedua buah hatinya masuk, membuatkan telur dadar untuk mereka berdua makan.Lamat-lamat dipandangnya wajah kedua gadis kecil yang semakin lama semakin mirip dengannya, ada yang berdesir aneh kala mereka menoleh lalu menerbitkan sedikit senyuman kepada Alex.Tidak bisa dipungkiri kalau dalam hati juga ada rasa sayang kepada mereka, sebab biar bagaimanapun kedua malaikat kecil itu darah dagingnya. Sama seperti Maura."Selesai makan kamu langsung bawa pulang mereka ke Jakarta dan kembalikan k
Masuk ke dalam mobil, ibu beranak satu itu lekas mengenakan sabuk pengaman, menyalakan mesin kendaraan roda empatnya lalu menggerakkan mobil tersebut menjauhi parkiran minimarket.Ada yang berkedut nyeri di sanubari saat ia melihat ekspresi kecewa Riana dari kaca spion. Alina tahu kalau anak-anak itu sebenarnya membutuhkan sosok seorang ibu yang perhatian, dan mungkin mereka menemukan kenyamanan ada di dalam dirinya.Sebab yang Alina tahu, Siti itu tempramental, suka memukuli anaknya walaupun mereka tidak bersalah.Kalau saja dia sudah resmi bercerai dengan Alex, mungkin Alina tidak akan segan-segan membawa anak-anak itu ke rumah. Tetapi keadaannya sekarang tidak memungkinkan untuk membawa kedua malaikat kecil tersebut pulang ke kediaman.Mengambil napas dalam-dalam, alina mencoba menepis rasa iba dalam dada sambil terus fokus mengemudi. Bukannya tega kepada anak kecil, tetapi dia hanya sedang ingin menghindari orang-orang yang telah melukai hatin
Sidang perdana telah selesai dilaksanakan, kini tinggal menunggu sidang selanjutnya digelar dan ikatan pernikahan keduanya sudah benar-benar berada di ujung perpisahan.Alin keluar dari dalam ruang persidangan bersama Umar, sementara Alex berjalan sendirian tanpa pendamping sama sekali."Terima kasih atas bantuannya, Mas Umar. Saya permisi dulu.Assalamualaikum," ucap Alina seraya melekuk senyum lalu berjalan menuju mobilnya dan segera masuk. Dari kejauhan Alex terus saja menatap sang istri, tidak rela rasanya jika harus kehilangan wanita yang selalu menghuni relung hatinya.Memang Alex bukan laki-laki setia. Dia sudah membagi hati juga raga, akan tetapi cinta yang ia rasa hanya untuk Alina saja. Menikahi Siti itu sebagai bentuk tanggungjawab juga karena desakan serta ancaman. Tidak ada niat sama sekali untuk mengkhianati.Meski dia juga tidak memungkiri adanya Siti semakin melengkapinya hidupnya, sebab perempuan itu begitu pandai memanja
Mengambil gawai dari dalam saku daster, Alina membuka blokiran nomer laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya sembari menatap wajah Maura yang tampak pucat sambil menahan sedih.Gegas perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu menekan ikon hijau, menghubungi Alex akan tetapi tidak kunjung ada jawaban. Mungkin karena sudah hampir tengah malam jadi pria itu sudah terlelap mengarungi samudera mimpi bersama anak-anaknya di rumah."Biar Mas datangi langsung ke rumahnya. Mungkin dia sudah tidur." Aldo berujar seraya menepuk pundak sang adik."Tapi tolong jangan buat keributan di sana, Al. Mama nggak mau kamu kembali memukuli Alex. Kali ini kita sedang membutuhkan dia," pesan Mama dan dijawab anggukan oleh anak lelakinya.Aldo lekas mengayunkan kaki keluar dari kamar rawat inap sang keponakan, dan segera berjalan menuju parkiran lalu melajukan kendaraan roda empatnya dengan kecepatan rata-rata menuju kediaman Alex.Sesampainya
"Bagaimana, Lin? Kamu masih mau kan, memberikan kesempatan kedua buat Mas?" Alex kembali bertanya.Alina menoleh sekilas, menatap netra laki-laki yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan suaminya itu sambil menghela napas panjang. Dia memang masih memiliki secuil rasa cinta dalam dada, akan tetapi jika untuk kembali hidup bersama, perempuan berambut coklat itu sepertinya sudah tidak lagi memikirkan ke arah itu, sebab rasa percayanya terhadap Alex sudah tidak ada."Lin, kamu mau kan kembali sama Mas?" Alex mengulangi pertanyaannya, meraih jari jemari Alina akan tetapi dengan cepat sang calon mantan istri menjauhkan tangannya."Maaf, Mas. Tidak bisa. Kita akan tetap bercerai apa pun yang terjadi!" Lugas Alina kemudian."Apa sudah ada laki-laki lain yang mengisi relung cinta kamu, Lin?""Ini bukan masalah ada atau tidaknya laki-laki lain dalam hati aku. Tetapi karena rasa kecewa luar biasa yang aku rasakan karena pengkhianatan yang kamu
"Rani mengalami perdarahan?" Alin mengerutkan keningnya."Iya. Dia hamil dan laki-laki yang menghamili dia tidak mau bertanggungjawab. Dia kabur dan malah menikah dengan perempuan lain di kampungnya.""Seperti dulu kamu ninggalin Siti saat hamil, Mas?" Alina membathin seraya menatap wajah Alex yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus dan tidak beraturan."Kamu boleh menertawakan aku sepuasnya, Lin," ucap Alex kemudian.Alin menyentak napas. "Aku tidak sejahat itu. Walaupun aku benci kepada Rani, tetapi aku tidak akan menertawakan dia saat sedang ditimpa musibah seperti ini. Aku juga perempuan. Aku bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Rani saat ini, Mas. Pasti dia sangat sedih dicampakkan begitu saja oleh orang yang disayangi. Semoga saja Allah memberikan Rani kekuatan untuk menghadapi semua masalah ini."Alex menunduk malu mendengar untaian kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya. Halus, tetapi begitu menusuk.Sebuah mercy
POV Alex.Aku segera mematikan mesin motor, kembali masuk ke rumah Alina lalu memanggil perempuan yang masih kucinta, meminta dia menjaga Riana dan Rachelya sebentar saja. Karena tidak mungkin aku membawa kedua anak itu ke rumah sakit, terlebih lagi mungkin keadaan ibunya tidak memungkinkan untuk dilihat anak di bawah umur."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" tanya Alin dengan mimik kurang suka. Mungkin tidak mau waktu bersama keluarganya terganggu gara-gara harus menjaga kedua anakku.Tetapi mau bagaimana lagi. Tidak ada siapa pun di kota ini yang bisa dimintai bantuan selain dia. Meski malu aku harus menebalkan muka."Aku mau ke rumah sakit, Lin. Tadi ada telepon dari pihak kepolisian dan katanya Siti menjadi korban penganiayaan," terangku."Inalillahi... Yasudah. Sebaiknya kamu jalan sekarang. Hati-hati di jalan!" Aku menatap netra berhias bulu lentik itu sesaat, mencoba melihat masih adakah cinta walau sedikit saja, dan
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu