"Aku akan membantu tapi tidak janji bakal berhasil. Kamu kan tahu sendiri, Lin. Alex punya hutang lumayan banyak di perusahaan. Bos mana mau memecat dia begitu saja, apalagi hanya gara-gara masalah pribadi," ucapnya kemudian, setelah lama diam dalam keheningan.
"Lagian, kok bisa-bisanya bos kamu mempercayai Mas Alex begitu saja, Daf? Minjemin uang segitu banyak tanpa jaminan. Kamu tahu, nggak? Uang itu dipakai untuk merenovasi rumah mertua di kampung!" beberku karena yakin uang itu dipakai untuk memperbaiki rumah ibu."Dia menjaminkan sertifikat rumah ibunya."Waw ...Bagus sekali. Aku bisa memanfaatkan itu."Oh, ya? Lantas soal Rani, apa dia sekarang masih di kantor polisi?"Aku menganggukkan kepala. Entah mengapa riak wajah Dafa tiba-tiba berbeda ketika membahas tentang Rani. Apa jangan-jangan dia mempunyai perasaan spesial kepada adik suamiku?Biarlah. Soal perasaan Dafa bukan urusanku. Tidak mau mencampuri urusan pribadinya, h"Apa-apaan ini? Lepas!" teriakku mencoba menepis tangan laki-laki yang masih menyandang gelar suami itu."Aku mau bicara sama kamu. Aku mohon beri aku waktu sebentar saja!" ucapnya dengan tatapan mengiba."Apa yang mau kamu bicarakan, Mas. Masalah uang?!""Kamu itu kenapa, sih, Lin. Selalu saja berprasangka buruk sama aku. Aku emang miskin. Tapi tolong jangan selalu dihina dan direndahkan seperti itu. Hargai sedikit saja karena aku ini suami kamu. Ayahnya Maura!""Kamu masih berani menyebut diri kamu itu sebagai suami? Sebagai ayah dari anak yang sudah dianiaya oleh kamu serta keluarga kamu? Tidak tahu malu!""Aku tidak pernah menyakiti Maura. Aku sangat menyayangi dia!""Bulshit!!""Demi Tuhan Alina. Kemarin aku hanya menuruti permintaan Ibu untuk membawa Maura secara diam-diam. Kebetulan saat selesai rapat aku melihat anak kita sedang bermain dan Mas Aldo tidak mengawasi dia. Jadi aku menggunakan kesempatan itu untuk m
POV Alex.Menatap bangunan yang sudah separuh dirobohkan. Menguyar rambut frustasi, bingung harus berbuat apa.Mau melawan tidak berani karena memang semuanya dibangun menggunakan uang istri. Hanya bisa menyaksikan sambil menahan sesak di dada, ditambah lagi harus mendengar ocehan ibu yang tidak kunjung berhenti."Istri kamu itu bener-bener nggak tahu diri. Nggak punya perasaan dan tidak ada rasa terima kasihnya sama sekali. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Berani sekali menghancurkan rumah yang kamu beli dengan hasil keringat kamu sendiri.Kamu juga Alex. Bukannya mencegah. Lapor polisi, kek. Malah diem aja kaya kerupuk kesiram air. Melempem. Jangan terlalu tunduk sama istri kalau jadi suami. Biar nggak diinjak-injak oleh istri kamu seperti tadi!" rutuk Ibu panjang lebar, hingga otot lehernya terlihat menegang. Wajah memerah padam dan mulutnya komat-kamit tidak berhenti-henti."Bener tuh, kata Ibu. Kamu itu jangan diam saja kalau diperlakukan seperti tadi sama si Alin. Lawan. Sama
"Bu, sebaiknya kita masuk dulu. Kita bicarakan saja masalah ini di dalam. Malu. Banyak tetangga yang menonton!" Menarik lengan Ibu masuk, namun perempuan berambut sebahu itu justru menepis kasar tanganku."Biar saja tetangga pada tahu siapa perempuan tidak tahu diri itu. Lagian aneh tetangga kamu itu. Lihat orang bikin onar di komplek bukannya lapor keamanan malah cuma nonton dan divideoin!" Ibu berkata dengan nada meninggi.Semua tetangga yang melihat mencebik bibir serta menatap mencemooh ke arah kami. Mereka itu kan memang kubunya Alina. Walaupun tahu istriku salah, semua tetangga tetap saja membela Alina karena menganggap aku pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Mereka menganggap diri ini sebagai laki-laki celamitan yang suka celup sana celup sini tanpa mencaritahu duduk permasalahannya terlebih dahulu.Menggiring Ibu masuk. Ocehan wanita di sebelahku tidak kunjung berhenti saat sudah berada di ruang tengah. Terlebih lagi saat melihat seluruh
Pertemuanku dengan Siti berawal saat aku kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Dia seorang pemilik warung nasi sederhana yang letaknya tidak jauh dari kampus, dan aku sering makan di warungnya itu karena selain harganya murah masakan Siti juga lumayan enak. Pas dengan lidahku.Awalnya hubungan kami hanya sebatas pelanggan warung serta penjual saja. Hingga suatu hari aku diusir dari tempat kost dan tidak memiliki uang sama sekali. Aku menceritakan masalahku kepada Siti yang saat itu statusnya sebagai janda tanpa anak dan dia menawarkan tempat tinggal kepadaku."Tempatnya tidak terlalu bagus tapi nyaman ditinggali kok, Mas!" katanya dengan suara dibuat manja."Duh, saya jadi nggak enak sama Mbak Siti. Terima kasih loh, sudah membantu saya. Semoga Tuhan senantiasa membalas kebaikan Mbak." Aku menjawab sambil menerbitkan senyuman.Sore hari setelah warung nasi tutup, Siti segera mengajakku ke rumah kontrakannya yang jaraknya lumayan cukup jauh dari kampus. Harus ditempuh me
Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...Berjengit kaget ketika ponsel dalam saku celana tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk dari Ibu. Duh, mana aku tidak berhasil membujuk Alina untuk mencabut tuntutannya pula. Bagaimana ini? Pasti dia akan mengomel panjang lebar."Halo, Bu?" sapaku setelah menekan ikon hijau dan meletakkan gawai di dekat telinga."Bagaimana? Berhasil?" Terdengar suara penuh harap perempuan yang sudah melahirkan aku tiga puluh tiga tahun yang lalu itu."Belum, Bu. Alin menolak mencabut tuntutannya.""Soal jatah bulanan bagaimana? Apa dia mau kembali memberikan Ibu jatah kaya dulu?"Aku mendengkus kesal. "Boro-boro memberikan jatah bulanan. Diajak kembali saja tidak mau. Dia marah banget sama aku, Bu!""Kalau diminta dengan cara baik-baik tidak mau, kamu ambil secara paksa saja, Alex. Kamu harus bikin Alina membatalkan perceraiannya juga mencabut tuntutannya kepada Rani. Ibu tidak mau dia dipenjara
Selesai makan, aku lekas merebahkan bobot di atas kasur yang aku minta dari Dafa sebab Alina sudah membawa semua yang ada di rumah ini tanpa sisa.Ah, ngomong-ngomong soal Alina, mendadak rasa rindu menelusup ke dalam kalbu. Dia perempuan yang baik, penurut, juga tidak pernah berkata dengan nada lebih tinggi dariku. Berbeda dengan Siti yang perangainya bagai preman pasar. Selalu membentak, bahkan tidak segan bermain tangan.Masih adakah kesempatan untuk diri ini memperbaiki benteng rumah tangga yang telah retak dan hampir roboh? Bisakah Tuhan mengembalikan Alina ke dalam pelukanku.Memejamkan mata, berusaha menyelami samudera mimpi, berharap esok pagi ketika membuka mata semua dalam keadaan baik-baik saja.***"Kalian itu bandel-bandel banget, sih? Bikin Mama pusing tahu nggak? Kenapa nggak mati aja sekalian biar nggak nyusahin!" Aku berdecak kesal ketika pagi-pagi sekali sudah mendengar Siti tengah mengomeli anak-anak dengan kata kasar s
"Pak, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi? Bagaimana dengan keluarga saya nanti kalau saya menganggur. Saya mempunyai tiga orang anak dan...""Dua orang istri?" potong Pak Anjas seraya menatap mencemooh. Mungkin dia tahu kabar pernikahan ke duaku karena sempat viral di sosial media."Itu masalah pribadi saya, Pak!""Saya juga tahu, Alex kalau itu masalah pribadi kamu. Tapi kalau saya boleh menasihati, sebaiknya kalau berbuat apa-apa itu harus dipertimbangkan masak-masak. Diimbangi juga dengan kemampuan. Jangan hanya menuruti hawa nafsu karena itu tidak akan pernah ada habisnya.""Iya, Pak. Tolong jangan pecat saya ya, Pak. Soalnya saya sangat butuh pekerjaan ini. Lagipula saya juga kan punya hutang banyak di perusahaan?""Sekali lagi saya minta maaf. Keputusan saya sudah final. Soal hutang, kamu masih bisa mencicilnya walaupun sudah tidak bekerja di perusahaan saya. Sertifikat rumah ibu kamu juga tetap saya tahan sampai kamu bisa melunasi
Sesaat suasana berubah hening. Hanya suara helaan napas mereka yang memburu, karena keduanya saling menahan emosi.Setelah suasananya mulai terlihat membaik, aku lekas mengajak Ibu ke teras belakang, mengajak dia berbicara empat mata menanyakan ada perlu apa dia kembali ke Jakarta."Ibu malas tinggal di kampung. Semua tetangga membully karena Rani masuk bui. Kamu sih, menghadapi perempuan macam Alina saja tidak mampu. Cemen banget jadi laki-laki!" jawab Ibu masih dengan emosi meninggi."Coba saja Ibu yang ngomong sama Alin. Aku sudah mencoba tetapi dia tidak mau mencabut tuntunannya. Dia malah mengancam akan menghancurkan hidup aku. Dan Ibu tahu, sekarang aku sudah dipecat dari pekerjaan. Aku nganggur!""Nganggur? Kamu jangan ngawur! Kalau kamu jadi pengangguran, terus Ibu nanti siapa yang ngasih uang? Siapa yang bantu Ibu bayar kuliah Rani? Harusnya kamu menolak dong pas dipecat. Jangan cuma diam pasrah. Kamu kan kerja di perusahaan itu sudah tah
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu